BAB I
PENDAHULUAN

“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

(QS.al-Baqarah: 154)
Di pelataran dakwah, tak sedikit bilangan mereka yang berkiprah di dalamnya. Berasal dari berbagai negeri, baik dari Timur maupun dari Barat. Pentas dan lakon yang mereka mainkan berbeda, meski tetap pada satu jalur; berdakwah, berbeda dalam cara, tapi sama dalam tujuan, yakni, upaya meninggikan kalimat tauhid di bumi Allah.
Menulis biografi singkat para tokoh tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang tokoh, biasanya, tidak hanya bisa dilihat dari satu sudut padang saja. Ini karena, mereka pada umumnya bisa dilihat dari berbagai  sisi, dari kancah sosial-budaya sampai sosial politik. Mereka berkiprah dan ikut memberi warna dalam proses peradaban yang dibangun oleh umat manusia berdasarkan konsepsi al-Qur’an dan al-Hadits.
Untuk mengamati pemikiran seorang tokoh, paling mudah adalah dengan melihat biografi hidupnya. Dengan melihat liku-liku perjalanan hidupnya, kita dapat mengikuti ke mana arah pemikiran dan perjuangan sang tokoh.
Biografi seseorang adalah juga bagian dari sejarah. Jika sejarah memperhatikan secara intens kejadian-kejadian yang ada di masyarakat, biografi menjadikan orang per orang pelaku sejarah sebagai perhatian utamanya. Dengan mengikuti biografi seseorang kita akan memahami konteks kesejarahan dimana sang tokoh hidup dan bergumul dengan jamannya. Makalah sederhana ini, mencoba memuat biogari, pemikiran, perjuangan, dan dakwah Sayyid Quthub.
BAB II
Pembahasan

A.      Riwayat Hidup Sayyid Quthub
Sayyid Quthub, lahir di desa Musya wilayah Provinsi Asyuth, Mesir Atas, pada tahun 1906. Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthub Ibrahim Husain Syadzili. Para penulis berbeda pendapat tentang negeri asal Sayyid Quthub. Sebagian penulis menyebut Sayyid Quthub berasal dari Mesir, sedang sebagian yang lain menyebut Quthub berasal dari India.[1]
Pendapat kedua dianggap lebih kuat karena dua alasan. Pertama, secara fisik raut muka keluarga Sayyid Quthub tidak seperti raut muka orang Mesir pada umumnya, tetapi mirip raut wajah orang India. Kedua, didasarkan pada pengakuan Sayyid Quthub sendiri kepada Abu al-Hasan ‘Ali al-Nadwi ketika yang terakhir ini mengajak Quthub berkunjung ke India. Kepada al-Nadwi, Quthub berkata, “Keinginan saya berkunjung ke India merupakan keinginan yang fitri. Karena, kakekku yang keenam, Abdullah, berasal dari sana.”[2]
Sayyid Quthub merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya, Haji Ibrahim, merupakan seorang Muslim yang taat beragama. Dia telah menunaikan ibadah haji dalam usia sangat muda.
Digambarkan bahwa Haji Ibrahim selalu melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah di Mesjid. Sayyid Quthub kecil pun selalu diajak menemani ayahnya pergi ke Mesjid. Haji Ibrahim dikenal sangat dermawan. Dia banyak membantu orang-orang miskin dan lemah di desanya. Haji Ibrahim juga dikenal sebagai tokoh dan aktivis Partai Nasional (al-Hizb al-Wathani). Dia merupakan salah seorang pengurus partai ini di walayahnya.
Sebagaimana ayahnya, Ibu Quthub juga dikenal taat beragama. Dia memiliki kegemaran membaca al-Qur’an dan mendengarkan bacaan al-Qur’an. Dijelaskan, Sayyid Quthub kecil selalu dibimbingnya membaca dan menghafal al-Qur’an.
Berbeda dengan ayahnya, Ibu Sayyid Quthub berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari warisan kekayaan yang ditinggalkan orang tuanya, juga dari pendidikan saudara-saudaranya. Dua di antara saudaranya, kuliah dan lulus dari Universitas al-Azhar. Salah seorang dari mereka Ahmad Husain Utsman, cukup memberi pengaruh kepada Sayyid Quthub ketika mereka tinggal bersama di Kairo.
Keluarga Quthub tergolong keluarga yang bahagia. Hubungan dalam keluarga sangat harmonis. Orang tua Quthub jarang atau hampir tidak pernah terlibat pertengkaran. Hubungan Quthub dengan saudara-saudaranya juga terjalin sangat baik.
Desa Musyi, tempat Quthub dilahirkan juga tergolong asri dan nyaman, jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan kota. Di lingkungan keluarga yang harmonis dan di desa yang teduh dan tenang itu, Sayyid Quthub dilahirkan dan dibesarkan. Dia tidak meninggalkan tempat kelahirannya itu sampai ia menginjak remaja.

