Pendahuluan
Hikmah itu milik orang-orang yang beriman;
di manapun ia temui, maka mereka lebih berhak
terhadap hikmah tersebut
Reynold Nicholson, sejarawan dan ahli
mistisisme, cenderung mengatakan bahwa tasawuf Islam tidaklah murni berasal
dari ajaran Islam, tetapi banyak mengambil dari para sufi agama lain.
Selanjutnya, ia memandang bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh agama Nasrani.
Dia menunjuk pada kehidupan sufi yang zuhud, senang pada kesunyian, suka memakai
pakaian dari bulu domba, banyak berzikir, dan lain-lain. Hal ini mempunyai
kesamaan dengan ajaran-ajaran Nasrani. Oleh karena itu, Nicholson berpendapat
bahwa ajaran-ajaran tersebut berakar dari ajaran agama Nasrani.[1]
Di sisi lain, Nicholson melihat pula
adanya pengaruh Neo-Platonisme dalam ajaran tasawuf. Hal ini disebabkan oleh
kontak antara Arab dan Yunani, sehingga ajaran Neo-Platonisme tersebar di dunia
Arab. Ajaran tersebut mempengaruhi sebagian pemikir Islam. Dengan demikian,
masuklah ajaran-ajaran emanasi
(pancaran), illuminasi (penerangan), dan
ektase (keadaan di luar kesadaran
diri) ke dalam tasawuf. Selanjutnya, ia
melihat di bagian timur dunia Islam ada agama Budha yang ajarannya mirip dengan
tasawuf Islam. Dia menunjukan bahwa paham Nirwana dalam agama Budha mirip
dengan ajaran fana dalam tasawuf.[2]
Akan tetapi dari hasil-hasil
penelitian selanjutnya Nicholson ternyata membatalkan pendapatnya yang
mengatakan bahwa tasawuf Islam tidaklah murni berasal dari ajaran Islam, tetapi
banyak mengambil dari para sufi agama lain. Kemudian ia berpendapat bahwa
kehidupan keruhanian sufi mempunyai sumber yang kaya dari Islam itu sendiri.
Dengan melihat perkembangannya maka akan jelas kehilatan warna tasawuf itu
dalam setiap periode yang dilaluinya. Sebagai contoh, cikal bakal tasawuf itu
hanya mengambil bentuk zuhud, tetapi dalam periode berikutnya, tasawuf telah nampak
dalam bentuk kajian-kajian keruhanian yang mendalam sebagai hasil dari
perkembangan pemikiran Islam.
Menurut Abu Nashr as-Sarraj, pendapat yang
mengatakan sebutan (nama) Sufi baru diciptakan oleh orang-orang Baghdad, sangat
mustahil. Sebab nama ini sudah dikenal pada zaman Hasan al-Bashri- yang sempat
menjumpai sekelompok orang dari sahabat Rasulullah Saw. Sebagaimana yang
dikemukakan Hasan al-Bashri bahwa ia pernah melihat seorang sufi ketika sedang
tawaf di Ka’bah. Kemudian saya memberinya sesuatu, namun dia tidak
mengambilnya. Lalu sufi itu berkata bahwa dia masih memiliki empat keping dananiq (mata uang yang nilainya 1/6
dirham), uang itu bagi sufi tersebut sudah cukup untuk bekalnya.[3]
Hal senada juga dikemukakan Harun Nasution,
bahwa teori-teori yang mengatakan ajaran tasawuf dipengaruhi oleh unsur asing
sulit dibuktikan kebenarannya. Karena dalam ajaran Islam sendiri terdapat
ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang menggambarkan dekatnya manusia
dengan Allah.
Di antaranya al-Qur’an Surah,
al-Baqarah [2]: ayat 186;
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku.” Dalam ayat lain disebutkan
pula, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui” (QS. al-Baqarah [2]: 186).
Al-Qur’an Surah, al-Baqarah [2] : 115
sebagai berikut;
“Dan kepunyaan
Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 115).
Disebutkan pula dalam al-Qur’an Surah,
Qaf [50]: 16 sebagai berikut;
“Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.” (QS. Qaf [50]:
16).
Jadi, terlepas dari kemungkinan ada
atau tidak adanya pengaruh luar, ayat-ayat tersebut di atas dapat membawa pada
timbulnya tasawuf dalam Islam, yaitu kalau tasawuf yang dimaksud adalah ingin
berada sedekat mungkin pada Allah Swt.[1]
[1]Lihat,
Harun, Nasution, Falsafat dan Mistisisme
dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. IX, 1995), hal. 61.
Post a Comment