BAB I
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi[1]
dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas
pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa-bangsa, yang diikuti
dengan kecenderungan terbentuknya nilai-nilai budaya yang bersifat universal,
nampaknya studi tentang keagamaan menjadi sangat penting dan mendapatkan
perhatian yang sangat luas, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun di
kalangan luar Islam.[2]
Era globalisasi dan informasi sebenarnya
memberikan kesempatan yang luas untuk mewujudkan misi agama dalam ini- Islam
sebagai rahmatan li al-‘alamin. Dengan nilai-nilai dasarnya yang bersifat
universal dan dengan sistem budayanya yang pada dasarnya memiliki dinamika yang
tinggi, agama akan bisa memberikan arah dan tujuan perkembangan budaya modern
yang cenderung kehilangan arah dan tujuannya. Di sinilah letak urgensinya studi
keagamaan pada saat ini.[3]
Pengaruh globalisasi terhadap agama,
setidaknya dapat dilihat dari munculnya dua respons agama yang tampaknya
berlawanan. Agama-agama bisa saja merambah dunia global atau malah
menentangnya. Yang pertama, jalan universalisme: pandangan kultural yang
menegaskan, kita semua ada dalam kebersamaan dan kita lebih baik belajar satu
sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama. Hal ini dapat melibatkan ragam
kultural yang akhirnya mengantar umat beragama pada kesatuan kemanusiaan
sebagai satu keluarga.[4]
Namun, bisa juga muncul kecenderungan sebaliknya. Ideologi-ideologi agama atau
quasi-agama bisa merespons konteks global baru dengan mengasingkan diri
(‘uzlah) sembari menekankan keberbedaan.
Kalangan umat beragama perlu lebih
mendalami semangat etis dan paradigma perubahan yang menjadi tuntutan zaman.
Dengan semangat itu kita bisa menjawab tantangan globalisasi, seperti hilangnya
batas-batas atau sekat-sekat etnik, golongan, bahkan negara. Kita harus
membuang jauh konsepsi agama yang sempit dan eksklusif yang cenderung membatasi
kebajikan sebagai milik "kita" saja, dan "mereka" tak
punya. Pendekatan eksklusif tidak akan mampu mentransendenkan batas-batas
keagamaan seseorang.[5]
Beberapa aspek globalisasi, seperti
dikemukakan di atas, mungkin dapat membuat umat beragama lebih mudah
menyampaikan pesan-pesan agama secara lebih luas dan universal. Dengan
jangkauan media yang worldwide kita
memiliki kesempatan membentangkan esensi agama sehingga dapat mewarnai etika
perdagangan dunia. Kini masyarakat dunia telah menjadi lebih multi-religius,
tidak lagi eksklusif.[6]
BAB II
PEMBAHASAN
Seperti yang sudah dijelaskan
diatas, bahwa di era globalisasi yang ditandai dengan tingkat kecanggihan
teknologi ini, agama mulai terlihat kembali dibicarakan oleh banyak orang,
karena memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk dikonsumsi oleh
masyarakat. Dan umat manusia tentunya merasa bersyukur, mengingat pembicaraan
agama berarti sebagai pertanda bahwa umat manusia mulai lagi membicarakan dan
mencari tentang makna dan tujuan hidup. Dan kita tahu bahwa secara historis
sosiologis agama-agama besar yang berkembang dewasa ini pada mulanya lahir pada
satu masyarakat parokhial atau regional, bukannya masyarakat terbuka (open society) sebagaimana yang kita
temukan sekarang ini. Karena kondisi agama pada awal kelahirannya samasekali
berbeda dengan kondisi agama, terutama, pada masa kini.[7]
Akibat perkembangan demografi serta
revolusi teknologi transformasi dan informatika, maka agama- bagaikan dalam
dunia bisnis- kini memasuki pasaran informasi internasional. Informasi
keagamaan yang dikemas dalam bentuk buku, cd, dvd, seminar, meditasi, diaolog
keagamaan dan semacamnya mudah dijumpai di mana-mana.[8]
Salah satu fakta di depan kita
adalah bahwa semua program televisi, radio, dan media massa di tanah air saat ini
secara kompetitif ikut menawarkan informasi keagamaan. Belum lagi pusat-pusat
studi keagamaan yang berpusat di perguruan tinggi yang jumlahnya kian tahun
kian meningkat, baik di dalam maupun di luar negeri.[9]
Salah satu fenomena yang baru adalah
bahwa tawaran moral dan informasi keagamaan tidak lagi secara ekslusif hanya
dimiliki dan diapresiasi oleh satu kelompok seiman dalam pengertiannya
konvensional. Dari hasil penelitian sederhana, ternyata ceramah agama di
televisi serta buku-buku agama yang beredar, peminatnya terdiri dari berbagai
kelompok agama.
