PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
“Dan
mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari
kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (QS. Fâthir [35]: 34).
Menurut Achmad
Mubarok, manusia memiliki kesadaran adanya problem yang mengganggu kejiwaannya,
oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problem
tersebut. Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irrasional, ada
juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah. Secara alamiah manusia
merindukan kehidupan yang tenang dan sehat, baik jasmani maupun ruhani,
kesehatan yang bukan hanya menyangkut badan, tetapi juga kesehatan mental.
Suatu kenyataan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin maju berakibat
pada semakin kompleksnya gaya hidup manusia. Bersamaan dengan pesatnya
modernisasi kehidupan, manusia harus menghadapi persaingan yang ketat,
pertarungan yang sangat tajam, satu keadaan yang menimbulkan kegalauan dan
kegelisahan.[1]
Sedangkan Daniel
Goleman mengemukakan, pada sebagian negara kaya kemungkinan orang yang lahir
pada 1955 untuk menderita stress, depresi dan cemas lebih besar- tidak hanya
kesedihan, tetapi kesepian yang melumpuhkan, kehilangan semangat, harga diri,
ditambah perasaan tidak berdaya luar biasa- pada satu titik kehidupan lebih
dari tiga kali lebih besar daripada generasi kakek mereka.[2]
Hal yang sama
juga dikemukakan Martin Selibman, bahwa saat ini umat manusia berada di
tengah-tengah wabah depresi, dengan akibat bunuh diri yang menyebabkan kematian
sama banyaknya dengan kematian karena AIDS dan lebih menyebar. Setress,
depresi, dan cemas- yang parah sepuluh kali lebih banyak terjadi menyerang
perempuan dua kali lebih sering dari laki-laki dan sekarang menyerang sepuluh
tahun lebih muda daripada generasi sebelumnya.[3]
Setres, depresi,
dan cemas adalah watak kehidupan dan merupakan problem universal umat manusia.
Siapa pun dia, tidak bisa luput darinya. Persoalannya adalah bagaimana
mengatasi kecemasan tersebut, dan terapi bagaimana yang harus diterapkan.
Nabi Muhammad
Saw, banyak memberikan gambaran tentang kehidupan dunia. sebagaimana sabda Rasulullah saw, addunyâ
sijnu al-mu’mini wa jannatu kâfir
(dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir).[4]
Kehidupan dunia digambarkan bagai penjara bagi orang mu’min dan surga bagi
orang kafir, karena kehidupan mereka selalu dibatasi dan tidak boleh hidup
semena-mena, bagaikan orang yang hidup dalam sebuah penjara, dan sebaliknya
bagaikan surga bagi orang kafir, sebagai tempat yang menyenangkan, bisa hidup
seenaknya tanpa ada batasan yang mengikatnya. Kesederhanaan Nabi Saw,
menampilkan diri sebagai seorang yang sangat terbatas kehidupannya, sering
menderita lapar. Dan jika mempunyai harta selalu diinfakkan ke jalan Allah swt,
dan disedekahkan kepada tamunya dan ahlus-Suffah (orang yang hidup di
emperan masjid Nabawi).[5]
Seorang mukmin
diperintahkan untuk mengusir stress,
depresi, cemas, dan kesedihan, tidak boleh menyerah, serta harus membuang
jauh-jauh, menolak, melawan dan mengalahkan kesedihan. Bahkan Nabi sendiri
pernah memohon agar dihindarkan dari kesedihan, “Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan.” Oleh karena itu, sudah
menjadi keharusan bagi kita untuk mendatangkan kebahagiaan dan menciptakan yang
melapangkan dada. Kita harus memohon kehidupan yang baik, penghidupan yang
memuaskan, pikiran yang jernih, dan kelapangan dada.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Stress,
Sebab-Sebab, dan Akibatnya
1.Definisi Stress
Dalam kamus
Inggris Indonesia, kata stress diartikan ketegangan, mental stress
(ketegangan jiwa). Bisa juga di artikan tekanan, period of storm and stress
(masa pergolakan dan tekanan).[6]
Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, stress bermakna:
“Stress
is a body condition that accurs in response to actual or anticipated
difficulties in life. People often
experience stress as a result of major events in their lives, such as
bereavement, divorce, or the loss of a job. Stress also may occur in response
to daily problem, such as driving in heavy traffic or being hurried by
somenone. In addition, people may experience stress when they perceive a threat
to themselves. For example, a person who feels unable to cope effectively with
a challenge may experience stress. Common signs of stress include an increased
heart rate, raised blood pressure, muscle tension, mental depression, and
inability to concentrate. Typical reaction include social withdrawal, an
increased use of tobacco, alcohol, or drugs, and feeling of helplesness about
the situasion.”[7]
Dari definisi
stress di atas dapat disimpulkan bahwa stress adalah bentuk ketegangan dari
fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja
keseharian seseorang. Bahkan stress dapat membuat produktivitas menurun, rasa
sakit dan gangguan-gangguan mental. Pada dasarnya, stress adalah sebuah bentuk
ketegangan, baik fisik maupun mental. Sumber stress disebut dengan stressor dan
ketegangan yang di akibatkan karena stress, disebut strain.
Sedangkan
menurut Dadang Hawari, stres adalah tanggapan (reaksi) tubuh terhadap berbagai
tuntutan atau bebas atasnya yang bersifat non spesifik. Namun, di samping itu
stres dapat juga merupakan faktor pencetus, penyebab sekaligus akibat dari
suatu gangguan atau penyakit. Faktor-faktor psikososial cukup mempunyai arti
bagi terjadinya stres pada diri seseorang. Manakala tuntutan pada diri
seseorang itu melampaui kemampuannya, maka keadaan demikian disebut distres.
Stres dalam kehidupan adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari. Masalahnya
adalah bagaimana manusia hidup dengan stres tanpa harus mengalami distres.[8]
Hans Selye,
seorang ahli fisiologi dan tokoh di bidang stres yang terkemuka dari
Universitas Montreal, merumuskan stres sebagai berikut: stres adalah tanggapan
tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap tuntutan atasnya. Manakala tuntutan
terhadap tubuh itu berlebihan, maka hal ini, dinamakan distres. Tubuh akan
berusaha menyelaraskan rangsangan atau stres itu dalam bentuk penyesuaian diri.
