BAB
I
PENDAHULUAN
“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang
terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi
kamu tidak menyadarinya.”
(QS.al-Baqarah:
154)
Di pelataran
dakwah, tak sedikit bilangan mereka yang berkiprah di dalamnya. Berasal dari
berbagai negeri, baik dari Timur maupun dari Barat. Pentas dan lakon yang
mereka mainkan berbeda, meski tetap pada satu jalur; berdakwah, berbeda dalam
cara, tapi sama dalam tujuan, yakni, upaya meninggikan kalimat tauhid di bumi
Allah.
Menulis biografi
singkat para tokoh tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang tokoh,
biasanya, tidak hanya bisa dilihat dari satu sudut padang saja. Ini karena,
mereka pada umumnya bisa dilihat dari berbagai
sisi, dari kancah sosial-budaya sampai sosial politik. Mereka berkiprah
dan ikut memberi warna dalam proses peradaban yang dibangun oleh umat manusia
berdasarkan konsepsi al-Qur’an dan al-Hadits.
Untuk mengamati
pemikiran seorang tokoh, paling mudah adalah dengan melihat biografi hidupnya.
Dengan melihat liku-liku perjalanan hidupnya, kita dapat mengikuti ke mana arah
pemikiran dan perjuangan sang tokoh.
Biografi
seseorang adalah juga bagian dari sejarah. Jika sejarah memperhatikan secara intens kejadian-kejadian yang ada di
masyarakat, biografi menjadikan orang per orang pelaku sejarah sebagai
perhatian utamanya. Dengan mengikuti biografi seseorang kita akan memahami
konteks kesejarahan dimana sang tokoh hidup dan bergumul dengan jamannya.
Makalah sederhana ini, mencoba memuat biogari, pemikiran, perjuangan, dan
dakwah Sayyid Quthub.
BAB
II
Pembahasan
A. Riwayat Hidup Sayyid Quthub
Sayyid Quthub,
lahir di desa Musya wilayah Provinsi Asyuth, Mesir Atas, pada tahun 1906. Nama
lengkapnya adalah Sayyid Quthub Ibrahim Husain Syadzili. Para penulis berbeda
pendapat tentang negeri asal Sayyid Quthub. Sebagian penulis menyebut Sayyid
Quthub berasal dari Mesir, sedang sebagian yang lain menyebut Quthub berasal
dari India.[1]
Pendapat kedua
dianggap lebih kuat karena dua alasan. Pertama,
secara fisik raut muka keluarga Sayyid Quthub tidak seperti raut muka orang
Mesir pada umumnya, tetapi mirip raut wajah orang India. Kedua, didasarkan pada pengakuan Sayyid Quthub sendiri kepada Abu
al-Hasan ‘Ali al-Nadwi ketika yang terakhir ini mengajak Quthub berkunjung ke
India. Kepada al-Nadwi, Quthub berkata, “Keinginan saya berkunjung ke India
merupakan keinginan yang fitri. Karena, kakekku yang keenam, Abdullah, berasal
dari sana.”[2]
Sayyid Quthub
merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya, Haji Ibrahim, merupakan
seorang Muslim yang taat beragama. Dia telah menunaikan ibadah haji dalam usia
sangat muda.
Digambarkan
bahwa Haji Ibrahim selalu melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah di
Mesjid. Sayyid Quthub kecil pun selalu diajak menemani ayahnya pergi ke Mesjid.
Haji Ibrahim dikenal sangat dermawan. Dia banyak membantu orang-orang miskin
dan lemah di desanya. Haji Ibrahim juga dikenal sebagai tokoh dan aktivis
Partai Nasional (al-Hizb al-Wathani).
Dia merupakan salah seorang pengurus partai ini di walayahnya.
Sebagaimana
ayahnya, Ibu Quthub juga dikenal taat beragama. Dia memiliki kegemaran membaca
al-Qur’an dan mendengarkan bacaan al-Qur’an. Dijelaskan, Sayyid Quthub kecil
selalu dibimbingnya membaca dan menghafal al-Qur’an.
Berbeda dengan
ayahnya, Ibu Sayyid Quthub berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Hal ini,
antara lain, dapat dilihat dari warisan kekayaan yang ditinggalkan orang
tuanya, juga dari pendidikan saudara-saudaranya. Dua di antara saudaranya,
kuliah dan lulus dari Universitas al-Azhar. Salah seorang dari mereka Ahmad
Husain Utsman, cukup memberi pengaruh kepada Sayyid Quthub ketika mereka
tinggal bersama di Kairo.
Keluarga Quthub
tergolong keluarga yang bahagia. Hubungan dalam keluarga sangat harmonis. Orang
tua Quthub jarang atau hampir tidak pernah terlibat pertengkaran. Hubungan
Quthub dengan saudara-saudaranya juga terjalin sangat baik.
Desa Musyi,
tempat Quthub dilahirkan juga tergolong asri dan nyaman, jauh dari hiruk-pikuk
dan kebisingan kota. Di lingkungan keluarga yang harmonis dan di desa yang
teduh dan tenang itu, Sayyid Quthub dilahirkan dan dibesarkan. Dia tidak
meninggalkan tempat kelahirannya itu sampai ia menginjak remaja.
B. Latar Belakang Pendidikan Sayydi Quthub
Haji Ibrahim
termasuk orang tua yang memberi perhatian tinggi terhadap pendidikan
anak-anaknya. Ketika Sayyid Quthub menginjak usia enam tahun, Haji Ibrahim
mulai berpikir tentang mengirim Quthub ke Sekolah Agama ataukah ia harus
memasukkan Quthub ke Sekolah Negeri, lalu Haji Ibrahim memutuskan untuk
memasukkan Quthub ke Sekolah negeri.
Quthub mulai
masuk sekolah pada tahun 1912 ketika ia baru berusia enam tahun. Dia
menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1918. Ketika itu, Quthub baru
berusia dua belas tahun. Quthub tergolong anak cerdas. Dia telah menghafal
seluruh al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Dia menghafal al-Qur’an dalam waktu
kurang dari tiga tahun.
