PENDAHULUAN
Dalam
musyawarah ada tujuh manfaat penting, yaitu mengambil kesimpulan yang benar,
memperoleh masukan pemikiran, menjaga diri dari kejatuhan, memperoleh
kelayakan, terhindar dari penyesalan, mencairkan hati, dan mengikuti tuntunan.
Ali Ibn Abi
Thalib
Syura
merupakan sistem partisipasi secara kolektif dalam mengeluarkan pendapat dan
ketetapan yang berlandaskan al-Qur’an. Syura juga merupakan kerangka bagi
bentuk-bentuk hubungan sosial dan kesetiakawanan. Ia adalah suatu cara yang
digariskan oleh syariat kita agar umat dapat mencapai tujuannya yang mulia, dan
dengan perantaraannya sampai kepada gagasannya yang ideal. Adapun kekuatan yang
mendorong ke arah tujuan tersebut ialah akidah yang benar dan syariat yang
penuh toleransi.[1]
Pada praktiknya, mabda syura merupakan
urat nadi yang dari sela-selanya berjalan dan bergerak pikiran-pikiran kreatif
umat dan pendapat individunya dalam kehidupan masyarakat. Adapun syariat dan
kandungan-kandungannya berupa kumpulan nilai dan prinsip itulah- yang
menciptakan pikiran-pikiran tersebut. Dialah yang mengeluarkan, membersihkan,
dan menjadikannya pantas untuk menjadi “air kehidupan” dalam urat nadi,
sel-selnya, dan anggota-anggotanya.[2]
Esensi
syura adalah pemberian kesempatan
kepada anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum
ataupun kebijaksanaan politik. Ini biasa dipahami dari ungkapan yang
dipergunakan yakni syawir, bentuk
imperatif dari kata kerja syawara-yusyawira,
yang berimplikasi-agar pemimpin masyarakat meminta pendapat dari mereka yang
mempunyai kepentingan pada masalah yang dihadapi.[3]
Syura
adalah bagian integral dari
Islam dan bahwa pada prinsipnya syura mencakup semua lingkungan kehidupan umum,
dan bahkan pribadi, kaum Muslim. Kita juga mendapati dalam al-Qur’an, ayat
tentang perlunya menjalankan musyawarah disejajarkan dengan acuan kepada
pilar-pilar Islam, seperti keimanan, shalat, dan zakat. Hal ini, sekali lagi,
dijadikan sebagai bukti bahwa syura diperlukan dengan dasar yang serupa, dan
diberi tempat yang sama pentingnya dalam pengaturan masalah-masalah sosial dan
politik masyarakat Muslim. Jadi, menurut al-Bahi, ketentuan Qur’ani disampaikan
dalam terma-terma yang tidak hanya berisikan masalah-masalah pemerintahan
tetapi juga mengenai hubungan dalam keluarga, antartetangga, antara mitra dalam
bisnis, antara majikan dan pekerja, dan sebenarnya semua aspek kehidupan di
mana ia dianggap bermanfaat bagi masyarakat.[4]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syura
Kata
“syura” berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru
yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan, dan mengambil sesuatu.
Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah asyarah
(memberi isyarat), tasyawara
(berunding, saling bertukar pendapat), syawir
(meminta pendapat, musyawarah), dan mustasyir
(meminta pendapat orang lain). Syura
atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta
dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.[5]
Sedangkan
menurut Ibn Manzur, dalam Lisan al-‘Arab syura secara etimologis berarti
mengeluarkan madu dari sarang lebah.[6]
Sejalan dengan pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia menjadi
“musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal
ini semakna dengan perngertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi
manusia.[7]
Dengan demikian, keputusan yang diambil berdasarkan syura merupakan sesuatu
yang baik dan berguna bagi kepentingan kehidupan manusia.[8]
B.
Al-Qur’an sebagai Dasar
Utama bagi Prinsip Syura
Kata syura dalam al-Qur’an di ungkap dalam
berbagai konteks. Pertama, dalam al-Qur’an Surah, al-Baqarah [2]: ayat ke-
233 sebagai berikut ;
“Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 233).
