BAB I
PENDAHULUAN
“Wahai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaknya setiap pribadi memperhatikan
apa yang yang ia persiapkan untuk hari esok. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Tahu segala sesuatu yang kamu kerjakan.”
(QS. al-Hasyr [59]: 18
Ketika Napoleon Bonaparte
menyerbu dan mengalahkan Mesir, umat Islam seluruh dunia mengalami shock luar biasa, karena selama ini
mereka berpikir bahwa tidak suatu golongan manusia pun yang lebih unggul dan
sanggup mengalahkan mereka. Selama berabad-abad orang-orang Muslim betul-betul
memahami secara taken for granted
adagium dalam bahasa Arab, “al-Islam
ya’lu wa la yu’la alayhi” (Islam adalah unggul, dan tak terungguli oleh
yang lain).[1]
Sikap mereka itu tentunya bisa
dipahami, karena memang dapat dikatakan bahwa Islam memegang supremasi dunia
sejak agama itu tampil ke muka bumi sampai munculnya zaman modern. Sejarah
ditandai oleh berbagai variasi jatuh bangun dan naik-turun kekuatan politik
kaum Muslim. Namun supremasi mereka atas golongan non-Muslim di semua bidang,
termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetap bertahan bahkan dalam
masa-masa titik paling rendah kekuatan politik dan militer mereka.
Gambaran tentang sikap
orang-orang Muslim saat itu yang cenderung memandang rendah “orang-orang Utara”
(Eropa) dapat diperoleh dari kutipan pandangan Sha’id al-Andalusi, seorang
sarjana Muslim Spanyol. Dalam bukunya Thabaqat
al-Umam (Tingkat-tingkat Bangsa-bangsa), tentang orang-orang Eropa itu,
Shaid mengatakan demikiran;
...Adapun selain kategori bangsa-bangsa ini yang tidak pernah mengembangkan
ilmu pengetahuan, mereka itu lebih mirip hewan daripada manusia. Di antara
mereka yang hidup jauh di Utara- yaitu antara iklim ketujuh dan batas-batas
dunia yang bisa dihuni manusia- begitu besar terpengaruh oleh jarak matahari
yang amat jauh dari azimut di atas kepala mereka, yang menghasilkan iklim
dingin dan udara yang pekat, sehingga watak mereka itu menjadi dingin dan
jasmani mereka menjadi kasar. Akibatnya, badan mereka menjadi besar-besar,
warna kulit mereka pucat dan rambut mereka panjang (berewok). Dikarenakan hal
yang sama, mereka kurang tajam dalam kecerdasan dan daya paham, serta
bercirikan kebodohan dan kedunguan. Kebodohan dan kebutaan mental juga sangat
umum terdapat pada bangsa-bangsa Slavia, Bulgaria, dan bangsa-bangsa
sekitarnya.[2]
Selain Shaid, masih banyak
lagi sarjana Muslim klasik, termasuk Ibn Khaldun, yang membuat catatan dengan
nada merendahkan bangsa-bangsa Barat. Dan salah satu sebab mengapa penguasa
Muslim Spanyol tidak pernah dengan sungguh-sungguh mencoba lagi menyeberangi
pegunungan Pyrene untuk “menaklukan”
Perancis ialah karena persepsi tadi. Bahwa daerah-daerah di sebelah utara itu
terlalu dingin dan tidak cocok lagi untuk mengembangkan peradaban. Dan
manusianya, seperti kata Sha’id terlalu kasar dan bodoh.
Tetapi keadaan berubah total
setelah munculnya zaman modern oleh revolusi industri di Inggris dan revolusi
sosial politik di Perancis pada paruh kedua abad ke-18 itu. Masyarakat manusia
tidak lagi diatur oleh pola-pola Gelombang 1 (First Wave, istilah Alvin Toffler) yang telah dirintis oleh bangsa
Sumeria di lembah Mesopotamia 5000 tahun yang lalu, yaitu pola-pola
kemasyarakatan berdasarkan hubungan ekonomi agraris. Peradaban Islam adalah suatu kelanjutan pola masyarakat
Sumeria itu. Maka dalam hakikatnya yang paling mendasar, peradaban islam kuna
itu adalah peradaban agraris. Akan tetapi, menurut Mashall Hodgson, peradaban
Islam bersifat agraris tidak dalam arti hanya sekadar kelanjutan peradaban
Sumeria. Peradaban Islam adalah puncak perkembangan peradaban Sumeria, dengan
cari perkotaan yang sangat menonjol.