Selesai dari
sekolah ini, Quthub tetap tinggal di desanya selama dua tahun. Dia tak dapat
langsung meneruskan studinya ke Sekolah Guru di Kairo, karena usianya yang
terbilang sangat muda, di samping terjadi gejolak politik di Mesir ketika itu.
Pada tahun 1921,
Quthub pergi- meninggalkan kampung halamannya- ke kairo. Pada waktu itu, Quthub
telah berusia empat belas tahun. Di Kairo, ia tinggal di rumah pamannya, Ahmad
Husain Utsman. Beliau seorang dosen dan wartawan, alumni Universitas al-Azhar.
Quthub tinggal di sini selama empat tahun.
Di sinilah
Quthub mulai berkenalan dengan ‘Aqqid, seorang sastrawan dan intelektual Mesir
yang sangat berpengaruh. Aqqid berteman dengan Ahmad Husain, paman Quthub.
Mereka saling berkunjung, dan tempat tinggal mereka tergolong berdekatan.
Pada tahun 1925,
Quthub masuk Sekolah Guru (Madrasat
Mu’allimin). Dia belajar di Sekolah ini selama tiga tahun. Lulus dari
Sekolah Guru, Quthub tidak langsung mengajar, tetapi melanjutkan studi di
Universitas Dar al-‘Ulum. Di sini, ia masuk kelas persiapan selama dua tahun.
Setelah menempuh kelas persiapan, Quthub mulai kuliah dan menyelesaikan
studinya di universitas ini pada tahun 1933 dengan meraih gelar lc dalam bidang
Sastra dan Deploma dalam bidang pendidikan.
Beberapa tahun
setelah lulus dari Dar al-‘Ulum, Quthub mulai bekerja di Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan Mesir. Mula-mula ia bekerja sebagai guru, lalu penyidik, dan
terakhir sebagai Inspektur Jenderal Kebudayaan. Di kementrian ini, ia bekerja
selama delapan tahun, dari tahun 1940 sampai dengan 1948.
Ketika menjabat
inspektur Jenderal itu, Quthub mendapat tugas belajar ke Amerika untuk meneliti
sistem dan metodologi pendidikan Barat. Quthub semula ragu-ragu atas tawaran
ini. Tetapi, beberapa saat kemudian, ia dapat menerimanya.
Menurut banyak
pengamat, tawaran ini sengaja diberikan untuk menyingkirkan Quthub dari Mesir.
Hal ini karena penguasa merasa resah dengan tulisan-tulisan Quthub yang sangat
tajam dan kritis menyerang berbagai kebijakan pemerintah di Majalah al-Fikr
al-Jadid yang diasuh oleh al-Minyawi.
Di Amerika,
Quthub belajar di beberapa perguruan tinggi. Di antaranya, menurut John L.
Esposito, ia pernah belajar di Wilson’s Teacher’s College, kini University of
the District of teachers College. Di universitas ini, ia mendapat gelar Master
of Art (MA) dalam bidang pendidikan. Terakhir, ia belajar di Stanford
University.
Sewaktu di Amerika,
Quthub merasa asing dan gelisah dengan kehidupan di sana. Kenyataan ini
disampaikan Quthub kepada salah seorang temannya di Mesir, Anwar al-Mu’addawi.
Menurut pengakuannya kepada temannya itu, Quthub menyadari sepenuhnya kemajuan
ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi Amerika, tapi ia merasa risau dan
bahkan ngeri dengan rasialisme, kebebasan seksual, dan sikap pro-zionisme
Amerika.
Kegelisahan
Quthub ini dipahami oleh beberapa penulis, termasuk John L. Esposito, sebagai
peralihan orientasi hidup Quthub dari pencarian sastra dan pendidikan ke
semangat dan komitmen agama (komitmen keislaman). Bahkan Esposito menyebut
kegelisahan itu sebagai titik balik yang penting dalam kehidupan Quthub. Di
sini, Quthub, kata Esposito, mengalami apa yang disebut “kejutan budaya” (culture shock) sehingga ia makin
religius saja.
Quthub berada di
Amerika selama dua tahun. Pada tahun 1950, ia meninggalkan Amerika. Dalam
perjalanan pulang, ia menyempatkan diri berkunjung ke Inggris, Swiss, dan
Italia. Pada tahun 1951, ia tiba kembali di Kairo, Mesir. Tapi, kini Quthub
tidak bersedia lagi bekerja di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, lembaga
yang dulu menugaskan Quthub belajar di Amerika. Quthub aktif kembali menulis di
media massa dalam masalah-masalah sosial dan politik. Selanjutnya, ia
melibatkan diri secara langsung dalam pergerakan Mesir kontemporer setelah ia
secara resmi bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin.
C. Sayyid Quthub dan al-Ikhwan al-Muslimun
Selain menulis,
setelah keluar dari Kementrian Pendidikan Mesir, Quthub mempergunakan waktunya
untuk mempelajari tulisan-tulisan Hasan al-Banna. Dari penelitiannya ini,
Quthub sependapat dengan jalan hidup yang ditempuh al-Banna, dan sepakat dengan
orientasi dan tujuan hidup yang hendak dicapai al-Banna. Kini, Quthub menjadi
sadar dan mengerti mengapa al-Banna dilawan dan dibunuh. Akhirnya, Quthub
berjanji kepada dirinya untuk mengemban amanah yang dahulu diemban al-Banna.
Quthub juga bertekad untuk menempuh jalan hidup yang ditempuh al-Banna, yaitu
jalan hidup yang telah mengantar al-Banna menemui kesyahidannya.
Melihat
kesungguhan dan komitmen Quthub di atas, Hasan Hudlabi, pemimpin Ikhwan yang
menggantikan Hasan al-Banna, meminta Quthub bergabung dengan Ikhwan. Quthub
menerima tawaran ini dan bergabung dengan Ikhwan pada tahun 1951.
Selain sebagai
tokoh pergerakan, Qutb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus
sastra. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia banyak menulis tentang sastra,
politik sampai keagamaan. Tahun 1954, Sayyid menjadi pemimpin redaksi harian
Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut kemudian dilarang beredar oleh
pemerintah Mesir. Penyebab utamanya adalah sikap keras, yang mengkritik keras
Presiden Mesir Kolonel Gamal Abdel Naseer. Sayyid Qutb mengkritik perjanjian
pemerintahan Mesir dan Inggris. Sejak itu, ia menjadi korban kekejaman
kekejaman penguasa hingga pada bulan Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan
dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan
kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di
kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya.