Bagi masyarakat tradisional agama
parokhial itu sangat besar fungsinya untuk memelihara kohesi, integritas, dan
sumber makna hidup bagi mereka di saat nilai-nilai baru yang asing secara
ekspansif merembes ke dunia kognitif mereka. Namun begitu, bagi lapisan atau
kelompok masyarakat tertentu yang berada dalam jalur dan strata peradaban
mondial sangat mungkin yang tengah berlangsung adalah sebaliknya, yaitu
terjadinya proses eklektisasi nilai-nilai agama yang universal dan humanistik
yang diambil dari agama-agama parokhial. Proses ini pada gilirannya akan
mengantarkan bagi lahirnya agama atau setidaknya sikap keberagamaan baru dengan
semangat serta teologi yang baru pula.
A.
Dampak
Positif dan Negatif Globalisasi pada Agama-Agama
Globalisasi dipahami sebagai berasal
dari asal kata globe, yang berarti
bola bumi. Istilah ini digunakan karena akselerasi penyebaran informasi yang
luar biasa. Dalam waktu sekejap saja, melalui fasilitas teknologi komunikasi
yang teramat canggih, arus informasi dari satu belahan bumi bisa menyebar
secara merata ke seluruh bola bumi. Karena kenyataan inilah kita lalu
seolah-olah menjadi bagian dari istilah-istilah itu.[10]
Disadari atau tidak, bersamaan
dengan derasnya arus globalisasi yang tak bisa dikendalikan itu, kemajuan-kemajuan
tersebut secara meyakinkan mengubah dan mengarahkan kebudayaan kita dan bahkan
melebihi angan-angan kita. Kemajuan teknologi beserta dampaknya telah menguasai
hampir seluruh masyarakat dunia. Karena itulah, barangkali, lalu Lucian W. Pye
menetapkan bahwa modernitas adalah budaya dunia.[11]
Dalam kaitannya dengan studi Islam
dan pemikiran islam, peradaban modern menjadi sebuah tantangan dan sekaligus
ancaman terhadap umat Islam. Dalam banyak hal, umat Islam merasa terikat
dengan tradisi yang dikembangkan atas
dasar ajaran universal dari agama yang dianutnya. Akan tetapi, dalam kenyataan
praktis, peradaban modern terasa begitu kuat mendesakkan nilai-nilai baru bagi
perubahan sikap dan perilaku umat. Dengan demikian sepintas bisa dikatakan
bahwa tradisionalisme Islam tampaknya tidak compatible
lagi dengan kecendrungan modernisasi.
Terlepas dari tantangan di atas,
secara doktrinal, sebetulnya dapat dilacak relevansi Islam dengan nilai-nilai
esensial kemodernan. Dalam dirinya sendiri, Islam mengandung nilai-nilai modern
dalam pengertian selalu memberi angin di dalam horison nilai-nilai kemanusiaan
secara lebih luas. Dalam berbagai kasus, Islam ternyata memberikan landasan
yang komprehensif dalam menawarkan alternatif pemecahan masalah. Dalam
kaitannya dengan wanita, misalnya, Islam menilai bahwa wanita mempunyai hak dan
kebebasan yang sama dengan kaum pria. Ini jelas memberi muatan baru. Allah pun
menggunakan sumpah-Nya, “Dan (demi)
penciptaan laki-laki dan perempuan,” (QS. 92: 3). Doktrin semacam ini sungguh
sangat luar biasa dalam konteks modern sekalipun. Di negara Swiss saja,
misalnya, wanita, mulai diberi kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya baru
sekitar tahun 1980-an. Di Amerika Serikat, bagaimanapun juga, tampaknya posisi
wanita tidak akan bisa sejajar dengan pria. Meskipun sama satu profesi dan
memiliki jenjang pendidikan yang sama, ketika bekerja, gaji wanita tetap tidak
dinilai sama dengan pria. Pria selalu mendapatkan fasilitas lebih banyak
daripada wanita.[12]
B.
Studi Keagamaan
di Perusahaan-Perusahaan Terkemuka
Dr. Gay Hendricks dan Dr. Kate
Goodeman dalam buku manajeman mutakhirnya, The
Corporate Mystics, memprediksikan, “Pada pasar global nanti, Anda akan
menemukan orang-orang suci, mistikus, atau sufi, di perusahaan-perusahaan besar
atau organisasi-organisasi modern, bukan di wihara, biara, kuil, gereja atau
masjid.”
Prediksi Hendricks-Goodeman di atas
rupanya sudah menemukan kebenarannya bila melihat beberapa kasus berikut ini.
