Sumber Gambar: puzzleminds.com

Masalah konflik sosial bisa dikatakan telah setua peradaban manusia itu sendiri. Setiap benturan antar kepentingan terjadi, disitulah muncul peluang konflik sosial. Konflik merupakan persoalan sosial yang kompleks dan rumit. Situasi yang melatari dan menimbulkan konflik dalam masyarakat majemuk relatif berbeda. Konflik terjadi disebabkan adanya situasi ketidakselarasan kepentingan dan tujuan dalam masyarakat. Perbedaan struktur sosial, nilai sosial, suku budaya, kelangkaan saluran aspirasi, kompetisi, perubahan sosial, merupakan sumber-sumber konflik yang berpengaruh terhadap kerukunan umat beragama dalam masyarakat majemuk. Dalam upaya memahami makna konflik dan integrasi pada masyarakat majemuk dapat dikemukakan beberapa pemikiran.[1]
Pertama, persoalan pluralitas masyarakat tidak dapat dikatakan menjadi sumber konflik bagi umat beragama karena hal itu sangat bergantung berbagai macam faktor-faktor penyebab terjadinya konflik. Integrasi relevan dengan kerukunan umat beragama dalam masyarakat plural.
Kedua, konflik yang pernah terjadi di antaranya (a) konflik antarumat beragama; pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama, yang lebih berdasarkan kepentingan golongan atau kelompok; (b) konflik internal umat beragama; perbedaan paham terhadap ajaran agama dan penyimpangan dari ajaran agama, yang menimbulkan keresahan di masyarakat (aliran sempalan); (c) konflik di luar masalah keagamaan; perebutan tanah perkebunan, perkelahian,dan pembunuhan.
Dalam perspektif sosiologis, secara etis, fenomena konflik sosial memiliki bobot ganda selain juga bersifat kontradiktif. Dari perspekif fungsional, konflik sosial sama sekali dihindari karena akan berbenturan dengan sistem mekanisme fungsi-fungsi organisme yang berlangsung secara linear dan alami. Sementara pada beberapa rumpun teori yang melandaskan dirinya pada wawasan Marxis dan teori kritis lainnya, memandang konflik sosial sebagai bentuk sinergi (kekuatan gabungan) yang harus dimiliki dan dipelihara untuk menjaga dinamisasi sistem sosial dan sekaligus sebagai kekuatan penjaga keseimbangan sosial.[2] Sedangkan bila dilihat dari sudut perilaku, keberadaan konflik sosial merupakan fitrah manusiawi yang merupakan bagian bawaan dan keberadaan manusia itu sendiri dalam hubungan dengan lingkungan sosialnya.
Agus Maladi Irianto dan Mudjahirin Thohir dalam penelitiannya yang dibukukan dengan judul “Membangun Rasa damai di Atas Bara[3] mengklasifikasikan konflik sosial di Indonesia menjadi dua tipe, yaitu konflik vertical dan horizontal. Kedua tipe ini bisa berjalan sendiri-sendiri, namun terkadang juga bisa saling terkait. Konflik vertikal dan horizontal dapat terjadi atas dua alasan. Pertama, Ketidakmampuan negara mengelola berbagai kepentingan masyarakat Indonesia yang majemuk. Kedua, keterlibatan Negara (pemerintah) bersikap berat sebelah dalam rangka memaknai konstalasi kepentingan mereka ketika berlawanan dengan kepentingan publik.
Para pemikir lain yang menyumbangkan pandangannya tentang upaya penanganan konflik atau kekerasan, dalam buku “Kekerasan dalam Perspektif Pesantren[4]  melihat penyelesaian kekerasan sebagai buah konflik dalam dua aspek sekaligus. Pertama, penghentian kekerasan harus dilihat secara serentak dalam struktur masyarakat, seperti adanya ketidakadilan dan penyimpangan kekuasaan. Semakin tidak adil struktur masyarakat dan semakin kuat tingkat represi  kekuasaan akan makin tinggi pula skala dan frekuensi kekerasan dan konflik. Maka penanganan dan penyelesaian konflik haruslah bersifat simultan dengan peningkatan rasa keadilan dalam masyarakat dan tingkat kesejahteraan mereka. Pemicu kekerasan dan konflik dapat berangkat dari berbagai aspek seperti; ekonomi, politik, tanah, pemilu, perbedaan paham dan sebagainya. Aspek kedua adalah menyangkut cara atau metode penanganan kekerasan. Apakah penyelesaian kekerasan boleh dilakukan dengan kekerasan pula? Secara tegas tentu jawabannya adalah “tidak”. Setiap tindak kekerasan sudah pasti tidak akan melahirkan kedamaian, namun justru  akan memperluas dan memperbesar skala konflik. Penyelesaian konflik atau kekerasan mensyaratkan daya inspirasi dan kreativitas yang sangat tinggi dari masyarakat bersangkutan. Karenanya usaha penyelesaian konflik seringkali mengambil bentuk jangka panjang dan bertahap.
Sedangkan pengendalian konflik untuk pembinaan kerukunan umat beragama bisa dilakukan, di antaranya dialog antarumat beragama, intern umat beragama dan antara umat beragama dan pemerintah. Dengan pembinaan kerukunan itu, integritas sosial terkondisi dan mendukung pembangunan daerah, yang diawali peningkatan pemahaman ajaran agama secara utuh dan komprehensif sejalan dengan dinamika masyarakat beragama. Paradigma pengendalian konflik dipadukan dengan model penyelesaian partisipatif baik dari aspek politik, moral, agama, ekonomi, maupun sosial.
Konsep tentang  strategi penyelesaian konflik yang dikemukakan para pakar secara teoritik tersebut sebetulnya sudah nampak jelas arahnya. Namun dalam kenyataan, konflik demi konflik yang terjadi akhir-akhir ini dalam masyarakat seolah menunjukkan adanya anomali-anomali akan jati dirinya. Banyak pertanyaan yang seolah tak terjawab dengan kerangka berpikir yang dikemukakan para ahli. Konflik semakin beragam dan menunjukkan karakteristik yang semakin garang.



[1]Rieska Wulandari, Ketika Rumah Ibadah Pun Tak Boleh Berdiri, osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-01/msg00065. Diakses 10 Agustus 2012
[2]Fattah Muhammad Hattah, Faktor Penyebab dan Upaya Penanganan Konflik Sosial di Kabupaten Luwu, (Makassar: 2002), h. 7
[3]Agus Maladi Irianto & Mudjahirin Thohir, Membangun Rasa Damai di Atas Bara (Semarang: Limpad, 2000). Buku ini merupakan sajian hasil penelitian tentang kekerasan-kekerasan menjelang dan pasca PEMILU di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa
[4]Lihat Ahmad Suaedi (ed.), Kekerasan dalam Perspektif Pesantren, (Jakarta: Grasindo, 2000).

Post a Comment

 
Top