Beliau sempat
dibebaskan atas permintaan presiden Iraq Abdul Salam Arief saat berkunjung ke
Mesir tahun 1964. Namun kebabasannya tidak lama, karena ia kembali dipenjara
setahun kemudian berikut tiga saudaranya (Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah),
serta 20.000 rakyat Mesir lainnya . Alasannya beliau dan Ikhwanul Muslimin
dituduh membuat gerakan makar dan membunuh Presiden Naseer. Hukuman yang
diterima kali ini lebih berat dari sebelumnya. Ia dan dua kawan seperjuangannya
dijatuhi hukuman mati.
Meski dunia
internasional mengecam pemerintah Mesir, hukuman mati tetap dilaksanakan,
tanggal 29 Agustus 1969. Sebelum menghadapi ekskusinya, Sayyid Qutb sempat
menuliskan tulisan sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini tulisan
tersebut telah dibukukan dengan judul, “Mengapa Saya Dihukum Mati”. Sebuah
pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir hingga
kini.
D. Karya-Karya Sayyid Quthub
Dunia tulis
menulis tidak asing bagi Sayyid Quthub. Sejak masa muda ia telah mengasah
kemampuan menulisnya. Ratusan makalah di berbagai surat kabar dan majalah Mesir
memuat tulisan-tulisannya, seperti al-Ahram,
ar-Risalah, dan Ats-Tsaqafah.
Quthub sendiri menerbitkan majalah al-Alam
al-Arabi dan al-Fikrul Jadid. [3]
Oleh karena itu,
Sayyid Qutb terkenal sebagai seorang penulis buku. Ia telah menghasilkan lebih
dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang diantaranya karya sastra dan
buku-buku keagamaan di antaranya; “Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayâh” (1933), “Naqd
Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr” (1939),
al-Tashwîr al-Fanni fi al-Qur`an” (1945), Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an”, ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam,
‘Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’, “Hâdza al-Dîn”, “al-Mustaqbal li
Hâdza al-Dîn”, “Khashâ`is al-Tashawwur al-Islâmi wa Muqawwimâtihi’ al-Islâm wa
Musykilah al-Hadhârah” , “Fî Zhilal al-Qur`ân’.
E. Latar Belakang Sosial, Politik
Pada akhir
perang, tahun 1919, timbul sebuah gerakan nasional populer yang menuntut
kemerdekaan Mesir. Gerakan ini tidak hanya berlangsung di Kairo, tapi menggema
ke berbagai daerah di Mesir dengan melibatkan para aktivis baik dari kalangan
mahasiswa, dosen, dokter, pengacara, wartawan, dan aktivis lainnya di bawah
pimpinan Sa’ad Zaghlul, salah seorang tokoh pergerakan Mesir yang belakangan
dinobatkan sebagai “Bapak Kemerdekaan Mesir.” Menghadapi badai protes
nasionalis, Inggris terpaksa membuat pernyataan sepihak tentang kemerdekaan
Mesir pada tahun 1922.
Namun, ini tidak
berarti Inggris telah hengkang dari bumi Mesir. Inggris mengubah siasat dengan
mendirikan rezim politik yang disiapkan untuk monarki konstitusional yang
berpalemen, berpemilu, dan berpartai politik. Setelah itu, berkembanglah
perjuangan politik di kalangan di kalangan istana raja, partai politik, dan
Inggris. Perjuangan ini, berpusat pada dua soal, yaitu memodifikasi batas-batas
kemerdekaan Mesir, dan menjaga keseimbangan kekuasaan antara istana dan
partai-partai nasional, terutama partai yang paling berpengaruh, yaitu Partai
Wafd, pimpinan Sa’ad Zaghul yang sangat populer itu.
Sejak awal abad
ini, memang sudah bermunculan partai-partai politik di Mesir dengan platform
yang berbeda-beda. Pada tahun 1907, berdiri Partai Nasional (al-Hizb al-Wathani), dipimpin Musthafa
Kamil dan Muhammad Farid. Pada tahun itu juga lahir Partai Ummat (al-Hizb al-Ummah) dipimpin Mahmud
Sulaiman dan Luthfi Sayyid. Lalu, pada 1918, Sa’ad Zaghlul mendirikan Partai
Wafd yang populer itu. Pada tahun 1920, Isma’il Shidqi mendirikan Partai Rakyat
(Hizb al-Sya’ab) yang dimaksdukan
untuk mendukung status quo. Lalu, pada tahun 1928, Hasan al-Banna mendirikan
Ikhwan al-Muslimin, sebuah perkumpulan yang semula bergerak dalam bidang dakwah
dan pendidikan, namun belakangan berperan sebagai partai politik.
Perjuangan politik
yang dilakukan oleh partai-partai ini kurang berjalan seperti diharapkan dan
menimbulkan ketidakpuasan. Hal ini, antara lain karena masih kuatnya peran
Inggris dalam politik, dan dominasi kepentingan asing dalam ekonomi Mesir.
Untuk itu, issu yang dikedepankan kaum nasionalis saat ini adalah kemerdekaan
ekonomi dan politik Mesir. Usaha pembebasan ini rupanya terus berlanjut dan
memuncak pada revolusi juli 1952 yang dimotori oleh sekelompok perwira bebas di
bawah pimpinan Jenderal Najib dan Jamil Abd al-Nashir.
Setelah
revolusi, partai-partai politik Mesir mendapat tantangan baru. Pada awal 1953,
Dewan Revolusi mengeluarkan keputusan yang membekukan semua partai politik,
termasuk Ikhwan al-Muslimin. Bahkan, di bawah pemerintahan Nashir, Ikhwan
mendapat tekanan berat. Sayyid Quthub sendiri menjadi “korban” kezhaliman
pemerintahan Nashir yang represif. Dapat dikatakan bahwa iklim politik di
seputar tahun-tahun awal kesadaran Quthub, dilingkupi oleh dua hal. pertama, dominasi asing dan perlawanan
terhadap dominasi asing itu. Kedua, despotisme dan kezhaliman dari penguasa
Mesir itu sendiri. Kedua, hal ini
tampaknya berpengaruh besar terhadap sikap Quthub, karakter dan
pikiran-pikirannya yang cenderung radikal dan revolusioner.