Mark Moody, pimpinan senior di Sheel, salah satu perusahaan minyak terbesar di
dunia, seperti diberitakan oleh Asia Inc (Januari
1999), memutuskan untuk memanggil seorang pendeta Buddha guna memberikan
terapi spiritual kepada 550 eksekutif perusahaan tersebut. Langkah ini diambil
untuk meningkatkan kinerja karyawan perusahaan dan juga untuk membangun
paradigma baru yang lebih canggih dan menguntungkan.[13]
Komputer Apple pun ikut terlibat
dalam gairah baru perusahaan mistik ini. Dalam salah satu produk iklannya ia
mengangkat Dalai Lama sebagai bintang dengan motto “think different” (berpikir beda). Dengan menampilkan pemimpin
Buddha dari Tibet dan motto itu Apple ingin membangun sebuah image baru bagi
produk komputer Apple, yaitu ia berbeda dengan komputer lain, ia tidak hanya
menampilkan kedahsyatan teknologi tapi juga kearifan dan keseimbangan dalam;
material dan spiritual, kesehatan mental, dan fisikal, menawarkan kebijaksanaan
(wisdom) dan peduli lingkungan hidup
d samping menawarkan keunggulan taknik mesin.[14]
Fenomena ini juga terjadi di dalam
negeri, hal itu ditandai dengan maraknya perusahaan-perusahaan yang
menyelenggarakan Pelatihan-pelatihan Keagamaan dan Pelatihan Kepemimpinan
Pribadi Muslim. Pelatihan-pelatihan yang ditujukan kepada pimpinan puncak,
pimpinan teras atas, pimpinan tingkat supervisory,
dan staf senior itu terasa unik karena ia mencoba memberikan wawasan spiritual
pada model kepemimpinan dan manajemen.
Kenapa fenomena
perusahaan-perusahaan terkemuka melakukan pendekatan keagamaan pada seluruh
pimpinan dan staf-stafnya? Mungkin dalam memutuskan persoalan atau memprediksi
usaha manusia sering bersandar pada pemikiran nara sumber yang matang
menggunakan perangkat nalar yang paling lihai, serta data dan angka-angka yang
akurat. Logikanya, segala asumsi dan prediksi yang didasarkan berbagai ukuran
rasional itu akan menjadi kenyataan. Namun acapkali perputaran dunia berada di
luar rumusan matematis. Modernitas misalnya, dulu diduga sebagai alternatif
termanjur bagi kebahagiaan. Alih-alih mengantar manusia menjadi insan kamil
(manusia sempurna), pada prakteknya ia justru melahirkan berbagai cacat ruhani.
C. Studi Agama melalui Media Internet
Globalisasi yang didukung oleh
jaringan internet ini tidak bisa ditolak lagi ikut mempengaruhi dimensi
keberagamaan umat. Sebuah studi yang juga dilakukan oleh Barna Research Group memperkirakan bahwa dari 100 juta pengguna
perangkat online di Amerika setiap
bulannya, 25 persen dari angka itu memanfaatkan internet untuk “tujuan
keagamaan.”
Di antara tujuan “suci” itu terutama
adalah berkomunikasi melalui e-mail
atau chat rooms tentang ide-ide
keagamaan, keimanan, dan berbagai pengalaman keagamaan. David Card seorang
analis dari Forrester Research and
Jupiter Communications, mengatakan bahwa meninggkatnya rating hit pada situs-situs keagamaan dibanding dengan situs lain
adalah disebabkan oleh peningkatan ketertarikan dan kebutuhan masyarakat
terhadap kontent agama.
Ada beberapa alasan mengapa internet
menjadi jalan yang banyak dipilih oleh para pencari dan penjelajah jejak-jejak
spiritual. Pertama, jadwal kunjungan
di berbagai rumah ibadah seringkali dibatasi oleh waktu dan jumlah antrean
jamaah yang berkunjung. Guru, imam, pendeta, atau pemimpin spiritual, memiliki
ruang dan kesempatan yang limited
untuk bisa diajak bergialog, konsultasi, atau memberikan ceramah. Eksistensi
intertenet yang melampaui (beyond)
natur duniawi- seperti waktu dan ruang- memberikan keleluasaan kepada
penggunanya untuk mengakses dalam kondisi dan situasi apa pun. Singkatnya,
situs-situs keagamaan never turns off
dan memiliki unlimited access. Dia
tidak pernah absen sedetik pun dan selalu bisa dikontak kapan saja.
Kedua, banyak kelompok masyarakat yang merasa terbelenggu
untuk mengekspreesikan fantasi religius dan pengalaman spiritualnya. Salah
satunya adalah para saintis.
Ketiga, orang-orang yang canggung atau sulit hadir di rumah
ibadah guna melakukan perdebatan teologis atau mendapatkan bimbingan ruhani,
internet merupakan alternatif utama. Di internet tidak ada yang perlu ditakuti,
dikeramatkan, atau “disucikan”. Secara fisik, tidak ada golongan yang disebut
minoritas atau mayoritas. Ada sebuah rumah ibadah online di Dallas yang mencatatat sukses luar biasa dalam
menyelenggarakan online services.
Tercatat ada 3.000 kaum gay dan lesbian yang telah menjadi jemaah virtualnya.