Dalam konteks ayat ini,
diungkap pembicaraan tentang menyapih anak yang masih menyusu sebelum anak itu
berumur dua tahun. Menyapih anak yang usianya belum sampai dua tahun boleh
dilakukan dengan syarat ada kerelaan dan telah dimusyawarakan di antara suami
dan istri. Di dalam Tafsir al-Manar dijelaskan bahwa ayat di atas mengandung
ajaran bahwa orang tua memiliki tanggung jawab bersama dalam menentukan apakah
penyusuan anak dilangsungkan terus sampai sempurna masa penyusan, yakni dua
tahun, atau dihentikan sebelumnya.[9]
Menurut al-Qurthubi, uangkapan
fa in arâda fishâlan dan wa tasyâwurin dalam QS. al-Baqarah [2]: 233,
menunjukkan bahwa suatu persoalan keluarga yang tidak diatur dengan dalil yang
pasti, termasuk di dalam lapangan ijtihad. Dalam hal ini musyawarah di antara
suami-istri jelas termasuk dalam kategori ijtihad.[10]
Sementara itu, Rasyid Ridha
menjelaskan bahwa ajaran musyawarah dalam ayat ini mengandung nilai pendidikan.
Artinya, Tuhan bermaksud menanamkan suatu pola interaksi bagi hubungan
suami-istri yang sehat, yang tercermin dari sikap keduanya dalam mengambil
keputusan. Oleh karena itu, kebiasaan bermusyawarah yang dimulai dari keluarga
sebagai unit sosial terkecil di masyarakat akan menjadi landasan bagi
terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih besar dan
rumit, yaitu negara.[11]
Kedua, dalam Qur’an surah,
asy-Syura [42]: ayat ke- 38 sebagai
berikut :
“Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah (syura) antara mereka dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Ayat
ini mengandung pujian atas orang-orang yang menerima seruan Allah Swt, yang
dibawa Nabi Muhammad Saw, mendirikan shalat dengan baik dan benar,
memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang
mereka peroleh. Bermusyawarah merupakan sifat terpuji bagi orang yang
melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah Swt, karena hal itu
bernilai ibadah.
Disamping
itu ayat ini, juga membicarakan mengenai ciri-ciri orang beriman. Ciri-ciri
yang dimaksud adalah 1) taat dan patuh kepada Allah, 2) menunaikan shalat, 3)
menghidupkan musyawarah, dan 4) berjiwa dermawan.
Ar-Razi
(penulis at-Tafsîr al-Kabîr) menjelaskan
bahwa kalimat wa amruhum syurâ bainahum dalam QS. asy-Syura [42]: 38
mengandung pengertian bahwa praktik musyawarah merupakan suatu tradisi yang
telah berlangsung lama di kalangan umat beriman bangsa Arab.[12]
Ketiga, dalam konteks
perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. Agar berlaku lemah lembut dan
senantiasa bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya, sebagaimana yang termaktub dalam
al-Qur’an Surah Ali Imran [3]: ayat ke- 159 sebagai berikut;
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkan ampun kepada
Allah untuk mereka serta bermusyawarahlah dalam (memutuskan) suatu urusan.
Apabila kamu telah bertekad bulat (dengan keputusan tersebut) maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertawakal.”
(QS. Surah Ali Imran [3]: 159).
Ayat
ini diturunkan setelah Perang Uhud. Ketika itu, Nabi saw. Kecewa atas tindakan
tidak disiplin sebagian sahabat dalam pertempuran yang mengakibatkan kekalahan
di pihak Nabi. Melalui ayat ini Allah swt. Mengingatkan Nabi bahwa dalam
posisinya sebagai pemimpin umat, ia harus tetap bersikap lemah lembut terhadap
para sahabatnya, memaafkan kekeliruan mereka, dan bermusyawarah dengan mereka
dalam urusan-urusan mereka.
