Dari segi
kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan
orang dengan tasawuf. Harun nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang
berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu
orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu
barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah, sufi yaitu bersih
dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf (kain wol
kasar).[1]
Jika
diperhatikan secara seksama, tampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang
sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan kedekatan dengan
Tuhan. Kata ahl al-suffah misalnya menggambarkan keadaan yang mencurahkan
jiwa raganya, harta benda dan lainnya sebagai hanya untuk Allah. Mereka rela
meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan, harta benda dan sebagainya
yang ada di Makkah untuk ditinggalkan karena ikut hijrah bersama nabi ke
Madinah. Tanpa ada unsur iman dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, tidaklah mungkin hal demikian mereka lakukan.[2]
Selanjutnya kata
saf juga menggambarkan keadaan orang yang selalu berada di barisan depan
dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan lainnya. Demikian
pula kata sufi yang berarti bersih, suci, dan murni menggambarkan orang yang
selalu memelihara dirinya dari perbuatan
dosa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, selanjutnya kata suf yang
berarti kain wol yang kasar yang menggambarkan orang yang hidupnya serba
sederhana, tidak mengutamakan kepentingan dunia, tidak mau diperbudak oleh
harta yang dapat menjerumuskan dirinya dan membawa ia lupa akan tujuan
hidupnya, yakni beribadah kepada Allah. Demikian pula kata sophos yang
berarti hikmah juga menggambarkan keadaan orang yang jiwanya senantiasa
cenderung kepada kebenaran.
Dengan demikian
dari segi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi
kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana,
mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia
di sisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh,
memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang
menyesatkan.
Selain pengertian
tasawuf dapat dilihat dari segi kebahagiaan sebagaimana tersebut di atas, juga
dapat dilihat dari segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang
yang digunakan pada ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut
pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Kedua sudut pandang manusia
sebagai makluk yang harus berjuang, dan ketiga sudut pandang manusia sebagai
makhluk bertuhan.
Jika dilihat
dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, tasawuf dapat
didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Selanjutnya, jika
sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk
yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri
dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah swt, dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai
makhluk bertuhan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah
(perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju
kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika ketiga
definisi tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan, segera tampak bahwa
tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang
dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat
dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia. Tasawuf
secara hakiki memasuki fungsinya dalam mengingatkan kembali manusia siapa ia
sebenarnya, yang berarti manusia dibangunkan dari mimpinya yang ia sebut
kehidupannya sehari-hari dan bahwa jiwanya bebas dari pembatasan-pembatasan
penjara khayali egonya itu yang memiliki timbangan objektif di dalam apa yang
disebut kehidupan dunia menurut bahasa keagamaan.
Tasawuf atau
sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam
dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan ruhani bagi jutaan
manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama
yang diajarkannya.
Dengan
menempatkan pengertian yang proporsional sebagaimana telah disebutkan di atas,
tampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan, kemunduran, atau semacamnya,
melainkan justeru memperlihatkan ketangguhan jiwa dalam menghadapi berbagai
problema hidup yang senantiasa datang silih berganti.
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat
dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi Saw.
Sebelum diangkat menjadi rasul, berhari-hari ia berkhalwat di Gua Hira,
terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi Saw, banyak berzikir dan bertafakur
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi Saw di
Gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.[3]
Nabi Muhammad Saw, banyak memberikan gambaran tentang kehidupan dunia.
Kehidupan dunia digambarkan bagai penjara bagi orang mu’min dan surga bagi
orang kafir (Imam Muslim, tt), karena kehidupan mereka selalu dibatasi dan
tidak boleh hidup semena-mena, bagaikan orang yang hidup dalam sebuah penjara,
dan sebaliknya bagaikan surga bagi orang kafir, sebagai tempat yang
menyenangkan, bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan yang mengikatnya.
