![]() |
Sumber Gambar: |
Sebagai Kitab suci
sampai akhir zaman, Allah SWT telah menjamin otensitas al-Qur’an. Jaminan itu
berupa kemudahan dalam variasi sistem hafalan, penyalinan, dan pengamalan
al-Qur’an yang diwariskan secara turun-temurun sejak zaman Rasulullah SAW.
Sebenarnya, penulisan mushaf al-Qur’an telah dimulai sejak abad ke-7. Pada
tahun 652 M, pemerintahan khalifah Usman bin Affan telah mengirimkan empat atau
lima salinan al-Qur’an pertama ke beberapa wilayah Islam. Naskah tersebut
dikenal dengan “Rasm Usmani”. Naskah inilah yang kemudian menjadi standar baku
penyalinan al-Qur’an pada masa-masa selanjutnya.
Seiring perkembangan
peradaban Islam, penyalinan Mushaf al-Qur’an menyesuaikan latar budaya dan
kondisi zaman. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang
ikut menentukan dan mempengaruhi variasi bentuk, motif, dan warna iluminasi,
termasuk gaya kaligrafinya dalam taraf tertentu.
Unsur kreativitas
lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi
yang sangat beragam, dan masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri.
Iluminasi biasanya dicirikan dengan pola dasar, motif hiasan, dan warna. Iluminasi
tersebut lazimnya menghias tiga bagian al-Qur’an, yaitu di awal, tengah, dan
akhir al-Qur’an.
Semua ini bisa dilihat
dari seni mushaf yang terserak di berbagai daerah di Indonesia, seperti Mushaf
Syekh Abdul Wahab dari Aceh, Mushaf Syekh Nawawi Al-Bantani dari Banten, Mushaf
Syekh Muhamad Arsyad al-Banjari dari Kalimantan Selatan, dan Mushaf Diponegoro
dari Jawa Tengah.
Dalam hal kaligrafi,
keunikan mushaf Nusantara di antaranya tampak dalam karakter “kaligrafi
berhias” atau “kaligrafi floral”, yaitu komposisi kaligrafi yang bermotif
tetumbuhan. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan khususnya pada
kepala-kepala surah. Unsur kreativitas lokal itu, baik dalam iluminasi maupun
kaligrafi, berkembang sangat leluasa dan berkarakter unik, bahkan dalam bentuk
makhluk zoomorphic seperti Macan Ali di Cirebon.
Sekitar abad ke-13,
penyalinan al-Qur’an di Nusantara ditengarai dimulai dari Aceh, ketika Kerajaan
Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam tertua di Nusantara berdiri di bawah
kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh. Meski kita tidak menemukan salinan mushaf
al-Qur’an khas Nusantara dari abad itu, bisa jadi karena lekang dimakan zaman
atau sebab lainnya, tetapi dengan adanya kerajaan Islam, secara otomatis naskah
al-Qur’an menjadi prioritas utama.
Sampai saat ini, mushaf
al-Qur’an tertua di Nusantara diperkirakan dibuat pada tanggal 23 Oktober 1625
M oleh Abdu as-Shufi ad-Din. Besar mushaf al-Qur’an yang terbuat dari kulit
kayu ini adalah 25 x 17 x 6.5 cm, dengan jumlah 769 halaman. Mushaf tersebut
adalah milik Bapak Muhammad Zen Usman, Singaraja, Bali.
Ada satu catatan bahwa
mushaf tertua ditulis oleh seorang ulama al-Faqih al-‘Ali ‘Afifuddin Abdul Baqi
bin ‘Abdullah al-‘Adni pada tahun 1585 M atau bertepatan dengan 7 Zulqaidah
1005 H, Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy, imam pertama masjid Wapauwe, yang
selesai ditulis pada tahun 1550, dan Mushaf Nur Cahya, seorang gadis cucu Imam
Muhammad Arikulapessy, yang selesai ditulis pada tahun 1590. Kedua mushaf yang
terakhir, masih tersimpan dengan rapi di Masjid Tua Wapauwe Kaitetu, Ambon dan
sempat dipamerkan pada sebuah Festival Istiqlal di Jakarta, tahun 1991 dan
1995.
Penyalinan al-Qur’an
secara tradisional ini berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad
ke-20, yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam
kala itu, seperti Aceh, Riau, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta,
Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makasar, Ternate,
dan lain-lain.
Seiring dengan
berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu), penyalinan al-Qur’an
secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, tradisi seni Mushaf yang
telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara bisa dikatakan telah
terhenti, dan beralih pada al-Qur’an cetak.