F. Latar Belakang Sosial Ekonomi
Dilihat dari
segi sosial ekonomi, masyarakat Mesir prareformasi masih terbagi ke dalam tiga
strata. Pertama, kelompok tuan tanah.
Mereka terdiri dari para penguasa Mesir dan orang-orang yang memiliki tanah
dalam skala besar. Kedua, kelompok
konglemerat, terdiri dari para pengusaha yang menguasai sektor bisnis,
perdagangan, dan industri Mesir. Ketiga,
para petani dan buruh kasar yang merupakan kelompok terbesar dari rakyat Mesir
ketika itu. Kelompok pertama dan kedua tinggal di Kairo dan hidup mewah. Anak-anak
mereka dapat menikmati pendidikan tinggi di dalam maupun di luar negeri. Sedang
kelompok ketiga tinggal dipedesaan dan sebagian besar masih buta huruf. Mereka
hidup dibawah garis kemiskinan.
Namun, sejak
dasawarsa-dasawarsa pertama abad XX, terdapat perkembangan-perkembangan ini.
Perkembangan ini dipadu dengan semakin banyaknya petani yang tak punya dan
kemudian hijrah atau melakukan migrasi dari desa ke kota, sehingga orang Mesir
yang tinggal di pusat-pusat urban meningkat. Berbagai kota menyaksikan, selain
pertambahan jumlah, juga perubahan watak ke arah suatu masyarakat yang semakin
kompleks. Berbagai kelompok urban tradisional, seperti pedagang, tukang, dan
buruh miskin, terus eksis seiring dengan tumbuhnya kelas menengah modern
pegawai negeri dan kaum profesional, serta pekerja industri.
Dominasi
politik, ekonomi, dan budaya Eropa mulai terlihat dengan jelas pada
kecendrungan elite Mesir untuk bergaya hidup Barat dan untuk memungut gagasan
Barat, meski dengan mengorbankan keyakinan dan praktik tradisional Islam.
Bahkan Kairo dan Iskandariah mengembangkan lingkungan terbaratkan, dimana orang
Mesir dapat bergaya hidup Eropa, seperti mengunjungi restoran, klub malam,
bioskop, dan teater. Sebagian intelektual Mesir mencemaskan dan mengkhawatirkan
kecendrungan ini.
Dalam pandangan
para intelektual itu, pembaratan budaya ini tidak saja berbahaya, tetapi juga
dapat menyapu bersih kultur Muslim Mesir. Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub
termasuk tokoh dan intelektual yang berada dalam barisan ini.
G. Fase-Fase Perkembangan Pemikiran Sayyid
Quthub
Sebagai pemikir,
Sayyid Quthub berdialog dengan berbagai pemikiran yang berkembang pada
zamannya. Pemikiran Quthub, seperti disebut Abu Rabi, tidak lahir dari
kevakuman sosial dan intelektual, tetapi merespon berbagai situasi aktual yang
melingkupinya, termasuk pergumulan pemikiran modern yang membicarakan
topik-topik hangat seperti kebangkitan (nahdlah),
politik, filsafat, kebangsaan, dan doktrin Islam. Telaah terhadap pemikiran
Quthub biasanya dibagi ke dalam beberapa fase perkembangan pemikiran. Namun,
tidak ditemukan kesamaan dalam penetapan fase-fase tersebut. Abu Rabi’ hanya
membagi ke dalam dua fase, fase sebelum Sayyid Quthub bergabung dengan
pergerakan Ikhwan dan fase setelah Sayyid Quthub terlibat dan melibatkan diri
dalam pergerakan itu.
Khalidi
membaginya ke dalam tiga fase, yaitu fase sastra (1939-1947), fase pemikiran
Islam (1947-1953), dan fase Islam pergerakan (1953-1966). Sementara Hasan
Hanafi membaginya ke dalam empat fase, yaitu fase sastra, fase sosial, atau
kemasyarakatan, fase filsafat, dan fase politik.
1. Fase Sastra (1930-1950)
Fase ini
berlangsung selama 20 tahun, merupakan fase paling lama dalam perkembangan
pemikiran Sayyid Quthub. Pada fase ini, Sayyid Quthub banyak memberikan
perhatian dalam bidang sastra, puisi, cerita, dan kritik sastra. Fase ini
mencapai puncaknya ketika Quthub tertarik dan kemudian menekuni bidang sastra
al-Qur’an. Perhatian Quthub terhadap al-Qur’an dianggap sebagai sesuatu yang
sangat wajar. Sebagai pengaruh dari pengalaman masa kecilnya yang sangat
religius di tengah-tengah lingkungan keluarga, terutama ibundanya, yang sangat
mencintai al-Qur’an.[4]
Di sini dapat
dikatakan bahwa sesungguhnya Sayyid Quthub memulai kehidupannya sebagai
penyair, sastrawan, budayawan, dan kritikus sastra. Dia merupakan bagian dari
gerakan budaya dan kritik sastra sepanjang tahun 30 dan 40-an. Dalam sastra
Quthub, sebagai respon terhadap tantangan yang ada, terkandung semangat
kebangsaan (nasionalisme) yang sangat tinggi. Pada fase ini, belum kelihatan
ide Sayyid Quthub tentang Hakimiyyah yang sangat keras itu. Ide ini, seperti
akan dijelaskan, datang belakangan dan timbul karena banyak faktor, internal
maupun eksternal.[5]
Melalui sastra,
Sayyid Quthub masuk ke dalam agama. Pada tahap ini pencarian agama Sayyid
Quthub dicapai melalui sastra budaya. Jadi, sastra merupakan pintu masuk yang
mengantar Sayyid Quthub menjadi seorang Muslim yang makin religius.[6]
Pada masa ini, pemikiran Sayyid Quthub memperlihatkan dirinya sebagai seorang
moralis yang menekankan kesaliha pribadi. Dia banyak mencela kemerosotan moral
orang-orang di sekitar dirinya. Dia berusaha memahami penyebab kemerosotan ini,
dan mendesak agar lebih menyadari norma akhlak yang akan membawa kepada
kehidupan yang lebih baik.[7]
Dalam konteks
ini, Sayyid Quthub mengecam manusia modern sebagai orang yang telah mengidap
penyakit “skizofrenia” karena didominasi oleh unsur-unsur lain di luar dirinya.