B.  Latar Belakang Pendidikan Sayydi Quthub
Haji Ibrahim termasuk orang tua yang memberi perhatian tinggi terhadap pendidikan anak-anaknya. Ketika Sayyid Quthub menginjak usia enam tahun, Haji Ibrahim mulai berpikir tentang mengirim Quthub ke Sekolah Agama ataukah ia harus memasukkan Quthub ke Sekolah Negeri, lalu Haji Ibrahim memutuskan untuk memasukkan Quthub ke Sekolah negeri.
Quthub mulai masuk sekolah pada tahun 1912 ketika ia baru berusia enam tahun. Dia menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1918. Ketika itu, Quthub baru berusia dua belas tahun. Quthub tergolong anak cerdas. Dia telah menghafal seluruh al-Qur’an pada usia sepuluh tahun. Dia menghafal al-Qur’an dalam waktu kurang dari tiga tahun. 
Selesai dari sekolah ini, Quthub tetap tinggal di desanya selama dua tahun. Dia tak dapat langsung meneruskan studinya ke Sekolah Guru di Kairo, karena usianya yang terbilang sangat muda, di samping terjadi gejolak politik di Mesir ketika itu.
Pada tahun 1921, Quthub pergi- meninggalkan kampung halamannya- ke kairo. Pada waktu itu, Quthub telah berusia empat belas tahun. Di Kairo, ia tinggal di rumah pamannya, Ahmad Husain Utsman. Beliau seorang dosen dan wartawan, alumni Universitas al-Azhar. Quthub tinggal di sini selama empat tahun.
Di sinilah Quthub mulai berkenalan dengan ‘Aqqid, seorang sastrawan dan intelektual Mesir yang sangat berpengaruh. Aqqid berteman dengan Ahmad Husain, paman Quthub. Mereka saling berkunjung, dan tempat tinggal mereka tergolong berdekatan.
Pada tahun 1925, Quthub masuk Sekolah Guru (Madrasat Mu’allimin). Dia belajar di Sekolah ini selama tiga tahun. Lulus dari Sekolah Guru, Quthub tidak langsung mengajar, tetapi melanjutkan studi di Universitas Dar al-‘Ulum. Di sini, ia masuk kelas persiapan selama dua tahun. Setelah menempuh kelas persiapan, Quthub mulai kuliah dan menyelesaikan studinya di universitas ini pada tahun 1933 dengan meraih gelar lc dalam bidang Sastra dan Deploma dalam bidang pendidikan.
Beberapa tahun setelah lulus dari Dar al-‘Ulum, Quthub mulai bekerja di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Mesir. Mula-mula ia bekerja sebagai guru, lalu penyidik, dan terakhir sebagai Inspektur Jenderal Kebudayaan. Di kementrian ini, ia bekerja selama delapan tahun, dari tahun 1940 sampai dengan 1948.
Ketika menjabat inspektur Jenderal itu, Quthub mendapat tugas belajar ke Amerika untuk meneliti sistem dan metodologi pendidikan Barat. Quthub semula ragu-ragu atas tawaran ini. Tetapi, beberapa saat kemudian, ia dapat menerimanya.
Menurut banyak pengamat, tawaran ini sengaja diberikan untuk menyingkirkan Quthub dari Mesir. Hal ini karena penguasa merasa resah dengan tulisan-tulisan Quthub yang sangat tajam dan kritis menyerang berbagai kebijakan pemerintah di Majalah al-Fikr al-Jadid yang diasuh oleh al-Minyawi.
Di Amerika, Quthub belajar di beberapa perguruan tinggi. Di antaranya, menurut John L. Esposito, ia pernah belajar di Wilson’s Teacher’s College, kini University of the District of teachers College. Di universitas ini, ia mendapat gelar Master of Art (MA) dalam bidang pendidikan. Terakhir, ia belajar di Stanford University.
Sewaktu di Amerika, Quthub merasa asing dan gelisah dengan kehidupan di sana. Kenyataan ini disampaikan Quthub kepada salah seorang temannya di Mesir, Anwar al-Mu’addawi. Menurut pengakuannya kepada temannya itu, Quthub menyadari sepenuhnya kemajuan ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi Amerika, tapi ia merasa risau dan bahkan ngeri dengan rasialisme, kebebasan seksual, dan sikap pro-zionisme Amerika. 
Kegelisahan Quthub ini dipahami oleh beberapa penulis, termasuk John L. Esposito, sebagai peralihan orientasi hidup Quthub dari pencarian sastra dan pendidikan ke semangat dan komitmen agama (komitmen keislaman). Bahkan Esposito menyebut kegelisahan itu sebagai titik balik yang penting dalam kehidupan Quthub. Di sini, Quthub, kata Esposito, mengalami apa yang disebut “kejutan budaya” (culture shock) sehingga ia makin religius saja.
Quthub berada di Amerika selama dua tahun. Pada tahun 1950, ia meninggalkan Amerika. Dalam perjalanan pulang, ia menyempatkan diri berkunjung ke Inggris, Swiss, dan Italia. Pada tahun 1951, ia tiba kembali di Kairo, Mesir. Tapi, kini Quthub tidak bersedia lagi bekerja di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, lembaga yang dulu menugaskan Quthub belajar di Amerika. Quthub aktif kembali menulis di media massa dalam masalah-masalah sosial dan politik. Selanjutnya, ia melibatkan diri secara langsung dalam pergerakan Mesir kontemporer setelah ia secara resmi bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin.

C.  Sayyid Quthub dan al-Ikhwan al-Muslimun
Selain menulis, setelah keluar dari Kementrian Pendidikan Mesir, Quthub mempergunakan waktunya untuk mempelajari tulisan-tulisan Hasan al-Banna. Dari penelitiannya ini, Quthub sependapat dengan jalan hidup yang ditempuh al-Banna, dan sepakat dengan orientasi dan tujuan hidup yang hendak dicapai al-Banna. Kini, Quthub menjadi sadar dan mengerti mengapa al-Banna dilawan dan dibunuh. Akhirnya, Quthub berjanji kepada dirinya untuk mengemban amanah yang dahulu diemban al-Banna. Quthub juga bertekad untuk menempuh jalan hidup yang ditempuh al-Banna, yaitu jalan hidup yang telah mengantar al-Banna menemui kesyahidannya.
Melihat kesungguhan dan komitmen Quthub di atas, Hasan Hudlabi, pemimpin Ikhwan yang menggantikan Hasan al-Banna, meminta Quthub bergabung dengan Ikhwan. Quthub menerima tawaran ini dan bergabung dengan Ikhwan pada tahun 1951.
Selain sebagai tokoh pergerakan, Qutb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia banyak menulis tentang sastra, politik sampai keagamaan. Tahun 1954, Sayyid menjadi pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut kemudian dilarang beredar oleh pemerintah Mesir. Penyebab utamanya adalah sikap keras, yang mengkritik keras Presiden Mesir Kolonel Gamal Abdel Naseer. Sayyid Qutb mengkritik perjanjian pemerintahan Mesir dan Inggris. Sejak itu, ia menjadi korban kekejaman kekejaman penguasa hingga pada bulan Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya.
Beliau sempat dibebaskan atas permintaan presiden Iraq Abdul Salam Arief saat berkunjung ke Mesir tahun 1964. Namun kebabasannya tidak lama, karena ia kembali dipenjara setahun kemudian berikut tiga saudaranya (Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah), serta 20.000 rakyat Mesir lainnya . Alasannya beliau dan Ikhwanul Muslimin dituduh membuat gerakan makar dan membunuh Presiden Naseer. Hukuman yang diterima kali ini lebih berat dari sebelumnya. Ia dan dua kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.
Meski dunia internasional mengecam pemerintah Mesir, hukuman mati tetap dilaksanakan, tanggal 29 Agustus 1969. Sebelum menghadapi ekskusinya, Sayyid Qutb sempat menuliskan tulisan sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini tulisan tersebut telah dibukukan dengan judul, “Mengapa Saya Dihukum Mati”. Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir hingga kini. 