Kesederhanaan Nabi Saw, menampilkan diri sebagai seorang yang sangat terbatas
kehidupannya, sering menderita lapar. Dan jika mempunyai harta selalu
diinfakkan ke jalan Allah Swt, dan disedekahkan kepada tamunya dan ahlus-Suffah
(orang yang hidup di emperan masjid Nabawi).[4]
Faktor internal lainnya adalah reaksi rohaniah kaum muslim terhadap
sistem sosial, politik, budaya, dan ekonomi dikalangan Islam sendiri, yaitu
ketika Islam tersebar ke berbagai negara, yang sudah barang tentu membawa
konsekuensi tertentu. Seperti terbuka kemungkinan diperolehnya kemakmuran di
satu pihak, dan terjadinya pertikaian politik sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan
Muawiyah. Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian
masyarakat atau ulama yang tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan
mempunyai sikap tidak mau terlibat terhadap pergolakan yang ada. Mereka
mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.[5]
Seperti telah diketahui, dalam sejarah Islam terdapat peristiwa tragis,
yakni upaya pembunuhan terhadap diri khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, dari
peristiwa itu secara berantai terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Hal ini
menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada, dan pemuka-pemuka Islam yang mau
berpikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran Islam, pulang masuk masjid,
kembali mendengarkan kisah-kisah perjuangan Rasulullah dan besera para sahabat
terdahulu, mengenai keindahan zuhud dan lain sebagainya. Inilah benih tasawuf
yang paling awal.
- Masa Pembentukan
Kalau kita kembali kepada awal sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi,
telah ada sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, banyak
berpuasa di siang hari, shalat, dan membaca al-Qur’an di malam hari. Seperti
Abdullah Ibn Umar, sehingga Nabi berkata kepadanya, “Tubuhmu juga mempunyai hak-hak
yang harus kau penuhi.”
Pada abad ke- 1 Hijriyah, lahirlah Hasan Basri, seorang “zahid” pertama
dan termasyur dalam sejarah tasawuf. Dia lahir di Madinah pada tahun 642 M, dan
meninggal di Basrah pada tahun 728 M. Hasan Basri tampil pertama dengan membawa
ajaran khauf dan raja’, mempertebal takut dan harap kepada Tuhan.
Kemudian pada akhir abad ke- 2 Hijriyah, muncul Rabi’ah al-‘Adawiyah (95
H/713 M - 185 H/801 M), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran
cintanya (hubb al-ilallah). Selanjutnya pada abad ke- 2 Hijriyah ini, tasawuf
tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan.
Saat itu mulai ada sebagian orang yang menampilkan istilah-istilah yang pelik
seperti mengenai kebersihan jiwa (thaharah al-nafs), kemurnian hati (naqy
al-qalb), hidup ikhlas, menolak pemberian orang, dan bekerja mencari makan
dengan usaha sendiri.
b.
Masa Pengembangan
Tasawuf pada abad ke- 3 dan ke- 4 Hijriyah sudah mempunyai corak yang
berbeda sama sekali dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah
bercorak kefana’an (ektase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan
khalik. Orang-orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fana’fi
al mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-mahbub), kekal
dengan Tuhan (baqa’ bi al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah),
bertemu dengan-Nya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya (‘ain al-jama’)
seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bustham (261 H), seorang sufi dari
Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’ (lebur atau hancurnya
perasaan).
Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yakni
al-Hallaj. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat
kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut). Landasan pemikirannya
didasarkan kepada surat Shad ayat 72, bahwa Adam mempunyai dua unsur, yakni
jasmani dan ruhani. Unsur jasmani dari materi, sedang unsur ruhaninya berasal
dari roh Tuhan.
c.
Masa Konsolidasi
Tasawuf pada abad ke- 5 Hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini
ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf
sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, dan berkembang sedemikian rupa,
sedangkan tasawuf semi falsafi tenggelam dan akan muncul kembali pada abad ke-
6 Hijriyah dalam bentuknya yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan
menangnya aliran theologi ahl-Sunnah wa-al-Jama’ah yang dipelopori oleh
Abu al-Hasan al-Asy’ary, yang melontarkan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid
al-Bushthami dan al-Hallaj. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung
mengadakan pembaharuan atau menurut istilah Annemarie Schimmael
merupakan periode konsolidasi, yakni periode yang ditandai pemantapan dan
pengembalian tasawuf ke landasannya, al-Qur’an dan al-Hadits. Tokoh-tokohnya di
antaranya al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali.