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah peradaban Islam
mencapai puncaknya, kemudian mengalami kemunduran- bagaikan rembulan yang telah
menjadi purnama, maka malam-malam berikutnya cahayanya perlahan-lahan redup dan
hilang ditelan keremangan malam yang pekat. Sedangkan sebab-sebab kehancuran
dunia Islam itu antara lain;
A. Menurunnya Kreativitas
Keilmuan Umat Islam
Pemikiran rasional dipengaruhi
oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti terdapat dalam
al-Qur’an dan hadits. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari
Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat
peradaban Yunani di dunia Islam zaman klasik, seperti Aleksandria (Mesir),
Jundisyapur (Irak), Antakia (Syria) dan Bactra (Persia). Di sana memang telah
berkembang pemikiran rasional Yunani.
Pertemuan Islam dan peradaban
Yunani pada masa awal Islam- melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama
Islam zaman klasik. Tapi, perlu ditegaskan di sini bahwa ada perbedaan antara
pemikiran rasional Yunani dan pemikiran rasional Islam zaman klasik. Di Yunani
tidak dikenal agama Samawi, maka pemikiran bebas, tanpa terikat pada
ajaran-ajaran agama, tumbuh, dan berkembang. Sementara pada masa Islam klasik
pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana
yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. [3]
Oleh karena itu, kalau di
Yunani berkembang pemikiran rasional yang sekular, maka dalam Islam zaman klasik
berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran ulama filsafat dan ulama
sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat
pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut. Dengan
demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan
penemuan-penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur’an dan
hadits. Filsafat dan sains berkembang dengan pesat di dunia Islam zaman klasik
ini- di samping ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadits, akidah, ibadah,
muamalah, tasawuf, dan sebagainya. Perkembangan yang pesat ini bukan hanya di
dunia Islam bagian timur yang berpusat di Baghdad, tetapi juga di dunia Islam
bagian Barat, yakni Andalusia (Spanyol Islam) dengan kedua kotanya; Cordoba dan
Sevilla.[4]
Di zaman Islam klasik, Eropa
sedang berada pada zaman pertengahan yang terbelakang. Tidak mengherankan kalau
orang-orang Eropa dari Italia, Prancis, Inggris, dan lain-lain, berdatangan ke
Andalusia untuk mempelajari sains dan filsafat yang berkembang dalam Islam.
Kemudian mereka pulang ke tempat masing-masing membawa ilmu-ilmu yang mereka
peroleh itu. Buku-buku ilmiah Islam mereka terjemahkan ke dalam bahasa latin.
Melalui mereka pemikiran
rasional Islam yang agamis itu beserta sains dan filsafatnya dibawa ke Eropa,
tetapi di sana menghadapi tantangan dari Gereja. Pertentangan itu membuat ulama
sains dan filsafat di Eropa melepaskan diri dari Gereja dan pemikiran rasional
di sana berkembang terlepas dari ikatan agama. Pemikiran rasional di Eropa pada
zaman Renaisans dan zaman Modern kembali menjadi sekular seperti di zaman
Yunani sebelumnnya. Pemikiran rasional sekular itu membawa kemajuan pesat dalam
bidang filsafat, sains, dan teknologi di Eropa sebagaimana yang kita saksikan
sekarang ini.
Ketika pemikiran rasional
Islam pindah ke Eropa dan berkembang di sana, di dunia Islam zaman pertengahan
berkembang pemikiran tradisional, menggantikan pemikiran rasional tersebut.
Dalam pemikiran tradisional ini, para ulama bukan hanya terikat pada al-Qur’an
dan hadits, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama zaman klasik yang amat
banyak jumlahnya. Oleh karena itu, ruang lingkup pemikiran ulama zaman
pertengahan sangat sempit. Mereka tidak punya kebebasan berpikir. Akibatnya
sains dan filsafat, bahkan juga ilmu-ilmu agama, tidak berkembang di dunia
Islam zaman pertengahan. Filsafat dan sains malahan hilang dari peredaran. Ini
bertentangan sekali dengan keadaan di Eropa zaman modern di mana, seperti telah
disinggung di atas, filsafat dan sains amat pesat berkembang dan jauh melampaui
capaian dunia Islam.[5]
Sementara itu, pendidikan dan
pengajaran Islam pada masa itu- hanya berkutat pada materi-materi keagamaan.[6]
Lembaga-lembaga keagamaan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk
ilmu pengetahuan. Rasionalisme pun kehilangan peranannya, dalam arti semakin
dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional,
daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis,
penelitian, dan ijtihad tidak lagi dikembangkan. Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya
intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti
pemikiran-pemikiran ulama terdahulu daripada berusaha melakukan
penemuan-penemuan baru. Keterpesonaan terhadap buah pikiran masa lampau,
membuat umat Islam merasa cukup dengan apa yang sudah ada. Mereka tidak mau
berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan-gagasan keagamaan yang
cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan
memudahkan pembaca untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan
kalimat-kalimat secara semantik; atau menambah penjelasan dengan mengutip
ucapan-ucapan para ulama lain.[7]
Ketika umat Islam Timur Tengah
menjalin kontak dengan Barat pada abad kedelapan belas Masehi- mereka amat
terkejut melihat kemajuan Eropa. Mereka tidak menyangka bahwa Eropa yang
belajar dari mereka pada abad kedua belas dan abad ketiga belas telah begitu
maju, bahkan mengalahkan mereka dalam peperangan-peperangan seperti yang
terjadi anatara Kerajaan Turki ‘Utsmani dan Eropa Timur.