D.  Karya-Karya Sayyid Quthub
Dunia tulis menulis tidak asing bagi Sayyid Quthub. Sejak masa muda ia telah mengasah kemampuan menulisnya. Ratusan makalah di berbagai surat kabar dan majalah Mesir memuat tulisan-tulisannya, seperti al-Ahram, ar-Risalah, dan Ats-Tsaqafah. Quthub sendiri menerbitkan majalah al-Alam al-Arabi dan al-Fikrul Jadid. [3]
Oleh karena itu, Sayyid Qutb terkenal sebagai seorang penulis buku. Ia telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang diantaranya karya sastra dan buku-buku keagamaan di antaranya; “Muhimmat al-Syi’r fi al-Hayâh” (1933), “Naqd Mustaqbal al-Tsaqâfah fî Misr” (1939),  al-Tashwîr al-Fanni fi al-Qur`an” (1945),  Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur`an”,  ‘al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam, ‘Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’s al-Maliyyah’, “Hâdza al-Dîn”, “al-Mustaqbal li Hâdza al-Dîn”, “Khashâ`is al-Tashawwur al-Islâmi wa Muqawwimâtihi’ al-Islâm wa Musykilah al-Hadhârah” , “Fî Zhilal al-Qur`ân’.

E.   Latar Belakang Sosial, Politik
Pada akhir perang, tahun 1919, timbul sebuah gerakan nasional populer yang menuntut kemerdekaan Mesir. Gerakan ini tidak hanya berlangsung di Kairo, tapi menggema ke berbagai daerah di Mesir dengan melibatkan para aktivis baik dari kalangan mahasiswa, dosen, dokter, pengacara, wartawan, dan aktivis lainnya di bawah pimpinan Sa’ad Zaghlul, salah seorang tokoh pergerakan Mesir yang belakangan dinobatkan sebagai “Bapak Kemerdekaan Mesir.” Menghadapi badai protes nasionalis, Inggris terpaksa membuat pernyataan sepihak tentang kemerdekaan Mesir pada tahun 1922. 
Namun, ini tidak berarti Inggris telah hengkang dari bumi Mesir. Inggris mengubah siasat dengan mendirikan rezim politik yang disiapkan untuk monarki konstitusional yang berpalemen, berpemilu, dan berpartai politik. Setelah itu, berkembanglah perjuangan politik di kalangan di kalangan istana raja, partai politik, dan Inggris. Perjuangan ini, berpusat pada dua soal, yaitu memodifikasi batas-batas kemerdekaan Mesir, dan menjaga keseimbangan kekuasaan antara istana dan partai-partai nasional, terutama partai yang paling berpengaruh, yaitu Partai Wafd, pimpinan Sa’ad Zaghul yang sangat populer itu.
Sejak awal abad ini, memang sudah bermunculan partai-partai politik di Mesir dengan platform yang berbeda-beda. Pada tahun 1907, berdiri Partai Nasional (al-Hizb al-Wathani), dipimpin Musthafa Kamil dan Muhammad Farid. Pada tahun itu juga lahir Partai Ummat (al-Hizb al-Ummah) dipimpin Mahmud Sulaiman dan Luthfi Sayyid. Lalu, pada 1918, Sa’ad Zaghlul mendirikan Partai Wafd yang populer itu. Pada tahun 1920, Isma’il Shidqi mendirikan Partai Rakyat (Hizb al-Sya’ab) yang dimaksdukan untuk mendukung status quo. Lalu, pada tahun 1928, Hasan al-Banna mendirikan Ikhwan al-Muslimin, sebuah perkumpulan yang semula bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan, namun belakangan berperan sebagai partai politik. 
Perjuangan politik yang dilakukan oleh partai-partai ini kurang berjalan seperti diharapkan dan menimbulkan ketidakpuasan. Hal ini, antara lain karena masih kuatnya peran Inggris dalam politik, dan dominasi kepentingan asing dalam ekonomi Mesir. Untuk itu, issu yang dikedepankan kaum nasionalis saat ini adalah kemerdekaan ekonomi dan politik Mesir. Usaha pembebasan ini rupanya terus berlanjut dan memuncak pada revolusi juli 1952 yang dimotori oleh sekelompok perwira bebas di bawah pimpinan Jenderal Najib dan Jamil Abd al-Nashir.
Setelah revolusi, partai-partai politik Mesir mendapat tantangan baru. Pada awal 1953, Dewan Revolusi mengeluarkan keputusan yang membekukan semua partai politik, termasuk Ikhwan al-Muslimin. Bahkan, di bawah pemerintahan Nashir, Ikhwan mendapat tekanan berat. Sayyid Quthub sendiri menjadi “korban” kezhaliman pemerintahan Nashir yang represif. Dapat dikatakan bahwa iklim politik di seputar tahun-tahun awal kesadaran Quthub, dilingkupi oleh dua hal. pertama, dominasi asing dan perlawanan terhadap dominasi asing itu. Kedua, despotisme dan kezhaliman dari penguasa Mesir itu sendiri. Kedua, hal ini tampaknya berpengaruh besar terhadap sikap Quthub, karakter dan pikiran-pikirannya yang cenderung radikal dan revolusioner.

