Sumber Gambar: |
Pandangan Al-Qur’an menyangkut dialog sebagai cara yang diperlukan untuk
berhubungan dengan dunia secara keseluruhan, juga bertanggung jawab atas
penghormatan dan toleransi Muslim Indonesia terhadap agama maupun kelompok lain
sungguh patut dikembangkan.
Dalam agama-agama lain, misalnya Kristen, terdapat kecenderungan
pemikiran yang sama dalam menghadapi persoalan pluralisme. Sebelumnya terdapat
persoalan teologis yang menjadi kendala utama dalam pengembangan dialog antar agama
lain. Persoalan tersebut berhubungan dengan ajaran “Sateriologi” (tentang konsep keselamatan di luar kristus).
Sebelum Konselin Vatikan II, terdapat penafsiran yang salah tentang kalimat “extra ecelisian nulla salus” (di
luar gereja tidak memperoleh keselamatan). Dengan diterbitkannya naskah Nostra Aetate, gereja Katholik
Roma mengakui eksistensi agama-agama lain.[1]
Dilihat dari perspektif teologi agama-agama terdapat pengakuan yang
positif terhadap pluralisme, sehingga terdapat titik singgung yang dapat dipertemukan.
Tetapi persoalan yang seringkali timbul dan menyebabkan dialog agama-agama
mengalami hambatan lebih banyak berkaitan dengan persoalan interpretasi.
Interpretasi ajaran-ajaran agama seringkali mengarah kepada klaim kebenaran
yang mutlak. Apalagi ketika dimanfaatkan oleh kepentingan subyektif.
Dalam rangka kontekstualisasi agama, interpretasi menjadi satu kebutuhan
yang mendesak yaitu upaya pemakaian doktrin-doktrin agama yang lebih demokratis
disamping pendewasaan sikap keberagamaan. Sikap demokratis akan tercermin
sebagai kearifan dalam menafsirkan ajaran agama, serta pengembangan sikap
eksternal ketika berhadapan dengan pemeluk-pemeluk agama lain. Sikap semacam
inilah yang oleh Nurcholis Majid disebut dengan cara beragama “al hanifiyyah a- samhah”, yaitu
sikap beragama yang lapang dan terbuka.[2]
Dalam kehidupan kebangsaan Indonesia yang ditandai adanya pluralisme
agama, sikap demokratis tersebut di atas perlu dikembangkan. Upaya penghapusan
konflik-konflik dan kekerasan antar agama menuju kehidupan bersama yang damai.
Upaya ini dapat dilakukan dengan pola mengembangkan beragama dan menyelesaikan
persoalan-persoalan kemanusiaan universal dari perspektif agama.
Dengan demikian, keragaman masyarakat khususnya aspek agama tidak lagi
dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi untuk membangun masa depan yang
lebih baik. Dalam kehidupan demokrasi, sebagaimana dalam pandangan teori
struktur sosial, pluralisme justru sangat diperlukan sebagai salah satu prasyarat
bagi tumbuhnya demokrasi dalam masyarakat modern.[3] Dan
dilihat dari sudut pandang ini, Indonesia mempunyai potensi besar untuk
berkembang menjadi masyarakat modern yang demokratis dan religius.
Toleransi yang
dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif tolerance)
sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah ORDE BARU, tetapi
toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive tolerance).
Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu dan penuh dengan
kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan seseorang untuk tidak
menonjolkan agamanya di hadapan orang yang beragama lain. Jika Anda Kristen,
maka jangan menonjol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di hadapan orang Muslim,
demikian pula sebaliknya. Sementara toleransi yang tersebut kedua adalah
toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap umat beragama untuk jujur
mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan
demikian identitas masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan
masing-masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya.[4]
[1]Sudirman Tabba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan
Keagamaan, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1993), h. 75
[2]Nurcholis Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 1992), h. 89
[3]Nasikun, Op. Cit. h.
67
[4]Bentuk toleransi ini
pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo. Lihat. Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living
Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris, ed. Raja Juli Antoni (Yogyakarta: Pustaka
Perlajar, 2002), h. 239-249.
Post a Comment