Hal ini membuat ulama-ulama
abad kesembilan belas merenungkan apa yang perlu dilakukan umat Islam untuk
mencapai kemajuan kembali sebagaimana umat Islam zaman klasik dulu. Maka
lahirlah pembaruan Islam di Mesir seperti al-Thatthawi, Muhammad Abduh, dan
Jamaluddin al-Afghani; di Turki dengan tokoh-tokohnya seperti Mehmet Sedik
Rifat, Nemik Kamal. Di India seperti Ahmad Khan, Ameer Ali, dan Muhammad Iqbal.
Semua pembaharu ini berpendapat bahwa untuk mengejar ketinggalan itu umat Islam
harus menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis zaman klasik Islam dengan
perhatian yang besar pada sains dan teknologi.
B. Kesatuan Integral;
antara Agama dan Negara dalam Islam
Islam tidak memisahkan antara
agama dan negara. Sebagaimana al-Qur’an membicarakan tentang Allah dan
keesaannya, surga dan neraka, pahala dan dosa, juga menetapkan puasa dan
shalat, serta menganjurkan umat Islam untuk berakhlak mulia. Ajaran Islam juga
mensyariatkan tentang undang-undang jual beli, ijarah, hudud, hukum waris, masalah
peperangan, problem solving rumah tangga, dan lain-lain.[8]
Ketidakterpisahan itu,
tergambar jelas pada keseharian Rasulullah, selain menjadi pemimpin umat,
beliau juga memimpin pasukan, membuat perjanjian, melakukan pengiriman delegasi-delegasi
negaranya ke wilayah lain. Demikian juga yang dilakukan oleh para khalifah
sesudah beliau.[9]
Oleh karena itu, sulit
diterima akal sehat- kalau ada yang mengemukakan, bahwa ajaran agama adalah
salah satu unsur penyebab kemunduran umat Islam. Padahal sebaliknya- justru
agama sebagai faktor utama yang membuat perkembangan dan kemajuan peradaban
Islam. Karena ajaran agama- menganjurkan umatnya untuk bekerja keras- agar
meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.[10]
Hal senada juga dikemukakan
Maududi, bahwa pentingnya menjadikan Islam sebagai ideologi holistik. Dia
mencela tradisi Islam dan institusi-institusi tradisional yang mencoba
memisahkan agama dengan politik. Baginya,
agama dan politik (negara) merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan
merupakan komponen yang menyatu dengan kebenaran Islam. Oleh karena itu, upaya
memaksimalkan da’wah Islamiyah harus ditujukan pada sasaran utamanya yaitu
mendirikan negara Islam.[11]
Hanya negara Islamlah yang
mampu mengatasi berbagai macam problematika yang dihadapi umat Islam saat ini. Pandangan
Maududi yang cukup radikal ini merupakan sintesa harmonis dan sinergis dalam
rangka memetakan da’wah dan politik dalam satu wilayah yang tidak dapat
dipisahkan sama sekali.[12]
C. Islam Agama yang
Sesuai dalam setiap Zaman dan Tempat
Dalam ajaran Islam ada adagium
yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang selalu sesuai dalam setiap zaman
dan tempat. Tetapi dalam prakteknya ada yang beranggapan- bahwa ajaran Islam
itu tidak mungkin di praktekkan umat Islam selalu sesuai dengan zaman dan
tempat di mana mereka hidup.
Padahal, sebagaimana yang
dikemukakan ulama, bahwasanya ajaran tauhid dan akhlak yang baik adalah mutlak-
dan tentu termasuk keberadaan akal yang sehat- karena sangat berguna bagi umat
manusia. Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa agama Islam adalah agama yang
diperuntukkan bagi kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat.[13]
Oleh karena itu, Islam sangat
menghargai posisi akal dan mengajak umat manusia untuk mempergunakannya sebaik
mungkin. Seperti yang disinyalir Allah Swt, dalam al-Qur’an Surat, Yasiin [36]:
68, sebagai berikut;
“Dan Barangsiapa yang Kami
panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan Dia kepada kejadian(nya). Maka
Apakah mereka tidak memikirkan?,” (QS. Yasiin [36]: 68).
