Pengertian Fiqih
(hukum) Islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah. Untuk itu
dalam pengertian hukum Islam di sini dimaksudkan di dalamnya pengertian
syariat. Dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam
atau fiqih adalah sekelompok dengan syariat- yaitu ilmu yang berkaitan dengn
amal perbuatan manusia yang diambil dari nash al-Qur’an atau al-Sunnah
yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari
sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari al-Qur’an atau al-Sunnah,
dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang
disebut Ilmu Fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[1]
Yang dimaksud
dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang mukallaf yang
berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat, kepidanaan dan sebagainya; bukan
yang berhubungan dengan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang terakhir ini
termasuk dalam pembahasan Ilmu Kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil
yang terperinci ialah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada
suatu hukum tertentu.
Berdasarkan
batasan tersebut di atas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan Hukum
Islam atau Fiqih. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang
digunakannya. Jika syariat didasarkan pada nash al-Qur’an atau al-Sunnah
secara langsung, tanpa memerlukan penalaran; sedangkan hukum Islam didasarkan
pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad
dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syariat. Dengan
demikian, jika syariat permanen, kekal dan abadi, fiqih atau hukum Islam
bersifat temporer, dan dapat berubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat
dan fiqih sulit dibedakan. Ketika kita mengkaji suatu masalah misalnya kita
pergunakan nash al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi bersamaan dengan itu
kita juga menggunakan penalaran. Hal ini amat dimungkinkan karena nash-nash
al-Qur’an maupun al-Sunnah tersebut sungguhpun secara tektstual tidak dapat
diubah, namun interpretasi pilihan yang menggunakan akal.
Dalam kaitan ini
tidak mengherankan jika Ahmad Zaki Yamani memberikan ciri syariat Islam identik
dengan ciri hukum Islam. Ciri tersebut menurut Zaki Yamani ada dua. Pertama,
bahwa syariat Islam itu luwes, dapat berkembang untuk menanggulangi semua
persoalan yang berkembang dan berubah terus, ia sama sekali berbeda dengan apa
yang telah digambarkan baik oleh musuh-musuh Islam, maupun oleh sementara
penganutnya yang menyeleweng atau yang kolot dan sempit, yakni bahwa syariat
Islam itu suatu sistem, agama yang sudah lapuk dan nanar oleh sebab kelanjutan
usianya. Kedua, bahwa dalam pusaka perbendaharaan hukum Islam terdapat
dasar-dasar yang mantap untuk pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan
secara tepat, dan cermat bagi persoalan-persoalan yang paling pelik di masa
kini, yang tidak mampu dipecahkan oleh sistem Barat maupun oleh prinsip-prinisp
Timur, meskipun sekedar untuk
melunakkannya saja.[2]
Sejalan dengan
uraian tersebut, Zaki Yamani membagi syariat Islam adalam dua pengertian. Pertama,
pengertian dalam bidang yang luas dan kedua, pengertian dalam bidang yang
sempit. Pengertian syariat Islam dalam bidang yang luas meliputi semua hukum
yang telah disusun dengan teratur oleh para ahli fiqih dalam pendapat-pendapat
fiqihnya mengenai persoalan di masa mereka, atau yang mereka perkirakan akan
terjadi kemudian, dengan mengambil dalil-dalil yang langsung dari al-Qur’an dan
al-Hadits, atau sumber pengambilan hukum seperti ijma’, qiyas, istihsan,
istishlah, dan masalih al-mursalah. Syariat dalam pengertian yang
luas ini memberikan peluang untuk berbeda pendapat, untuk mengikutinya atau
tidak mengikutinya. Adapun dalam pengertian yang sempit, syariat Islam itu
terbatas pada hukum-hukum yang berdalil pasti dan tegas, yang tertera dalam
al-Qur’an, hadis yang sahih, atau yang ditetapkan dengan ijma. Dalam pengertian
yang sempit ini, syariat dengan dalil-dalilnya yang tegas dan pasti mewajibkan
setiap Muslim untuk mengikutinya dan menjadikannya sebagai sumber untuk
memecahkan kesulitan masalah yang dihadapi.
