Sumber Gambar: |
Mukti Ali dalam merespon pluralitas beragama mengajukan lima
konsep, yaitu:[1] Pertama, semua agama
adalah sama dan disebut sebagai sinkretisme,
yaitu berbagai aliran dan gejala-gejala yang mencoba mencampurkan segala agama
menjadi satu dan menyatakan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah sama. Di
Indonesia paham ini juga hidup subur, terlihat pada ajaran kejawen. Menurut Mukti
Ali, dari segi teologi dasar sinkretisme ialah pandangan yang tidak melihat
adanya garis batas antar Khalik dan makhluk-Nya. Pandangan ini tidak dapat
diterima karena menyamakan Khalik dengan makhluk.
Kedua, yaitu dengan jalan reconception, artinya menyelami
dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasinya dengan agama lain.
Gagasan ini pertama kali diluncurkan oleh WE. Hocking dalam Living Religion and a World Faith.
Menurutnya agama adalah bersifaf pribadi dan bersifat universal juga. Dengan
jalan ini orang makin mengenal agamanya sendiri dan akan melihat bahwa inti
yang baik dari agamanya itu terdapat juga dalam agama-agama lain. Dengan
dimasukkannya unsur-unsur agama lain ke dalam agama sendiri maka segalanya akan
berkembang ke arah satu persatuan dan akan tercapai suatu consociation suatu koeksistensi
religius. Di sini agama besar bagaikan sungai-sungai mengalir menjadi satu.
Pemikiran ini tidak dapat diterima karena agama di sini menjadi produk
pemikiran manusia, padahal agama adalah wahyu yang memberi petunjuk kepada akal
manusia bukan sebaliknya.
Ketiga, dengan jalan
sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari
berbagai agama supaya tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran
agamanya telah terambil dalam agama sintesis itu. Dengan jalan ini orang
menduga bahwa kehidupan pemeluk agama akan menjadi rukun. Pemikiran ini juga
tidak dapat diterima karena agama punya latar belakang sejarah sendiri-sendiri
yang tidak bisa disintesiskan.
Keempat, jalan
penggantian, ialah mengakui bahwa agamanya sendiri yang benar sedang agama lain
salah dan berusaha agar orang lain masuk ke dalam agamanya. Agama yang hidup
dan berbeda dengannya harus diganti dengan yang ia peluk dan dengan itu ia
menduga bahwa kerukunan hidup beragama baru dapat tercipta. Pendapat ini pun
tidak dapat diterima dalam masyarakat yang majemuk, akan timbul intoleransi
karena orang akan berusaha dengan segala cara untuk menarik orang lain ke dalam
agamanya.
Kelima, jalan agree in disagreement (setuju
dalam perbedaan). Seseorang percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang
paling baik dan benar di antara yang lainnya, selain terdapat perbedaan juga
terdapat persamaan. Berdasarkan pengertian itulah akan menimbulkan sikap saling
menghargai antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lainnya dan
berusaha agar tindak laku lahirnya sesuai dengan ucapan batinnya yang merupakan
dorongan agama yang ia peluk.
[1]Mukti
Ali, “Dialog between Muslims and
Christians in Indonesia and its Problems” dalam Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970, h. 55.
Post a Comment