Pangeran Ario Kesumo adalah Sultan Palembang pertama dengan
gelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayyidul Imam memerintah dari
tahun 1659-1706 M.[1]
Setelah Pangeran Ario Kesumo mendirikan Kesultanan Palembang yang tidak terikat
lagi dengan para penguasa Mataram. Dia diangkat menjadi Sultan pertama di
Kesultanan Palembang. Pada tahun 1703 beliau mengangkat putranya anak dari Ratu
Agung sebagai Raja Palembang Darussalam yang kedua dengan gelar Sultan Muhammad
Mansur (1706-1714 M). Kemudian Sultan Muhammad Mansur digantikan oleh adiknya
bernama Raden Uju yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Agung Komaruddin Sri
Truno (1714-1724 M). Kemudian beliau digantikan keponakannya Pangeran Ratu Jayo
Wikramo dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah dari tahun
1724-1758 M.
Sultan Mahmud Badaruddin I mengangkat putra keduanya yang
bernama Pangeran Adikesumo. Kemudian Pangeran Adikesumo dinobatkan sebagai
Sultan Palembang Darussalam kelima dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin I yang
memerintah dari tahun 1758-1776 M. Kemudian Sultan Ahmad Najamuddin I
digantikan oleh putera mahkota yang bergelar Sultan Muhammad Bahaudin
dinobatkan sebagi Sultan Palembang Darussalam yang keenam memerintah dari tahun
1776-1803 M.
Sultan Muhammad Bahaudin digantikan oleh putra sulungnya yang
bernama Raden Hasan Pangeran Ratu
dengan gelar Sultan
Mahmud Badaruddin II
sebagai Sultan Palembang Darussalam yang ketujuh dan
memerintah dari tahun 1803-1821 M.[2] Baru
sewindu memegang tampuk pemerintahan, datanglah Inggris pada tahun 1812 M di
bawah pimpinan Mayor Robert Rollo Gillespie menyerbu Palembang.[3]
Kesultanan Palembang terletak di tepi sungai Musi. Palembang
sebagai ibukota Kesultanan terletak di kaki bukit Siguntang. Sungai Musi
membelah kota Palembang menjadi dua bagian, yaitu bagian Ilir dan Ulu. Sungai
Musi bermuara di Sunsang. Muara Sunsang merupakan muara dari anak sungai Musi
yang berjumlah 9 buah. Kesultanan Palembang sebelah utara berbatasan dengan
Jambi. Sebelah barat dengan Bengkulu, sebelah selatan dengan Lampung dan
sebelah Timur dengan Laut Jawa. Sepanjang pantai Timur daerah ini terdiri dari
rawa dan hutan lebat. Bagian barat terdiri dari bukit barisan yang membujur di
Pulau Sumatera. Daerah kesultanan Palembang umumnya beriklim tropis.[4]
Tanah di daerah Palembang relatif subur, sebab curah hujan di
daerah ini cukup tinggi. Tanaman untuk ekspor ke luar negeri juga dihasilkan
daerah kesultanan Palembang. Seperti tanaman lada, kopi, cengkeh, dan tumbuhan
lainnya. Di daerah pedalaman juga dihasilkan buah-buahan dan sayur-sayuran. Di
daerah pedalaman bertani disebut dengan berladang. Sistem perladangan dinamai “ume”. Sebagian besar daerah pedalaman
hidup bercocok tanam dan bertani.
Sedangkan penduduk kota Palembang hidup dari pelayaran dan perdagangan. Penduduk kesultanan Palembang
terdiri dari dua
golongan yaitu golongan
bangsawan (priyai) dan rakyat biasa. Golongan bangsawan terdiri dari
Pangeran, Raden dan Mas Agus. Golongan rakyat terdiri dari orang Miji dan orang
Senan. Di samping itu terdapat golongan Timur Asing yang terdiri dari Cina,
Arab dan India. Status Bangsawan
tidak hanya berdasarkan
kelahiran atau keturunan.
Mereka yang berjasa kepada Sultan
Mahmud Badaruddin II juga diberi gelar Bangsawan. Bangsawan yang
diangkat ini juga
diberi hadiah daerah
kekuasaan tertentu. Mereka
mengusahakan hasil bumi atau kebun yang sebagian diserahkan kepada Sultan.[5]
Dalam rangka memajukan perniagaan, Sultan mengangkat seorang
Syahbandar di Kota Palembang. Syahbandar adalah seorang pemimpin dan mengatur
kota (Bandar) Palembang. Dia bertugas memajukan pelayaran dan perdagangan.
Syahbandar juga memungut bea masuk dan keluar pelabuhan. Di samping itu,
syahbandar juga bertanggung jawab menjaga keamanan pedagang asing. Syahbandar
memiliki kekuasaan yang besar, ia juga mengatur saudagar asing yang ingin
bertemu Sultan, agar konsultasi hubungan berjalan lancar. Sultan
juga mengangkat petugas
khusus yang mengurus
tanah milik Sultan. Petugas ini
disebut Jenang. Jenang ini juga mengurus masalah Keraton, Masjid dan Makam
Raja-raja.