Perbedaan antara
dua pengertian yang luas dan sempit tentang syariat tadi akan terasa pentingnya
dalam negara-negara yang melaksanakan syariat Islam seutuhnya seperti Saudi
Arabia yang akan membuktikan secara mudah dan jelas perlu tidaknya pelaksanaan
semua hukum syariat Islam dalam pengertian yang luas itu.
Kini syariat
Islam telah berusia cukup tua, yaitu dari sejak kelahiran agama Islam itu
sendiri pada lima belas abad yang lalu sampai sekarang. Sejauh manakah syariat
Islam itu tetap aktual dan mampu meresponi perkembangan zaman, telah dijawab
lewat berbagai penelitian yang dilakukan para ahli yang contoh-contohnya dapat
dilihat dalam uraian di bawah ini.
2. Mazhab Fiqih
Dalam
perkembangan fiqih dikenal beberapa mazhab fiqih. Berdasarkan keberadaannya,
mazhab fikih ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula
yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqih dapat
dibagi dalam dua kelompok yaitu mazhab ahlusunnah dan mazhab syiah.
Mazhab Ahlusunnah
terdiri atas empat mazhab yang populer yang masih utuh sampai sekarang. Pertama,
Mazhab Hanafi. Pemikiran fiqih dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah.
Dia dikenal sebagai imam ahlurra’yu serta fakih dari Irak yang banyak
dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak
menggunakan rakyu, kias, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu
hukum yang tidak ada dalam nas, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan
kaidah kias dan menggunakan kaidah ihtihsan. Alasannya, kaidah
umum (kias) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.[3]
Kedua,
Mazhab Maliki. Pemikiran fiqih mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal
luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqih terkemuka
serta ahlulhadits. Pemikiran fiqih dan usul fiqih Imam Malik dapat
dilihat dalam kitabnya al-Muwathttha, yang disusunnya atas permintaan
Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab
ini sebenarnya merupakan kitab hadis, tetapi karena di susun dengan sistematika
fiqih dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fikih Imam Malik dan
metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadis dan
fiqih belakangan sebagai kitab fiqih.[4]
Ketiga,
Mazhab Syafi’i. pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i.
Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqih, usul fiqih, dan hadits di
zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup di
zaman meruncing pertentangan antara aliran ahlulhadits dan ahlurra’yi,
Imam Syafi’i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya,
ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahlulhadits dan Imam Muhammad
Ibn Hasan asy-Syaibani sebagai ahlulrra’yi.
Keempat,
Mazhab Hanbali. Pemikiran Mazhab ini diawali oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal. Ia
dikenal sebagai ulama fiqih dan hadis terkemuka di zamannya dan pernah belajar
fiqih ahlulrra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i. Menurut
Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
(1) an-nusus (jamak dari nas), yaitu al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw, dan
ijmak. (2) fatwa sahabat, (3) jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat
dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih
dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah. (4). Hadis mursal atau hadis daif
yang didukung oleh kias dan tidak bertentangan dengan ijmak; dan (5) apabila
dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan kias. Penggunaan
kias bagi Imam Ahmad Ibn Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa.[5]
3. Model-Model Penelitian Hukum Islam
(Fiqih)
- Model
Harun Nasution
Sebagai guru
besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam, Harun Nasution juga mempunyai
perhatian terhadap hukum Islam. Penelitiannya dalam bidang hukum Islam ini ia
tuangkan secara ringkas dalam bukuny Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya
Jilid II. Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai
literatur tentang hukum Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun
Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur hukum Islam secara
komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam
al-Qur’an, latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam
dari sejak zaman nabi sampai dengan sekarang, lengkap dengan beberapa mazhab
yang ada di dalamnya berikut sumber hukum yang digunakannya serta latar
belakang timbulnya perbedaan pendapat.[6]
- Model
Noel J. Coulson
Noel J. Coulson
menyajikan hasi penelitian di bidang hukum Islam dalam karyanya berjudul Hukum
Islam dalam Perspektif Sejarah. Hasil penelitiannya itu dituangkan dalam
tiga bagian. Pertama, menjelaskan tentang terbentuknya hukum syariat,
yang di dalamnya dibahas tentang legalisasi al-Qur’an, praktek hukum di abad
pertama Islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama. Bagian kedua,
berbicara tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Di
dalamnya dibahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman,
dampak aliran dalam sistem hukum, pemerintahan Islam dan hukum syariat,
masyarakat Islam dan hukum syariat. Bagian ketiga, berbicara tentang
hukum Islam di masa modern yang di dalamnya dibahas tentang penyerapan huku
Eropa, hukum syariat kontemporer, taklid, dan pembaharuan hukum serta
neo-ijtihad.[7]
Kritik Terhadap Fanatisme Madzhab
Seseorang dapat
berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika
ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab
dan golongan.