Michael Piazza, pastor di gereja itu, mengatakan bahwa internet services membuatnya mampu merengkuh kaum lesbian dan gay
seantero dunia. Satu kelompok manusia yang merasa tidak nyaman (unconfotable) untuk hadir secara ragawi
pada berbagai misa dan kebaktian di gereja. Jelas, lifestyle model “umat Nabi Luth” itu perlu diperdebatkan
keabsahannya.
D. Rumah Ibadah Virtual
Di Era globalisasi ini, seseorang
biasa menghidupkan internet (logged on)
dan kemudian melakukan “ibadah dan doa-doa virtual” sebelum dan sepulang kerja.
Rumah ibadah virtual di internet kini mengalami perkembangan yang cukup pesat home pages gereja, masjid, dan sinagog
dengan kontruksi yang masih sederhana hingga proyek permbangunan “rumah Tuhan”
virtual yang sangat ambisius. Home pages
seperti Beliefnet (www.beliefnet.com), Faith.com,
dan Spirit Channel.com adalah beberapa situs keagamaan yang digarap serius,
didukung oleh kongsi permodalan kuat, serta berharap dapat menarik perhatian
orang secara lintas agama dan bisa melampaui spektrum spiritualitas agama.
Di berbagai rumah ibadah virtual
orang dapat melakukan meditasi secara on
line pada kanal disebut the prayer circle,
atau melakukan diskusi keagamaan, berkonsultasi, berdoa, membaca buku-buku,
melakukan pengakuan dosa, mengikuti seremoni ritus-ritus ibadah, dan bahkan
berbelanja berbagai kebutuhan ibadah. Pengunjung juga bisa mengakses
perpustakaan audio dan video, kemudian mendownload video yang berisi khutbah
dari penulis ternama.
Salem Baptist Church di Chicago (www.sbcoc.org), misalnya mengadakan kebaktian
via internet lima kali dalam seminggu guna mengakomodasi orang-orang yang tidak
dapat hadir secara fisik pada kebaktian di gereja. Situs islamicity.com
menawarkan kepada pengunjung muslim berbagai kemudahan dalam memperoleh
pengetahuan agama.
Seperti dikatakan John Naisbitt dan
Patricia Aburdene, bahwa di zaman era globalisasi ini adalah zaman kejayaan
individu. Prinsip utama abad ini adalah tanggung jawab individu. Individu akan
mencari komunitasnya. Dan setiap orang akan diganjar sesuai dengan
kontribusinya. Teknologi internet semakin mengukuhkan proses kejayaan individu
ini. Dalam hal studi keagamaan, orang menjadi terbebas dari kungkungan
masyarakatnya. Dia bisa memilih agama, spiritualitas, dan komunitas yang sesuai
dengan selera hatinya. Seseorang bisa melakukan baiat atau kesaksian, melakukan
dan mendapatkan bimbingan keruhanian, atau bercengkrama. Fenomena ini akan
mengarah pada sebuah era yang disebut, keberagamaan yang bersifat sangat
personal dan terlepas dari ikatan mazhab-mazhab tertentu.
Barangkali, seperti dikatakan Steven
Waldman (pendiri Beliefnet), internet bisa sangat bermanfaat dalam urusan
spiritual bila ia digunakan sebagai “sandwiched
between meetings,”, sisipan di antara pertemuan/ibadah/kegiatan fisik.
Karena kesibukan yang sangat barangkali seseorang tidak dapat mengikuti acara
semisal spiritual gathering, khalwat, berzikir jamaah. Pada kondisi
itulah internet menjadi alternatif.
E.
Fenomena
Maraknya Paket-Paket Kajian/Kursus/Seminar Keagamaan
Menurut
Keterangan Haidar Bagir, “Sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat, TIMES,
beberapa tahun lalu melaporkan adanya kecendrungan pada masyarakat Amerika
Serikat untuk kembali kepada Tuhan. Majalah itu, berdasarkan hasil polling yang
mereka buat, mengatakan bahwa saat ini lebih banyak orang (AS) yang berdo’a ketimbang “berolah-raga, pergi
ke bioskop, atau pun berhubungan seks.” Kecendrungan akan spiritualisme itu pun
makin lama makin meningkat.
Lebih lanjut ia
menambahkan; memang di samping ditandai oleh derasnya arus informasi dan
dahsyatnya perkembangan teknologi informasi, zaman ini ternyata juga diwarnai
arus baru di tengah masyarakat dunia, yaitu kerinduan pada kesejukan bathin dan
kedamaian jiwa. Mencari kebijakan dan inspirasi tentang inner-self
menjadi trendy belakangan ini.