Abu
Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-Tabari, dalam menafsirkan ayat di atas, menyatakan
bahwa sesungguhnya Allah Swt menyuruh Nabi Saw untuk bermusyawarah dengan
umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan
tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan
musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi Saw, melainkan juga kepada tiap
orang mukmin, sekalipun perintah ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Saw,
artinya, perintah yang terkandung dalam ayat tersebut juga berlaku umum. Dalam
masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga politik,
pemerintahan dan masyarakat, maka lembaga-lembaga ini menjadi subjek
musyawarah; para pemimpinnya dibebani
kewajiban mengadakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat
untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi.
C. Prinsip Syura dalam Sunnah
Buku-buku
tentang sejarah Nabi dan Sunnah Nabi menekankan bahwa Rasulullah saw, telah
menjadikan tukar menukar pendapat dengan para sahabat beliau sebagai
karakternya, hingga Abu Hurairah r.a. berkata tentang beliau, “Saya tidak
pernah melihat seseorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan rekan-rekannya
melebihi Rasulullah saw.”[13]
Maka sesungguhnya perbuatan-perbuatan Nabi saw, telah meyakinkan prinsip syura
dalam segala bentuk-bentuknya, artinya dalam pengertian yang universal yang
mencakup syura bebas dan syura yang harus yang harus dipegang teguh.
Menurut
Taufik Muhammad Asy-Syawi,
sebagian dari sikap Nabi saw, yang paling penting dan praktis, yang bisa
dijadikan pedoman mengenai wajibnya syura dalam kerangka sistem pemerintahan
dan memilih penguasa, ialah bahwa ketika beliau sakit menjelang wafat, sebagian
dari para sahabat beliau menunggu-nunggu beliau memberi pesan tentang siapa
yang harus menjadi pengganti beliau. Banyak orang berkeyakinan bahwa beliau
tidak berwasiat mengenai itu memang disengaja, demi membiarkan umat agar
bermusyawarah mengenai urusan kaum muslim, dan agar mereka memilih sendiri
siapa yang akan diangkat menjadi pengganti Nabi saw, dengan jalan syura, demi
mengokohkan mabda syura sebagai kaidah bagi sistem negara dan masyarakat. Hal
ini benar-benar telah terjadi dengan ijmak pada Hari Saqifah (musyawarah para
sahabat di ruang pertemuan bernama Saqifah). Hasilnya ialah kesepakatan (ijmak)
kaum muslim untuk mendirikan pemerintahan Islam dengan jalan syura dipimpin
oleh orang yang mereka pilih dari mereka sendiri. Mereka juga memberi kuasa
penuh padanya untuk mengatur berbagai urusan mereka dengan baiat bebas, yang
pada akhirnya mereka memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai pemimpin pertama
bagi pemerintahan itu.[14]
Para
sahabat Nabi itu memilih pemimpin tertinggi berdasarkan tiga kreteria
diantaranya;
1.
Pemilihan bebas tanpa
adanya ikatan wasiat dengan hakim sebelumnya. Hal itu tergambar sebagaimana
dalam pemilihan khalifah atau pengganti Rasul Saw, yang mana para sahabat
terkemuka berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Mereka memusyawarahkan masalah ini,
siapa yang layak menjadi khalifah. Apakah dari kaum Muhajirin atau dari kaum
Anshor. Setelah terjadi perdebatan yang panjang, kemudian ditetapkanlah sebuah
keputusan bahwa yang menjadi khalifah dari kaum Quraish.
2.
Pemberian wasiat dari
khalifah pada khalifah sesudahnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar
mengajukan Umar Ibn Khattab menjadi khalifah.
3.