Dengan kata
lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya adanya
dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan
dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau
golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti daripada
pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita beribadah
mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah
memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam
Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya.
Di antara fanatik yang tercela ialah
fanatik terhadap madzhab.
Seperti para muqallid yang hampir
memaksumkan madzhab dan para Imam mereka. Fanatik madzhab ini mereka
berdasarkan kepada beberapa landasan yang tidak benar.
Tidak diwajibkan
taqlid atas semua orang, termasuk orang-orang yang tergolong ahli ilmu,
sebagaimana dikemukakan oleh orang-orang yang ekstrim dalam bermadzhab. Dan,
tidak mengharamkan taqlid atas semua orang sebagaimana dikatakan oleh
orang-orang yang ekstrim dalam menolak madzhab. Tetapi meletakkan persoalan
secara proporsional, dengan membedakan antara ahli ilmu dan orang-orang awam.
Kepada orang-orang yang belum mencapai tingkatan ijtihad dan tarjih,
diperbolehkan untuk mengikuti salah seorang Imam. Istilah yang dipergunakan
oleh Imam al-Banna dalam masalah ini, yaitu ittiba’, lebih daripada taqlid.
Selain itu, beliau tidak membatasi hanya imam yang empat, sehingga seorang
muslim dapat mengikuti madzhab shahabi atau tabi’in atau imam-imam yang
lainnya.
Kritik Terhadap Fanatik dengan Pendapat
Pribadi
Seseorang harus
melepaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapatnya sendiri. Sebab, orang
yang tidak dapat melepaskan dirinya dari fanatisme ini akan senantiasa
mempertahankan pendapatnya sendiri sekalipun tahu pendapatnya salah dan lemah
argumentasinya. Ia hanya memenangkan kehendak hawa nafsu, melecehkan orang lain
dan takut dituduh kurang
luas wawasan.
Perlu
dijelaskan di sini tentang beberapa akhlaq (tata cara) yang harus diperhatikan
dalam rangka membebaskan diri dari fanatisme. Di antara akhlaq ini ialah sikap
melihat kepada perkataan bukan kepada orang yang mengatakannya. Hendaknya ia
punya keberanian untuk mengkritik diri sendiri, mengakui kesalahan, menerima
nasihat dan evaluasi dari orang lain, memuji orang yang tidak sependapat jika
dimiliki orang lain, memuji orang yang tidak sependapat jika memang pendapatnya
baik, dan membelanya apabila dia dituduh dengan tuduhan yang batil atau
dilecehkan dengan tidak benar.
[1]Mukhtar
Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung:
al-Ma’arif, 1986), h. 5.
[2]Ahmad
Zaki Yamani, Asy-Syariatul Khalidah wa Musykilatul ‘Asri, (Jakarta:
Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1978), h.
13.
[6]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 300-301.
Post a Comment