Fenomena di
dalam negeri pun mengindikasikan hal serupa, terlihat dengan maraknya kegiatan
ritual-ritual keagamaan bermunculan bak jamur di musim hujan yang diminati oleh
banyak masyarakat perkotaan. Sebut saja- Prof. Achmad Mubarok dengan Mubarok
Institute-nya, Aa-Gym dengan manajemen Qalbu-nya, Ari Ginanjar Agustian dengan
ESQ-nya, Arifin Ilham dengan Majelis Dzikir-nya, Jalaluddin Rakhmat dengan
Tazkiyat al-Nafsnya, Haidar Baqir dengan IImannya. Mereka rela datang
jauh-jauh, meluangkan waktunya bahkan tidak sedikit membayar mahal- untuk dapat
menangis bersama, merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap tarikan nafas,
menemukan kembali makna hidup dan jati diri.
Maka muncullah
kegiatan keagamaan yang khas, tempatnya tidak lagi di masjid, tapi pindah di
hotel-hotel berbintang. Bentuknya bukan lagi seperti pengajian, melainkan dalam
forum yang eksklusif dan mengutamakan penyampaian secara dialogis. Penyajiannya
tidak lagi dari kalangan kyai tradisional, melainkan dari kalangan intelektual
yang karena kekayaan metodologinya mampu meracik secara baik antara dimensi
normatif agama dengan isu-isu aktual yang cukup problematik. Pesertanya pun
bukan lagi dari kalangan bersarung, tapi dari kalangan berdasi dengan laptop,
ipad, handphone, ditangan. Disini, kegiatan keagamaan tidak lagi terkesan
murahan dan masif.[15]
Sekarang ini, ada kecendrungan sebagian
orang sudah tidak peduli lagi dari
kultur apa atau wilayah mana sebuah konsep agama bersumber. Orang tidak begitu
peduli produk spiritualitas itu berasal dari tradisi religius mana. Dan tak
pernah ditanyakan lagi nilai otentitas, visi, dan misi, serta target jangka
panjang dari kegiatan keagamaan tersebut. Yang penting bagi mereka, bisa
memperoleh efek langsung dari ajaran tersebut.
F. Studi Islam di
Timur dan Barat di Era Globalisasi
Pendidikan Islam
di Indonesia dihadapkan pada tantangan semakin berkembangnya model-model
pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Dari tingkat
yang paling dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI) hingga perguruan tinggi (UIN, IAIN,
STAIN, PTAI), pencarian yang ideal tentang studi Islam terus dilakukan,
terutama untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam yang adiluhung. Bagaimana
pun harus diakui bahwa model pendidikan Islam di Indonesia masih jauh dari
memuaskan, terutama jika dilihat dari sistem pengelolaan, kualitas kurikulum,
hingga pada kualitas lulusannya.
Yang tak kalah
seriusnya adalah tantangan globalisasi yang memungkinkan sebuah lembaga
pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu yang bertaraf internasional.
Sebagaimana diketahui, orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum
begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang
diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat diakui secara internasional.
Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan memiliki kualifikasi
internasional, tidak lepas dari pandangan tentang studi Islam, yang selama ini
diperdebatkan antara studi Islam di Timur dan Barat.[16]
Secara garis
besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam di Barat; teologis dan
sejarah agama-agama. Pendekatan kajian teologis, yang bersumber dari tradisi
dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif mengenai
agama-agama. Karena itu, kajian-kajian diukur dari kesesuaiannya dengan dan
manfaatnya bagi keimanan. Tetapi dengan terjadinya marjinalisasi agama dalam
masyarakat Eropa atau Barat pada umumnya, kajian teologis yang normatif ini
semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama.[17]
Sedangkan
pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman tentang fenomena
historis dan empiris sebagai manifestasi dan pengalaman masyarakat-masyarakat
agama. Penggambaran dan analisis dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau
kurang mempertimbangkan klaim-klaim keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati
para pemeluk agama itu sendiri. Dan, sesuai dengan perkembangan keilmuwan di
Barat yang sejak abad ke-19 semakin fenomenologis dan positivis, maka
pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian
agama, termasuk Islam di Barat.[18]
Dalam konteks
inilah, pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai "tradisi
keagamaan yang hidup", yang historis, ketimbang "kumpulan tatanan
doktrin" yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits, menemukan momentumnya
yang kuat dalam pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar
dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi ini tentu saja pertama kali tumbuh di
Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B.
Macdonald (1863-1943) dan H.A. R. Gibb.[19]
Keduanya
memperingatkan "bahaya" mengkaji hanya "Islam normatif",
sebagaimana dirumuskan para ulama, dengan mengabaikan Islam yang hidup di
tengah-tengah masyarakat umum. Gagasan ini mendapatkan lahan yang subur di
universitas-universitas Amerika. Dan, sejak 1950-an sejumlah universitas mulai
mengembangkan pusat-pusat "studi kawasan" (area studies)
Islam, yang pada dasarnya mencakup berbagai disiplin yang berbeda, tetapi
memperoleh pendidikan khusus dalam bahasa-bahasa, kebudayaan dan masyarakat
Muslim di wilayah tertentu.[20]
Dengan kata
lain, studi Islam di Barat melihat Islam sebagai doktrin dan peradaban, dan
bukan sebagai agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum Muslimin
melihatnya, tetap merupakan ciri yang tak mungkin dihapus. Oleh karena Islam
diletakkan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah, maka Islam diperlakukan sama
sebagaimana obek-obyek studi ilmiah lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan
terbuka. Hal ini dapat dimengerti karena apa yang mereka kehendaki adalah
pemahaman, dan bukannya usaha mendukung Islam sebagai sebuah agama dan jalan
hidup. Penempatan Islam sebagai obyek studi semacam ini, memungkinkan lahirnya
pemahaman yang murni "ilmiah" tanpa komitmen apa pun terhadap Islam.