Dalam banyak hal manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari
pengaruh-pengaruh pengalaman stres. Manusia mempunyai suplai yang baik dari
energi penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi kembali bilamana perlu. [9]
2. Penyebab
Stress (Causes of Stress)
Penyebab stres
(stressor) dapat datang dari sudut kehidupan manapun. Kejadian kecil dalam
hidup pun dapat menjadi sumber stres yang membuat hidup hancur. Masalah yang
muncul sebenarnya sebenarnya bersifat netral, kitalah yang memegang
peranan untuk mengubahnya menjadi hal yang bersifat positif atau negatif.[10]
Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, penyebab stress
adalah:
“Causes of stress are
called stressor. These are outside forces that place unusual demands on a
person’s body or mind. There are five major types of stressor: (1) biological
variables, (2) environment circumstances, (3) life situations, (4) behaviours,
and (5) cognitive activities. Biological variables affect a person’s physical
state. They include illness and physical exertion. Environmental circumstances
are forces in the person’s surrounding. Such as noise, overcrowding, poverty,
and natural disasters. Life situations include stressful incidents, such as the
death of a close friend or being in a group of stranging cigarettes and poor
eating habits. Cognitive, or thinking, activities that may produce stress
include taking a test or concentrating on getting a high score in a video game.
Not all stressor affect everyone the same way. In a particular situation, one
person may remain quite calm while another person displays marked signs of
stress. The difference between the two people may be that the firts person
feels in control of the situation, views it as a challenge, and is committed to
overcoming it. The second person does not feel in control of the situation, is
threatened by it, and only wants to avoid coping with it.”[11]
3. Stresor Psikososial
Firman Allah dalam surah al-Ma’ârij [70]: ayat
19-23 sebagai berikut:
“Sungguh, manusia diciptakan suka
mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila
mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan
shalat, mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya.” (QS. al-Ma’ârij [70]:
19-23).[12]
Stresor
psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan
dalam kehidupan seseorang (anak, remaja, atau dewasa), sehingga orang itu
terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stresor yang timbul. Namun,
tidak semua orang mampu mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya,
sehingga timbullah keluhan-keluhan kejiwaan, antara lain depresi. Pada umumnya
jenis stresor psikososial dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan
merupakan sumber stres yang di alami seseorang; misalnya pertengkaran,
perpisahan (separation), perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidaksetiaan,
dan lain sebagainya. Stresor perkawinan ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
b.
Problem
Orang tua
Permasalahan yang dihadapi orangtua, misalnya tidak punya
anak, kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit, hubungan yang tidak baik
dengan mertua, ipar, besan dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut di atas
dapat merupakan sumber stres yang pada gilirannya seseorang dapat jatuh dalam
depresi dan kecemasan.
c. Hubungan Interpersonal (Antar Pribadi)
Gangguan
ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik, konflik
dengan kekasih, antara atasan dan bawahan, dan
lain sebagainya. Konflik hubungan interpersonal ini dapat merupakan
sumber stres bagi seseorang, dan yang bersangkutan dapat mengalami depresi dan
kecemasan karenanya.
d. Pekerjaan
Masalah
pekerjaan merupakan sumber stres kedua setelah masalah perkawinan. Banyak orang
menderita depresi dan kecemasan karena masalah pekerjaan ini, misalnya
pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan
pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan (PHK), dan lain sebagainya.
e. Lingkungan Hidup
Kondisi
lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang, misalnya soal
perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup dalam lingkungan yang
rawan (kriminalitas) dan lain sebagainya. Rasa tercekam dan tidak merasa aman
mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup, sehingga tidak jarang orang jatuh
ke dalam depresi dan kecemasan.
f. Keuangan
Masalah
keuangan (kondisi sosial-ekonomi) yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh
lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal
warisan, dan lain sebagainya. Problem keuangan amat berpengaruh pada kesehatan
jiwa seseorang dan seringkali masalah keuangan
ini merupakan faktor yang membuat seseorang jatuh dalam depresi dan
kecemasan.
g. Hukum
Keterlibatan
seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber stres pula, misalnya
tuntutan hukum, pengadilan, penjara, dan lain sebagainya. Stres di bidang hukum
ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
h. Perkembangan
Yang
dimaksudkan di sini adalah masalah perkembangan baik fisik maupun mental
seseorang, misalnya masa remaja, dewasa, menopause, usia lanjut, dan lain
sebagainya. Kondisi setiap perubahan fase-fase tersebut di atas, untuk
sementara individu dapat menyebabkan depresi dan kecemasan, terutama pada
mereka yang mengalami menopause atau usia lanjut.
i. Penyakit Fisik atau Cidera
Sumber
stres yang dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini adalah antara lain,
penyakit, kecelakaan, operasi (pembedahan, aborsi, dan lain sebagainya). Dalam
hal penyakit yang banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit
kronis, jantung, kanker dan sebangsanya.
j. Faktor Keluarga.
Yang
dimaksukan di sini adalah faktor stres yang dialami oleh anak dan remaja yang
disebabkan karena kondisi keluarga yang tidak baik (yaitu sikap orang tua),
misalnya: (a). Hubungan kedua orang tua yang dingin, atau penuh ketegangan,
atau acuh tak acuh, (b). Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu
bersama dengan anak-anak, (c). Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak
baik, (d). Kedua orang tua berpisah atau bercerai, (e). Salah satu orang tua
menderita gangguan jiwa (kepribadian), (f). Orang tua dalam pendidikan anak
kurang sabar, pemarah, keras dan otoriter, dan lain sebagainya.
k. Lain-lain.
Stresor kehidupan lainnya juga dapat
menimbulkan depresi dan kecemasan adalah antara lain, bencana alam, kebakaran,
perkosaan, kehamilan di luar nikah, dan lain sebagainya.
