Pendahuluan
Tidak mengherankan
bahwa Islam telah memandang keluarga sebagai suatu unit dasar kemasyarakatan
dari masyarakat Islam, dan telah menekankan bahwa pembentukan keluarga adalah
tanggung jawab setiap pasangan. Hubungan keluarga sangat ditekankan dalam fiqih
Islam untuk mencapai kehidupan sejahtera dan bermanfaat bagi para anggotanya.
Hak-hak anak khusus telah ditekankan sebagai pembangunan masyarakat masa depan
dan pembela Islam.
Hasil
capaian pionir Islam tidak akan menjadi kejutan hebat bagi kaum Muslim. Mereka
tahu bahwa Islam bukan hanya agama peribadatan melainkan juga sebuah sistem
kemasyarakatan, kultur, dan peradaban. Hukum Islam amat komprehensif dan
mengayomi kebutuhan, kegiatan, dan keprihatinan manusia. Islam mempertimbangkan
pula masalah perencanaan keluarga secara obyektif dan penuh kasih sayang bagi
kaum mukminin, sebagai agama kemudahan (yusr)
dan bukan kesulitan (‘usr), dan telah
mensponsori perencanaan manusia dalam segala urusan individual, komunal, dan
sosial, tidak terkecuali perencanaan kelahiran.
Dalam sejarah peradaban
manusia, keluarga dikenal sebagai suatu persekutuan (unit) terkecil, pertama
dan utama dalam masyarakat. Keluarga adalah inti dari jiwa dari suatu bangsa,
kemajuan dan keterbelakangan suatu bangsa menjadi cermin dari keadaan
keluarga-keluarga yang hidup pada bangsa tersebut. KB berarti suatu tindakan
perencanaan pasangan suami istri untuk mendapatkan kelahiran yang diinginkan,
mengatur interval kelahiran dan menentukan jumlah anak sesuai dengan
kemampuannya serta sesuai situasi masyarakat dan negara.
Sedangkan masalah
aborsi sejak sekitar tahun 1920-an sudah menjadi suatu kasus yang hangat
dibicarakan. Negara yang pertama melegalisasikan aborsi adalah Rusia pada tahun
1920. Sekarang ini sudah banyak negara-negara yang melegalisasi aborsi dengan
syarat-syarat yang bervariasi. Bahkan di beberapa negara, aborsi sudah menjadi
bagian dari program Keluarga Berencana, sehingga ketika Konperensi Kependudukan
diadakan pada bulan September 1994 di Cairo telah diusulkan agar aborsi
dimasukkan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan pertumbuhan dan
pertambahan penduduk, sebagai bagian dari program Keluarga Berencana.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian
KB dan Hukumnya
Keluarga Berencana (KB)
adalah istilah resmi yang dipakai di dalam lembaga-lembaga negara kita seperti
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Istilah KB ini mempunyai
arti yang sama dengan istilah yang umum dipakai di dunia internasional yakni family planning atau planned parenthood, seperti International Planned Parenthood Federation
(IPPF), nama sebuah organisasi KB tingkat internasional dengan kantor pusatnya
di London. Keluarga Berencana juga mempunyai arti yang sama dengan istilah
Arab, tandzimul an-nasli (pengaturan
keturunan/kelahiran), bukan tahdiidu
an-nasli atau birth control
(pembatasan kelahiran).
Yang dimaksud dengan
keluarga di sini, ialah suatu kesatuan sosial yang terkecil di dalam
masyarakat, yang diikat oleh tali perkawinan yang sah. Jadi keluarga di sini
adalah keluarga inti (nuclear family)
yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak, bukan extended family atau keluarga luas/besar, yang terdiri dari
keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang dekat, baik yang masih ada
hubungan darah (nasab) seperti
bapak/ibu, saudara masih ada hubungan sekandung, maupun yang ada hubungan
perkawinan, seperti mertua atau ipar.[1]
Para ulama yang
membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencana (KB) yang dibolehkan syari`at
adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan
kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi
tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga. Dengan demikian KB disini
mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl
(pengaturan keturunan). Sejauh pengertiannya adalah tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan aborsi (isqot al-haml), maka KB tidak dilarang.
B. Hukum
KB
Di dalam al-Qur’an dan Hadits,
yang merupakan sumber pokok hukum Islam dan yang menjadi pedoman hidup (way of life) bagi umat Islam. Tidak ada
nash yang sharih (clear statement)
yang melarang ataupun yang memerintahkan ber-KB secara eksplisit. Karena itu,
hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam (qaidah fiqhiyah) yang menyatakan:
Pada
dasarnya segala sesuatu/perbuatan itu boleh, kecuali/sehingga ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.
Selain berpegangan
dengan kaidah hukum Islam tersebut di atas, kita juga bisa menemukan beberapa
ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang memberikan indikasi, bahwa pada dasarnya
Islam membolehkan orang ber-KB. Bahkan kadang-kadang hukum ber-KB itu bisa
berubah dari mubah (boleh) menjadi sunah, wajib, makruh atau haram, seperti
halnya hukum perkawinan bagi orang Islam, yang hukum asalnya juga mubah. Tetapi
hukum mubah ini bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi individu Muslim yang bersangkutan dan juga
memperhatikan perubahan zaman, tempat, dan keadaan masyarakat/negara.[2]
Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam yang berbunyi:
Hukum-hukum
itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, dan keadaan.