Penggunaan berbagai metode ilmiah mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu
sosial dan kemanusiaan, memungkinkan lahirnya karya-karya studi Islam yang dari
segi ilmiah cukup mengagumkan, walaupun bukan tanpa cacat sama sekali.[21]
Studi Islam era
globalisasi di Barat, yang berusaha keras menampilkan citra yang lebih adil dan
penuh penghargaan terhadap Islam sebagai agama dan peradaban, dengan
mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang lebih canggih dalam ilmu-ilmu
sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang dipelopori oleh sarjan-sarjana
Muslim sendiri. Ini nampaknya menarik banyak perhatian dari generasi baru
pengkaji Islam negeri ini. Departemen Agama bahkan memberikan dorongan lebih
besar kepada dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi tingkat pascasarjana ke
Barat, sambil juga tetap meneruskan tradisi pengiriman dosen-dosennya ke Timur
Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya seperti Turki dan Asia Selatan.[22]
Sementara di
tempat lain, studi Islam di Timur Tengah sangat menekankan pendekatan normatif
dan ideologis terhadap Islam. Kajian Islam di Timur bertitik tolak dari
penerimaan terhadap Islam sebagai agama wahyu yang bersifat transenden. Islam
tidaklah dijadikan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa
ditundukkan pada prinsip-prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi
diletakkan secara terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai doktrin yang
kebenarannya diyakini tanpa keraguan. Dengan demikian, sikap ilmiah yang
terbentuk adalah komitmen dan penghargaan. Usaha-usaha studi ilmiah ditujukan
untuk memperluas pemahaman, memperdalam keyakinan dan menarik maslahatnya bagi
kepentingan umat.
Orentasi studi
di Timur lebih menekankan pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang cenderung
normatif. Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan tradisi dan
menjamin stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai batas-batas
tertentu, menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya penghafalan daripada
mengembangkan kritisisme. Meskipun
kecenderungan ini tidak dominan, namun pengaruh kebangkitan fundamentalisme di
Timur Tengah telah mempengaruhi orientasi pendidikannya yang lebih normatif.
Dua orientasi
studi Islam yang dikembangkan di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI), masih dijalankan sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Namun demikian,
jika dilihat dari perkembangan yang terjadi di UIN, IAIN, dan STAIN menunjukkan
kecenderungan orientasi studi ke Barat. Hal ini dapat dilihat dari semakin
besarnya jumlah mahasiswa yang dikirim ke universitas-universitas Barat,
semacam McGill University, Leiden University, Ohio Institute, dll. Pasca
generasi Harun Nasution dan Mukti Ali menunjukkan meningkatnya gelombang
pengiriman mahasiswa ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Jerman,
dan Perancis.
Tak heran jika
dekade 80-an dan 90-an terjadi perubahan besar dalam paradigma Islam di
kampus-kampus agama (PTAI). Kecenderungan pertama, terjadinya pergeseran
dari kajian-kajian Islam yang lebih bersifat normatif kepada yang lebih
historis, sosiologis, dan empiris. Pendekatan normatif dalam kajian Islam
menghasilkan pandangan serba idealistik terhadap Islam, yang pada gilirannya
membuat kaum Muslimin melupakan atau meniscayakan realitas dan, karena itu,
sering mengakibatkan mereka terjebak dalam "kepuasan batin" yang
semu. Sebaliknya pendekatan historis dan sosiologis membuka mata mahasiswa di
lingkungan PTAI tentang realitas-realitas yang dihadapi Islam dan kaum Muslimin
dalam perkembanagn dan perubahan masyarakat.
Kecenderungan kedua,
orientasi keilmuwan yang lebih luas. Jika pada masa sebelumnya orientasi
keilmuwan cenderung ke Timur Tengah, khususnya Universitas Al-Azhar, dalam dua
dasawarsa terakhir kelihatan semakin luas dan beragam. Dalam konteks ini, model
pendekatan Barat terhadap Islam mulai banyak bermunculan; yang pada pokoknya
cenderung lebih bersifat historis dan sosiologis. Pendekatan seperti ini mulai
menemukan momentumnya dengan kembalinya sejumlah tamatan universitas Barat
untuk mengajar di UIN, IAIN, STAIN, dll. Mereka kembali secara bergelombang,
dimulai dengan generasi Mukti Ali dan Harun Nasution dan kemudian disusul
kelompok tamatan McGill University. Gelombag selanjutnya adalah mereka yang
dikirim belajar ke beberapa universitas Amerika pada masa Menteri Agama,
Munawir Sjadzali.
