“...Barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah
membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
(QS. Al-Maidah
[5]: 32)
Hampir dapat dipastikan tidak agama
yang mengajarkan kepada penganutnya tentang permusuhan kecuali kepada kezaliman
seperti pelaku kriminalitas, koruptor, bandar narkoba, dan lainnya. Oleh karena
itu, tindakan para teroris adalah salah karena melakukan tindakan kekerasan
kepada orang lain berarti tidak mengamalkan nilai-nilai agama-agama.
Menurut KH. Said Aqil Siroj, salah
satu faktor yang melahirkan terorisme bernuansa agama adalah pemahaman yang tidak
utuh terhadap ajaran agama. Padahal agama manapun tidak mengajarkan kekerasan,
sehingga jika terjadi kekerasan maka yang salah bukan agamanya, melainkan
faktor orangnya.
Sekelompok orang yang
menyatakan diri bertindak atas nama agama, boleh jadi sebenarnya telah salah
memahami agamanya dan berakibat aktivitasnya tidak sesuai dengan tuntunan agama
tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar jika memahami ide-ide agama dari
tindakan orang-orang tersebut. Satu-satunya jalan untuk memahami sebuah agama
adalah mempelajari sumber-sumber wahyunya.
Sumber dari Islam
adalah al-Qur’an yang berlandaskan pada konsep moralitas, cinta, kasih, sayang,
kerendahan hati, pengorbanan, toleransi, dan perdamaian. Seorang Muslim yang hidup
dengan nilai-nilai yang benar dari Al-Qur’an akan menjadi orang yang paling
dipercaya, dan mudah bergaul. Dia akan menebarkan cinta, rasa hormat, harmoni,
dan kebahagiaan hidup kepada lingkungannya.
Teror, dalam makna yang
luas, berarti tindakan kekerasan yang ditujukan pada sasaran non-militer
sebagai tujuan politik. Dengan kata lain, sasaran teror adalah semata-mata
penduduk sipil yang mempunyai dosa di mata pelaku teror karena berada di “pihak
lain”.
Selanjutnya, teror
bermakna menempatkan orang-orang yang tak bersalah sebagai sasaran kekerasan.
Sebuah tindakan yang tidak bisa mendapatkan pembenaran moral dari segi manapun.
Al-Qur’an adalah Kitab yang diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk untuk
menempuh jalan yang benar. Dalam Kitab ini Allah memerintahkan manusia untuk
memiliki moral yang baik. Moralitas ini berlandaskan kepada konsep cinta, kasih
sayang, toleransi, dan rahmat.
Islam adalah agama yang
diturunkan kepada manusia dengan tujuan menciptakan kasih sayang dan rahmat
Allah di dunia. Allah menyeru manusia kepada moralitas Islam yang dengannya
kasih sayang, rahmat, kedamaian, dan toleransi dapat terwujud di seluruh dunia.
Tentu saja semua
tindakan brutal tersebut bertentangan dengan doktrin-doktrin agama manapun termasuk Kristen. Agama Kristen menurut Injil
adalah “Pesan cinta.” Dalam Injil Matius dikatakan Jesus berkata, “Cintailah Musuhmu dan berdoalah untuk
mereka yang memperlakukanmu dengan kejam.” (Matius, 5: 44). Sedangkan dalam
Injil Lukas, dikatakan bahwa Jesus berkata,
“Kepada orang yang menampar pipimu, serahkan pipimu yang lain.” (Lukas, 6:
29). Injil tidak memberikan legitimasi kekerasan; jadi membunuh orang yang
tidak bersalah adalah perbuatan dilarang dalam agama manapun.
Ada cerita yang terkenal di kalangan
sufi tentang Salik, yakni pejalan pencari ilmu sufi yang sebenarnya atau
makrifat. Sang salik datang kepada seorang mursyid, guru pembimbing sufi. Dalam
perjalanan berhari-hari itu dia bertemu dengan seorang beragama Nasrani. Maka
berdebatlah mereka tentang konsep ketuhanan masing-masing. Akhirnya sang salik
mengatakan bahwa, “Konsep ketuhanan Anda salah semua, karena kalau Anda
monoteistik Tuhan tidak boleh berbapak dan beranak.”
Mereka berpisah. Sang calon sufi
terus berjalan dan sampaiklah dia di tempat sang mursyid. Dia ditolak, tidak
boleh masuk. Menunggu di depan pintu duduk bersila seharian, tetap tidak
diterima. Ternyata sang guru tak bergeming untuk menerima calon sufi itu.
Merasa tidak tahan, salik berteriak nyaring di luar agar didengar sang guru,
“Guruuu..mengapa guru tidak mau menerima muridmu di saat muridmu memerlukan
guru untuk mendapatkan pengertian yang sebenarnya tentang Tuhan.” Dari dalam
guru menjawab, “Engkau tidak akan mengerti karena engkau tidak memahami zat
Tuhan, melainkan hanya ‘baju’-Nya Tuhan.”
Moral dari cerita ini, menurut
Abdurrahman Wahid, kalau kita mengetahui satu sama lain, semestinya tidak perlu
melakukan kritik, koreksi, atau meluruskan konsep orang lain. Kalau itu tetap
dilakukan akhirnya berantakan. Oleh karena itu, harus ada kesadaran untuk
menghormati konsep agama lain. Penganut satu agama tidak perlu membicarakan
secara negatif konsep agama lain. Soal-soal itu menjadi urusan masing-masing.
Di dalam semangat keruhanian kita,
sebenarnya di luar konsep ketuhanan juga di luar cara beribadat, konsep-konsep
kemanusiaan kita, konsep-konsep kegunaan agama bagi kehidupan manusia, saya
rasa hal itu dapat dipelajari bersama, dapat dikembangkan lebih jauh, dan kalau
perlu diperdebatkan. Tentu perlu diketahui wilayah mana yang menjadi urusan
agama masing-masing dan wilayah mana yang terubuka untuk didialogkan.
“Cintailah
Musuhmu dan berdoalah untuk mereka yang memperlakukanmu dengan kejam.”
(Matius,
5: 44).
Post a Comment