Kebanyakan
pekerjaan dengan waktu yang sangat sempit, ditambah lagi dengan tuntutan harus
serba cepat dan tepat membuat orang hidup dalam keadaan ketegangan (stres).
Suatu penelitian di kalangan karyawan Amerika yang tergolong white collar
employees, menyebutkan bahwa 44% dari mereka termasuk dibebani pekerjaan
yang terlampau berat (over load). Mereka menunjukkan berbagai kelainan
yang dapat dikelompokkan dalam impairment of behavior atau emotional
disturbances. Dalam pada itu para pemimpin perusahaan dikejutkan oleh
besarnya ongkos yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan (perawatan) dan
kehilangan jam kerja. Dalam suatu penelitian nasional yang dilakukan,
dikemukakan bahwa kerugian dari sektor ini saja diperkirakan meliputi jumlah
antara 50 hingga 75 milyar dollar setahunnya. Hal ini berarti lebih dari 750
dollar Amerika untuk setiap rata-rata karyawan Amerika.
Pengangguran
membawa pengaruh bagi kesehatan jiwa. Sumber stres terpenting bukanlah hakikat
kehilangan pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih bersifat perubahan-perubahan domestik
dan psikologis yang berjalan secara perlahan-lahan. Hal ini lambat laun
membahayakan kesehatan individu yang bersangkutan.
Dalam salah satu
penelitiannya Prof. M. Harvey Brenner dari Universitas John Hoppkins bahwa tiap
1% kenaikan pengangguran di Amerika Serikat tercatat. (a) 1, 9 % kenaikan
kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. (b) 4,1 % kenaikan
kematian akibat bunuh diri. (c) 4,3 % kenaikan perawatan bagi pasien baru
laki-laki di rumah sakit jiwa. (d) 2,3 % kenaikan perawatan bagi pasien baru
wanita di rumah sakit jiwa.
Suatu penelitian
yang dilakukan oleh Dr. Thomas Holmes dari Universitas Washington terhadap para
eksekutif (mereka yang bergerak di bidang usaha dan politik), menunjukkan bahwa
80% dari responden mengalami stres, depresi, kecemasan, dan penyakit gawat
lainnya.
Perubahan serba
cepat di bidang perdagangan sosial, politik, dan lain-lain, membuat para
eksekutif sering terkena tekanan (stres). Dengan menjadi berlipat
gandanya tuntutan, baik dalam kehidupan perorangan (perkawinan) maupun
perusahaan, maka dalam upaya melayani seseorang yang cermat akan mengambil
resiko untuk memaksakan diri berbuat melampaui batas kemampaun fisik dan
mentalnya. Tantangan-tantangan yang pernah dihadapinya merupakan pendorong dan
motivasi, kini mengancam ketepatgunaannya selaku pimpinan dan pengambil
keputusan, semata-mata karena jumlahnya yang banyak. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau 80% dari mereka terkena stres, kecemasan, dan depresi dengan
berbagai komplikasi di bidang penyakit fisik lainnya.
Dalam salah satu
penelitian lainnya disebutkan bahwa kini di Amerika Serikat terdapat enam
penyebab kematian utama yang erat hubungannya dengan stres dan kecemasan yaitu:
Penyakit jantung koroner, kanker, paru-paru, pengerasan hati, dan bunuh diri.
4.
Tahapan Stres
Gangguan stres
biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan seringkali kita
tidak menyadari. Namun meskipun demikian dari pengalaman praktek psikiatri,
para ahli mencoba membagi stres tersebut dalam enam tahapan. Setiap tahapan
memperlihatkan sejumlah gejala-gejala yang dirasakan oleh yang bersangkutan,
hal mana berguna bagi seseorang dalam rangka mengenali gejala stres sebelum
memeriksakannya ke dokter. Petunjuk-petunjuk tahapan stres tersebut dikemukakan
oleh Dr. Robert J. Van Amberg, psikiater sebagai berikut:
a. Stres tingkat I
Tahapan ini
merupakan tingkat stres yang paling ringan, dan biasanya di sertai dengan
perasaan-perasaan sebagai berikut: (a) semangat besar, (b) penglihatan tajam
tidak sebagaimana biasanya, (c) energi dan gugup berlebihan, kemampuan
menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya. Tahapan ini biasanya menyenangkan
dan orang lalu bertambah semangat, tanpa disadari bahwa sebenarnya cadangan
energinya sedang menipis.
b. Stres tingkat II
Dalam tahapan
ini dampak stres yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan
yang dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan sebagai berikut: (a) Merasa letih
sewaktu bangun pagi. (b) Merasa lelah sesudah makan siang. (c) Merasa lelah
menjelang sore hari. (d) Terkadang gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan
usus, perut kembung), kadang-kadang pula jantung berdebar-debar. (e) Perasaan
tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher). (f) Perasaan tidak
bisa santai.
c.
Stres
tingkat III
Pada tahapan ini
keluhan keletihan semakin nampak disertai dengan gejala-gejala: (a) Gangguan
usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke belakang). (b) Otot-otot
terasa lebih tegang. (c) Perasaan tegang yang meningkat. (d) Gangguan tidur
(sukar tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali, atau bangun
terlalu pagi). (e) Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai
jatuh pingsan).
Pada tahapan ini
penderita sudah harus berkonsultasi pada dokter, kecuali kalau beban stres atau
tuntutan-tuntutaan dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan untuk beristirahat
atau relaksasi, guna memulihkan suplai energi.
d.
Stres
tingkat IV
Tahapan ini
sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk, yang ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut: (a) Untuk bisa bertahan
sepanjang hari terasa sangat sulit. (b) Kegiatan-kegiatan yang semula
menyenangkan kini terasa sulit. (c) Kehilangan kemampuan untuk menanggapi
situasi, pergaulan sosial dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat. (d)
Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali terbangun dini
hari. (e) Perasaan Negatif. (f) Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam. (g) Perasaan
takut yang tidak dijelaskan.
e.
Stres
tingkat V
Tahapan ini
merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan IV di atas, yaitu: (a) Keletihan
yang mendalam (physical and psychological exhaustion). (b) Untuk
pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu. (c) Gangguan
sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar
atau sebaliknya fases encer dan sering ke belakang. (d) Perasaan takut yang
semakin menjadi, mirip panik.
f.