F.   Latar Belakang Sosial Ekonomi
Dilihat dari segi sosial ekonomi, masyarakat Mesir prareformasi masih terbagi ke dalam tiga strata. Pertama, kelompok tuan tanah. Mereka terdiri dari para penguasa Mesir dan orang-orang yang memiliki tanah dalam skala besar. Kedua, kelompok konglemerat, terdiri dari para pengusaha yang menguasai sektor bisnis, perdagangan, dan industri Mesir. Ketiga, para petani dan buruh kasar yang merupakan kelompok terbesar dari rakyat Mesir ketika itu. Kelompok pertama dan kedua tinggal di Kairo dan hidup mewah. Anak-anak mereka dapat menikmati pendidikan tinggi di dalam maupun di luar negeri. Sedang kelompok ketiga tinggal dipedesaan dan sebagian besar masih buta huruf. Mereka hidup dibawah garis kemiskinan.
Namun, sejak dasawarsa-dasawarsa pertama abad XX, terdapat perkembangan-perkembangan ini. Perkembangan ini dipadu dengan semakin banyaknya petani yang tak punya dan kemudian hijrah atau melakukan migrasi dari desa ke kota, sehingga orang Mesir yang tinggal di pusat-pusat urban meningkat. Berbagai kota menyaksikan, selain pertambahan jumlah, juga perubahan watak ke arah suatu masyarakat yang semakin kompleks. Berbagai kelompok urban tradisional, seperti pedagang, tukang, dan buruh miskin, terus eksis seiring dengan tumbuhnya kelas menengah modern pegawai negeri dan kaum profesional, serta pekerja industri.
Dominasi politik, ekonomi, dan budaya Eropa mulai terlihat dengan jelas pada kecendrungan elite Mesir untuk bergaya hidup Barat dan untuk memungut gagasan Barat, meski dengan mengorbankan keyakinan dan praktik tradisional Islam. Bahkan Kairo dan Iskandariah mengembangkan lingkungan terbaratkan, dimana orang Mesir dapat bergaya hidup Eropa, seperti mengunjungi restoran, klub malam, bioskop, dan teater. Sebagian intelektual Mesir mencemaskan dan mengkhawatirkan kecendrungan ini. 
Dalam pandangan para intelektual itu, pembaratan budaya ini tidak saja berbahaya, tetapi juga dapat menyapu bersih kultur Muslim Mesir. Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub termasuk tokoh dan intelektual yang berada dalam barisan ini.

G.  Fase-Fase Perkembangan Pemikiran Sayyid Quthub
Sebagai pemikir, Sayyid Quthub berdialog dengan berbagai pemikiran yang berkembang pada zamannya. Pemikiran Quthub, seperti disebut Abu Rabi, tidak lahir dari kevakuman sosial dan intelektual, tetapi merespon berbagai situasi aktual yang melingkupinya, termasuk pergumulan pemikiran modern yang membicarakan topik-topik hangat seperti kebangkitan (nahdlah), politik, filsafat, kebangsaan, dan doktrin Islam. Telaah terhadap pemikiran Quthub biasanya dibagi ke dalam beberapa fase perkembangan pemikiran. Namun, tidak ditemukan kesamaan dalam penetapan fase-fase tersebut. Abu Rabi’ hanya membagi ke dalam dua fase, fase sebelum Sayyid Quthub bergabung dengan pergerakan Ikhwan dan fase setelah Sayyid Quthub terlibat dan melibatkan diri dalam pergerakan itu.
Khalidi membaginya ke dalam tiga fase, yaitu fase sastra (1939-1947), fase pemikiran Islam (1947-1953), dan fase Islam pergerakan (1953-1966). Sementara Hasan Hanafi membaginya ke dalam empat fase, yaitu fase sastra, fase sosial, atau kemasyarakatan, fase filsafat, dan fase politik.

1.    Fase Sastra (1930-1950)
Fase ini berlangsung selama 20 tahun, merupakan fase paling lama dalam perkembangan pemikiran Sayyid Quthub. Pada fase ini, Sayyid Quthub banyak memberikan perhatian dalam bidang sastra, puisi, cerita, dan kritik sastra. Fase ini mencapai puncaknya ketika Quthub tertarik dan kemudian menekuni bidang sastra al-Qur’an. Perhatian Quthub terhadap al-Qur’an dianggap sebagai sesuatu yang sangat wajar. Sebagai pengaruh dari pengalaman masa kecilnya yang sangat religius di tengah-tengah lingkungan keluarga, terutama ibundanya, yang sangat mencintai al-Qur’an.[4]
Di sini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Sayyid Quthub memulai kehidupannya sebagai penyair, sastrawan, budayawan, dan kritikus sastra. Dia merupakan bagian dari gerakan budaya dan kritik sastra sepanjang tahun 30 dan 40-an. Dalam sastra Quthub, sebagai respon terhadap tantangan yang ada, terkandung semangat kebangsaan (nasionalisme) yang sangat tinggi. Pada fase ini, belum kelihatan ide Sayyid Quthub tentang Hakimiyyah yang sangat keras itu. Ide ini, seperti akan dijelaskan, datang belakangan dan timbul karena banyak faktor, internal maupun eksternal.[5]
Melalui sastra, Sayyid Quthub masuk ke dalam agama. Pada tahap ini pencarian agama Sayyid Quthub dicapai melalui sastra budaya. Jadi, sastra merupakan pintu masuk yang mengantar Sayyid Quthub menjadi seorang Muslim yang makin religius.[6] Pada masa ini, pemikiran Sayyid Quthub memperlihatkan dirinya sebagai seorang moralis yang menekankan kesaliha pribadi. Dia banyak mencela kemerosotan moral orang-orang di sekitar dirinya. Dia berusaha memahami penyebab kemerosotan ini, dan mendesak agar lebih menyadari norma akhlak yang akan membawa kepada kehidupan yang lebih baik.[7]         
Dalam konteks ini, Sayyid Quthub mengecam manusia modern sebagai orang yang telah mengidap penyakit “skizofrenia” karena didominasi oleh unsur-unsur lain di luar dirinya. Dengan kata lain, manusia modern, oleh karena sikapnya yang berlebihan dalam mengejar kemajuan materil di satu pihak, dan melupakan kebutuhan spiritualnya di lain pihak, menjadi orang yang terasing dari dirinya sendiri. Sayyid Quthub mencoba memecahkan problem alienasi ini  yang dengan mengajukan konsep “pembebasan diri.” Selanjutnya, manusia harus kembali kepada kecendrungan dirinya yang suci dan alami, yaitu fithrah dengan menerima al-Islam, sikap pasrah dan tunduk kepada Allah swt.[8] Karena “ide pembebasan diri” ini, Sayyid Quthub dinilai modern dan ditempatkan sekelompok dengan pemikir-pemikir modern yang lain.[9]