Dengan kata lain, manusia modern, oleh karena sikapnya yang berlebihan dalam
mengejar kemajuan materil di satu pihak, dan melupakan kebutuhan spiritualnya
di lain pihak, menjadi orang yang terasing dari dirinya sendiri. Sayyid Quthub
mencoba memecahkan problem alienasi ini yang dengan mengajukan konsep “pembebasan
diri.” Selanjutnya, manusia harus kembali kepada kecendrungan dirinya yang suci
dan alami, yaitu fithrah dengan menerima al-Islam, sikap pasrah dan tunduk kepada
Allah swt.[8]
Karena “ide pembebasan diri” ini, Sayyid Quthub dinilai modern dan ditempatkan
sekelompok dengan pemikir-pemikir modern yang lain.[9]
2. Fase Sosial Kemasyarakatan (1951-1953)
Pemikiran Sayyid
Quthub pada fase ini memberikan perhatian pada masalah-masalah kemasyarakatan.
Pemikirannya dalam soal ini tampak jelas dalam beberapa karya Sayyid Quthub,
antara lain, dalam al-‘Adalat al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial
dalam Islam) dan dalam Ma’rakat al-Islam wa al-Ra’sumaliyyah (Perang Islam dan
kapitalisme). Perhatian Quthub pada bidang ini kelihatannya bermula dari
sastra, bukan dari agama atau Ihkwan. Diakui, setelah bergabung dengan
pergerakan Ikhwan, pemikiran sosial Quthub makin berkembang dan menguat.[10]
Pemikiran
sosialisme Islam Sayyid Quthub dipengaruhi oleh pandangan dasarnya bahwa Islam
bukan hanya religi, tetapi sistem hidup (al-Islam manhaj hayat) yang sempurna
dan komprehensip. Islam bukan agama yang terlepas dari kehidupan manusia, bukan
pula agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan semata-mata. Akan
tetapi, Islam adalah agama kehidupan, merupakan sistem hidup (din al-hayah)
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia.[11]
Islam dipandang
oleh Quthub sebagai agama keadilan yang melindungi hak-hak orang-orang lemah di
depan orang-orang kaya. Menurut Quthub, seperti telah disinggung, Islam pada
dasarnya merupakan gerakan pembebasan yang dimulai dari diri sendiri (iman
dalam hati) dan berujung pada sosial (jami’ah).
Pafa fase ini,
pemikiran Sayyid Quthub terus berkembang dari nasionalisme yang sudah kelihatan
pada fase sebelumnya ke sosialisme Islam, dari pembebasan diri terus bergerak
pada pembebasan masyarakat.[12]
Dari sikapnya sebagai moralis yang menekankan kesalihan individu, perhatian,
dan pemikiran Quthub terus berkembang ke arah kebersihan moral masyarakat atau
kesalihan sosial. Dalam konteks ini, Quthub memandang sistem lain, bentuk
kolektif organisasi lain, pada hakikatnya bertentangan dengan maksud Islam.[13]
Sebagai orang
Mesir yang negerinya selama sebagian besar hidupnya dikendalikan Inggris,
Quthub tidak terlalu sulit mengidentifikasi musuh. Namun, kelihatannya pengalaman
hidupnya di Amerika Serikat selama 1948-1950, membuat dia melihat musuhnya
secara lebih umum, dan dalam beberapa hal lebih mengganggu (mengancam).
Imperialisme Inggris, disebut Quthub hanya sebagai satu segi dari permusuhan
kolektif yang luas dan mengancam, yaitu Barat yang sekuler, materialis,
individualis, dan kapitalis. Karena itu, tidak .mengherankan, sekembalinya dari
Amerika Serikat, tulisannya lebih terang-terangan bernada kemasyarakatan, bukan
semata-mata peringatan atau nasihat moral individual.[14]
3. Fase Filsafat (1954-1962)
Pemikiran Sayyid
Quthub pada fase ini, menurut Hasan Hanafi, lebih sebagai tuntutan pribadi
ketimbang tuntutan sejarah (sosial). Pemikiran filsafat ini muncul setelah
Dewan Revolusi mendominasi politik di Mesir dan melaksanakan sebagian dari
tuntutan keadilan sosial yang menjadi tema besar pemikiran Quthub (sosial).
Pemikiran filsafat ini muncul setelah Dewan Revolusi mendominasi politik di
Mesir dan melaksanakan sebagian dari tuntutan keadilan sosial yang menjadi tema
besar pemikiran Quthub pada fase sebelumnya. Pemikiran ini juga timbul setelah
terjadi konflik antara ikhwan dan dewan revolusi. Pada masa ini, kecendrungan
sosial dalam pemikiran Quthub sedikit melemah dan sedikit demi sedikit mulai
tertarik pada masalah-masalah filosofis (teoritik).[15]
Kecendrungan
filosofis pada pemikiran Quthub tampak jelas dalam karyanya, al-Mustaqbal dan Nahwa Mujtama’ Islami,
serta mencapai puncaknya dalam Khashaish
al-Tashawwur al-Islami. Di sini Sayyid Quthub menegaskan bahwa setiap
agama, tidak hanya Islam, pada dasarnya adalah sistem hidup, merupakan suatu
konsep yang menjelaskan tentang manusia, kehidupan, dan dunia, yang darinya
lahir tatanan kehidupan manusia (nizham). Sebagai sistem hidup, Islam, menurut
Quthub, merupakan sistem yang mandiri dan mengungguli semua sistem hidup yang
ada, komunisme maupun kapitalisme.[16]
Pada fase ini,
ada empat topik yang banyak diketengahkan Sayyid Quthub, yaitu kritik kepada
(kebudayaan dan peradaban) Barat, masa depan milik Islam, karakteristik konsep
Islam, dan supremasi syari’ah (al-hakimiyyat al-syari’ah).[17]
Dari empat topik ini, dua di antaranya, kritik kepada Barat dan ide tentang
hakimiyyah, Sayyid Quthub menurut Hasan Hanafi,
mendapat pengaruh Maududi. Pengaruh ini terjadi secara tidak langsung
melalui al-Nadwi lewat bukunya yang sangat masyhur, Midza Khasir al-A’lam bi
Inkhithath al-Muslimin, dan secara langsung melalui karya Maududi sendiri,
al-Musthalahat al-Arba’at fi al-Qur’an.[18]
Jadi, pada fase
ini, Sayyid Quthub berpindah dari bidang kemasyarakatan ke filsafat. Dia berpindah
dari konflik dan perang melawan ekonomi dan sosial Barat kepada konsep dan
gagasan tentang peradaban (filsafat). Peralihan ini tampaknya sangat
dipengaruhi oleh keadaan pribadinya yang terbelenggu dalam penjara dan tidak
memiliki kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam politik praktis.