Stres
tingkat VI
Tahapan ini
merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Tidak jarang
penderita dalam tahapan ini di bawa ke ICCU. Gejala-gejala pada tahapan ini
cukup mengerikan. (a) Debaran jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat
adrenalin yang dikeluarkan, karena stres tersebut cukup tinggi dalam peredaran
darah. (b) Nafas sesak, megap-megap. (c) Badan gemetar, tubuh dingin, keringat
bercucuran. (e) Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi,
pingsan atau collaps.
Bilamana
diperhatikan, maka dalam tahapan stres di atas menunjukkan manifestasi di
bidang fisik dan psikis. Di bidang fisik berupa kelelahan. Sedangkan di bidang
psikis berupa kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan penyediaan energi
fisik maupun mental yang mengalami difisit terus-menerus. Sering buang air
kecil dan sukar tidur merupakan pertanda dari depresi.
5. Cara
Mengatasi Stres (Dealing With Stress)
Secara umum,
terdapat dua cara untuk mengatasi stres , yaitu problem focus dan emotion
focus. Pertama, problem focus, adalah cara mengatasi stres dengan
memfokuskan diri pada masalah atau sumber stres. Cara ini dapat di lakukan jika
masalah yang dialami bersifat controllable. Contohnya, anda mengalami
kesulitan dalam mengikuti suatu mata kuliah tertentu. Anda juga khawatir
apabila mata kuliah ini akan menurunkan indeks prestasi. Maka hal yang dapat
anda lakukan (berdasarkan problem focus) adalah tidak mengikuti dan
membatalkan mata kuliah tersebut.
Kedua, adalah emotion
focus, dimana mengatasi stres dengan cara memfokuskan diri dengan emosi
yang dialami. Cara ini biasanya dilakukan ketika menghadapi masalah yang
bersifat uncontrollable (tidak dapat dikontrol). Contohnya ketika
merasa stres akibat kehilangan saudara karena bencana tsunami, hal yang
dapat dilakukan misalnya berdoa agar diberikan kekuatan oleh Tuhan dalam
menghadapi masalah ini.[13]
Stress tidak
selalu berdampak negatif- dalam hal tertentu stress diperlukan untuk
pertumbuhan, body, mind, dan soul. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam The Wold Book Encyclopedia International bahwa:
“People need a certain amount of
stress to perform at their best. But too much stress produces many negative
effects. Therefore, many people look for ways to better manage the stress in
their lives. Some people practise relaxation techniques, such as various forms
of meditation. Stress can also be reduced by thinking about stressful things in
a different way. For example, people can reduce stress by accepting events as
they are, rather than as they would like them to be. Regular exercise and
proper nutrition also reduce.”[14]
B. Depresi, Sebab-Sebab, dan Akibatnya
1. Definisi Depresi
Dalam kamus
Inggris Indonesia, kata depression di artikan tertekan, kemuraman, dan
penurunan.[15] Dalam
pengertian yang luas depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu
keadaan sedih,
bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial
sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu gangguan depresi. Beberapa
gejala gangguan depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan
setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas
beraktivitas, dan gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah satu penyebab
utama kejadian bunuh diri.[16]
Sedangkan
orang-orang yang selalu berserah diri kepada Allah, dan selalu berbuat
kebajikan, maka dalam kehidupannya ia dapat terhindar dari depresi. Sebagaimana
Firman Allah dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah [2]: ayat 112 sebagai berikut:
“Tidak! Barang siapa menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi
Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
(QS. al-Baqarah [2]: 112).[17]
Depresi adalah
salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (afektif, mood),
yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan
tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya. Secara lengkap gambaran depresi
adalah sebagai berikut: (a) Afektif
disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tiada semangat,
merasa tidak berdaya. (b) Perasaan bersalah, berdosa, penyesalan. (c) Nafsu
makan menurun. (d) Berat badan menurun. (e) Konsentrasi dan daya ingat menurun.
(f) Gangguan tidur, insomnia, (tidak dapat tidur) atau sebaliknya hipersomnia,
terlalu banyak tidur). Gangguan ini seringkali disertai dengan mimpi-mimpi yang
tidak menyenangkan, misalnya mimpi orang yang telah meninggal. (g) Agitasi atau
retardasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah, tak berdaya). (h) Hilangnya
rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas
menurun, produktivitas juga menurun. (i) Gangguan seksual (libido menurun). (j)
Pikiran-pikiran tentang kematian, bunur diri.[18]
Ada gejala lain
yang dinamakan depresi terselubung yaitu seseorang yang datang pada dokter
dengan keluhan-keluhan fisik. Dalam pemeriksaan ternyata tidak ditemukan
kelainan fisik, melainkan gangguan fungsional dari satu atau lebih organ tubuh
yang dikeluhkan. Keluhan-keluhan ini bila ditelaah lebih mendalam ternyata
merupakan manifestasi dari depresi. Gejala depresi menjadi terselubung dengan
gejala (keluhan) fisik tadi.[19]
Sebagaimana
telah dikemukakan di muka bahwa jarang ada orang yang menunjukkan depresi
murni, selalu ada komponen kecemasan yang menyertainya. Sebagai perbandingan
berikut ini adalah gejala kecemasan (ansietas) sebagai berikut: (a) Cemas,
takut, khawatir. (b) Firasat buruk. (c) Takut akan fikirannya sendiri. (d) Mudah
tersinggung. (e) Tegang, tidak bisa istirahat dengan tenang. (f) Gelisah, mudah
terkejut. (g) Gangguan tidur dengan mimpi-mimpi yang menegangkan. (h) Gangguan
konsentrasi dan daya ingat. (i) Jantung berdebar-debar, dada sesak, nafas
pendek. (j) Gangguan pencernaan. (k) Nyeri otot, pegal-linu, kaku, perasaan
seperti ditusuk-tusuk, keringat, badan panas/dingin. (l) Mulut kering, sukar
menelan seolah-olah ada benda yang menyumbat kerongkongan. (m) Gangguan seksual
(libido meninggi), dan lain sebagainya.[20]
2.