Khalifah hendaknya
mencalonkan beberapa orang- agar para pemilih dapat memilih salah seorang
diantara para calon pemimpin, dengan pemilihan yang adil, transparan, dan
terpercaya.[15]
D. Objek Syura
Mengenai
objek musyawarah para mufasir berbeda pendapat. Menurut Muhammad Rasyid Rida
(pengarang Tafsir al-Manar), objek yang dimusyawarahkan hanya yang berkaitan
dengan urusan dunia, bukan urusan agama. Sebab kalau urusan agama, seperti
keyakinan, ibadah, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah Swt
dimusyawarahkan, itu berarti ada campur tangan manusia di dalamnya, padahal
masalah-masalah itu telah disyariatkan oleh Allah Swt. Tetapi bagi at-Tabari,
Fakhruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maraghi, urusan yang dimusyawarahkan
bukan hanya masalah-masalah keduniaan, melainkan juga masalah-masalah
keagamaan, sebab banyak timbul masalah sosial, ekonomi, politik, pemerintahan,
keluarga, dan sebagainya yang pemecahannya memerlukan jawaban dari agama.[16]
Dari
pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang sudah baku dan
rinci diuraikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak mendapat tempat untuk
dimusyawarahkan. Karenanya, Islam tidak membenarkan melakukan musyawarah dalam
masalah-masalah seperti dasar-dasar keimanan atau ibadah kepada Allah. Ini
merupakan otoritas Allah sepenuhnya. Sebaliknya, terhadap masalah-masalah yang
dijelaskan Allah dan Rasul-Nya secara global dan umum atau yang tidak dijelaskan
sama sekali, maka umat Islam diperintahkan untuk melakukan musyawarah sesuai
dengan kebutuhan mereka. Sebagai contoh, musyawarah dilakukan dalam menentukan
kebijakan-kebijakan publik, seperti menetapkan hukum pajak, perdagangan, dan
lain-lain.[17]
E.
Subjek Syura
Dalam
hal subjek syura, dengan siapa
musyawarah tersebut dilakukan, Nabi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, pernah
menasihatkan kepada Ali:
“Wahai
Ali, jangan bermusyawarah dengan orang penakut, karena dia mempersempit jalan
keluar. Jangan juga dengan orang kikir, karena dia menghambat engkau dari
tujuaanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah
untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi
merupakan bawaan yang sama. Semuanya bermuara pada prasangka buruk kepada
Allah.”[18]
Adalah
suatu kenyataan bahwa tidak semua manusia mempunyai kemampuan intelektual dan
ketajaman pemikiran. Karena itu, tidak mungkin musyawarah dilakukan dengan
menghimpun seluruh manusia dan meminta pendapat mereka tentang suatu masalah.
Nabi sendiri dalam melakukan musyawarah lebih banyak mengikut sertakan
sahabat-sahabat senior atau sahabat-sahabat tertentu saja yang memang mempunyai
pandangan dan pemikiran yang tajam. Karena itu, para ulama memandang bahwa
musyawarah ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai ilmu yang
mendalam dan ketajaman pemikiran. Mereka, sesuai dengan surat an-Nisa, [4]: 59
disebut dengan ulu al-amr. Merekalah
yang akan melakukan musyawarah mencari terhadap permasalahan yang dihadapi umat
Islam.
Al-Mawardi
dan para ulama Sunni pada umumnya menamakan orang yang melakukan musyawarah
dengan ahl al-hall wa al-‘aqd (orang
yang berhak melepas dan mengikat). Maksudnya adalah orang yang dapat memutuskan
sesuatu atau membatalkannya. Sementara Ibn Taimiyah menamakan mereka dengan ahl al-syaukah. Namun pada hakikatnya,
kedua istilah ini menunjukkan suatu kelompok dalam masyarakat yang dapat
dijadikan sebagai “tempat untuk bertanya” dan rujukan demi kepentingan
masyarakat tersebut. Kelompok ini setidaknya terdiri dari orang-orang yang
berpengaruh di dalam masyarakat, terutama karena pengetahuan mereka yang
mendalam dan perhatian mereka yang besar terhadap kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, ahl- al-hall wa al-‘aqd atau
ahl al-syaukah dapat dikatakan
sebagai wakil masyarakat untuk memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat
bersangkutan sehingga tercapai kemaslahatan hidup mereka.