Imam al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang tidak sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah dalam sebuah upaya mengembalikan tasawuf kepada
status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa, dan pembentukan moral.
Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan
makrifat sedemikian rupa mendalam dan belum dikenal sebelumnya. Dia mengajukan
kritik-kritik tajam terhadap pelbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran
mu’tazilah dan kepercayaan kebatinan untuk kemudian menancapkan dasar-dasar
yang kukuh bagi tasawuf yang lebih “moderat” dan sesuai dengan theologis
ahl-Sunnah wa Al-Jama’ah. Tasawuf
semacam ini disebut tasawuf Sunni.[6]
d.
Masa Falsafi
Setelah tasawuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf Sunni
tersebut, maka pada abad ke- 6 Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu
tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian
term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu,
tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan
juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat. Karena itu disebut tasawuf falsafi,
karena di satu pihak memakai term-term filsafat, namun secara epistemologis
menggunakan intuisi (dzauq).[7]
Sejumlah sufi
abad ke- 6 Hijriyah yang berorientasi filsafat, yang memperkenalkan
pemikiran-pemikiran, antara lain, al-Suhrawardi al-Maqtul, tokoh ilmu huduri
(w. 587 H), al-Syaikh al Akbar, Ibn ‘Arabi (w. 638 H), dan ‘Abd al-Haqq Ibn
Sab’in (w. 699 H). Dalam aliran mereka berkembang panteisme yang mengarahkan
tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah Swt. Perhatian mereka tidak tertuju
kepada selain taraf transendensi ini, sedangkan aspek praktik nyaris
terabaikan. Perkembangan tasawuf akhirnya di bawah pengaruh mereka terlibat
kasus-kasus filsafat, terutama aspek-aspek ontologi dan epistemologi, yang
mencapai puncaknya pada pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi yang berhasil membangun
pilar tasawuf di atas prinsip-prinsip filsafat yang kukuh dalam sebuah visi
kesatuan yang paripurna.[8]
Sepeninggal Ibn
‘Arabi, tasawuf mengarah pada hal yang lebih praktis dalam bentuk persaudaraan kolektif yang di
dalamnya para pelajar (murid) berkumpul di sekeliling seorang guru (syaikh).
Bersama-sama mereka terlibat dalam ibadah, tafakur, dan dzikir. Tarekat sufi
paling pertama didirikan oleh ‘Abd al-Qadir al-Jilani atau Jailani (w. 1166),
diikuti kemudian oleh tarekat Rifa’i yang didirikan oleh Ahmad al-Rifa’i (w.
1175) dan Maulawi, yaitu Para tarekat yang disebut terakhir ini adalah seorang
sastrawan Persia terkemuka, yang dikenal juga dengan nama Maulana Jalal al-Din
al-Rumi (w. 1273). Rumi meninggal dunia di Konya, Turki, tempat tarekatnya
terus berkembang hingga saat ini. Tarekat yang terkenal lainnya ialah
al-Syadzili yang didirikan oleh ‘Ali al-Syadzili (1258) dan Badawi yang
didirikan oleh Ahmad al-Badawi (w. 1276). Kedua tarekat ini berkembang luas di
wilayah Mesir dan Afrika Utara. Dan hingga kini, keduanya masih menyimpan
pengaruh keagamaan yang kuat di kawasan tersebut.[9]
e. Model-Model Penelitian Tasawuf
Sejalan dengan
fungsi dan peran tasawuf yang demikian itu, di kalangan para ahli telah timbul
upaya untuk melakukan penelitian tasawuf. Berbagai bentuk dan model penelitian
tasawuf secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein
Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan Muslim kenamaan di abad modern yang
amat produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah. Perhatiannya terhadap
pengembangan studi Islam demikian besar, termasuk ke dalam bidang tasawuf.
Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya Tasawuf Dulu
dan Sekarang yang diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M. dan diterbitkan oleh
Pustaka Firdaus, Jakarta tahun 1985. Di dalam buku tersebut disajikan hasil
penelitiannya di bidang tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik, yaitu
pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf, yaitu tasawuf dan pengutuhan
manusia. Di dalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan saran untuk menjalin
hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang tingkatan-tingkatan keruhanian dalam
tasawuf, manusia di alam kelanggengan di tengah perubahan yang tampak. Setelah
itu dikemukakan pula perkembangan tasawuf yang terjadi pada abad ketujuh dan
mazhab Ibn Arabi, serta Islam dan pertemuan agama-agama. selanjutnya,
dikemukakan tentang problema lingkungan dalam cahaya tasawuf, penaklukan alam
dan ajaran Islam tentang pengetahuan timur.[10]
Dari urain
singkat di atas terlihat bahwa model penelitian tasawuf yang diajukan Husein
Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan
pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
b. Model Harun Nasution
Harun Nasution,
guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam juga menaruh perhatian
terhadap penelitian di bidang tasawuf. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf
ia tuangkan antara lain dalam bukunya berjudul Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, terbitan pertama tahun
1973. Penelitian yang dilakukan Harun Nasution pada bidang tasawuf ini
mengambil pendekatan tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam
tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud, dan station-station lain, al-mahabbah,
al-ma’rifah, al-fana’ dan al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat
al-wujud. Pada setiap topik tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran
dari tiap topik tersebut dengan data-data yang didasarkan pada literatur
kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang memperkenalkannya. Selain itu,
Harun Nasution mencoba mengemukakan latar belakang sejarah timbulnya paham
tasawuf dalam Islam.[11]
Penelitian yang
menggunakan pendekatan tematik tersebut terasa lebih menarik karena langsung
menuju kepada persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat
tokoh. Penelitian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa,
walaupun hanya dalam garis besarnya saja. Dengan penelitian seperti ini,
peneliti mengemukakan ada adanya dengan sedikit melakukan perbandingan antara
satu ajaran dengan ajaran tasawuf lainnya, namun hal ini pun bukan ditujukan
untuk mencari kelebihan dan kekurangan dari ajaran-ajaran tersebut, tetapi sekadar
untuk memperjelas ajaran tersebut. Hal ini biasanya dilakukan dalam suatu
penelitian deskriptif, karena tidak ada problema atau teori tertentu yang akan
diuji kebenarannya.
c. Model A.J. Arberry
Arberry, salah
seorang peneliti Barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk
penelitian dalam bidang tasawuf. Dalam bukuny berjudul Pasang Surut Aliran
Tasawuf, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara
pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan demikian ia coba kemukakan
tentang firman Tuhan, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori
tasawuf, struktur teori tasawuf, struktur teori tasawuf, struktur teori dan
amalan tasawuf, tarekat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf, struktur teori dan
amalan tasawuf. Dari isi penelitian tersebut, tampak bahwa Arberry menggunakan
analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks
sejarahnya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau
mentransformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang
lebih luas.[12]
Kritik Terhadap Aliran Pemikiran Tasawuf
Falsafi
Jika istilah “sufi” ini diduga
berasal dari kata shophia (Yunani), maka hal ini lebih dapat diterima.
Sebab, sumber pemikiran Islam yang kedua setelah al-Qur’an dan al-Hadits
berasal dari negeri-negeri, seperti, Syria, Mesir, dan Persia, dengan
pikiran-pikiran Yunani menjadi induk pemikiran di negeri-negeri tersebut.
Pikiran Neoplatonisme, failasuf Kristen yang mengajarkan tentang emanasi dan
panteisme- yang sangat berpengaruh di dunia Kristen- juga berasal dari pikiran
Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry.