Mushaf al-Qur’an
cetakan tertua di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara diperkirakan dibuat
pertama kali di Palembang, senin 21 Agustus 1840 M, oleh Bapak Ibrahim bin
Husin (Singapura). Besar mushaf ini adalah 30 x 20 x 3 cm, dengan jumlah 607
halaman. Kini, mushaf ini dipegang oleh Bapak H. Muhammad Azhari bin Kemas Haji
Abdullah.
Setelah kemerdekaan RI,
dimulailah penulisan mushaf Al-Qur’an Pusaka pada 23 Juli 1948 (17 Ramadhan
1367 H). Huruf Ba’ sebagai huruf pertama basmalah ditulis oleh Bung Karno, dan
Mim sebagai huruf penghabisan ditulis oleh Bung Hatta. Mushaf tersebut
berukuran 100 x 200 cm. Karena distribusi al-Qur’an cetak awal (early printing)
yang tidak merata di seluruh Nusantara, penyalinan al-Qur’an secara manual
masih terus berlangsung sampai awal abad ke-20. Baru pada tahun 1991, saat
pembuatan Mushaf Istiqlal, era baru kreativitas seni mushaf tumbuh kembali.
Proyek ini diprakarsai oleh beberapa ahli dari ITB Bandung, seperti Mahmud
Buchari, Prof. AD Pirous, Ir. Ahmad Noe’man, dan beberapa sarjana serupa
lainnya.
Sampai saat ini, ada
beberapa mushaf dalam bentuk naskah asli dan cetakan, seperti Mushaf Istiqlah
(1990-1995), Mushaf Sundawi Jawa Barat (1996-1997), Mushaf Alm Hj.F.St.Hartinah
Soehato/Mushaf Ibu Tien (1997-1999), Mushaf Jakarta/DKI (1999-2002), Mushaf Kalimantan
Barat (2001-2002), Zuz Amma PNRI (1999-2002). Mushaf Wakaf Berwajah Palembang
Keluarga Alm. H. Syaiful Bahri B (2002), dan Mushaf al-Bantani (2010).
Keberadaan mushaf di
berbagai wilayah dan lapisan masyarakat ini menunjukkan bahwa penyalinan al-Qur’an—baik
secara tradisional maupun kontemporer—bisa dikatakan cukup merata di berbagai
daerah, dalam bentuk yang beraneka rupa. Para penyalin mushaf itu selain indah
bertabur warna juga bertabur iluminasi dan kebudayaan daerah dari beberapa
provinsi yang ada di tanah air.
Kehadiran ragam mushaf
tersebut tentu saja mengundang apresiasi dari berbagai kalangan. Seorang
intelektual Islam yang cukup terkenal, Syeyyed Hossein Nasr mahaguru Harvard
University, Amerika Serikat, di sela-sela muhibahnya ke Indonesia tahun 1993,
dia menyatakan rasa keharuan dan kegembiraannya bahwa sebuah mushaf yang begitu
indah, yang pada abad ini seperti telah dilupakan oleh umat Islam, kini
ternyata di buat di Indonesia. Dia mengatakan bahwa bila mushaf semacam ini
dibuat di Timur Tengah, tentulah kita tidak perlu merasa heran karena sejarah
mushaf adalah berasal dari sana.
Seorang
cendekiawan lainnya dari Amerika Serikat, Kenneth George, pada tahun 1998
memperdalam penelitian tentang kebudayaan Indonesia yang bernafaskan Islam, saat
itu ia mengajar di Universitas of Oregon, menulis sebuah artikel panjang
mengenai Al Qur’an Mushaf Istiqlal dengan judul “Design on Indonesia’s
Muslim Communitie”. Tulisan ini memperoleh sambutan hangat dari Association
for Asian Studies.
Berdasarkan hasil
penelitian dan inventarisasi tentang al-Qur’an di berbagai daerah yang
dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI sejak tahun 2003
hingga tahun 2005 menyatakan, bahwa ragam mushaf al-Qur’an di Indonesia
mencapai angka sekitar 300 naskah.
Yang lebih menarik,
Indonesia memiliki salinan mushaf al-Qur’an dalam ukuran besar. Setidaknya ada
tiga mushaf al-Qur’an yang dibuat versi besar itu, yakni Mushaf al-Qur’an versi
Wonosobo (1994) dengan ukuran lebar 1,5 m dan panjang 2 m atau 2 x 3 m bila
dibuka, Mushaf al-Qur’an versi Parung (2010) panjangnya mencapai 2 meter dan
lebarnya 2,8 meter, dan Mushaf al-Qur’an versi Palembang (2011).
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.