Kesultanan Palembang merupakan wilayah daerah Keresidenan
Palembang pada zaman Belanda. Lebih
tepat lagi kalau
dikatakan Keresidenan Palembang
ini adalah daerah hukum Palembang.[1] Palembang
dila dilihat dari sudut geografi, sebelah selatan berbatasan dengan Lampung
merupakan daerah yang berawa dan berhutan lebat. Sedangkan dari Bengkulu
terdapat Bukit Barisan yang membentang di pulau Sumatera. Sungai-sungai di
daerah Palembang dapat dilayari dan bertemu pada suatu titik yaitu ibukota
Palembang. Hal ini merupakan persyaratan
untuk mendirikan suatu
pusat kekuasaan yang kuat.
Sungai Musi dengan cabang-cabangnya merupakan sarana perhubungan
yang dulu mengikat
bagian-bagian dari Kesultanan
Palembang menjadi satu, yang merupakan suatu kesatuan dan keseluruhan yang
bagian-bagiannya satu sama lain berkaitan, sambung menyambung secara terarah
dan teratur. Letak dari muara-muara sungai yang lebar terhadap jalan-jalan
dagang yang besar, telah memikat para pedagang asing untuk menetap di sana.
Kerajaan
Sriwijaya yang dikenal
memiliki kekuasaan sampai
kedaratan Asia. Setelah kerajaan
tersebut jatuh maka
daerah ini berada
di bawah kekuasaan Majapahit. Dua abad lamanya daerah
yang dulu merupakan wilayah dari kekuasaan kerajaan Sriwijaya menjadi daerah
yang nyaris tak bertuan, sehingga untuk berapa lama dikuasai oleh
perompak-perompak Cina.[2]
Setelah itu daerah
ini berada di
bawah kerajaan Melayu.
Setelah Majapahit menggantikan
kedudukan Sriwijaya oleh Brawijaya V ditugaskan putranya Ario Damar sebagai Adipati
Majapahit disana.[3] Setelah
itu, kedudukan Majapahit digantikan Demak di bawah pimpinan Raden Fattah.
Ketika di Kerajaan Demak terjadi revolusi Keraton, maka waktu itulah tiba di
Palembang serombongan priyai-priyai keturunan Trenggono dipimpin oleh Ki Gede
Sedo Ing Lautan menurunkan Raja-raja Palembang.[4]
Pemerintahan Kesultanan diatur rapi, begitu juga aparatur
keamanannya. Diadakanlah peraturan-peraturan bagi para pedagang dan penduduk
datangan (penduduk tumpang).[5] Pemegang
kekuasaan tertinggi adalah Sultan. Dalam menentukan keputusan-keputusan selalu
didasarkan atas Al Qur’an, Undang- undang, dan Piagam-piagam.[6] Di
Palembang berlaku hukum-hukum adat, yang bersumber pada Kitab Undang-undang “Simbur
Cahaya”. Kemudian ditambah lagi dengan Undang-undang wilayah, yaitu “Sindang
Mardike”[7]
Di bidang peradilan dikenal dua macam pengadilan. Pertama, yang mengadili dalam
perkara-perkara keagamaan dipimpin oleh Pangeran Penghulu Nato Agamo, yang
membawahi Pangeran-pangeran Penghulu. Kedua,
yang mengadili dalam perkara-perkara yang diancam hukuman badan Pimpinan
Temenggung Karto Negaro. Di bidang pelabuhan yang berkuasa adalah Syahbandar.
Setiap kapal yang masuk dikenakan bea pelabuhan, yang besarnya menurut
banyaknya anak kapal.[8]
Hubungan dengan luar negeri sejak dahulu kala adalah
semata-mata hubungan dagang, berdasarkan perjanjian dagang (kontrak dagang)
dengan atau tidak dengan hak monopoli, seperti kontrak dagang dengan VOC sudah
ada sejak pertengahan abad ke 17 sampai dengan awal abad ke 19. Perdagangan
diadakan dengan Pulau Jawa, Bangka, Negeri Cina, Riau, Singapura, Pulau Penang,
Malaka, Lingga dan Negeri Siam, di samping itu dari pulau-pulau lainnya dating
juga perahu-perahu membawa dan mengambil barang-barang dagangan. Barang-barang
dagangan itu adalah berupa macam-macam kain linen, kain cita Eropa, dari yang
kasar sampai yang halus. Terdapat juga barang-barang dari Cina seperti sutera,
benang emas, panci-panci besi, pecah belah, obat-obatan, teh, manisan dan
barang-barang lain.[9]
Barang-barang dagangan yang penting lainnya adalah minyak
kelapa, minyak kacang (dari Jawa dan Siam), gula jawa, bawang, asam, beras,
gula pasir, tembaga, besi, baja, barang-barang kelontongan, dan beberapa barang
dari Eropa. Pedagang kain linen terbesar adalah orang-orang Arab, ada yang
mempunyai kapal dan perahu sendiri, namun kebanyakan mereka adalah mengurus
barang dagangan orang lain dari luar Palembang. Sesudah orang Arab menyusul
orang Cina yang membeli barang-barang dari perahu. Orang Palembang membeli dari
orang-orang Arab, Cina, dan membawanya kepedalaman untuk dijual disana.