Kendatipun
orientasi studi Islam di Indonesia lebih cenderung ke Barat, studi di Timur
Tengah tetap memiliki nilai penting, terutama dalam memahami aspek doktrinal,
yang menjadi basis ilmu pengetahuan dalam Islam. Dengan demikian, orientasi
studi islam di Timur dan Barat tetap signifikan dalam rangka pengembangan
pendidikan Islam di lingkungan PTAI seluruh Indonesia.
G. Pola Pendekatan Studi Keagamaan di Era
Globalisasi
Mengingat
perubahan pola pikir manusia era globalisasi dan semakin transfarannya
sekat-sekat agama dan budaya, menurut hemat penulis, sudah tiba saatnya umat
beragama mengembangkan dan memekarkan dua bentuk pendekatana dan pemahaman terhadap
keberamaan manusia yaitu pendekatan yang bersifat imani (believer) dan sekaligus pendekatan historis atau scientific.[23]
M.
Arkoun menyebutkan kedua pendekatan ini dengan istilah pendekatan taqlidiyyah-taifiyyah dan pendekatan tarikhiyyah-‘ilmiyah.[24]
Pendekatan taqlidiyyah-taifiyyah
lebih bersifat apriori, sarat dengan truth
claim sehingga bercorak eksklusif dan lebih menekankan finalitas dan
pemutlakan suatu ajaran agama. Sedangkan pendekatan tarikhiyyah-‘ilmiyyah lebih bersifat aposteriori, empiris, dan open ended, dialogis toleran tanpa
meninggalkan normativitas ajaran agama yang dipeluknya sendiri.
Untuk era
globalisasi budaya seperti saat sekarang ini, pendekatan keagamaan yang hanya
terbatas pada dimensi “keimanan” tanpa melibatkan dialog pemikiran yang
bersifat historis, terbuka, egaliter, dan demokratis, agaknya akan membentuk
pola pikir yang bersifat eksklusif, yang hanya berlaku dalam wilayah lingkungan
intern yang amat terbatas. Pola pikir yang bersifat partikularistik demikian
akan mengalami kesulitan jika berhadapan dengan wilayah atau masyarakat di luar
lingkungan sendiri. Pola pikir demikian kurang dapat mengapresiasi golongan
lain di luar wilayah intern mereka.[25]
Sebaliknya,
pendekatan keagamaan yang melulu bersifat scientific-ilmiyyah,
juga bukannya tidak mengandung resiko. Pendekatan ilmiah yang hanya melihat
agama sebagai fenomena sosial belaka kurang dapat menghayati dimensi kedalaman
penghayatan agama yang dimiliki oleh setiap manusia beragama. Pendekatan ilmiah
terhadap fenomena sosial yang tidak memedulikan dimensi keagamaan (al-bu’du al-dini) memang akan kering
dari nilai-nilai spiritualitas.[26]
BAB III
KESIMPULAN
Di era
globalisasi ini, kehidupan keagamaan memperlihatkan grafik yang menanjak.
Paling tidak gejala ini dapat dilihat dari banyaknya perkumpulan agama dan
berbagai macam aktivitas di dalamnya. Sejalan dengan itu, agama kemudian
menjadi bagian pembentuk simbol dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat.
Perkembangan semacam ini oleh para pengamat dipandang sebagai kebangkitan agama
seperti dikemukakan oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam bukunya,
‘Megatrend 2000.’
Betulkah
sekarang terjadi kebangkitan agama? Seperti apakah wujud kebangkitan agama itu?
Jawaban pertanyaan ini akan beragama karena artikulasi keberagamaan sangat
beragam sifatnya. Sehingga bisa jadi, adanya kesimpulan bahwa sekarang terjadi
kebangkitan agama, karena didasarkan pada aspek tertentu dan melupakan aspek
lainnya. Karena itu sampai saat ini terdapat perbedaaan dari kalangan peminat
studi agama mengenai kebangkitan agama itu. Ada sementara pihak yang melihat
adanya kebangkitan itu karena dipadang dari aspek simbol dan ritus kehidupan
keagamaan yang nampak marak. Akan tetapi kesimpulan ini ditolak oleh yang
lainnya, karena simbol dan ritus dalam agama bukan hal yang esensial. Lebih
dari sekedar peristiwa simbolik, pihak ini lebih menekankan pada fungsi agama
sebagai landasan etik, moral, dan spiritual dengan manusia dapat menemukan
suatu sistem makna dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Adanya dua
pandangan di atas tidak perlu dipertentangkan, karena yang satu dengan yang
lainnya bersifat melengkapi. Jika pandangan yang pertama lebih banyak
menekankan pada tataran esoterik agama. Sedangkan pandangan yang kedua lebih
menekankan pada tataran esoteris agama. Karena keduanya menjadi tolok ukur
kesempurnaan dalam beragama, maka salah satu di antara keduanya tidak bisa
ditinggalkan. Antara keduanya, ditegaskan oleh Komaruddin Hidayat dan Muhammad
Wahyuni Nafis, seperti dua sisi dari satu mata uang logam, jika salah satunya
hilang, maka uang tersebut tidak berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung:
Mizan, Cet. I, 2000
Arkoun, Mohammed, al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad, perj. Hashim Shalih, London:
Dar al-Saaqi
Arifin, Syamsul, Merambah
Jalan Baru Dalam Beragama: Rekonstruksi Kearifan Perenial Agama Dalam
Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa, Yogyakarta: Ittaqa Press, Cet, I.