Sementara itu,
dari data yang terungkap, orang pertama yang mendapat gelar “sufi” adalah Abu
Hasyim al-Kufi (wafat 150/761 M) dari Kufah, bukan Makkah atau Madinah, dan ia
dari generasi tabi’in, bukan dari generasi shahabat. Sedangkan di sisi lain,
masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak beberapa puluh
tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.
Jika istilah “sufi”
itu juga dianggap berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa
dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata
shophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang
paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini
berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih
memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi Muslim pada umumnya menggunakan kain
shuf.
Selanjutnya
definisi tasawuf dengan mengutip pendapat beberapa orang di antaranya,
al-Junaid, berkata, “Bertasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk
hidup kembali di dalam-Nya. Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata, “Jika aku
terhapus, maka Tuhan adalah kaca-Nya sendiri dalam aku.”
Kemungkinan
tasawuf falsafi itu berasal dari Hindu di antaranya dengan bukti, tujuan akhir
dari peribadatan dalam agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau substansi) dengan Brahman (ruh alam semesta atau Tuhan).
Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk
mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga kita ketahui bahwa Plato dan
Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reinkarnasi yang berasal dari
ajaran hindu.
Menurut M.
Horten, tasawuf berasal dari alam pemikiran India. Dalam hal ini Horten telah
melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan tetapi
pendapat tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap
tasawuf al-Hallaj, al-Busthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa tasawuf
abad ketiga Hijriyahlah yang sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama
ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha keras mengokohkan teorinya ini dengan
salah satu
penelitiannya untuk menetapkan bahwa tasawuf berasal dari sumber India.
Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai terminologi para sufi Persia
akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari aliran Vedanta di
India.
Sementara itu Hartman, yang
berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau sumber tasawuf dari India. Ia
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
- Kebanyakan
angkatan pertama sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim Ibn
Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya Ibn Ma’az
Ar-Razi.
- Kemunculan
dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan (Parsi).
- Pada
masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan
kebudayaan timur dan barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk
agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
- Kaum
Muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
- Asketisme
Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam
kecendrungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih,
misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India.
Kemudian cukup
banyak para orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari tradisi
pemikiran Yunani. Para orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh
perhatian terhadap tasawuf yang mulai muncul pada ketiga Hijriah, lewat Dzun
Nun al-Mishri, wafat 245 H.
Muhammad
al-Bahiy (intelektual Islam Mesir) menyatakan tentang adanya intervensi alam
pikiran asing, seperti paganism Mesir, Budha, Hindu, Zaratrusta, Manu, Kristen,
Yahudi, dan Yunani.
BAB III
PENUTUP
Membahas
Aliran–aliran dalam pemikiran islam dan sejarahnya, maka tidak lain membahas
agama islam itu sendri. Dalam sebuah perguruan tinggi, aliran-aliran
atau ajaran-ajaran itu biasa disebut dengan studi islam. Di kalangan para
ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi
islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat
sifat karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Namun sesuai
dengan perkembangan zaman, perdebatan-perdebatan di kalangan para ahli tentang
apakah sebenarnya studi islam menghasilkan titik temu. Nah, untuk
itulah kiranya kita harus mengetahui aliran atau ajaran islam yang dalam masa
ini lebih dikenal dengan studi islam. Studi-studi dalam islam
memiliki banyak sekali aliran. Namun yang paling popular dalam perkembangannya
ada empat buah ilmu pengetahuan, yaitu; ilmu kalam, ilmu fiqih (hukum), ilmu
tasawuf, dan ilmu hadits.
Teologi adalah
ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah-masalah ketuhanan serta
berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang
meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui
bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga
keimanan tersebut agar tidak hilang atau rusak.
Fiqih secara
lebih luas, yaitu tidak hanya yang menyangkut fiqih ibadah, tetapi juga fiqih
muamalat seperti jual beli, perdagangan, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan
perseroan, dilanjutkan dengan fiqih jinayat yang berkaitan dengan peradilan
tindak pidana, masalah rumah tangga, perceraian, sampai dengan masalah
perjanjian, peperangan, pemerintah, dan sebagainya.