F. Tata Cara Syura
Tentang
bagaimana etika musyawarah dilakukan, surat Ali ‘Imran [3]: 159 barangkali
dapat dijadikan sebagai rujukan. Ayat ini menunjukkan tiga sikap yang
diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam melakukan musyawarah. Pertama, lemah lembut. Sikap ini
penting, terutama bagi seorang pemimpin. Sikap yang kasar dan mau menang
sendiri bisa membuat mitra yang diajak bermusyawarah tidak menaruh simpati dan
melakukan aksi walk out. Akibatnya,
musyawarah tidak dapat mencapai maksud yang diinginkan. Kedua, memberi maaf. Dalam munsyawarah tidak tertutup kemungkinan
terjadi argumentasi yang alot dan menegangkan. Keadaan ini bisa mengakibatkan
tersinggungnya satu pihak terhadap pihak yang lain. Hal ini harus dihadapi
dengan sikap dingin dan terbuka. Makanya kita sering mendengar ungkapan tentang
musyawarah seperti, “Hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin.” Ini
mengisyaratkan bahwa dalam musyawarah akal pikiran kita harus tetap terpelihara
secara jernih, sehingga terhindar dari sikap emosional. Sebab, kalau emosional
yang muncul, musyawarah pun bisa berubah menjadi ajang pertengkaran, sehingga
tidak menghasilkan apa-apa selain permusuhan dan dendam. Oleh sebab itu, Allah
mengajarkan etika bahwa dalam musyawarah masing-masing pihak harus siap untuk
saling memaafkan. Ketiga, yang perlu
diperhatikan dari ayat di atas adalah hubungan vertikal dengan Allah. Musyawarah
harus diiringi dengan permohonan ampunan kepada-Nya, supaya hasil yang dicapai
betul-betul yang terbaik untuk semua. Barulah setelah dicapai kepakatan, semua
hasil tersebut diserahkan kepada Allah (tawakkal).
Manusia telah merencanakan, sesuai dengan kemampuan dan keputusan mereka.
Karena itu, dalam pelaksanaannya, Allah memerintahkan manusia untuk berserah
diri kepada-Nya.[19]
Sedangkan
bagaimana cara melakukan musyawarah, Allah tidak menentukan secara rinci. Ini
diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Dalam satu pemerintahan atau negara, boleh saja musyawarah ini dilakukan dengan
membentuk suatu lembaga tersendiri, seperti parlemen atau apa pun namanya.
Dalam lembaga ini boleh jadi para anggotanya melakukan musyawarah secara
berkala pada periode tertentu atau sesuai dengan permasalahan yang terjadi.
Keanggotaan lembaga ini juga bisa dibatasi jangka waktu tertentu yang
disepakati bersama.
Dalam
pengambilan keputusan, tidak berarti suara terbanyak mutlak harus diikuti. Ada
kalanya keputusan diambil berdasarkan suara minoritas. Sebagai contoh, Khalifah
Abu Bakr pernah mengabaikan suara mayoritas dalam masalah sikap terhadap para
pembangkang zakat. Sebagian besar sahabat senior yang dimotori ‘Umar
berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat kepada Abu Bakr tetap
muslim dan tidak usah diperangi. Sementara sebagian kecil sahabat berpendapat
supaya mereka diperangi. Abu Bakr mengambil pendapat yang kedua. Pendapat ini
akhirnya disetujui oleh “forum” dan Abu Bakr pun memerangi mereka. Pada
pemerintahan ‘Umar, beliau pernah menolak pendapat mayoritas tentang pembagian
rampasan perang berupa tanah Sawad (Irak). Sebagian besar sahabat yang diwakili
oleh Bilal Ibn Rabah dan ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Awf berpendapat supaya tanah
tersebut dibagi-bagi. Sedangkan sebagian kecil sahabat berpendapat supaya tanah
tersebut dibiarkan tetap pada pemiliknya dan umat Islam hanya memungut pajaknya
saja. Akhirnya, melalui adu argumentasi yang cukup menegangkan, ‘Umar
memenangkan pendapat kedua.
