![]() |
Sumber Gambar: |
Selain eratnya kaitan
antara al-Qur’an dan perkembangan gaya kaligrafi, ada beberapa faktor lain yang
menyebabkan kaligrafi dapat berkembang pesat dan menyebar demikian merata di
dunia Islam. Faktor tersebut mencakup tiga hal pokok. Pertama, pengaruh
ekspansi kekuasaan Islam, yang setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, segera meluas jauh ke luar jazirah
Arabia. Tiga hal tersebut adalah urbanisasi besar-besaran ke wilayah baru,
pertemuan budaya antara Islam dan budaya wilayah taklukan, dan proses arabisasi
pada wilayah tersebut. Pada masa daulah Umayyah, wilayah taklukan Islam ke
timur telah mencapai perbatasan Cina dan India, sementara ke barat mencapai
wilayah tepian Atlantik. Penaklukan wilayah ini segera diikuti oleh pengaturan
administrasinya. Pada tahun 50 H/670 M misalnya, Umayyah mendirikan kota
Qairawan (di Tunisia sekarang), sebuah perkemahan permanen sebagai pertahanan.
Pendirian kota seperti ini segera terjadi di berbagai wilayah taklukan lain
pada abad berikutnya. Pada masa Umayyah misalnya, sebagai akibat perluasan
wilayah taklukan, terjadilah mobilitas sosial dalam masyarakat Islam. Karenanya
masyarakat Islam selama 50 tahun pertama dikenal sebagai masyarakat yang sangat
dinamis, secara sosial maupun geografis. Orang Arab yang berasal dari Jazirah
Arabia menjadi komunitas yang paling banyak berpindah. Mereka berurbanisasi ke
wilayah yang jauh, seperti Suriah, Mesir, Afrika Utara, Mesopotamia atau ke
Khurasan Iran.
Migrasi
dan urbanisasi itu mau tak mau juga melibatkan kaum seniman dan budayawan
muslim, memungkinkan terjadinya pertemuan budaya antara Arab (Islam) dan
wilayah pusat kebudayaan seperti Mesopotamia, Bizantium, dan Persia. Hal ini
berpengaruh besar bagi kekayaan dan kemajuan seni Islam. Satu hal yang tidak
mungkin dikesampingkan dalam proses ini adalah arabisasi wilayah taklukan. Pada
awal sejarah Islam, Daulah Umayyah merupakan pemerintahan yang menerapkan
kebijakan administratifnya berdasarkan ide-ide kearaban. Ini mengakibatkan
meluasnya pemakaian bahasa Arab dalam wilayah taklukan.
Proses yang didukung oleh pemerintahan selanjutnya ini
membawa bahasa Arab bukan saja sebagai bahasa liturgis, namun juga sekaligus
kultural. Bahasa Arab akhirnya menjadi bahasa akademik dan kesusastraan. Di
pihak lain, huruf Arab pun kemudian menjadi huruf untuk bahasa non-Arab, seperti
bahasa Parsi, Urdu, Turki dan Melayu
(Jawi). Kedua, berkenaan dengan pemakaian bahasa dan huruf Arab yang
membawa pengaruh kuat dalam perkembangan kaligrafi, memunculkan beragam gaya
dan teknik penulisan. Bahkan tidak jarang wilayah yang berbeda memunculkan
model huruf yang berbeda pula, karena pengaruh cora budaya lokal.
Kedua, peranan raja dan elit sosial. Pesatnya
perkembangan kaligrafi Islam sangat erat kaitannya dengan dukungan dan
fasilitas yang diberikan oleh raja dan kaum elit sosial, yang memungkinkan
seniman muslim mengembangkan kreativitasnya. Dari catatan sejarah didapatkan
banyak bukti tentang hal ini. Diceritakan bahwa gaya tulisan Tumar (lembaran
halus daun pohon Tumar) diciptakan atas perintah langsung Khalifah Mu’awiyah
(40 H/661 M - 60 H/680 M). Gaya ini kemudian menjadi tulisan resmi pemerintahan
Daulah Umayyah.
Pada masa Daulah Abbasiyah dan pemerintahan berikutnya,
perhatian istimewa terhadap kaligrafi semakin kuat. Kitab al-Fihrist karangan
an Nadim (abad ke-10), sebuah karya monumental ensiklopedis yang pantas
dijuluki rekaman peradaban dalam arti sesungguhnya, menunjukkan hal ini. An
Nadim menyebutkan bahwa masa pemerintahan Khalifah Ma’mun (197 H/813 M-218
H/833 M) merupakan kulminasi perkembangan kaligrafi. Para penulis di masa itu
aktif dalam memperindah huruf Arab. Dukungan pihak istana terhadap pertumbuhan
kaligrafi terus berlanjut pada kurun berikutnya di berbagai wilyah dunia Islam.
Beberapa sultan Daulah Usmani di Turki dikenal sebagai ahli kaligrafi. Mereka
bahkan tak segan belajar kaligrafi kepada penulis istananya.
Kemudian pembukaan kota besar sebagai pusat pemerintahan
dan kebudayaan Islam membawa pengaruh bagi tumbuhnya kaum elite tertentu di
masyarakat. Ditunjang oleh berbagai pengaruh, baik pengaruh ekonomi (perdagangan)
maupun kontak budaya, kaum elite social ini mempunyai perhatian yang cukup
besar terhadap karya seni. Benda seni seperti keramik bertuliskan kaligrafi,
misalnya, sangat disukai oleh kaum ini. Pada masa itu muncul pengrajin
non-muslim berkebangsaan Yunani dan Koptik, serta terdapat pula pengaruh
produksi benda seni dari Cina.
Ketiga, pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan.
Minat terhadap ilmu pengetahuan yang telah tumbuh sejak masa Daulah Umayyah
mengalami perkembangan luar biasa pada masa berikutnya. Pada masa ini kertas
telah ada yang dikenalkan oleh orang Arab dari Cina di Samarkand pada tahun 133
H/751 M. Seiring dengan munculnya kertas, maka berkembang pula kreasi manusia
yang lebih leluasa. Pemakaian kerta segera meluas ke berbagai kota Islam dan
merupakan salah satu sebab utama perkembangan tulisan kursif ornamental. Gaya
kaligrafi yang telah ada sebelumnya seperti tumar, jalil, nisf,
dan sulus yang betapapun masih sangat sederhana, segera berkembang
menjadi lebih halus, seperti khafif as sulus, khafif as sulusain,
dan ri’asi. Tak lama kemudian muncul gaya lain yang dikenal sebagai enam
gaya pokok kaligrafi awal (al-qalam as-sittah) yaitu sulus, naskhi,
muhaqqaq, raihani, riqa’, dan tauqi.[1]
Seiring dengan berkembangnya zaman aneka gaya kaligrafi
juga mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai pola dan bentuk serta
media. Hal ini ditandai dengan munculnya trend-trend dalam kaligrafi kontemporer di dunia muslim,
seperti tradisional, figural, ekspresionis, simbolis, dan abstraksionis murni.[2]
Post a Comment