2.    Fase Sosial Kemasyarakatan (1951-1953)
Pemikiran Sayyid Quthub pada fase ini memberikan perhatian pada masalah-masalah kemasyarakatan. Pemikirannya dalam soal ini tampak jelas dalam beberapa karya Sayyid Quthub, antara lain, dalam al-‘Adalat al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) dan dalam Ma’rakat al-Islam wa al-Ra’sumaliyyah (Perang Islam dan kapitalisme). Perhatian Quthub pada bidang ini kelihatannya bermula dari sastra, bukan dari agama atau Ihkwan. Diakui, setelah bergabung dengan pergerakan Ikhwan, pemikiran sosial Quthub makin berkembang dan menguat.[10]
Pemikiran sosialisme Islam Sayyid Quthub dipengaruhi oleh pandangan dasarnya bahwa Islam bukan hanya religi, tetapi sistem hidup (al-Islam manhaj hayat) yang sempurna dan komprehensip. Islam bukan agama yang terlepas dari kehidupan manusia, bukan pula agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan semata-mata. Akan tetapi, Islam adalah agama kehidupan, merupakan sistem hidup (din al-hayah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia.[11]
Islam dipandang oleh Quthub sebagai agama keadilan yang melindungi hak-hak orang-orang lemah di depan orang-orang kaya. Menurut Quthub, seperti telah disinggung, Islam pada dasarnya merupakan gerakan pembebasan yang dimulai dari diri sendiri (iman dalam hati) dan berujung pada sosial (jami’ah).
Pafa fase ini, pemikiran Sayyid Quthub terus berkembang dari nasionalisme yang sudah kelihatan pada fase sebelumnya ke sosialisme Islam, dari pembebasan diri terus bergerak pada pembebasan masyarakat.[12] Dari sikapnya sebagai moralis yang menekankan kesalihan individu, perhatian, dan pemikiran Quthub terus berkembang ke arah kebersihan moral masyarakat atau kesalihan sosial. Dalam konteks ini, Quthub memandang sistem lain, bentuk kolektif organisasi lain, pada hakikatnya bertentangan dengan maksud Islam.[13]
Sebagai orang Mesir yang negerinya selama sebagian besar hidupnya dikendalikan Inggris, Quthub tidak terlalu sulit mengidentifikasi musuh. Namun, kelihatannya pengalaman hidupnya di Amerika Serikat selama 1948-1950, membuat dia melihat musuhnya secara lebih umum, dan dalam beberapa hal lebih mengganggu (mengancam). Imperialisme Inggris, disebut Quthub hanya sebagai satu segi dari permusuhan kolektif yang luas dan mengancam, yaitu Barat yang sekuler, materialis, individualis, dan kapitalis. Karena itu, tidak .mengherankan, sekembalinya dari Amerika Serikat, tulisannya lebih terang-terangan bernada kemasyarakatan, bukan semata-mata peringatan atau nasihat moral individual.[14]

3.    Fase Filsafat (1954-1962)
Pemikiran Sayyid Quthub pada fase ini, menurut Hasan Hanafi, lebih sebagai tuntutan pribadi ketimbang tuntutan sejarah (sosial). Pemikiran filsafat ini muncul setelah Dewan Revolusi mendominasi politik di Mesir dan melaksanakan sebagian dari tuntutan keadilan sosial yang menjadi tema besar pemikiran Quthub (sosial). Pemikiran filsafat ini muncul setelah Dewan Revolusi mendominasi politik di Mesir dan melaksanakan sebagian dari tuntutan keadilan sosial yang menjadi tema besar pemikiran Quthub pada fase sebelumnya. Pemikiran ini juga timbul setelah terjadi konflik antara ikhwan dan dewan revolusi. Pada masa ini, kecendrungan sosial dalam pemikiran Quthub sedikit melemah dan sedikit demi sedikit mulai tertarik pada masalah-masalah filosofis (teoritik).[15]
Kecendrungan filosofis pada pemikiran Quthub tampak jelas dalam karyanya, al-Mustaqbal dan Nahwa Mujtama’ Islami, serta mencapai puncaknya dalam Khashaish al-Tashawwur al-Islami. Di sini Sayyid Quthub menegaskan bahwa setiap agama, tidak hanya Islam, pada dasarnya adalah sistem hidup, merupakan suatu konsep yang menjelaskan tentang manusia, kehidupan, dan dunia, yang darinya lahir tatanan kehidupan manusia (nizham). Sebagai sistem hidup, Islam, menurut Quthub, merupakan sistem yang mandiri dan mengungguli semua sistem hidup yang ada, komunisme maupun kapitalisme.[16]
Pada fase ini, ada empat topik yang banyak diketengahkan Sayyid Quthub, yaitu kritik kepada (kebudayaan dan peradaban) Barat, masa depan milik Islam, karakteristik konsep Islam, dan supremasi syari’ah (al-hakimiyyat al-syari’ah).[17] Dari empat topik ini, dua di antaranya, kritik kepada Barat dan ide tentang hakimiyyah, Sayyid Quthub menurut Hasan Hanafi,  mendapat pengaruh Maududi. Pengaruh ini terjadi secara tidak langsung melalui al-Nadwi lewat bukunya yang sangat masyhur, Midza Khasir al-A’lam bi Inkhithath al-Muslimin, dan secara langsung melalui karya Maududi sendiri, al-Musthalahat al-Arba’at fi al-Qur’an.[18]
Jadi, pada fase ini, Sayyid Quthub berpindah dari bidang kemasyarakatan ke filsafat. Dia berpindah dari konflik dan perang melawan ekonomi dan sosial Barat kepada konsep dan gagasan tentang peradaban (filsafat). Peralihan ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh keadaan pribadinya yang terbelenggu dalam penjara dan tidak memiliki kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam politik praktis. “Sekiranya ia orang yang bebas dan merdeka,” demikian menurut Hasan Hanafi, “fase filsafat ini tidak akan pernah ada dalam pemikiran Sayyid Quthub. Dia akan masuk ke dalam Islam melalui pergulatan secara langsung dalam dataran praktis (ma’arik al-fi’liyah), bukan lewat wacana intelektual semata-mata.[19]