Statistik
Depresi
Berapa banyak
anggota masyarakat di negara kita yang mengalami depresi hingga kini belum ada
penelitian ke arah itu. Namun secara asumtif pasien-pasien dengan depresi
maupun dengan depresi terselubung semakin banyak jumlahnya (belum ada angka
pasti). Kesimpulan ini diperoleh dari pasien-pasien yang berobat di klinik
psikiatri baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta, dan juga dari semakin
meningkat pemakaian obat-obat anti-depresi itu sendiri.
Depresi
merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini. Hal ini amat penting
karena orang dengan depresi produktifvitasnya akan menurun dan ini amat buruk
akibatnya bagi suatu masyarakat/negara yang sedang membangun. Orang yang
mengalami depresi adalah orang yang amat menderita. Depresi adalah penyebab
utama tindakan bunuh diri, dan tindakan ini menduduki urutan ke-6 dari penyebab
utama kematian di Amerika Serikat.
Penelitian yang
dilakukan oleh Kielholz dan Poldinger (1947) menunjukkan bahwa 10% dari pasien
yang berobat pada dokter adalah pasien depresi dan separuhnya dengan depresi
terselubung. Penelitian lain yang dilakukan oleh Klinik Psikiatri Universitas
Basle (1977-1978) di dapat angka 18 %, penelitian di Bavaria (Dilling dkk,
1978) didapat angka 17%. WHO (1974) memperkirakan prevalensi depresi pada
populasi masyarakat dunia adalah 3 %.
Sehubungan
dengan hal tersebut Sartorius (1974) menaksir 100 juta penduduk dunia mengalami
depresi. Angka-angka ini semakin bertambah untuk masa-masa mendatang yang
disebabkan beberapa hal, antara lain:
(a) Usia harapan hidup semakin bertambah. (b) Stresor psikososial
semakin berat. (c) Berbagai penyakit kronik semakin bertambah. (d) Kehidupan
beragama semakin ditinggalkan (masyarakat sekuler).
3.
Psikodinamik
Depresi
Salah satu
kebutuhan utama manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman, dan
terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain kebutuhan
afeksional. Seseorang yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss
of love object) dapat jatuh dalam depresi. Misalnya seseorang kehilangan
orang yang dicintai (suami/istri meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan
sejenisnya, akan menyebabkan orang itu mengalami kekecewaan yang diikuti oleh
rasa sesal, bersalah, dan seterusnya yang pada gilirannya orang akan jatuh
dalam depresi. Kebutuhan-kebutuhan afeksional itu sudah dimulai dari bayi
hingga dewasa, masa tua, dan seterusnya sampai akhir hayat.
Pemenuhan
kebutuhan afeksional amat penting bagi perkembangan jiwa anak, khususnya
sewaktu bayi dalam masa balita. Seseorang anak yang tidak mendapatkan afeksi
(deprivasi emosional) dalam perkembangan jiwa selanjutnya akan menunjukkan
berbagai kelainan kepribadian (personality dirorder). Salah satu bentuk
dari deprivasi emosional yang dialami anak adalah kepribadian depresif.
4.
Ciri
Kepribadian Depresif
Seseorang yang
sehat jiwanya bisa saja jatuh dalam depresi apabila tidak mampu menanggulangi
stresor yang dialaminya, dengan gejala-gejala sebagaimana telah diuraikan di
muka. Namun, ada juga orang-orang yang memang mempunyai corak kepribadian
depresif. Dalam kehidupan sehari-hari meskipun tidak ada stresor, seseorang
dengan corak kepribadian depresif menunjukkan sikap antara lain: (a) Pemurung,
sulit untuk bisa senang, sulit untuk merasa bahagia. (b). Pesimis menghadapi
masa depan. (c). Memandang diri rendah. (d). Mudah merasa bersalah (berdosa).
(e). Mudah mengalah, dan lain-lain.
5.
Depresi
Pada Pasca Kuasa (Post Power Syndrome)
Orang yang
mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan
(power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang kehilangan
kekuasaan dan kekuatan (powerless) artinya sesuatu yang dimiliki dan
dicintai kini telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of
love object ini adalah terganggunya keseimbangan (equiblibrium)
mental-emosional dengan manifestasi berbagai keluhan fisik, kecemasan, dan
terlebih lagi depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan
perubahan sikap dan perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindrome.
Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial
dari orang yang baru kehilangan jabatan/kekuasaan.
Kehilangan
jabatan/kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu merasa kuat kini merasa
lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio)
dan alam perasaan (afektif) pada diri yang bersangkutan. Kalau
keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan (kecemasan/depresi) itu sifatnya ke dalam,
tertutup dan tidak terbuka, maka keluhan-keluhan psikososial inilah yang sering
menampakkan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku, misalnya: (a) Suka
mengkritik, merasa dirinya benar. (b) Prasangka buruk, curiga. (c) Mencela,
skeptis, merasa diperlakukan tidak adil. (d) Kecewa, tidak puas, perasaan
tertekan. (e) Sikap oposan. (f) Suka ngomel, ngedumel, uneg-uneg, dan
sebangsanya, yang biasa dilakukan/diucapkan berulang-ulang itu-itu juga.
Keluhan-keluhan
psikososial di atas terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang mengakibatkan
perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di
luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang
menggunakan mekanisme defensif antara lain berupa mekanisme proyeksi dan
rasionalisasi itulah, maka terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap
kondisi psikososial sekelilingnya.
6.