“Sekiranya ia orang yang bebas dan merdeka,” demikian menurut Hasan Hanafi,
“fase filsafat ini tidak akan pernah ada dalam pemikiran Sayyid Quthub. Dia
akan masuk ke dalam Islam melalui pergulatan secara langsung dalam dataran
praktis (ma’arik al-fi’liyah), bukan lewat wacana intelektual semata-mata.[19]
4. Fase Politik (1963-1965)
Pada masa ini,
Quthub mulai mengintridusir gagasan-gagasan besarnya yang radikal dan
revolusioner seperti tampak dalam karyanya yang lahir pada fase ini, Ma’alim fi
al-Thariq dan kitab tafsirnya Fi Zhilalil al-Qur’an. Di antara gagasannya yang
muncul pada fase ini ialah gagasan tentang hakimiyyah, jahiliyyah, dan tajhil,
perjuangan Islam atau perang suci (jihad) serta revolusi Islam (tsaurat
al-Islamiyyah).
Hakimiyyah
berarti Allah adalah satu-satunya pihak yang berwenang menetapkan hukum
(syariah) secara mutlak. Tidak ada hak untuk penetapan hukum bagi manusia
selain Allah. Hakimiyyah juga bermakna bahwa manusia harus menerima dan tunduk
kepada hukum-hukum Allah, bukan hukum-hukum buatan manusia yang tidak dapat
terlepas dari kepentingan pembuatnya. Bagi Sayyid Quthub, hakimiyyah adalah
proposisi iman atau kafir, Islam atau Jahiliyah (jahiliyyah) seperti
diterangkan secara eksplisit dalam ayat-ayat hakimiyyah yang amat populer.
Dalam pemikiran
Quthub, ide hakimiyyah merupakan turunan atau terlahir dari konsep aqidah
Islam, yakni tauhid (al-tauhid) Tauhid berarti mengesakan Allah dalam ketuhanan
(uluhiyyah), penciptaan dan pemeliharaan (rububiyyah), kekuasaan (sulthan) dan
dukungan atau kemandirian (qawwamah). Dalam pandangan Quthub, ketuhanan Allah
(uluhiyyah) bermakna hakimiyyah. Dikatakan bahwa hakimiyyah merupakan salah
satu sifat yang paling penting dari uluhiyyah. Oleh karena itu, orang yang
membuat undang-undang untuk segolongan manusia dan ia telah menempatkan dirinya
pada posisi ketuhanan dan mempergunakan salah satu sifat yang paling khusus
dari ketuhanan itu, yakni hakimiyyah, maka ia telah menjadi Tuhan atau
menuhankan diri, sedang segolongan orang tadi telah menjadi budak atau
hambanya, bukan hamba Tuhan.
H. Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah
Al-Qur’an,
menurut Sayyid Quthub, mengemukakan prinsip-prinsip umum metodologi dakwah. Di
antaranya ialah prinsip dakwah dengan bijaksana dan kearifan (bi al-hikmah), dakwah dengan nasehat
yang baik (di al-mau’izhat al-hasanah),
dakwah dengan dialog yang baik (bi
al-jadal al-husna), dakwah dengan pembalasan berimbang (mu’aqabat bi al-mitsl).
Prinsip umum
metodologi dakwah tersebut dijelaskan oleh Allah swt dalam ayat ini:
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
÷bÎ)ur óOçGö6s%%tæ (#qç7Ï%$yèsù È@÷VÏJÎ/ $tB OçFö6Ï%qãã ¾ÏmÎ/ (
ûÈõs9ur ÷Län÷y9|¹ uqßgs9 ×öyz úïÎÉ9»¢Á=Ïj9 ÇÊËÏÈ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.
dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah
dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi
jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar.
(QS. al-Nahl: 125-126)
Menurut Quthub,
ayat ini telah meletakkan prinsip-prinsip metodologi dakwah dan
perangkat-perangkatnya bagi Nabi Muhammad SAW dan bagi para da’i setelahnya
seperti telah disinggung di atas.
I. Sistem Gerakan Dakwah (Organisasi
Pergerakan Dakwah)
Agama Islam,
menurut Quthub, memiliki watak dinamis dan progresif. Karena wataknya ini,
Islam mesti bergerak dan terus bergerak, membebaskan manusia dari perbudakan
dan penyembahan terhadap selain Allah. Gerakan atau pergerakan merupakan unsur
penting dalam Islam. Bahkan masyarakat Islam, menurut Quthub, tidak lain
merupakan produk atau hasil dari gerakan Islam. Fiqih Islam dengan berbagai
hukumnya tidak dapat melahirkan Islam. Akan tetapi, masyarakat Islamlah, dengan
berbagai dinamika dan gerakannya baik dalam menghadapi musuh maupun dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, justru yang membentuk dan melahirkan fiqih Islam.