4.    Fase Politik (1963-1965)
Pada masa ini, Quthub mulai mengintridusir gagasan-gagasan besarnya yang radikal dan revolusioner seperti tampak dalam karyanya yang lahir pada fase ini, Ma’alim fi al-Thariq dan kitab tafsirnya Fi Zhilalil al-Qur’an. Di antara gagasannya yang muncul pada fase ini ialah gagasan tentang hakimiyyah, jahiliyyah, dan tajhil, perjuangan Islam atau perang suci (jihad) serta revolusi Islam (tsaurat al-Islamiyyah).
Hakimiyyah berarti Allah adalah satu-satunya pihak yang berwenang menetapkan hukum (syariah) secara mutlak. Tidak ada hak untuk penetapan hukum bagi manusia selain Allah. Hakimiyyah juga bermakna bahwa manusia harus menerima dan tunduk kepada hukum-hukum Allah, bukan hukum-hukum buatan manusia yang tidak dapat terlepas dari kepentingan pembuatnya. Bagi Sayyid Quthub, hakimiyyah adalah proposisi iman atau kafir, Islam atau Jahiliyah (jahiliyyah) seperti diterangkan secara eksplisit dalam ayat-ayat hakimiyyah yang amat populer.
Dalam pemikiran Quthub, ide hakimiyyah merupakan turunan atau terlahir dari konsep aqidah Islam, yakni tauhid (al-tauhid) Tauhid berarti mengesakan Allah dalam ketuhanan (uluhiyyah), penciptaan dan pemeliharaan (rububiyyah), kekuasaan (sulthan) dan dukungan atau kemandirian (qawwamah). Dalam pandangan Quthub, ketuhanan Allah (uluhiyyah) bermakna hakimiyyah. Dikatakan bahwa hakimiyyah merupakan salah satu sifat yang paling penting dari uluhiyyah. Oleh karena itu, orang yang membuat undang-undang untuk segolongan manusia dan ia telah menempatkan dirinya pada posisi ketuhanan dan mempergunakan salah satu sifat yang paling khusus dari ketuhanan itu, yakni hakimiyyah, maka ia telah menjadi Tuhan atau menuhankan diri, sedang segolongan orang tadi telah menjadi budak atau hambanya, bukan hamba Tuhan.
H.  Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah
Al-Qur’an, menurut Sayyid Quthub, mengemukakan prinsip-prinsip umum metodologi dakwah. Di antaranya ialah prinsip dakwah dengan bijaksana dan kearifan (bi al-hikmah), dakwah dengan nasehat yang baik (di al-mau’izhat al-hasanah), dakwah dengan dialog yang baik (bi al-jadal al-husna), dakwah dengan pembalasan berimbang (mu’aqabat bi al-mitsl).
Prinsip umum metodologi dakwah tersebut dijelaskan oleh Allah swt dalam ayat ini:
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ   ÷bÎ)ur óOçGö6s%%tæ (#qç7Ï%$yèsù È@÷VÏJÎ/ $tB OçFö6Ï%qãã ¾ÏmÎ/ ( ûÈõs9ur ÷Län÷Žy9|¹ uqßgs9 ׎öyz šúïÎŽÉ9»¢Á=Ïj9 ÇÊËÏÈ  
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
(QS. al-Nahl: 125-126)

Menurut Quthub, ayat ini telah meletakkan prinsip-prinsip metodologi dakwah dan perangkat-perangkatnya bagi Nabi Muhammad SAW dan bagi para da’i setelahnya seperti telah disinggung di atas. 