Perubahan
Perilaku Pada Eksekutif
Firman Allah dalam al-Qur’an surah
al-Baqarah [2]: 204 sebagai berikut:
“Dan di antara manusia ada yang
pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia
bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang
paling keras.” (QS. al-Baqarah [2]: 204).[21]
Perubahan-perubahan
dalam perilaku, seringkali menunjukkan bahwa seorang eksekutif sedang dalam
keadaan stres misalnya keadaan cemas dan depresi. Dalam salah satu seminar
tentang Penyesuaian Diri Manusia. Dalam Pergaulan Modern, Dr. O. Connor,
psikiater, mengemukakan perubahan-perubahan yang dapat terjadi secara tiba-tiba
yang seringkali tanpa disadari oleh eksekutif yang bersangkutan. Berikut ini
sekedar contoh dari seseorang eksekutif yang sedang mengalami stres, antara
lain: (a) Banyak minum-minum keras dari yang semula tidak minum atau sedikit
minum, atau juga merokok berlebihan dari biasanya. (b) Perubahan dalam
kebiasaan seksualnya, libido meningkat dalam keadaan cemas, atau menurun dalam
keadaan depresi. (c) Kesulitan dalam pengambilan keputusan oleh seorang
eksekutif yang semula mampu mengambil keputusan secara tepat dan efisien.
Eksekutif yang dalam keadaan stres, biasanya lebih suka mengambil keputusan
yang dirasa aman bagi dirinya daripada yang paling baik. (d) Mudah tersinggung
dan marah, padahal sebelumnya seorang eksekutif yang ramah dan menyenangkan.
(e) Berat badan tiba-tiba bertambah atau bahkan sebaliknya merosot. (f) Tiba-tiba
diet atau gemar berolah-raga, namun hanya sementara sifatnya. (g) Perubahan
dalam patokan moralitas dan etik, dari seorang eksekutif yang semula jujur dan
terbuka, kini menjadi kurang jujur, tertutup dan mulai melanggar etik. (h) Mengelak
diri dari tanggung jawab, dari yang semula penuh tanggung jawab. (i) Bersikap
atau bereaksi berlebihan dalam menghadapi hal-hal yang kecil. (j) Berkhayal
tentang hari-hari depan yang lebih baik dari yang semula berpikiran realistik.
(k) Seringkali berbuat kekeliruan-kekeliruan dan melupakan berbagai hal,
padahal semula ia seorang eksekutif yang teliti dan dapat dipercaya.[22]
7.
Kecemasan
(Anxiety)
Kecemasan adalah
manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika
orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin
(konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut,
terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa, terancam dan sebagainya. Juga ada
segi-segi yang terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan
yang tidak menyenangkan itu. Rasa cemas itu terdapat dalam semua gangguan dan
penyakit jiwa, dan ada bermacam-macam pula.[23]
Tetapi bagi
orang-orang yang merasakan kehadiran Tuhan dan selalu berusaha dekat dan
mengingat-Nya- hati mereka selalu tenang dan terhindar dari kecemasan,
sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surah ar-Ra’d [13]: ayat 28 sebagai
berikut:
“(yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d [13]: 28).[24]
Gejala kecemasan
baik yang sifanya akut maupun kronik merupakan komponen utama bagi hampir semua
gangguan psikiatrik. Sebagian dari komponen kecemasan itu menjelma dalam bentuk
gangguan panik. Bahkan karena begitu memuncaknya kecemasan pada diri seseorang,
seringkali dirasakan sebagai suatu serangan panik (panic attack).
Diperkirakan jumlah mereka yang menderita kecemasan akut mapun kronik 5% dari
populasi, dengan perbandingan antara wanita dan pria adalah 2 banding 1.[25]
Dalam pengalaman
praktek seringkali gangguan phobik luput dari pengamatan, sehingga diagnosa
gangguan phobik relatif jarang ditegakkan. Jarangnya gangguan phobik
dilaporkan, barangkali disebabkan karena pada umumnya dokter terpaku pada
gejala-gejala kecemasannya saja dan gejala psikoneurotik lainnya.[26]
Dari pengalaman
klinik psikiatri di Amerika Serikat ditemukan angka sekitar 3% dari
pasien-pasien yang di diagnosa kecemasan adalah tergolong gangguan phobik,
sedangkan angka untuk gangguan panik belum didapatkan angka yang pasti.
Perasaan cemas
yang diderita manusia bersumber dari hilangnya makna hidup, the meaning of
life. Secara fitri manusia memiliki kebutuhan akan makna hidup. Makna hidup
dimiliki oleh seseorang manakala ia memiliki kejujuran dan merasa hidupnya
dibutuhkan oleh orang lain (dan telah) mengerjakan sesuatu yang bermakna untuk
orang lain. Makna hidup biasanya dihayati oleh para pejuang- dalam bidang
apapun- karena pusat perhatian pejuang adalah pada bagaimana bisa menyumbangkan
sesuatu untuk kepentingan orang lain. Seorang pejuang biasanya memiliki tingkat
dedikasi yang tinggi, dan untuk apa yang ia perjuangkannya, ia sanggup
berkurban, bahkan kurban jiwa sekalipun.[27]
Meskipun yang
dilakukan pejuang itu untuk kepentingan orang lain tetapi dorongan untuk
berjuang lahir dari diri sendiri, bukan untuk memuaskan orang lain. Seorang
pejuang melakukan sesuatu sesuai dengan prinsip yang dianutnya, bukan prinsip
yang dianut orang lain. Kepuasan seorang pejuang adalah apabila ia mampu
perpegang teguh pada prinsip perjuangannya, meskipun boleh jadi perjuangannya
gagal.[28]
Adapun manusia
modern seperti disebutkan di atas mereka justru tidak memiliki makna hidup,
karena mereka tidak memiliki prinsip hidup. Apa yang dilakukan adalah mengikuti
trend, mengikuti tuntutan sosial, sedangkan tuntutan sosial belum tentu berdiri
pada suatu prinsip yang mulia. Orang yang hidupnya hanya mengikuti kemauan
orang lain, akan merasa puas tetapi hanya sekejap, dan akan merasa kecewa dan
malu jika gagal. Karena tuntutan sosial selalu berubah dan tak ada
habis-habisnya maka manusia modern dituntut untuk selalu mengantisipasi
perubahan, padahal perubahan itu selalu terjadi dan susah diantisipasi,
sementara ia tidak memiliki prinsip hidup, sehingga ia diperbudak untuk
melayani perubahan. Ketidakseimbangan itu, dan terutama karena merasa hidupnya
tidak bermakna, tak ada dedikasi dalam perbuatannya, maka ia dilanda
kegelisahan dan kecemasan yang berkepanjangan. Hanya sesekali ia menikmati
kenikmatan sekejap, kenikmatan palsu ketika ia berhasil pentas di atas panggung
sandiwara kehidupan.[29]
C. Terapi Penanggulangan Stres, Depresi,
dan Kecemasan.