Al-Qura’an Surah, Arrum [30]:
28, sebagai berikut;
“Dia membuat perumpamaan untuk
kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh
tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan
kepadamu; Maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu,
kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri?
Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.” (QS. Arrum [30]:
28).
Sebagaimana yang sudah
dijelaskan sebelumnya- bahwa ajaran Islam diturunkan ke muka bumi untuk
kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat. Hal itu ditandai dengan
pembahasan ajaran Islam yang menyentuh seluruh ranah aspek kemanusiaan umat
manusia. Diantaranya membahas hal-hal yang berkenaan dengan spiritual, civilization, konsep ketuhanan, kredo
tentang surga, neraka, dan hari kebangkitan. Dalam urusan muamalah, misalnya
membahas tentang jual beli, penggadaian, problem
solving rumah tangga, harta warisan, dan lain-lain.[14]
Tentunya, apabila peran akal
sangat kurang dalam memahami dan menyelesaikan masalah-masalah diatas- pasti
akan berdampak pada penyelesaian masalah tersebut yang tidak akan behasil
dengan baik. Oleh karena itu, peran akal dalam menyelesaikan suatu persoalan
sangat mendasar- agar pengetahuan yang dihasilkan bermanfaat dan tidak berujung
pada kerusakan.[15]
Tidaklah berlebihan kalau Ahmad
Syalabi menyatakan bahwa- akal dan wahyu sama sekali tidak bertentangan.
Apabila terkesan terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Hal itu lebih
disebabkan karena keterbatasan dan kelemahan akal dalam menafsikran ajaran suci
wahyu. Oleh karena itu, suatu masalah yang dijelaskan wahyu- sudah bisa
dipastikan, pasti menyuarakan kebenaran. Seperti perumpamaan mengenai hak waris
suami terhadap isteri dan sebaliknya, kemudian berdasarkan pertimbangan akal
tidak menerima ketentuan tersebut, karena pembagiaannya dianggap tidak adil.
Maka sudah barang tentu- yang harus diikuti adalah wahyu. Karena hal ini
menunjukkan kelemahan akal yang tidak mampu mengambil hikmah terdalam dari apa
yang disyariatkan Islam.[16]
D. Hancurnya ketahanan
moral umat Islam
Hancurnya ketahanan moral umat
Islam, lebih disebabkan- karena umat Islam dihinggapi “penyakit” wahn (hubbundunya wa karahiyatul mauwt). Umat Islam dilanda sikap hidup
berfoya-foya, korup, dan tidak dekat lagi dengan kehidupan para mustadh’afin
dan nasib yang menimpa para dhu’afa. Ibnu khaldun mengemukakan, “Kemewahan itu
merupakan pertanda bahwa peradaban suatu bangsa yang dibangun akan mengalami
kehancuran.[17]
Musuh-musuh Islam melihat
dengan jelas kerusakan dalam masyarakat Muslim. Dalam kaitan dengan runtuhnya
Daulah Abbasiyah- duta dari Mongol, Hulaghu Khan, menggunakan argumen kaum
Muslimin, yang didukung oleh referensi dari al-Qur’an Suci, untuk membenarkan
tindakan mereka. Hulaghu Khan menulis surat, “Doa-doa melawan kami tidak akan
di dengar karena kalian telah memakan yang diharamkan dan kata-kata kalian
kotor, kalian mengingkari sumpah dan janji, dan ketidakpatuhan dan perpecahan
terjadi di antara kalian. Diingatkan bahwa kelompok kalian akan malu dan
dihina. “Hari ini kamu diberi azab yang menghinakan karena kamu berlaku sombong
di muka bumi tanpa kebenaran dan karena kamu telah fasik’ (QS, al-Ahqaf [46]:
20. “Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka
akan kembali.” (QS, asy-Syu’ara [26]: 227). Hulaghu Khan memperkirakan dengan
tepat, “Kalian akan menderita malapetaka di tangan kami, dan tanah-tanah kalian
akan kosong dari kalian.”[18]
Hal yang penting bahwa banyak
cendekiawan Muslim masa itu yang menentang penguasa Baghdad, bahkan bergabung
dengan bangsa Mongol. Khawaja Nashiruddin Thusi, salah seorang cendekiawan
Syi’ah termasyhur (1201-1274) dan dihormati oleh Imam Khomeini, juga bergabung
dengan penakluk dari Mongol, Hulaghu, ketika dia melewati Iran dalam
perjalanannya ke Baghdad. Ini menimbulkan tuduhan keterlibatan dalam
penaklukan.[19]
E. Berkembangnya Sikap
hidup Fatalistis
Berkembangnya sikap hidup fatalis
umat Islam- yang bergantung dan mengembalikan segala keuntungan dan penderitaan
kepada Tuhan. Sikap hidup yang fatalis ini ditandai dengan tidak lagi percaya
kepada kemampuannya untuk maju atau mengatasi problem keagamaan dan
kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Oleh karena itu, mereka masuk
ke tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh dalam hidup umat Islam.
