Sumber Gambar: http://www.wallpaperislami.com/ibadah-haji-ke-kabah-mekkah
Di padang gersang nan tandus, tanpa harapan dan hampa dari berbagai sarana serta aktivitas kehidupan, seorang ibu harus tinggal bersama bayinya di sudut lembah kesepian. Namun keyakinan yang membaja dalam diri ibu itu tidak menjadikannya berpangku tangan menunggu hujan turun dari langit. Ia berjuang tanpa henti, berlari kecil naik turun bukit Sofa dan Marwa mencari air kehidupan untuk menghilangkan dahaga bayinya.   
Ikhtiarnya yang maksimal belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sepertinya segala jalan membentur tembok penghalang, dan kini harapannya hanya tertumpu kepada Allah semata. Dia percaya bahwa Allah yang Maha baik itu tidak akan berdiam diri membiarkan hamba-Nya yang membutuhkan pertolongan. Maha suci Allah, serta-merta ia melihat dari tanah yang terkena pukulan kaki bayinya yang sedang menangis, memancarkan mata air.
Itulah sepenggal kisah seorang perempuan dari Ethiopia yang menjadi pendamping hidup Nabi Ibrahim. Dia adalah Saydah Hajar, dari rahimnya lahir nabi Ismail yang anak keturunannya menjadi hamba-hamba Allah yang mulia dan kita pun diperintahkan mengikuti jejak langkahnya melalui ritual sa’i dalam ibadah haji.
Saydah Hajar telah mengajarkan sesuatu yang sangat penting, manakala seseorang telah menempuh berbagai ikhtiar dan ternyata menemui jalan buntu maka janganlah patah arang dan putus asa, karena Allah tidak akan pernah membiarkan hambanya berada dalam kenestapaan. Karena itu, dalam hidup kita di anjurkan untuk selalu melantunkan asma-asma Allah, “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (QS. Al-An’am [6]: 162). 
Bila di cermati lebih lanjut, apa yang dilakukan Saydah Hajar turun naik bukit Sofa dan Marwa mencari air untuk bayinya yang kehausan, mengindikasikan bahwa ia memiliki tujuan yang kuat sehingga menimbulkan semangat dan upaya yang lebih gigih untuk mencapainya.
Allah SWT mengemukakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan di muka bumi memiliki tujuan yang benar. Sebagaimana penjelasan yang terdapat al-Qur’an, “Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan.” .(QS. al-Jâsiyah (Yang Berlutut) [45]: 22). Orang yang memiliki kesadaran spiritualitas yang tinggi dan tujuan dalam hidup- meyakini bahwa segelap apapun rintangan yang dihadapi, ia berkeyakinan mampu menembus kegelapan tersebut.
Perlu disadari bahwa tujuan manusia diciptakan Allah SWT di muka bumi ini, selain mengabdi dan menyembah Allah SWT, sebagai tertera dalam al-Qur’an, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. az-Zâriyât [51]: 56). Juga memiliki tujuan untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagaimana al-Qur’an menjelaskan, “Dan (ingatlah)  ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah [2]: ayat 30).
Selain itu, tujuan manusia diciptakan juga bermakna untuk memelihara  dunia ini dari kerusakan yang dilakukan manusia, sebagaimana Allah SWT mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum [30]: 41). Oleh karena itu, penting bagi kita mengakhiri kontrak hidup ini dengan berupaya maksimal mewujudkan tujuan penciptaan kita.




Post a Comment

 
Top