Firman Allah
dalam al-Qur’an Surah Yunus [10]: ayat 57 sebagai berikut:
“Wahai
manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-Qur’an) dari Tuhanmu,
penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi
orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57).[30]
Dalam psikiatri
dikenal bentuk terapi yang disebut holistik. Dalam terapi holistik dimaksudkan
bentuk terapi yang tidak hanya menggunakan obat dan ditujukan hanyak kepada
bentuk gangguan jiwanya saja, melainkan juga mencakup aspek-aspek lain dari
pasien. Sehingga pasien diobati secara menyeluruh baik dari segi
organobiologik, psikologik, psikososial, maupun spiritual atau dengan kata lain
terapi holistik adalah bentuk terapi yang memandang pasien secara keseluruhan
(sebagai manusia seutuhnya).[31]
- Psikoterapi
Bentuk terapi
ini adalah menganut asas-asas psikiatri yang lazim. Tujuan utama jenis terapi
ini adalah untuk memulihkan kepercayaan diri (self confidence) dan
memperkuat fungsi ego. Dalam wawancara tatap muka ini pasien dapat mengemukakan
secara bebas dengan jaminan kerahasiaan segala permasalahan, konflik dan
uneg-uneg yang berhubungan langsung atau depresi yang dideritanya. Psikoterapi
relatif memerlukan waktu dan biasanya tidak cukup satu atau dua kali
konsultasi. Yang mudah dijalankan dan dapat dilakukan oleh dokter umum adalah
psikoterapi suportif. Psikoterapi yang lebih mendalam (psikoanalisa) dapat
diberikan pada pasien-pasien tertentu saja dan memerlukan keahlian khusus, memerlukan
lebih banyak waktu dan relatif mahal.
- Psikoterapi
Keagamaan
Memberikan
psikoterapi dari sudut keagamaan dapat dianjurkan mengingat bahwa sebagian
besar pasien-pasien (penduduk) Indonesia beragama. Dalam agama Islam misalnya
dapat ditemukan ayat-ayat suci al-Qur’an, hadits Nabi dan pemikir-pemikir Islam
yang mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini manusia bebas
dari rasa cemas, tegang, depresi, dan lain sebagainya. Demikian pula dapat
ditemukan dalam doa-doa yang pada intinya memohon kepada Allah swt agar dalam
kehidupan ini manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di
dunia maupun kelak di akhirat.
Dengan demikian
dianjurkan kepada para dokter (terutama psikiater) untuk mempelajari agama dan
mengamalkannya dalam praktek sebagai terapi pelengkap/penunjang. Pengamalan
agama di sini dimaksudkan untuk memperkuat iman pasien dan bukan sekali-kali
mengubah kepercayaan atau agama pasien.
- Tasawuf
Sebagai Terapi
Pada awal
sejarah Islam, umat Islam mengalami problem psikologis seperti yang dialami
masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih cenderung bersifat religius
spirituil, yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia
itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apapun jika hidupnya bermakna.[32]
Bagi Achmad
Mubarok, tasawuf Islam memiliki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia, semua
yang diperlukan bagi realisasi keruhanian yang luhur, bersistem, dan tetap
berada dalam koridor syariah. Lagi pula, paket dzikir, wirid, dan suluk dalam
tarekat lebih bisa “dipahami” oleh orang terpelajar dibanding paket meditasi
Budhis atau Kong Hoe Chu.[33]
Menurut pengakuan Achmad Mubarok, selama ia mengikuti pertemuan internasional
tarekat, pertama Saresehan tarekat guru se-Dunia (multaqa al-tasawuf
al-Islami al-‘Alamy) pada tahun 1995 di Tripoli Libia, yang kedua 2nd
International Unity Conference yang diselenggarakan oleh masyikhah
Tarekat Naqsyabandiyah Amerika pada tahun 1998 di Washington. Dari dua
pertemuan tersebut, tercermin kebutuhan manusia modern kepada Tawasuf. Hal ini
mengindikasikan bahwa tasawuf menjadi alternatif bagi masyarakat kontemporer
untuk menyeimbangkan kekuatan body, mind, and soul.
Sayyed
Hossein Nasr, menegaskan bahwa manusia diciptakan dengan susunan terbaik,
tetapi kemudian manusia jatuh pada kondisi terburuk setelah manusia berpisah
dan jauh dari asal-usulnya.[34]
Jalaluddin Rumi, menyitir dalam gaya bahasanya yang cukup indah, “Kita adalah
seruling bambu yang terserabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar adalah
jeritan pilu dari pecahan bambu yang ingin kembali ke rumpunnya semula.” Kita
akan hidup sebagai bambu sejati bila kita kembali ke tempat awal kita, yakni
jalan fitrah.[35] Nah,
disinilah urgensinya ajaran tasawuf bagi para da’i yakni- mengembalikan manusia (mad’u) ke jalan fitrah
tersebut. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk memiliki pengetahuan
tentang tasawuf. Karena tasawuf adalah dimensi batiniah dalam ajarah Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu
bentuk stres yang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan kecuali kecemasan
(ansietas) adalah juga yang dinamakan depresi. Baik kecemasan maupun depresi
kedua-duanya mempunyai gejala-gejala gangguan fungsi dari organ-organ tubuh
yang dipersarafi oleh sistem saraf otonom (misalnya, pernafasan, peredaran darah,
pencernaan, seksual, dan lain sebagainya). Gejala fisik maupun psikis
(kecemasan dan depresi) seringkali tumpang tindih, tidak ada suatu batasan yang
jelas, sehingga seseorang yang mengalami stres dapat diartikan bahwa orang itu
memperlihatkan berbagai keluhan-keluhan fisik, kecemasan, dan juga depresi.