Dengan berdzikir dan berdoa sebanyak-banyaknya mereka berharap semoga Allah
menghapus penderitaan mereka dan mengembalikan kejayaan yang pernah dicapai
umat Islam. Berpikir ilmiah dan pengembangan sains kurang mendapat perhatian.
Karena itulah, berkembang tahayyul dan khurafat. Mereka percaya pada kekuatan syeikh-syeikh dan
benda-benda keramat, sebagaimana yang telah digambarkan oleh Ahmad Amin
mengutip dari Muhammad bin Abd al-Wahhab:
...Para wali itu didatangi dan dijadikan tempat bernazar. Banyak orang
Islam yang percaya bahwa wali-wali itu mampu mendatangkan kebaikan dan bahaya.
Kuburan-kuburan tidak terbilang jumlahnya yang dibangun di seluruh daerah
Islam. Orang-orang datang ke sana, meminta berkah, merendahkan diri
dihadapan-nya, dan meminta untuk mendapatkan kebaikan dan dijauhkan dari
kesulitan. Di setiap tempat terdapat satu atau beberapa wali...[20]
F.
Sikap Hidup Umat Islam yang kurang Toleran
Sikap-sikap tidak toleran dan
fanatik kepada madzhab atau golongan sendiri itulah yang menyebabkan umat Islam
mundur. Tidak saja karena sikap-sikap itu menyedot energi masyarakat, tapi juga
memalingkan perhatian orang dari hal-hal yang lebih mendasar dan menentukan
perkembangan dan kemajuan peradaban. Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, seorang
tokoh pemikir Islam Zaman Modern dari Mesir (murid dan teman Syeikh Muhammad
‘Abduh), dalam mukaddimahnya untuk penerbitan kitab al-Mughni (oleh Ibn
Qudamah) menggambarkan sikap-sikap tidak toleran itu demikian:
Mereka yang fanatik kepada madzhab itu mengingkari bahwa perbedaan adalah
rahmat, semuanya bersikeras dalam sikap pastinya bertaqlid kepada madzhabnya, dan
mengharamkan para penganutnya untuk mengikuti yang lain sekalipun untuk suatu
keperluan yang membawa kebaikan. Sikap saling menjatuhkan satu sama lain sudah
dikenal dalam buku-buku sejarah dan buku-buku lain, sehingga dapat terjadi
bahwa sebagian orang Islam, jika mereka dapati penduduk suatu negeri bersikap
fanatik kepada madzhab selain madzhab mereka sendiri, mereka pandang penduduk
negeri itu bagaikan memandang onta yang penyakitan.[21]
Rasyid Ridla juga menceritakan bahwa pada zaman
Modern ini, di akhir abad ketigabelas Hijriah, di Tripoli, Syria, dan beberapa
tokoh madzhab Syafi’i mendatangi mufti- dan dia adalah pembesar ulama di sana-
agar ia membagi masjid setempat menjadi dua antara mereka dan para penganut
madzhab Hanafi. Alasannya, tokoh tertentu dalam madzhab Hanafi itu memandang
para penganut madzhab Syafi’i seperti ahl
al-dzimmah (non-Muslim yang harus dilindungi) berdasarkan pendapat yang
saat-saat itu menyebar luas bahwa seorang penganut madzhab Hanafi tidak
dibenarkan nikah dengan seorang penganut madzhab Syafi’i. Para penganut madzhab
Syafi’i itu diragukan imannya, karena
membolehkan orang mengatakan: “Saya beriman, insya Allah.” Hal itu menunjukkan
bahwa mereka tidak mempunyai kepastian dalam iman mereka, padahal iman menuntut
keyakinan- dan sebaliknya.
G. Jatuhnya Kekhalifahan
Abbasiyah
Jatuhnya kerajaan Abbasiyah
oleh serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke-13
M., ketika kota Baghdad sebagai pusat ilmu dan kebudayaan hancur sama sekali.
Sekitar 800. 000 penduduk Baghdad dibunuh. Perpustakaan dihancurkan, ribuan
rumah penduduk diratakan. Dalam peristiwa tersebut, umat Islam kehilangan
lembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga
nilainya.