I.     Sistem Gerakan Dakwah (Organisasi Pergerakan Dakwah)
Agama Islam, menurut Quthub, memiliki watak dinamis dan progresif. Karena wataknya ini, Islam mesti bergerak dan terus bergerak, membebaskan manusia dari perbudakan dan penyembahan terhadap selain Allah. Gerakan atau pergerakan merupakan unsur penting dalam Islam. Bahkan masyarakat Islam, menurut Quthub, tidak lain merupakan produk atau hasil dari gerakan Islam. Fiqih Islam dengan berbagai hukumnya tidak dapat melahirkan Islam. Akan tetapi, masyarakat Islamlah, dengan berbagai dinamika dan gerakannya baik dalam menghadapi musuh maupun dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, justru yang membentuk dan melahirkan fiqih Islam.
Dinamika dan gerakan ini, menurut Quthub, merupakan alat yang memungkinkan seorang dapat berdialog dengan al-Qur’an. Petunjuk dan tujuan al-Qur’an tidak dapat dipahami, kecuali oleh orang-orang yang secara sungguh-sungguh terlibat dalam kancah perjuangan dan pergerakan Islam. Mereka adalah orang-orang yang selalu berjuang melawah jahiliyah dan menghadapi berbagai persoalan dan tantangan sebagaimana pelaku dakwah yang permula, yaitu Rasulullah dan kaum Muslimin di awal periode Islam. Menurut Quthub, hanya merekalah orang-orang yang dapat mengerti al-Qur’an dan yang dapat menangkap makna atau kebenaran tersirat yang ditunjukkan oleh ayat-ayatnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu menemukan pemahaman yang melahirkan tindakan atau gerakan (fiqh al-harakah), bukan pemahaman teoritik semata (fiqh al-auraq).
Bertolak dari pemikiran ini, Quthub berpendapat bahwa dakwah sebagai suatu ikhtiar mewujudkan sistem Islam harus dilakukan melalui suatu gerakan dakwah yang dinamik dan sistemik. Dalam pemikiran Quthub, ada tiga hal penting yang harus ada dalam pergerakan dakwah tersebut, yaitu asas pergerakan, jama’ah ini: pendukung utama pergerakan, dan rambu-rambu (karakteristik) pergerakan.

J.     Da’i dalam Pandangan Sayyid Quthub
  1. Akhlak Da’i
Da’i merupakan salah satu unsur penting dalam proses dakwah. Sebagai pelaku dan penggerak kegiatan dakwah, da’i menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan dakwah. Da’i pada dasarnya adalah penyeru ke jalan Allah, pengibar panji-panji Islam, dan pejuang (mujadid) yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam realitas kehidupan  umat manusia. Sebagai penyeru ke jalan Allah, da’i tidak bisa tidak, harus memiliki pemahaman yang luas mengenai Islam dengan baik dan benar. Dia juga harus memiliki semangat dan ghirah keislaman yang tinggi yang menyebabkan ia setiap saat dapat menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah dari kejahatan, meskipun untuk itu ia harus menghadapi tantangan yang berat.
            Menurut Sayyid Quthub, di antara sifat-sifat mulia yang amat penting dan mutlak harus dimiliki seorang da’i adalah sifat kasih sayang (rahmah), seperti kasih sayang yang dimiliki dan diperlihatkan oleh pelaku dakwah yang pertama, yaitu Rasulullah SAW. Di samping kasih sayang, seorang da’i harus pula memiliki integritas atau keutuhan pribadi. Integritas mengandung beberapa makna, antara lain, keterpaduan, kebulatan, keutuhan, jujur, dan dapat dipercaya. Dalam pengertian ini, orang yang memiliki integritas adalah orang yang pada dirinya berpadu dan bersatu antara kata dan perbuatan. Dengan kata lain, ia bersifat benar dan jujur dari sifat dusta. Sifat lain yang harus dimiliki seorang da’i ialah sikap sungguh-sungguh dan kerja keras (al-jidd wa ‘amal). Sifat ini mengharuskan para da’i untuk menggunakan secara efisien bagi kepentingan dakwah. Dia harus menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna. Ini berarti kerja keras harus menjadi watak pribadi Muslim, terlebih lagi bagi para da’i.

K.      Bekal Da’i
Sebagaimana telah dikemukakan, untuk dapat melaksanakan amanat dan kewajiban dakwah, para da’i membutuhkan persiapan-persiapan dan bekal perjalanan yang cukup, terutama, persiapan, dan bekal spiritual (rohani) yang mantap. Untuk itu, sebelum melaksanakan tugas yang berat itu, para da’i harus mempersiapkan diri, memperkuat jiwa dan mental mereka dengan iman dan takwa kepada Allah SWT. Iman, tak pelak lagi, merupakan bekal utama bagi para da’i.
Dalam pandangan Quthub, bekal spiritual yang diperlukan da’i seperti dikemukakan di atas, dapat diupayakan melalui pemberdayaan ibadah. Keharusan tentang pemberdayaan ibadah ini dengan jelas dapat dibaca dalam ayat-ayat pertama surah al-Muzammil.
Di samping memerlukan bekal ibadah, dzikir dan tasbih, seperti telah dikemukakan di atas, da’i memerlukan pula bekal lain, yaitu sabar dan kesabaran. Sebagai bekal, sabar tergolong satu paket dengan dzikir dan tasbih. Dalam beberapa ayat sabar selalu disebut bersama dengan dzikir. Dalam surah al-Muzammil perintah untuk melaksanakan tugas dakwah dan dzikir diikuti dengan perintah sabar. Demikian pula perintah dakwah dan dzikir dalah surah al-Muddatstsir diikuti dan diakhiri pula dengan perintah sabar.
Bekal lain yang diperlukan da’i ialah bekal takwa (al-taqwa). Takwa diperlukan sebagai penyempurna semua bekal yang telah dikemukakan. Takwa disebut oleh Allah sebagai bekal yang paling baik. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (ulu al-Albab).

L.       Perjuangan Da’i
Dakwah sebagai usaha membangun sistem Islam pada dasarnya merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang. Dalam proses ini da’i tidak saja memerlukan berbagai bekal seperti telah dijelaskan, tetapi juga membutuhkan komitmen perjuangan yang amat tinggi. Hal ini, karena dakwah pada dasarnya identik dengan perjuangan itu sendiri. Dalam kaitan ini, cukup beralasan bila Quthub memposisikan da’i sebagai pejuang (mujahid). Sebagai mujahid, da’i tentu harus bekerja dan berjuang tanpa kenal lelah sepanjang hayatnya. 
Dalam pemikiran Quthub, perjuangan da’i dapat dilihat, antara lain, dari tiga bentuk. Pertama, dari kesaksian (komitmen) yang ia tunjukkan kepada Islam. Kedua, dari pengorbanan dan kesanggupan menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Ketiga, perjuangan itu pada akhirnya harus mencapai kemenangan, tentu dengan izin dan pertolongan dari Allah swt.  Berikut disajikan tiga bentuk perjuangan itu secara berurutan.
  