Istilah stres
dan depresi seringkali tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Setiap
permasalahan kehidupan yang menimpa pada diri seseorang (disebut stresor
psikologi) dapat mengakibatkan gangguan fungsi (faal) organ tubuh.
Reaksi tubuh (fisik) ini dinamakan stres, dan manakala fungsi organ-organ tubuh
itu sampai terganggu dinamakan stres. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan
seseorang terhadap stresor yang dialaminya. Oleh karena dalam diri manusia itu
antara fisik dan psikis (kejiwaan) itu tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya (saling mempengaruhi); maka istilah stres dan depresi dalam makalah ini
di anggap sebagai suatu kesatuan. Reaksi kejiwaan lainnya yang erat hubungannya
dengan stres adalah kecemasan (anxiety).
Kecemasan (anxiety)
dan depresi (depression) merupakan dua jenis gangguan kejiwaan yang satu
dengan lainnya saling berkaitan. Seseorang yang mengalami depresi seringkali
ada komponen ansietasnya, demikian pula sebaliknya. Manifestasi depresi tidak
selalu dalam bentuk keluhan-keluhan kejiwaan (afek disforik), tetapi
juga bisa dalam bentuk fisik (gangguang fungsional organ tubuh). Hal yang
terakhir ini seringkali disebut pula sebagai depresi terselubung, artinya
keluhan-keluhan fisik yang latar belakangnya adalah depresi. Stres dewasa ini
sudah semakin populer, tidak saja di kalangan umum, namun juga di kalangan
medis istilah ini mulai dipakai. Bahkan ada gejala dari suatu penyakit,
cenderung untuk memakai istilah stres sebagai suatu bentuk diagnosa.
B. Saran-Saran
Dalam mengatasi
stres, depresi, dan kecemasan seyogyanya selain terapi holistik- para psikiater
dapat menggunakan terapi keagamaan, dalam hal ini bisa juga dengan terapi
tasawuf. Meminjam ungkapan Achmad Mubarok bahwa, relevansi tasawuf secara seimbang memberikan
kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Ia bisa dipahami sebagai
pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasawuf suluky, dan bisa
memuaskan dahaga intelektual melalui
pendekatan tasawuf falsafi. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan
sosial manapun dan tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah,
yaitu Ka’bah dan secara ruhaniah mereka berlomba-lomba menempuh jalan tarekat
melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang satu Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
A.
AL-QUR’AN
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depag RI, 2004.
B.
BUKU
Awwab, Qomaruzzaman, La Tahzan For Teens, Bandung:
Mizan Media Utama, 2007.
Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Jakarta:
Gunung Agung, 1968.
Echols, John M., Kamus Inggris Indonesia,
Jakarta: Gramedia, 1979.
Hawari, Dadang, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa
dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Mubarok, Achmad, Jiwa dalam al-Qur’an: Solusi
Krisis Keruhanian Manusia Modern, Jakarta: Paramadina, 2000.
----------,“Relevansi Tasawuf dengan Problem
Kejiwaan Manusia Modern,” Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf
Positif, Jakarta: IIMan dan Hikmah, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1988.
Amin,
Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufism dan
Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999.
B.JURNAL DAN ENSIKLOPEDI
Nasichah, “Dakwah
Pada Masyarakat Modern; Problem Kehampaan Spiritual”, Da’wah Jurnal Kajian
Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. X, No. II, Jakarta: Fakultas Dakwah UIN
Syarif Hidayatulah Jakarta, 2003.
The Wold Book Encyclopedia
International, Chicago, Illinois: World Book Inc, 1994.
C.INTERNET
“Depresi (Psikologi),” artikel diakses pada 30 Mei 2013 dari http://id.
wikipedia.org/ wiki/Depresi_(psikologi)
“Stres, Gejala, Penyebab dan
Cara Mengatasinya,” artikel diakses pada 30 Mei 2013 dari http://cherrypa.
wordpress.com/ 2012/11/02/ stres-gejala- penyebab-dan-cara-mengatasinya/
[1]Achmad Mubarok, Jiwa
dalam al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, (Jakarta:
Paramadina, 2000), h. 13.
[2]Lihat, Qomaruzzaman
Awwab, La Tahzan For Teens, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h. 15.
[3]Ibid.
[4]Hadits Riwayat Muslim,
dalam Shahih Muslim, nomor 2956.
[5]Amin,
Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufism dan
Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999),
h. 26.
[6]John M. Echols, Kamus
Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979) h. 561.
[8]Dadang Hawari, al-Qur’an
Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa, 1997), h. 44.
[9]Ibid.
[10]“Stres, Gejala, Penyebab
dan Cara Mengatasinya,” artikel diakses pada 30 Mei 2013 dari http://cherrypa.
wordpress.com/ 2012/11/02/ stres-gejala- penyebab-dan-cara-mengatasinya/
[12]Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depag RI,
2004) h. 837.
[13] “Stres,
Gejala, Penyebab dan Cara Mengatasinya,” artikel diakses pada 30 Mei 2013
dari http://cherrypa.
wordpress.com/ 2012/11/02/ stres-gejala- penyebab-dan-cara-mengatasinya/
[16]“Depresi
(Psikologi),” artikel diakses pada 30
Mei 2013 dari http://id.
wikipedia.org/ wiki/Depresi_(psikologi)
[18]Dadang Hawari, al-Qur’an
Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 54-55.
[22]Dadang Hawari, al-Qur’an
Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 60-61.
[23] Zakiah Daradjat, Kesehatan
Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1968), h. 27
[25]Dadang Hawari, al-Qur’an
Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 62.
[26]Ibid.
[27]Achmad Mubarok, “Relevansi
Tasawuf dengan Problem Kejiwaan Manusia Modern,” Manusia Modern Mendamba
Allah: Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMan dan Hikmah, 2002), h. 171.
[28]Ibid.
[34]Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1988), h. 142.
[35]Nasichah, “Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem
Kehampaan Spiritual”, Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya,
Vol. X, No. II, (Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatulah Jakarta,
2003), h. 103.
Post a Comment