Musnahnya beribu-ribu buku,
baik buku-buku tentang keagamaan maupun ilmu-ilmu sains- mempengaruhi
perkembangan intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian
ilmu-ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam. Berbagai literatur sains telah
lenyap. Sedangkan di kalangan masyarakat yang bebas dari bencana kaum Mongol
tidak ada yang menguasai berbagai bidang sains dan filsafat. Inilah salah-satunya yang
mempersulit umat Islam untuk mengembalikan kekayaan intelektual yang berharga
seperti pada masa kejayaan semula.
Kehancuran Abbasiyah membuka
kesempatan bagi orang-orang Turki untuk naik ke panggung sejarah politik Islam.
Keturunan Hulaghukan mendirikan Kerajaan Turki di daerah-daerah yang mereka
kuasai. Timur Lenk, keturunan Jengis Khan, membentuk Dinasti Timur Lenk di
daerah Samarkand setelah menaklukkannya pada 1369 M. Di Asia Kecil, seorang
keturunan Kepala Suku Turki, Usman, membangun dinasti yang dinamai Usmaniyah.
Selain Asia Kecil, Dinasti Usmani mencapai sukses besar dalam mengembangkan
wilayah kekuasaannya sehingga meliputi Asia Kecil, Armenia, Irak, Suria, Libia,
Tunis, Al-Jazair, Bulgaria, Yaman, Yugoslavia, Albania, dan Rumania.
Penguasa-penguasa Turki
tersebut mengerahkan segenap perhatian mereka untuk kebesaran dan kejayaan
politik. Mereka kurang begitu memperhatikan pemikiran dan ilmu pengetahuan.
Memang mereka menyemarakkan pelaksanaan pengajaran dan pendidikan Islam, namun
mereka juga terbawa oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang tidak peduli
terhadap intelektual Islam. Di Irak juga berdiri kerajaan besar, yaitu Kerajaan
Syafawi. Sedangkan di India terdapat kerajaan Islam yang besar seperti halnya
Kerajaan Syafawi dan Kerajaan Usmani.
Akan tetapi, kerajaan-kerajaan besar tersebut
kurang antusias terhadap kehidupan pemikiran Islam. Meski mereka mempunyai
kejayaan terutama dalam bentuk literatur, seperti diungkapkan oleh Harun
Nasution, namun bobot dan jumlahnya tidak mengagumkan seperti pada masa
sebelumnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Kurangnya perhatian
penguasa-penguasa terhadap kehidupan intelektualisme menambah umat Islam
semakin tidak bergairah untuk melahirkan karya-karya intelektual sehingga ilmu
pengetahuan Islam mengalami stagnasi.
H. Dikuasainya Sektor
Prekonomian oleh Eropa
Eropa yang telah menemukan
kebangkitan intelektual, mulai meninggalkan umat Islam. Bangkitnya rasionalisme
dan intelektual telah menuntun orang-orang Eropa menemukan sumber-sumber
kekayaan di luar Eropa, seperti Amerika, Australia, dan Timur Jauh.[22]
Penemuan Tanjung Harapan pada abad ke-15 M, oleh pelaut-pelaut Eropa Barat sangat
memukul prekonomian Islam. Jalur perdagangan Timur Jauh dan Barat yang dahulu
dikuasai oleh Islam karena harus melewati jalur darat milik Islam, berpindah
melalui jalur laut melalui Tanjung Harapan sehingga negara-negara Barat dapat
menggantikan kedudukan Islam sebagai penguasa perdagangan jalur Barat.
Ekonomi yang meningkat dan
pemikiran rasional yang berkembang baik membawa Eropa ke zaman modern yang
ditandai dengan kemajuan dalam pemikiran dan sains serta teknologi. Setelah
lama Eropa tak mempunyai adikuasa, mulailah muncul di sana pada abad kedelapan
belas M. Dua adikuasa yaitu, Inggris dan Perancis.
Ketiga adikuasa Islam,
Kerajaan Turki ‘Ustsmani, Safawi, dan Mughal kini menghadapi saingan. Sementara itu, pemikiran rasional dan orientasi dunia,
yang telah hilang dari dunia Islam- digantikan dengan pemikiran tradisional dan
orientasi akhirat- tidak bisa mengembangkan sains dan teknologi. Di Eropa
berkembang dengan cepat sains dan teknologi.
Maka dalam
persaingan ini Inggris dan Prancis dengan sains dan teknologi modernnya
mengungguli ketiga adikuasa Islam tersebut. Persenjataan Kerajaan, Utsmani,
Safawi, dan Mughal yang masih tradisional tak dapat mengimbangi persenjataan
Inggris dan Perancis yang modern. Maka dalam peperangan-peperangan antara dunia
Islam dan Barat, dunia Islam senantiasa mengalami kekalahan.