G.
Manfaat Syura
Syura
timbul dari akidah tauhid ketuhanan yang mengkhususkan Allah Swt, berikut
syariat langit-Nya dengan kekuasaan yang bersih dari ciri-ciri khas manusia
seluruhnya. Dalam hal ini akidah tauhid melarang manusia menjadikan dirinya
berkuasa dan memiliki kekuasaan mutlak terhadap manusia seluruhnya dan terhadap
penguasa seluruhnya, baik mereka itu sebagai individu atau jamaah, mewakili
mayoritas atau minoritas, karena mereka sebenarnya pada syariat ketuhanan dan
pengawasannya. Maka penganalogian syura atas demokrasi tidak boleh lantas
menimbulkan sikap pura-pura tidak mengetahui hubungannya dengan tauhid atau
menghilangkan ketundukannya kepada syariat dan apa saja yang timbul dari kedua
sifat ini. Dan yang perlu diingat adalah relativitas ketetapan-ketetapan
manusia termasuk wewenang manusia seluruhnya.[20]
Menurut
Syekh Syaltut, syura merupakan salah satu cabang dari kerja kerjasama dalam
tanggungjawab sosial, yang menurutnya cabang inilah yang asli (pokok). Dari
cabang ini dipecah lagi menjadi dua bagian- yaitu; takaaful-maali wal-iqtishadi (jaminan harta dan ekonomi) dengan
cara memberi andil dalam mendirikan lembaga-lembaga kehartaan umum jamaah dan
untuk menutup kebutuhan orang-orang yang memerlukannya; inilah dasar
diwajibkannya zakat. Adapun bagian yang kedua untuk takaful ialah apa yang
dinamakan takaaful-adabi, yang
artinya, menurut pendapat Syekh Syaltut, ialah kerja sama individu masyarakat
dalam nasihat, bimbingan, pengarahan, pengajaran, dan dalam menetapi prinsip
amar ma’ruf dan nahi munkar. Bagian yang kedua inilah, menurut Syekh Muhammad
Abduh, sebagai fondasi syura. Oleh karena itu, Rasulullah Saw, mewajibkan
tukar-menukar pendapat, nasihat, dan memberi nasihat kepada semua orang melalui
sabdanya, “Agama adalah nasihat. “Kami bertanya, “Untuk siapa Rasulullah? Beliau
menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitabnya, imam kaum muslim dan umumnya orang
dari mereka.[21]
Bahkan al-Qur’an
menyatakan bahwa saling memberi nasihat, bertukar pendapat, dan syura adalah
saling memberi wilayah (perlindungan). Hal ini tercantum dalam firman-Nya;
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 71
Jadi takaaful-ijtima’i (jaminan sosial) yang mencakup syura dalam
berpendapat- di samping adanya takafulul-mali
(jaminan harta) dalam infak atas urusan masyarakat dan menutup kebutuhan
orang-orang yang memerlukannya, sebagaimana pendapat Syekh Syaltut- adalah yang
asli (pokok), dan inilah dahulu yang menjadi dasar untuk mempersaudarakan
sesama muslim. Praktik ini telah dimulai oleh Nabi Saw, ketika mempersaudarakan
antara sahabat Muhajirin dan Anshar pada waktu beliau sampai di Madinah. Maka
tidak diragukan bahwa menentukan mabda
syura sebagai salah satu cabang dari kerja sama sosial- yang sampai ke
derajat persaudaraan yang dihasilkan oleh akidah Islam dan diwajibkan-
bertujuan agar kerja sama merupakan buah dari akidah dan berkaitan dengannya.[22]
H.
