Jenis-jenis benteng yang dibuat dari tembok batu, tanggul-tanggul, dan pagar berduri. Dinding-dinding benteng sengaja diberi lubang-lubang untuk tempat menembak dan menombak. Selain itu, sudut-sudut dinding bagian atas dibuat tempat untuk mengintai musuh. Benteng Keraton Kuto Besak dikelilingi dengan parit yang lebar. Sedangkan benteng Pulau Kemaro, Mangun Tapo, dan Tambak Bayo diperkuat dengan tiang-tiang kayu yang dipancangkan dalam air. Pada beberapa tempat disebelah hilir benteng-benteng itu dipasang rantai besi dari tepi ke tepi guna merintangi kapal-kapal musuh. Selanjutnya, disediakan rakit-rakit api yang siap dibakar, kemudian dihanyutkan atau didorong ke arah kapal musuh.[1]
Strategi perang gerilya juga diterapkan sebagai pola pertahanan yang ampuh. Tempat-tempat seperti tebing, tanjung, semak hutan di sepanjang pinggir sungai Musi dijadikan tempat menghalau musuh. Dengan ditopang pendanaan dan sumber daya manusia yang kuat,   berbagai jenis alat persenjataan dapat diciptakan.
Oleh karenanya, prajurit Kesultanan, begitu juga rakyat di dusun-dusun senantiasa berada dalam kondisi siap tempur, sehingga ketahanan dan pertahanan Palembang benar-benar dapat diandalkan terhadap serbuan dan serangan musuh. Semangat juang Sultan Mahmud Badaruddin II, melawan Belanda dan Inggris lebih meningkat karena berdasarkan  konvensi  London  1814. Kedua bangsa itu sama-sama berhasrat menguasai perdagangan rempah- rempah dan timah kala itu.[2]
Dalam menghadapi situasi seperti yang disebutkan di atas, Sultan Mahmud Badaruddin II tidak tinggal diam. Sultan Mahmud Badaruddin II mengerti tanggung jawabnya sebagai pemimpin daerah Kesultanannya yang luas. Kemudian diaturlah sistem pertahanan yang berlapis-lapis, sebab daerah itu terdiri dari dataran rendah, sungai-sungai, suak, pantai, selat-selat, dan lautan yang menghubungkan daratan dengan Pulau Bangka dan Belitung.
Oleh karenanya, Palembang memiliki pertahanan darat dan laut yang kuat. Sehingga dapat mengontrol perairan sungai dan selat. Seperti selat Bangka, Karimata, Gaspar, Berhala, dan Sunda yang terhubung dengan selat Malaka, Laut Cina, Laut Jawa dan Samudera Indonesia.[3] Dengan demikian, penyelundupan-penyelundupan timah dan rempah- rempah  dapat  dicegah,  terutama kegiatan  Inggris  untuk  memperoleh  monopoli seperti  yang  dimiliki  Belanda  sejak  tahun  1659.



[1]Mardanas Safwan, Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1852), h. 28.
[2] Bernard H.M. Vlekke, Geschiendenis van den Indischen Archipel, (J. J. Romen en Zonen, Uitgevers, Roermond-Maaseik, 1947),  h. 311
[3]Djohan  Hanafiah,  Perang  Palembang  1819-1821 (Palembang: Parawisata Jasa Utama, 1986), h. 8 

Post a Comment

 
Top