Sumber Gambar: artikel-kaligrafi.blogspot.com

Sementara itu, di wilayah Islam bagian barat (Maghribi), yang mencakup negeri Arab dekat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol), pada abad pertengahan berkembang bentuk tulisan yang disebut khatt Maghribi atau kufi Barat, terdiri atas cabang khatt qairawani, Andalusi, Fasi dan Sudani. Di sini, telah dikembangkan pula sulus andalusi dan naskhi andalusi.
            Selanjutnya, pertumbuhan kaligrafi masuk ke tahap konsolidasi dan penghalusan untuk menghasilkan karya masterpiece di zaman kerajaan Islam Persia. Seperti Ilkhaniyah (abad ke-13), Timuriyah (abad ke-15) dan Safawiyah (1502-1736), dan beberapa dinasti lain seperti Mamluk Mesir dan Suriah (1250-1517), Usmani Turki (Kerajaan Ottoman; abad ke 14-20) sampai kerajaan Islam Mughal India (abad ke 15-16) dan Afghanistan. Di masa ini lahir karya besar yang menunjukkan puncak kreasi agung seniman kaligrafi sekaligus menjadi lambang semangat Islam.
            Pada masa ini tumbuh gaya tulisan seperti Farisi Ta’liq, dan Nasta’liq, Gubar, Jali, dan Anjeh Ta’liq, Sikasteh, Sikasteh Ta’liq, Tahriri, Gubari Ta’liq, Diwani dan Diwani Jali (Humayuni), Gulzar, Tugra, dan Zulf I Arus. Khusus di India muncul khatt-khatt Behari, kufi herati, naskhi India, dan sulus India. Tokoh kaligrafi kenamaan di masa ini antara lain adalah Yahya al Jamali (Ilkhaniyah), Umar Aqta (Timuriyah), Mir Ali Tabrizi dan Imaduddin al Husaini (Safawiyah), Muhammad bin al Wahid (Mamluk), Hamdullah al-Amâsi, Ahmad, dan Hasyim Muhammad al Baghdadi (enam tersebut terakhir adalah Usmani Turki sampai Turki modern).
            Sekarang, sebagian dari gaya yang semula berjumlah ratusan telah pupus. Kini tinggal beberapa gaya yang paling fungsional di dunia Islam, yaitu naskhi, sulus, raihani, diwani, jali, farisi, riq’ah dan kufi. Bahasa yang menggunakan kaligrafi Arab menurut catatan Muhammad Tahir Kurdi, dalam bukunya, Mushaf Makkah al-Mukarramah dan kitab tarikh al khatt al ‘Arabi, terdiri atas lima kelompok, yaitu kelompok bahasa Turki, kelompok bahasa Hindia (termasuk Pegon atau Melayu), kelompok bahasa Persia, kelompok bahasa Afrika, dan yang kelima, khusus bahasa Arab itu sendiri.
            Kaligrafi kontemporer yang banyak dimuat dalam aneka media terus dikembangkan dalam bentuk kategori tradisional, figural, ekspresionis, dan simbolis, acap kali mendobrak batas gaya terdahulu. Hadir pula istilah pemberontakan atau memberontak yang menimbulkan keinginan ‘uzlah (memisahkan diri) dari bentuk baku dan klasik. Motif pemberontakan sering tampak. Pertama, dalam pengolahan huruf yang mengolah anatomi kaidah khatt seperti yang dirumuskan oleh Ibnu Muqlah, sehingga jenis khatt-nya tidak mudah lagi diidentifikasi; Kedua, mempertahankan gagasan penggunaan khatt baku, namun menempatkannya dalam variasi pengolahan yang puspa ragam, sehingga sebuah karya tidak hanya selesai pada huruf, tetapi huruf dikombinasikan lebih erat dengan latar belakangnya untuk alasan penyatuan wahdah.
            Di Indonesia, corak komtemporer seperti ini sering diistilahkan dengan kata lukisan kaligrafi untuk membedakannya dengan kaligrafi murni yang telah dibakukan sejak zaman Ibnu Muqlah. Baik corak kaligrafi murni maupun lukisan kaligrafi beriringan dan dianut oleh para khattat (penulis) dan seniman kaligrafi di Indonesia, yang menunjukkan apresiasi dan perhatiannya terhadap seni tersebut.[1]     Di Indonesia sendiri gaya kufi ini terdapat di berbagai makam kuno, terutama yang imported, tetapi lazim lagi kaligrafi gaya naskh (naskhi). Pada kaligrafi makam, selain memuat petikan-petikan ayat, basmalah, syahadat atau shalawat Nabi, kerapkali memuat nama si wafat berikut tahun wafatnya. Bahkan ada yang memuat silsislah. Seni kaligrafi Islam Nusantara, selain pada makam atau nisan, juga terdapat pada media lain seperti deluang (lokal), kertas (impor), lontar, kayu, logam, kaca dan bahan lainnya. Bahkan pada perkembangannya kemudian, karya kaligrafi juga muncul melalui media kaca atau kanvas, dan juga batik.[2]



[1] Armando, Ninan, Ensiklopedi Islam, h. 48.
[2] Hasan Muarif, Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, h. 45.

Post a Comment

 
Top