Orang-orang Palembang biasa membeli barang dengan kredit dan membayar dengan
barang-barang pula.[10]
Hasil-hasil dari Kesultanan Palembang yang diekspor di
antaranya: rotan ikat, damar, kapur barus, kemenyan, kayu lako, lilin, gading,
dan pasir emas. Barang-barang ini, dikumpulkan dari hutan dan tepi sungai.
Selain itu, ada yang sengaja di tanam seperti lada, kopi, tebu, gambir, pinang,
tembakau, dan nila. Hasil-hasil lainnya adalah ikan kering, ikan asin, barang
pecah belah, tikar rotan, jerami, karung,
barang-barang dari kuningan,
dan songket dari benang kapas tenunan sendiri. Daerah hukum Palembang
terdiri dari Keresidenan Palembang dan di samping itu daerah-daerah Rejang Empat
Petulai (Lebong) dan
Belalau di sebelah
Selatan Danau Ranau. Hukum
Adat Sumatera Selatan
menunjukkan diseluruh daerah begitu banyak sifat-sifat
kekeluargaan, sehingga membentuk suatu lingkungan hukum tersendiri. Di daerah
yang begitu luas ini pengaruh-pengaruh terhadapnya tidak sama disegala tempat.
Perkembangan hukum adat telah berjalan dengan cara yang
tidak sama, dikarenakan
berbagai pengaruh dari
luar. Maka bagian-bagian tertentu
menjadi daerah hukum adat tersendiri dengan segala penyimpangannya dan
variasinya. Salah satu dari lingkungan itu adalah lingkungan hukum adat Kesultanan
Palembang.[11]
Dalam soal adat istiadat jelas diatur dan dipelihara secara
baik, terbukti dengan adanya Kitab Hukum Adat “Simbur Cahaya” di zaman Sultan
Palembang sampai di zaman Pemerintahan Kolonial
Belanda. Kebudayaan meliputi selain hukum adat seperti adat istiadat dan
kebiasaan, kesenian, kerajinan dan kesusasteraan. Masyarakat Palembang juga ahli
dalam seni ukir dan bangunan. Ditandai dengan adanya rumah-rumah besar yang
pada umumnya dihiasi dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan yang dipahat
dalam kayu, mereka pandai mengukir gading, perak, dan emas. Terutama untuk membuat
ukiran- ukiran timbul.
Di bidang sastra masyarakat Palembang juga memiliki minat
yang besar. Misalnya Sultan Mahmud Badaruddin II sendiri adalah seorang yang ahli
dalam bidang kesusasteraan, terbukti
dengan perpustakaannya yang luas.[12] Di
bidang sistem pertahanan sejak tahun 1819 sampai dengan tahun 1821 sangatlah
mengagumkan pihak musuh. Menurut pengakuan Belanda waktu menyerang
benteng-benteng pertahanan di Pulau Kemaro dan Tambak Bayo di Plaju tahun 1819
dan tahun 1821 M, Belanda mengalami beberapa kali gagal mencapai Kraton Kuto
Besak.
Dengan sistem pemerintahan dan pengadilan sebagaimana
diungkapkan di atas, terjaminlah ketertiban masyarakat Palembang. Dengan ketertiban
itu, masyarakat merasa aman dan tenteram, sehingga berkembanglah berbagai
kegiatan di dalam masyarakat seperti pertanian, perdagangan, kesenian dan
kesusasteraan.
[1]J.W Van Royen,
De
Palembangsche marga en
haar Gronden Waterrechten,
(Leiden: G.L. Van de Berg Adrianis Boekhandel, 1927), h. 5
[3]Hamka,
Sejarah Ummat Islam, IV, h. 90.
[4] P. De Roo
de la Faille,
Dari Zaman Kesultanan Palembang, h.
12.
[7] Ibid., h. 26.
31Boedani Djavid, Tambo Kerajaan Sriwidjaja, (Bandung: Terate, 1961), h. 26.
31Boedani Djavid, Tambo Kerajaan Sriwidjaja, (Bandung: Terate, 1961), h. 26.
[8]Ibid., h. 45.
[9] Mardanas Safwan, Sultan
Mahmud Badaruddin II, h. 33.
[10]Ibid., h. 32.
[11] Boedani Djavid, Tambo
Kerajaan Sriwidjaja, h.35.
Post a Comment