Keutamaan Syura dalam
Berdakwah
Kaum
Muslim adalah umat terbaik yang ditampilkan untuk masyarakat. Untuk
membuktikannya, umat Islam dituntut senantiasa menjaga kehidupan ini dari
kejahatan dan kerusakan. Untuk menjalankan tugas mulia sekaligus tugas berat,
seorang pemimpin yang merupakan bagian dari umat hendaklah berada pada posisi
terdepan dalam menyeru ke jalan Allah melalui kebijakan-kebijakannya yang
merupakan implementasi dari al-amru bil-ma’ruf wan- bahyu ‘anil munkar, seperti
dalam Qur’an Surah, Ali- ‘Imran [3]: 110;[23]
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (QS. Ali- ‘Imran [3]: 110).
Menurut Muhammad Abduh, bahwa
ayat-ayat al-Qur’an mengenai amar ma’ruf
nahi munkar adalah dasar wajibnya syura dan komitmen terhadapnya.
Pernyataan ini merupakan jawaban yang tegas bagi orang-orang yang membantah
tentang kewajiban berkomitmen dalam ketetapan-ketetapannya, atau membuat ragu
orang dalam hal itu. Karena mabda amar ma’ruf dan nahi munkar dengan
keuniversalannya mewajibkan atas seluruh individu agar mewakili jamaah dalam
memerintah dan melarang sesuatu yang harus ditetapi. Bahkan lebih dari itu,
mabda ini mewajibkan kepada mereka agar mengambil tindakan praktis dalam bentuk
perintah dan larangan, untuk mencegah kemunkaran dan menetapi kebaikan.[24]
Dalam perspektif al-Qur’an, umat Islam harus mempunyai power atau kekuatan yang mempunyai legalitas untuk memerintah dan
mencegah, kekuatan tegak dan berpihak kepada dakwah untuk menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kejahatan. Kenapa dakwah membutuh kekuatan? Sebab, dakwah
dalam karakternya akan berhadapan dengan hawa nafsu, tarik menarik kepentingan golongan
oportunis, kesombongan dan keangkuhan penguasa. Dakwah juga akan berhadapan
dengan masyarakan yang didalamnya terdapat orang zalim serta benci terhadap
keadilan. Ada manusia yang senantiasa cenderung kepada kemaksiatan serta benci
dengan istiqamah (konsisten terhadap ajaran Islam). Dalam masyarakat juga
terdapat kelompok-kelompok yang ingkar terhadap yang ma’ruf dan senang dengan
yang munkar serta mempertahankannya.
Jika kondisi masyarakat demikian, maka umat Islam dan umat manusia secara
keseluruhan tidak akan beruntung, kecuali jika kebajikan lebih dominan dan
lebih mengemuka serta yang ma’ruf benar-benar ma’ruf dan yang munkar
benar-benar munkar. Ini semua menuntut adanya sesuatu yang sangat primer yaitu power atau kekuatan untuk kebaikan dan
kebajikan, yang mempunyai legalitas untuk memerintah dan mencegah. Harus ada di
antara satu kelompok yang mempunyai fungsi dan peranan amar ma’ruf dan nahi
munkar, tidak lain adalah yang mempunyai power,
kekuatan, dan termasuk unsur pimpinan, baik yang formal maupun non formal.
Seperti anjuran dalam al-Qur’an Surah, al-‘Imran [3]: 134;
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-‘Imran [3]: 134).
Oleh karena itu, menurut Taufik Muhammad Asy-Syawi, harus ada ketetapan
yang dikeluarkan jamaah atau umat melalui syura untuk mengatur bagaimana amar
ma’ruf dan nahi munkar dapat dilaksanakan demi menghalangi terjadinya
pelanggaran yang dilakukan oleh para penguasa atau pun individu-individu.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa musyawarah merupakan esensi ajaran Islam
yang wajib diterapkan dalam kehidupan seosial umat Islam. Karena syura adalah
metode pengambilan keputusan dalam berbagai persoalan umat manusia berdasarkan al-Qur’an
dan tuntunan Sunnah. Aksentuasi pada aspek metodologis ini dapat dipahami kalau
dikaitkan dengan kenyataan bahwa musyawarah merupakan aspek fitrah manusia,
yang dalam hal ini merupakan konsekuensi dari kodrat ketergantungan yang
dimiliki manusia.