2000
Azra, Azyumardi, Pendidikan
Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 2000
Barbour, Ian G., Issues in Science and Religion, New York: Harper Torch Book
Harper and Row Publisher, 1966
Burhani, Ahmad Najib, Sufisme Kota; berpikir Jernih Menemukan Spiritualitas Positif,
Jakarta: Serambi, 2001
Mahendra, Yusril Ihza, Studi Islam di Timur dan
Barat dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia, dalam Jurnal
Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun 1994
Hidayat Komaruddin, dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat
Perennial, Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1995
Siradj, Sa’id Aqiel, “Khazanah Pemikiran Islam dan Peradaban Modern,” Pesantren Masa
Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1999
Sirry, Mun’im, Respons Agama terhadap
Globalisasi,
Kompas, tanggal, 17 Januari, 2003
Zada,
Khamami, “Orientasi Studi Islam di
Indonesia Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan PTAI”,
Istiqro: Jurnal Penelitian Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
RI, Vol, VI/No. 02/2003, Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia, 2003
[1] Menurut
David Held dan Anthony Mc Grew, tidak ada definisi globalisasi yang tepat yang
di sepakati bersama. Globalisasi dapat di pahami dalam pemahaman yang beragam
sebagai kedekatan jarak, ruangan waktu yang menyempit, pengaruh yang
cepat, dan dunia yang menyempit, perbedaanya hanya terletak pada penekanan dari
sudut pandang material, ruangan dan waktu, serta aspek-aspek kognitif
dari globalisasi, dari sudut peristilahan kata globalisaasi sebenarnya
masih mengalami problem karena realitas serta subyektifitas pemakaian
kata tersebut, namun globalisasi secara sederhana dapat di tunjukkan dalam
bentuk perluasan skala, pengembangan wilayah, dan percepatan pengaruh dari arus
dan pola-pola inter-regional dalam interaksi sosial. Lihat, Abuddin Nata, “Kapita Selekta Pendidikan
Islam”, (Bandung: Angkasa, 2003), hal.183
[2] Abdul Mujib, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,
http://kawasan-islam.blogspot.com/
[5] Ibid.
[7] Lihat, Komaruddin
Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama
Masa Depan; Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, Cet. I,
1995), hal. 114
[8] Ibid.
[10] Sa’id
Aqiel Siradj, “Khazanah Pemikiran Islam
dan Peradaban Modern,” Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 27
[12] Ibid., hal. 29
[13] Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota; berpikir Jernih Menemukan
Spiritualitas Positif, (Jakarta: Serambi, 2001), hal. 63
[14] Ibid., hal. 64
[15] Syamsul Arifin, Merambah Jalan Baru Dalam Beragama:
Rekonstruksi Kearifan Perenial Agama Dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa,
(Yogyakarta: Ittaqa Press, Cet, I. 2000), hal. 27-28
[16]Khamami
Zada, “Orientasi Studi Islam di Indonesia
Mengenal Pendidikan Kelas Internasional di Lingkungan PTAI”, Istiqro: Jurnal
Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Islam, Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Vol, VI/No. O2/2003, (Jakarta: Departemen
Agama Republik Indonesia, 2003), hal. 1.
[17]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), hal. 229-230.
[18] Ibid.
[21] Yusril
Ihza Mahendra, Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap
Pemikiran Islam Indonesia, dalam Jurnal Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun
1994, hlm. 14.
[22] Ibid., hal. 17.
[23] Ian
G. Barbour, Issues in Science and
Religion, (New York: Harper Torch Book Harper and Row Publisher, 1966),
hal. 129. Lihat juga, M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan atas
Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, Cet. I, 2000), hal. 116.
[24]Mohammed Arkoun, al-Fikr al-Islamy: Naqd wa Ijtihad,
perj. Hashim Shalih, (London: Dar al-Saaqi), hal. 293-294.
[25] M.
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural;
Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung: Mizan, Cet. I, 2000),
hal. 116-117.
[26] Ibid.
Post a Comment