  1. Kesaksian Da’i
Kesaksian (syahadah) sebagai ungkapan keimanan kepada Allah dan Rasul merupakan ajaran paling dasar dalam Islam. Semua bangunan Islam yang meliputi ibadah, syari’ah, muamalah, dan akhlak bersumber dan diletakkan di atas dasar syahadah, seorang Muslim sudah siap untuk mendengar dan melaksanakan semua perintah, termasuk menerima resiko yang mungkin timbul dalam komitmen ini.
Dalam pengertian ini, syahadat bukan kesaksian atau pernyataan yang bersifat verbalistik semata, melainkan sebuah komitmen dari setiap orang yang beriman kepada Allah dan rasul untuk secara sungguh-sungguh dan konsisten mengembangkan sistem hidup Islam.

  1. Ujian dan Cobaan Da’i
Sebagai pejuang yang berusaha mengokohkan sistem Islam, tentu da’i akan menghadapi berbagai cobaan dan ujian. Ujian dan cobaan itu beraneka ragam dari yang ringan hingga yang paling berat. Ujian dan cobaan ini dapat dipandang sebagai konsekwensi logis dari iman. Dikatakan demikian, karena iman sesungguhnya bukan hanya kata-kata, tetapi kesanggupan seorang melaksanakan tugas-tugas agama yang timbul dari iman, serta sabar menghadapi berbagai kesulitan di jalan iman.

  1. Kemenangan Da’i
            Dalam al-Qur’an terdapat sekian banyak ayat yang menjanjikan kemenangan bagi orang-orang yang menolong Allah swt. Keterangan mengenai hal ini dapat dibaca, antara lain, dalam surah Muhammad: 7, Ghaafir: 51, dan al-Hajj: 40-41. Dalam ayat-ayat tersebut kemenangan yang dijanjikan Tuhan dikaitkan dengan perjuangan menolong Allah swt sehingga timbul pertanyaan bagaimana cara manusia menolong Allah? Menurut Quthub, menolong Allah bermakna menolong agama-Nya.

M.  Langkah-langkah Manhaj Rabbani Versi Sayyid Quthub
Langkah-langkah manhaj Rabbani bagi Sayyid Quthub berdiri di atas tujuh hal yang membentuk inti dari manhaj rabbani tersebut;
  1. Pentingnya sebuah kelahiran baru, yang dimaksud dengan kelahiran di sini adalah kelahiran sebuah organisasi Islam yang berkarakter khusus.
  2. Kepastian sebuah kelahiran baru, kepastian lahirnya organisasi ini dikarenakan berbagai sebab dan dorongan dari dalam maupun dari luar yang dilihat dengan kacamata Islam.
  3. Spesifikasi organisasi
  4. Bekal perjalanan, yang dimaksud di sini adalah faktor-faktor yang akan membentuk seorang pelaku misi dakwah Islam (da’i Muslim).[20]
Daftar Pustaka

Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. I, 1995

Bahsawi K. Muslim, Buti-Butir Pemikiran Sayyid Qutub; Menuju Pembaruan Gerakan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 2003

Hanafi, Hasan, al-Din wa al-Tsaurat fii Mishr 1952-1981: al-Harakah al-Diniyyah al-Mu’ashirat,

Ismail, A Ilyas, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekontruksi Dakwah Harakah, Jakarta: Penamadani, Cet. II, 2008 


Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh  Abad  20, Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2006

Quthub, Sayyid, Nahwa Mujtama al-Islam, Jordan: Maktabat al-Aqshi, 1969, cet. Ke-1,

Quthub, Sayyid, al-Mustaqbal lihidzi al-Din, Beirut: Dar al-Syuruq, 1974

Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 1997, cet. Ke-1

Yakan, Fathi, Manhajiyyah al-Aman Asy-Syahid Hasan al-Banna wa Madaris al-Ikhwan al-Muslimin, terj. Fauzun Jamal, Jakarta: Harakah, Cet. I, 2002
  

[1] A. Ilyas, Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekontruksi Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, Cet. II, 2008), hal. 41  
[2] Ibid.
[3] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh  Abad  20, (Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2006), hal. 297
[4] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurat fii Mishr 1952-1981: al-Harakah al-Diniyyah al-Mu’ashirat, hal. 171-220.
[5] Ibid., hal. 191
[6] Ibid., hal. 181
[7] Charles Tripp, “Sayyid Quthub: Visi Politik” dalam Ali Rahnema (Ed), hal. 156. Lihat juga, A. Ilyas, Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekontruksi Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, Cet. II, 2008), hal. 115
[8] Sayyid Quthub, Nahwa Mujtama al-Islam, (Jordan: Maktabat al-Aqshi, 1969), cet. Ke-1, hal. 11
[9] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 1997), cet. Ke-1, hal. 102-103.
[10] Hasan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah fit Mishr 1952-1981: al-Harakah al-Diniyyat al-Mu’ashirat, hal. 192.
[11] Sayyid Quthub, al-Mustaqbal lihidzi al-Din, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1974), hal. 3
[12] Hasan Hanafi, op. cit., hal. 215
[13] Charles Tripp, op. cit., hal. 156-157.
[14] Ibid.
[15] Hasan Hanafi, op. cit., hal. 223.
[16] Sayyid Quthub, op. cit., hal. 223-224
[17] Hasan Hanafi, op. cit., hal. 223-224
[18] Ibid. hal., 240
[19] Ibid. hal., 251
[20] Fathi Yakan, Manhajiyyah al-Aman Asy-Syahid Hasan al-Banna wa Madaris al-Ikhwan al-Muslimin, terj. Fauzun Jamal, (Jakarta: Harakah, Cet. I, 2002), hal. 71

Post a Comment

 
Top