Dinamika dan
gerakan ini, menurut Quthub, merupakan alat yang memungkinkan seorang dapat
berdialog dengan al-Qur’an. Petunjuk dan tujuan al-Qur’an tidak dapat dipahami,
kecuali oleh orang-orang yang secara sungguh-sungguh terlibat dalam kancah
perjuangan dan pergerakan Islam. Mereka adalah orang-orang yang selalu berjuang
melawah jahiliyah dan menghadapi berbagai persoalan dan tantangan sebagaimana
pelaku dakwah yang permula, yaitu Rasulullah dan kaum Muslimin di awal periode
Islam. Menurut Quthub, hanya merekalah orang-orang yang dapat mengerti al-Qur’an
dan yang dapat menangkap makna atau kebenaran tersirat yang ditunjukkan oleh
ayat-ayatnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu menemukan pemahaman yang
melahirkan tindakan atau gerakan (fiqh
al-harakah), bukan pemahaman teoritik semata (fiqh al-auraq).
Bertolak dari pemikiran ini, Quthub
berpendapat bahwa dakwah sebagai suatu ikhtiar mewujudkan sistem Islam harus
dilakukan melalui suatu gerakan dakwah yang dinamik dan sistemik. Dalam
pemikiran Quthub, ada tiga hal penting yang harus ada dalam pergerakan dakwah
tersebut, yaitu asas pergerakan, jama’ah ini: pendukung utama pergerakan, dan
rambu-rambu (karakteristik) pergerakan.
J. Da’i dalam Pandangan Sayyid Quthub
- Akhlak
Da’i
Da’i merupakan
salah satu unsur penting dalam proses dakwah. Sebagai pelaku dan penggerak
kegiatan dakwah, da’i menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan atau
kegagalan dakwah. Da’i pada dasarnya adalah penyeru ke jalan Allah, pengibar
panji-panji Islam, dan pejuang (mujadid)
yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam realitas kehidupan umat manusia. Sebagai penyeru ke jalan Allah,
da’i tidak bisa tidak, harus memiliki pemahaman yang luas mengenai Islam dengan
baik dan benar. Dia juga harus memiliki semangat dan ghirah keislaman yang
tinggi yang menyebabkan ia setiap saat dapat menyeru manusia kepada kebaikan
dan mencegah dari kejahatan, meskipun untuk itu ia harus menghadapi tantangan
yang berat.
Menurut
Sayyid Quthub, di antara sifat-sifat mulia yang amat penting dan mutlak harus
dimiliki seorang da’i adalah sifat kasih sayang (rahmah), seperti kasih sayang yang dimiliki dan diperlihatkan oleh
pelaku dakwah yang pertama, yaitu Rasulullah SAW. Di samping kasih sayang,
seorang da’i harus pula memiliki integritas atau keutuhan pribadi. Integritas
mengandung beberapa makna, antara lain, keterpaduan, kebulatan, keutuhan,
jujur, dan dapat dipercaya. Dalam pengertian ini, orang yang memiliki
integritas adalah orang yang pada dirinya berpadu dan bersatu antara kata dan
perbuatan. Dengan kata lain, ia bersifat benar dan jujur dari sifat dusta.
Sifat lain yang harus dimiliki seorang da’i ialah sikap sungguh-sungguh dan
kerja keras (al-jidd wa ‘amal). Sifat
ini mengharuskan para da’i untuk menggunakan secara efisien bagi kepentingan
dakwah. Dia harus menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak
berguna. Ini berarti kerja keras harus menjadi watak pribadi Muslim, terlebih
lagi bagi para da’i.
K. Bekal Da’i
Sebagaimana
telah dikemukakan, untuk dapat melaksanakan amanat dan kewajiban dakwah, para
da’i membutuhkan persiapan-persiapan dan bekal perjalanan yang cukup, terutama,
persiapan, dan bekal spiritual (rohani)
yang mantap. Untuk itu, sebelum melaksanakan tugas yang berat itu, para da’i
harus mempersiapkan diri, memperkuat jiwa dan mental mereka dengan iman dan
takwa kepada Allah SWT. Iman, tak pelak lagi, merupakan bekal utama bagi para
da’i.
Dalam pandangan Quthub, bekal
spiritual yang diperlukan da’i seperti dikemukakan di atas, dapat diupayakan
melalui pemberdayaan ibadah. Keharusan tentang pemberdayaan ibadah ini dengan
jelas dapat dibaca dalam ayat-ayat pertama surah al-Muzammil.
Di samping
memerlukan bekal ibadah, dzikir dan tasbih, seperti telah dikemukakan di atas,
da’i memerlukan pula bekal lain, yaitu sabar dan kesabaran. Sebagai bekal,
sabar tergolong satu paket dengan dzikir dan tasbih. Dalam beberapa ayat sabar
selalu disebut bersama dengan dzikir. Dalam surah al-Muzammil perintah untuk
melaksanakan tugas dakwah dan dzikir diikuti dengan perintah sabar. Demikian
pula perintah dakwah dan dzikir dalah surah al-Muddatstsir diikuti dan diakhiri
pula dengan perintah sabar.
Bekal lain yang
diperlukan da’i ialah bekal takwa (al-taqwa).
Takwa diperlukan sebagai penyempurna semua bekal yang telah dikemukakan. Takwa
disebut oleh Allah sebagai bekal yang paling baik. “Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal (ulu al-Albab).
L. Perjuangan Da’i
Dakwah sebagai
usaha membangun sistem Islam pada dasarnya merupakan suatu proses perjuangan
yang amat panjang. Dalam proses ini da’i tidak saja memerlukan berbagai bekal
seperti telah dijelaskan, tetapi juga membutuhkan komitmen perjuangan yang amat
tinggi. Hal ini, karena dakwah pada dasarnya identik dengan perjuangan itu
sendiri. Dalam kaitan ini, cukup beralasan bila Quthub memposisikan da’i
sebagai pejuang (mujahid). Sebagai
mujahid, da’i tentu harus bekerja dan berjuang tanpa kenal lelah sepanjang
hayatnya.