Hubungan dengan pedagang
VOC Belanda juga
diadakan oleh Sultan Palembang pertama yaitu Sultan Abdurrahman
Kholifatul Mukminin. Pada mulanya hubungan
dengan pedagang VOC
sama kedudukannya dengan pedagang lainnya. Pada tahun 1642 VOC
mendirikan Loji (Kantor Dagang) di Palembang.
Sultan Mahmud Badaruddin
II memiliki kepribadian ksatria,
pemberani, dan pandangan jauh kedepan. Dia juga seorang yang alim, sabar dan bertaqwa kepada
Allah. Sultan juga merupakan pemimpin perang yang memiliki kemampaun mengatur
strategi perang yang handal. Beliau juga seorang pemimpin yang bijaksana,
senang bersahabat, peduli pada rakyat dan anti penjajahan.
Sultan Mahmud Badaruddin II menunjukkan jiwa ksatriannya
dengan menolak menyerahkan adiknya
Sultan Mudo ketika
Mutinghe datang ke Palembang pada tahun 1817 dan menolak
pula tuntutan Mutinghe supaya menyerahkan
putera sulungnya Pangeran
Ratu beserta Pangeran-Pangeran pengiringnya pada tahun
1819 M.[6] Kelugasan
Sultan Mahmud Badaruddin II bertindak di antaranya dengan melakukan pengusiran
Belanda dari Loji Sungai Aur pada tanggal 14 September 1811, setelah beliau
mengetahui perkembangan di Pulau Jawa.[7]
Keberanian dan pendirian yang teguh telah ditunjukkan oleh
Sultan Mahmud Badaruddin II kepada musuhnya, ketika Jendral De Kock mengirim
surat kepadanya supaya menyerah saja kepada Belanda pada tanggal 10 Juni 1821
setelah angkatan perang Belanda berlabuh di Pulau Salah Nama siap untuk
menggempur Palembang.[8]
Sultan Mahmud Badaruddin II mempersiapkan pertahanan
yang di sungai dan pedalaman. Dengan taktik peperangan yang dilakukan Sultan
Mahmud Badaruddin II, membuat musuh tidak
dapat menembus pertahanan Palembang. Sultan Mahmud
Badaruddin II sendiri yang memimpin pertempuran melawan Belanda sehingga Belanda
dapat dipaksa mundur.
Sultan Mahmud Badaruddin II dan rakyat Palembang berjihad bersama-sama
rakyatnya mengadakan perlawanan terhadap Inggris dan Belanda. Sultan Mahmud Badaruddin II seorang yang memiliki
pengetahuan yang luas, taat beribadah, dan pribadi yang sabar.
Hijrahnya Sultan Mahmud Badaruddin II ke pedalaman dan
menunjuk adiknya Pangeran Adipati sebagai Sultan Mudo tetap berada di
tengah-tengah rakyat di Palembang,
ketika pasukan Inggris menduduki
kota di tahun 1812, membuktikan sikap
dan tindakan yang
bijaksana dengan penuh perhitungan.[9]
Sultan Mahmud Badaruddin bila beliau dihadapkan pada masalah
yang pelik dan yang memerlukan penyelesaian yang serius. Beliau melakukan musyarawah-musyawarah dengan para pembesar,
alim ulama, dan pemuka-pemuka masyarakat. Sultan Mahmud Badaruddin II adalah
seorang yang dalam sikap, ucapan dan perbuatannya seorang anti imperialis dan
anti kolonialis. Hal itu terlihat, dari sikap dan kepribadian Sultan Mahmud
Badaruddin II yang tidak pernah menyerah kepada musuh-musuhnya. Sultan Mahmud
Badaruddin II tidak kalah perang, tetapi telah diperdaya oleh Jenderal de Kock.
Beliau juga tidak pernah menandatangani perjanjian” Kontrak Panjang (Lange Verklaring) dan
Kontrak Pendek (Korte Verklaring).[10]
[1] R.H.M. Akib, Sejarah Palembang, h. 3.
[2]Mardanas Safwan, Sultan
Mahmud Badaruddin II (1767-1852) (Jakarta: Bharata, 2004), h. 24-26.
[3]Atja, Syair
Palembang, (Djakarta: Museum Pusat, Seri Sarjana Karya No.1, 1967), h. 11.
[4]Mardanas Safwan, Sultan
Mahmud Badaruddin II, h. 30.
[5]Ibid., h. 31.
[8]Djohan Hanafiah, Perang
Palembang 1819-1821, h. 21.
[9]M.O Woelders, Het
Sultanaat Palembang 1811-1825, Penerjemah. H.A. Bustari, (Amsterdam:
Martinus Nijhoff; 1975), h. 2-3.
[10]R.M.
Husin Nato Dirajo, Sejarah Perjuangan
Almarhum Sultan- Mahmud Badaruddin II, h. 7.
Post a Comment