Musyawarah
dapat dilakukan dalam hal-hal apa saja asalkan tidak bertentangan dengan
prinsip umum syari’at Islam. Di samping itu, karena melibatkan kalangan ahli
yang mempunyai pandangan jauh ke depan, maka hasil keputusan musyawarah akan
lebih mendekati kesempurnaan. Dan karena diputuskan secara bersama,
masing-masing pihak merasa bertanggung jawab terhadap hasil musyawarah itu.
Di
samping itu, objek yang dimusyawarahkan bukan hanya masalah-masalah keduniaan,
melainkan juga masalah-masalah keagamaan, sebab banyak timbul masalah sosial,
ekonomi, politik, pemerintahan, keluarga, dan sebagainya yang pemecahannya
memerlukan jawaban dari agama.
Dalam
kaitannya dengan dakwah Islamiyah- meminjam ungkapan Taufik Muhammad Asy-Syawi, harus ada ketetapan yang dikeluarkan jamaah
atau umat melalui syura untuk mengatur bagaimana amar ma’ruf dan nahi munkar
dapat dilaksanakan demi menghalangi terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh
para penguasa atau pun individu-individu.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syawi, Tuafik Muhammad , Fiqhusy Syura wal-Istisyarat, Terj. Djamaluddin Kairo: Dar-
al Wafa’, 1992.
Badan Litbang dan Diklat Depag, Tafsir al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik, Seri. III, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Cet.
I, 2009.
Dewan Editor, Ensiklopedi
Islam, Vol. V, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994.
Iqbal, Muhammad, Fiqih
Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, Cet. I, 2001.
Ismail, Achmad Satori, Sepuluh Pilar Da’wah; di Era Globalisasi, Jakarta: Pustaka
Tarbiatuna, Cet. I, 2003.
-------, Tangan-Tangan Imperialisme Modern, Jakarta:
Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2001.
Kamali, Mohammad Hashim, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Bandung: Mizan, Cet. I, 1994.
Manzur, Ibn, Lisan
al-‘Arab, Vol. IV, Beirut: Dar al-Shadir, 1968.
Shihab, M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an; Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati,
2007.
Shihab, M. Quraish, Wawasan
al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.
Ulyan, Syaukat
Muhammad, as-Tsaqafah al-Islamiyah wa
Tahdiyatu al-Ashri, Riyad: Dar-ar-Rasyid, Cet. I, 1981.
[1]Taufik
Muhammad, Asy-Syawi, Fiqhusy Syura wal-Istisyarat, terj.
Djamaluddin (Kairo: Dar- al Wafa’,
1992), hal. 56.
[3] Badan
Litbang dan Diklat Depag, Tafsir
al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, Seri.
III, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Cet. I, 2009), hal. 222.
[4] Mohammad
Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat
dalam Islam, (Bandung: Mizan, Cet. I, 1994), hal. 61.
[5]
Dewan Editor, Ensiklopedi Islam,
Vol. V, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994), hal. 18.
[8] Muhammad
Iqbal, Fiqih Siyasah; Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 2001), hal.
184.
[9] M. Quraish
Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an;
Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 967.
[13] Lihat, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul-
Ma’ad fi Huda Khairil ‘Ibad, Kairo:
juz 1, h. 6 dan 85. Lihat juga, Taufik Muhammad Asy-Syawi, Fiqhusy Syura wal-Istisyarat, terj. Djamaluddin (Kairo: Dar- al Wafa’, 1992), hal. 56.
[15] Syaukat
Muhammad Ulyan, as-Tsaqafah al-Islamiyah
wa Tahdiyatu al-Ashri, (Riyad: Dar-ar-Rasyid, Cet. I, 1981), hal. 329.
[23]Badan
Litbang dan Diklat Depag, Tafsir
al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, Seri.
III, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Cet. I, 2009), hal.
226-227.
Post a Comment