Dalam pemikiran
Quthub, perjuangan da’i dapat dilihat, antara lain, dari tiga bentuk. Pertama, dari kesaksian (komitmen) yang
ia tunjukkan kepada Islam. Kedua,
dari pengorbanan dan kesanggupan menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Ketiga, perjuangan itu pada akhirnya
harus mencapai kemenangan, tentu dengan izin dan pertolongan dari Allah
swt. Berikut disajikan tiga bentuk
perjuangan itu secara berurutan.
- Kesaksian
Da’i
Kesaksian (syahadah) sebagai ungkapan keimanan
kepada Allah dan Rasul merupakan ajaran paling dasar dalam Islam. Semua
bangunan Islam yang meliputi ibadah, syari’ah, muamalah, dan akhlak bersumber
dan diletakkan di atas dasar syahadah,
seorang Muslim sudah siap untuk mendengar dan melaksanakan semua perintah,
termasuk menerima resiko yang mungkin timbul dalam komitmen ini.
Dalam pengertian
ini, syahadat bukan kesaksian atau pernyataan yang bersifat verbalistik semata,
melainkan sebuah komitmen dari setiap orang yang beriman kepada Allah dan rasul
untuk secara sungguh-sungguh dan konsisten mengembangkan sistem hidup Islam.
- Ujian
dan Cobaan Da’i
Sebagai pejuang
yang berusaha mengokohkan sistem Islam, tentu da’i akan menghadapi berbagai
cobaan dan ujian. Ujian dan cobaan itu beraneka ragam dari yang ringan hingga
yang paling berat. Ujian dan cobaan ini dapat dipandang sebagai konsekwensi
logis dari iman. Dikatakan demikian, karena iman sesungguhnya bukan hanya
kata-kata, tetapi kesanggupan seorang melaksanakan tugas-tugas agama yang
timbul dari iman, serta sabar menghadapi berbagai kesulitan di jalan iman.
- Kemenangan
Da’i
Dalam
al-Qur’an terdapat sekian banyak ayat yang menjanjikan kemenangan bagi
orang-orang yang menolong Allah swt. Keterangan mengenai hal ini dapat dibaca,
antara lain, dalam surah Muhammad: 7, Ghaafir: 51, dan al-Hajj: 40-41. Dalam
ayat-ayat tersebut kemenangan yang dijanjikan Tuhan dikaitkan dengan perjuangan
menolong Allah swt sehingga timbul pertanyaan bagaimana cara manusia menolong
Allah? Menurut Quthub, menolong Allah bermakna menolong agama-Nya.
M. Langkah-langkah Manhaj Rabbani Versi Sayyid
Quthub
Langkah-langkah
manhaj Rabbani bagi Sayyid Quthub berdiri di atas tujuh hal yang membentuk inti
dari manhaj rabbani tersebut;
- Pentingnya
sebuah kelahiran baru, yang dimaksud dengan kelahiran di sini adalah
kelahiran sebuah organisasi Islam yang berkarakter khusus.
- Kepastian
sebuah kelahiran baru, kepastian lahirnya organisasi ini dikarenakan
berbagai sebab dan dorongan dari dalam maupun dari luar yang dilihat
dengan kacamata Islam.
- Spesifikasi
organisasi
- Bekal perjalanan, yang dimaksud di sini adalah faktor-faktor yang akan membentuk seorang pelaku misi dakwah Islam (da’i Muslim).[20]
Daftar Pustaka
Amin,
Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah
Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. I, 1995
Bahsawi
K. Muslim, Buti-Butir Pemikiran Sayyid Qutub; Menuju Pembaruan Gerakan Islam,
Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 2003
Hanafi, Hasan, al-Din
wa al-Tsaurat fii Mishr 1952-1981: al-Harakah
al-Diniyyah al-Mu’ashirat,
Ismail, A Ilyas, Paradigma
Dakwah Sayyid Quthub; Rekontruksi Dakwah Harakah, Jakarta: Penamadani, Cet.
II, 2008
Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh
Abad 20, Jakarta: Gema
Insani, Cet. I, 2006
Quthub, Sayyid, Nahwa
Mujtama al-Islam, Jordan: Maktabat al-Aqshi, 1969, cet. Ke-1,
Quthub, Sayyid, al-Mustaqbal lihidzi al-Din, Beirut: Dar al-Syuruq, 1974
Robert D. Lee, Mencari
Islam Autentik, terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 1997, cet. Ke-1
Yakan, Fathi, Manhajiyyah
al-Aman Asy-Syahid Hasan al-Banna wa Madaris al-Ikhwan al-Muslimin, terj.
Fauzun Jamal, Jakarta: Harakah, Cet. I, 2002
[1] A. Ilyas, Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekontruksi
Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, Cet. II, 2008), hal. 41
[2] Ibid.
[3] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
(Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2006), hal. 297
[4] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurat fii Mishr 1952-1981:
al-Harakah al-Diniyyah al-Mu’ashirat,
hal. 171-220.
[5] Ibid., hal. 191
[6] Ibid., hal. 181
[7] Charles Tripp, “Sayyid
Quthub: Visi Politik” dalam Ali Rahnema (Ed), hal. 156. Lihat juga, A. Ilyas,
Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub;
Rekontruksi Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, Cet. II, 2008), hal. 115
[9] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Ahmad
Baiquni, (Bandung: Mizan, 1997), cet. Ke-1, hal. 102-103.
[10] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah fit Mishr
1952-1981: al-Harakah al-Diniyyat
al-Mu’ashirat, hal. 192.
[11] Sayyid Quthub, al-Mustaqbal lihidzi al-Din, (Beirut:
Dar al-Syuruq, 1974), hal. 3
[12] Hasan Hanafi, op. cit., hal. 215
[13] Charles Tripp, op. cit., hal. 156-157.
[14] Ibid.
[15] Hasan Hanafi, op. cit., hal. 223.
[16] Sayyid Quthub, op. cit., hal. 223-224
[17] Hasan Hanafi, op. cit., hal. 223-224
[18] Ibid. hal., 240
[19] Ibid. hal., 251
[20] Fathi Yakan, Manhajiyyah al-Aman Asy-Syahid Hasan
al-Banna wa Madaris al-Ikhwan al-Muslimin, terj. Fauzun Jamal, (Jakarta:
Harakah, Cet. I, 2002), hal. 71
Post a Comment