Jangankan
melawan Inggris dan Prancis, melawan Spanyol dan Portugal, keduanya hanya
merupakan dunia kecil, dunia Islam tak sanggup. Portugal menyerang dunia Islam
sebagai balas dendam terhadap umat Islam yang menguasai daerah mereka di Eropa
untuk lebih dari 700 tahun. Di Timur Jauh Spanyol dan Portugal dapat menjajah
beberapa daerah seperti Filipina oleh Spanyol dan Timor Timur oleh Portugal.
Kerajaan
Mughal di India dihancurkan Inggris pada 1857 M. Kerajaan Safawi di Persia
tidak dihancurkan baik oleh Inggris dan Prancis, tetapi jatuh dengan
sendirinya. Raja-raja Persia sesudahnya tak pernah lagi membuat negara ini
menjadi adikuasa.
Kerajaan
Utsmani dalam peperangannya dengan Eropa mulai dari abad kedelapan belas selalu
mengalami kekalahan sehingga ia degelari The
Sick Man of Europe, orang sakit Eropa. Tetapi, ia masih tetap bertahan
sampai permulaan abad kedua puluh M. Kerajaan Turki Utsmani turut perang
bersama Jerman melawan Inggris dan Prancis dalam Perang Dunia ke-satu, tetapi
mengalami kekalahan. Di sini berakhirlah wujud Kerajaan Turki Utsmani dan
sekaligus berakhir pula masa adikuasa Islam, untuk selanjutnya diganti oleh
adikuasa dunia Barat.
Kekayaan yang melimpah membuat
Eropa semakin kuat baik dalam politik, ekonomi, bahkan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Akibatnya, timbul tekanan Barat terhadap umat Islam.
Semakin hari umat Islam dibuat lemah oleh Barat. Di kemudian hari, lahirlah
upaya-upaya pembaruan atau modernisme di dunia Islam. Namun, mereka tetap belum
mampu mengejar ketinggalan mereka dari Barat; dan akhirnya malah terjadi
kolonialisme di beberapa wilayah yang mayoritas penduduknya umat Islam,
misalnya Indonesia, Malaysia, India, Siria, dan Lebanon.
I. Sunnatullah
Sungguh, keadaan umat Islam
yang jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain memang sangat memilukan. Namun
barangkali tida perlu disesali sedemikian rupa sehingga kita kehilangan
kemampuan melihat ke depan dengan penuh harapan. Kemunduran dunia Islam dapat
dilihat sebagai wujud operasi Sunnatullah. Salah satu unsur penting hukum itu
ialah adanya prinsip perputaran (mudawalah).
Yaitu, prinsip bahwa nasib umat manusia, tinggi dan rendah, terjadi secara
berputar dan bergilir antara mereka, sehingga suatu bangsa atau umat adakalanya
berada di atas (menang, unggul, maju, dll.) dan juga adakalanya di bawah
(kalah, merosot, terbelakang, dll.), sebagaimana yang dikemukakan Allah Swt,
dalam al-Qur’an Surah, al-Imran, [3]: 140-141 sebagai berikut;
“Jika luka (kesusahan) menimpa diri kamu, maka
(ketahuilah) bahwa luka yang sama telah menimpa pula golongan yang lain. Dan
begitulah hari (hisab) kami buat
berputar di antara manusia, agar Allah memeriksa orang-orang yang beriman dan
mengangkat mereka sebagai saksi-saksi. Allah tidak suka kepada orang-orang yang
zalim. Dan juga agar Allah membersihkan mereka yang beriman, dan membinasakan
orang-orang yang menentang kebenaran (kafir).” (QS. al-Imran, [3]: 140-141).
Demikianlah gambaran umat
Islam yang mengalami kemunduran tidak hanya dalam bidang pendidikan dan
pemikiran tetapi juga pada aspek-aspek lainnya, seperti keagamaan, kemasyarakatan,
politik, dan ekonomi- dan yang lebih menyedihkannya lagi umat Islam terjebak
dalam kehidupan yang statis, jumud,
dan terbelakang.
BAB III
KESIMPULAN
Sesungguhnya, keadaan umat
Islam yang jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain memang sangat memilukan.