Keadaan Fiqih
yang demikian itu nampak inheren atau menyatu dengan misi agama Islam yang
kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan
keteraturan, dengan Rasulullah saw, sebagai aktor utamanya yang melaksanakan
aturan-aturan hukum tersebut. Karena wahyu, yaitu cara memperoleh dan
mengetahui kehendak Tuhan secara langsung, terhenti semenjak meninggalnya nabi
Muhammad, syariah yang telah terungkap secara sempurna pada prinsipnya lantas
menjadi statis dan bersifat kekal. Mengapung sebagai jiwa tanpa jasad di atas
awang-awang masyarakat Muslim, serta terpisah dari arus dan pergantian wahyu,
ia pun tampil sebagai cita-cita (idealisme) yang keabsahannya berlaku abadi,
dan masyarakat harus mengejar cita-cita itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Sufyan Raji, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya,
Jakarta: Pustaka al-Riyadh, 2006.
Asmuni,
Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam,
Jakarta: PT RajaGrafindo, 1995.
Bahy,
Muhammad, al-Fikhu al Islam fi Tathawwurihi, Penerjemah. Bambang Saiful,
Bandung: Mizan, 1985.
Baqir,
Haidar, “Antara Tasawuf Eksesif dan
Tasawuf Positif”, Sufisme Kota, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. I,
2001.
--------,Manusia Modern
Mendamba Allah; Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, Cet. I, 2002), hal. xi.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet.
Ke-3
Edward,
Mortimer, Faith and Power the Politics of Islam, Penerjemah. Enna Hadi,
Bandung: Mizan, 1984.
Fakhry, Majid, a
Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, England:
Onewolrd Publication, 1997.
Fathurrahman,
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam,
Bandung: al-Ma’arif, 1986.
Hanafi,
Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Jassar,
Husain Ibn Muhammad, al-Husbun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah ‘Ala al-‘Aqaid
al-Islamiyah, Bandung: Syirkah al-Ma’arif.
Mu’ti, A. Wahib, Tasawuf dalam Islam, (Jakarta: UIA
Asyafi’iyah, 2009.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam,
Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003.
Nasichah,
“Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem
Kehampaan Spiritual”, Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya,
Vol. X, No. II, (Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatulah Jakarta,
2003), hal. 103.
Nasution,
Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995 Cet ke- 9
---------,
Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, Bandung: Mizan,
1995.
----------,
Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1975.
Sarraj, Abu Nashr, al-Luma’
; Lajnah Nasyr at-Turats ash-Shufi, Edisi Terjemah, Surabaya: Risalah
Gusti, 2002 Cet ke- I
Shihab, Alwi, “Akhlak sebagai Sasaran Tasawuf,”
Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan
Hikmah, Cet. I, 2002), hal. 180.
--------,“Islam
Sufistik; “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, Bandung:
Mizan, 2001, Cet. Ke- I
Syukur, Amin, Menggugat
Tasawuf; Sufimse dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999, Cet. Ke- I
Yamani,
Ahmad Zaki, Asy-Syariatul Khalidah wa Musykilatul ‘Asri, Jakarta:
Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1978.
[1]Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), h. 56-57.
[3]Dewan
Editor, Ensiklopedi Islam, op. cit.,
hal. 77.
[4]Amin,
Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufism dan
Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999),
h. 26.
[6]Alwi,
Shihab, Islam Sufistik; “Islam Pertama”
dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, Cet. I, 2001), h.
31.
[9] Majid,
Fakhry, a Short Introduction to Islamic
Philosophy, Theology and Mysticism, (England: Onewolrd Publication, 1997),
hal. 96
[10]Mustafa
Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 2-3.
[11]Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 93.
[12]A.J.
Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Penerjemah. Bambang Herawan,
(Bandung: Mizan, 1985), h. 13.
Post a Comment