Tetapi hukum ber-KB
bisa menjadi makruh bagi pasangan suami
istri yang tidak menghendaki kehamilan si istri, padahal suami istri tersebut
tidak ada hambatan/kelainan untuk mempunyai keturunan. Sebab hal yang demikian
itu bertentangan dengan tujuan perkawinan menurut agama, yakni untuk
menciptakan rumah tangga yang bahagia dan untuk mendapatkan keturunan yang sah
yang diharapkan menjadi anak yang saleh sebagai generasi penerus.
Hukum ber-KB juga
menjadi haram (berdosa), apabila orang melaksanakan KB dengan cara yang
bertentangan dengan norma agama. Misalnya vasektomi[3]
(sterilisasi suami) dan abortus
(pengguguran).
Adapun ayat-ayat
al-Qur’an yang dapat dijadikan dalil untuk dibenarkan ber-KB antara lain adalah
sebagai berikut:
- Firman Allah dalam Surat an-Nisa ayat 9:
Dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar.
Ayat ini memberi petunjuk kepada kita bahwa Allah
menghendaki jangan sampai kita meninggalkan keturunan yang kalau kita sudah
meninggalkan dunia yang fana ini, menjadi umat dan bangsa yang lemah. Karena
itu, kita harus bertakwa kepada Allah dan menyesuaikan perbuatan kita dengan
ucapan yang telah kita ikrarkan. Kita telah berirkar bahwa kita akan membangun
masyarakat dan negara dalam segala bidang material dan spiritual untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Dan
salah satu usaha untuk mencapai tujuan pembangunan itu adalah dengan
melaksanakan KB.[4]
Mengenai Hadits-hadits Nabi yang dapat dijadikan dalil
untuk membenarkan KB antara lain adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, “Kami ‘azal
(coitus interuptus) di masa
Rasulullah pada waktu ayat-ayat al-Qur’an masih diturunkan dan tak ada satu
ayat pun yang melarangnya.”(Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim). Dan menurut
lafal Muslim, “Kami melakukan ‘azal di masa Rasulullah dan hal ini diketahui
Nabi dan Nabi tidak melarangnya.
Diriwayatkan
dari Jabir ra, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Sesungguhnya saya mempunyai seorang
jariyah (hamba sahaya wanita). Dia adalah pelayan dan pengambil air
kami/penyiram kami. Saya ingin melakukan hubungan seks dengan dia, tetapi saya
tidak ingin dia hamil. Maka Nabi bersabda, “Lakukanlah ‘azal padanya jika
engkau kehendaki. Maka sesungguhnya apa yang ditakdirkan Tuhan padanya pasti
akan terjadi.” Kemudian laki-laki itu pergi, lalu datang kembali beberapa waktu
dan berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya jariyah saya kini sudah hamil.” Maka
Rasulullah bersabda, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa apa yang sudah ditakdirkan
Tuhan padanya pasti terjadi.
Kedua Hadis tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa
‘azal[5]
yang dilakukan orang dalam rangka usahanya menghindari kehamilan, dapat
dibenarkan oleh Islam, sebab sekiranya ‘azal itu dilarang, pasti dilarang
dengan diturunkan ayat al-Qur’an atau dengan keterangan Nabi sendiri. Tetapi di
samping itu, Nabi juga mengingatkan bahwa ‘azal itu hanya sekadar ikhtiar
manusia belaka untuk menghindari kehamilan, sedangkan berhasil/tidaknya
terserah kepada Tuhan (Man proposes, God
desposes). Demikian pula alat-alat atau cara-cara kontrasepsi apa saja
tidak bisa safe 100 % sekalipun dengan menggunakan teknologi yang canggih
dengan perencanaan dan perhitungan yang teliti.
[1] Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, Cet.
2, 1994), hal. 54.
[3] Tubektomi pada wanita atau
vasektomi pada pria ialah setiap tindakan ( pengikatan atau pemotongan) pada
kedua saluran telur(tuba fallopii) wanita atau saluran vas deferens pria yang
mengakibatkan orang/pasangan bersangkutan tidak akan mendapat keturunan lagi.
Kontrasepsi itu hanya dipakai untuk jangka panjang, walaupun kadang-kadang masih dapat dipulihkan kembali/reversibel.
Kontrasepsi itu hanya dipakai untuk jangka panjang, walaupun kadang-kadang masih dapat dipulihkan kembali/reversibel.
Perkumpulan kontrasepsi mantap Indonesia
menganjurkan 3 syarat untuk menjadi akseptor kontrasepsi ini yaitu syarat:
sukarela, bahagia dan sehat. Syarat sukarela meliputi antara lain pengetahuan
pasangan tentang cara-cara kontrasepsi, risiko dan keuntungan kontrasepsi
mantap dan pengetahuan tentang sifat permanennya cara kontrasepsi ini. Bahagia dilihat dari ikatan perkawinan yang
syah dan harmonis, umur istri sekurang-kurangnya 25 tahun dengan
sekurang-kurangnya 2 orang anak hidup dan anak terkecil berumur lebih dari 2
tahun.
Hukum melakukan Vasektomi, para ulama
sepakat mengharamkannya karena selama ini yang terjadi adalah pemandulan, meski
ada keterangan medis bahwa penggunanya masih bisa dipulihkan. Namun kenyataan lapangan menunjukkan bahwa para penggunanya
memang tidak bisa lagi memiliki keturunan selamanya. Pada titik inilah para
ulama mengahramkannya.
Post a Comment