Namun barangkali tidak perlu disesali sedemikian rupa sehingga kita kehilangan
kemampuan melihat kedepan dengan penuh harapan. Sebagaimana yang telah
dikemukakan bahwa yang paling diperlukan pada tahap sekarang ini ialah
membangkitkan kembali etos intelektual Islam klasik yang membuat para pendahulu
kaum Muslim begitu kreatif dan kuat dalam wawasan. Tentunya yang amat
diperlukan lagi- sejalan dengan etos intelektual itu- ialah etos kemanusiaan, yakni
sikap percaya kepada manusia dan kekuatannya. Inilah dasar kosmopolitanisme
Islam masa lalu, yang melihat perbendaharaan kultural umat manusia sebagai
milik sendiri sehingga tak segan-segan mengambil serta mengembangkannya.
Kemudian juga diperlukan upaya
terus-menerus umat Islam dalam meningkatkan kreativitas ilmiah, kemampuan
berpikir rasional, kesanggupan menghargai pandangan yang berbeda, semangat
keterbukaan, gairah belajar dari mana dan siapa saja. Sebagaimana yang
dikemukakan Imam Malik, “Laa yashluhu
amru hadzihil ummah illa bimaa bihi awwaluha.” Dalam artian bahwa- umat
Islam harus mengikuti langkah-langkah yang ditempuh para ulama, pemikir, dan
negarawan Islam terdahulu, yakni mempunyai semangat jihad, ijtihad, dan
bersikap terbuka dalam menyongsong hari depan yang penuh harapan dan
kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalabi, al-Mujtama’
Islami, Kairo: Maktabah an-Nahdhoh Mishriyah, 1958
Ahmed, Akbar S., Discovering
Islam, Making Sense of Muslim History and Society, Terjemah, Zulfahmi Andri,
New Delhi: Vistaar Publication, 1990
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan
Islam, Jakarta: Logos, Cet. I, 1997.
al-Andalusi,
Sha’id, Kitab Thabaqat al Umam, ed.
L. Cheiko, Beirut: al-Mathba’at al-Katsulikiyah, 1912.
al-Asyqar,
Umar Sulayman, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy,
Kuwait: Maktabah al-Falah, Cet. I, 1982.
Madid, Nurcholis, Kaki
Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1997.
Nasution, Harun, Islam Rasional,
Bandung: Mizan, Cet. I, 1996.
Raliby, Osman, Ibnu Chaldun tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta: Bulan Bintang,
Cet. I, 1961.
Sunandari, Muhammad, “Konsep
Da’wah Islamiyah Menurut Abu al A’la al-Maududi,” Da’wah Jurnal Kajian
Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. X, No. 2, Jakarta: Fakultas Da’wah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
[2] Sha’id
al-Andalusi, Kitab Thabaqat al Umam,
ed. L. Cheiko (Beirut: al-Mathba’at al-Katsulikiyah, 1912), hal. 8-9. Lihat
juga, Philip K. Hitti, Islam and the West,
(Princeton, New Jersey: D. Van Nostrand Co., 1962), hal. 166. Lihat juga, Nurcholis
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam,
(Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1997), hal. 10.
[8]Ahmad
Syalabi, al-Mujtama’ Islami, (Kairo:
Maktabah an-Nahdhoh Mishriyah, 1958), hal. 146.
[11] Muhammad
Sunandari, “Konsep Da’wah Islamiyah
Menurut Abu al A’la al-Maududi,” Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi
dan Budaya, Vol. X, No. 2, (Jakarta: Fakultas Da’wah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003), hal. 140.
[17] Osman
Raliby, Ibnu Chaldun tentang Masyarakat
dan Negara, (Jakarta: Bulan Bintang, 1961), hal. 242.
[18] Akbar S.
Ahmed, Discovering Islam, Making Sense of
Muslim History and Society, Terj. Zulfahmi Andri, (New Delhi: Vistaar
Publication, 1990), hal. 86-87.
[21] Umar
Sulayman al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh
al-Islamiy, (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982), hal. 172. Lihat juga, Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta:
Paramadina, Cet. I, 1997), hal. 83.
[22] Dengan usaha
Vasco da Gama, ditemuilah jalan ke selatan melalui Tanjung Harapan ke Timur
Jauh. Dagang rempah dan sutera tidak mesti lagi melalui jalan Dunia Islam di
Timur Tengah. Dengan terjadinya langsung antara Timur Jauh dan Eropa melalui
Tanjung Harapan, ekonomi Islam kehilangan sumber dan dengan sendirinya menurun
tajam. Kalau Vasco da Gama menemukan Tanjung Harapan di Afrika Selatan,
Colombus yang mencari jalan dengan mengarah ke barat menemukan benua Amerika.
Benua ini ternyata luas dan kaya akan bahan-bahan, dan kekayaan itu diangkut ke
Eropa. Ekonomi Eropa meningkat sedang ekonomi Dunia Islam menjadi turun. Lihat,
Harun Nasution, Islam Rasional,
(Bandung: Mizan, Cet. I, 1996), hal. 105.
Post a Comment