PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Pada saat ini, para psikiater dan psikolog secara bertahap mengalihkan
perhatian mereka pada akhir spektrum lain, pada mereka yang dulunya sehat dan
berfungsi dengan sangat baik. Pertanyaannya kemudian menjadi bagaimana
mendefinisikan kesehatan. Misalnya, seorang Psikiater Irlandia mempelajari
orang Inggris dan Amerika yang menganggap diri mereka “eksentrik”.[1]
Ia mengemukakan bahwa mereka pergi ke dokter hanya sekali dalam rata-rata
10-15 tahun, sementara orang lain pergi ket dokter tiap 6 bulan sampai 2 tahun.
Orang-orang yang eksentrik adalah orang yang kreatif dan ekspresif, dengan
penampilan yang lugu seperti anak kecil dan bijak, serta tidak peduli apa yang
orang lain pikirkan. Mereka mengikuti impian mereka sendiri dengan keutamaan
sesuai dengan norma-norma sosial. Lantas, apakah eksentrik menjadi model bagi
kesehatan?
Esensi psikoterapi sebagai suatu bentuk bantuan yang diberikan seseorang
kepada orang lain yang mempunyai problem psikologis bukanlah monopoli
masyarakat barat saja. Berbagai bentuk bantuan tersebut sebenarnya dapat ditemui pada setiap masyarakat dari berbagai budaya. Hal
ini dapat dilihat dari perenan yang dilakukan oleh para tokoh spiritual,
sesepuh masyarakat ataupun oknum dalam masyarakat tradisional.
Dalam masyarakat Islam, praktek psikoterapi juga telah
diterapkan, bahkan ada yang sudah dilembagakan. Dalam dunia
Islam, fungsi psikoterapi
banyak diperankan oleh para ulama, guru sufi, kiai yang dianggap memiliki
kelebihan-kelebihan spiritual.
Sedangkan yang menjadi objek fokus penyembuhan, perawatan atau pengobatan
psikoterapi islam adalah manusia secara utuh, yakni yang berkaitan dengan
penggunaan pada: mental yaitu hubungan dengan pikiran, akal, dan ingatan.
BAB II
DEFINISI PSIKOTERAPI UMUM DAN ISLAM
A. Definisi
Psikoterapi
Psikoterapi (psychotherapy)
adalah pengobatan alam pikiran, atau lebih tepatnya, pengobatan dan perawatan
gangguan psikis melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup berbagai teknik
yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya
dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran dan emosi, sehingga individu
tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikisnya.[2]
Terapi tidak ditujukan pada orang-orang yang menderita penyakit jiwa saja,
akan tetapi lebih banyak diperlukan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak
sakit, akan tetapi tidak mampu menghadapi kesukaran-kesukaran hidup
sehari-hari, dan tidak pandai menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya.
Problematika hidup yang tidak selesai itulah, yang banyak menghilangkan rasa
bahagia. Dalam keadaan seperti ini, maka terapi adalah sangat penting, karena
kemunduran di bidang sosial, ekonomi, politik, dan moral tidak hanya disebabkan
oleh situasi politik dan ekonomi, tetapi juga persoalan moral dan prilaku orang
dalam menghadapi masalah hidup.[3]
Terdapat beberapa hal yang menjadi tujuan terapi Islam di antaranya: Petama, membersihkan kalbu dari penyakit-penyakit, baik
penyakit yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri. Kedua, menguasai pengaruh
dorongan-dorongan primitif, sehingga dorongan tersebut dapat dimanfaatkan
sesuai dengan fungsinya. Ketiga,
meningkatkan derajat dari nafs untuk mencapai tujuan penyempurnaan diri (insan kamil). Karena diri yang sempurna
itu tidak akan pernah tercapai, maka usaha ini merupakan proses yang
terus-menerus. Keempat, menumbuhkan
sifat, sikap, dan perbuatan yang baik (akhlaqul
karimah). Kelima, meningkatkan
seluruh potensi untuk menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
B. Selintas
Psikoterapi Barat
Tak dapat dipungkiri bahwa teori dan praktek psikoterapi yang dikenal
sekarang ini tidak lain adalah merupakan produk dari masyarakat Barat. Jelas
memang lahirnya suatu teori atau metode pendekatan psikoterapi tidak dapat
dipisahkan dari kondisi dan situasi serta nilai-nilai budaya masyarakat Barat. Misalnya,
menurut Fine teori dan praktek terapi psikoanalisa ternyata dipengaruhi baik
oleh filsafat Yunani dan Romawi kuno maupun perkembangan sains modern abad 19,
seperti teori evolusi Charles Darwin, psikologi asosiasi, neurologi dan
psikiatri (termasuk praktek hipnotis). Oleh karena itu, psikoanalisa banyak menekankan
faktor ketidaksadaran dan berlandaskan pada pengaruh aspek
biologis manusia.[4]
Demikian juga munculnya pendekatan behavioristik dalam terapi tidak lain
adalah pengaruh dari pemikiran objektif-naturalistik dalam psikologi.
Pendekatan ini memandang manusia dari sudut perilaku yang tampak, yang bisa
diobservasi dan dikuantifikasi. Pendekatan yang cukup dengan behavioristik
adalah pendekatan kognitif, yang menekankan proses rasional dalam terapi.[5]
Sebagai reaksi dari pendekatan behavioristik, maka muncullah pendekatan
humanistik
(eksistensi) dalam psikoterapi. Pendekatan yang sangat mementingkan nilai-nilai
kemanusiaan pada diri seseorang ini tampaknya juga dipengaruhi oleh kondisi
budaya masyarakat barat yang sangat mengagungkan nilai-nilai individu atau hak
azazi manusia. Dari pendekatan humanistik tersebut selanjutnya muncul suatu pendekatan terapi yang
menekankan aspek spiritual dalam diri manusia. Pendekatan ini didasarkan pada
psikologi transpersonal. Munculnya pendekatan ini juga tidak bisa dipisahkan
dengan timbulnya kesadaran masyarakat barat pada nilai-nilai spiritual yang
terlihat pada minat mereka.[6]
Dari gambaran di atas terlihat bahwa masing-masing pendekatan terapi
memberikan penekanan aspek tertentu pada diri manusia. Psikoanalisa menekankan
ketidaksadaran, pendekatan behavioris menekankan aspek perilaku yang tampak
sebagai suatu proses belajar, pendekatan humanistik menekankan potensi-potensi baik pada setiap individu
sedangkan pendekatan transpersonal menekankan aspek spiritual. Keempat
pendekatan tersebut bisa diibaratkan sebagai empat tukang foto yang memotret
manusia dari sisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Selanjutnya saling kritik dan saling
koreksi antara pendekatan terapi yang satu dengan yang lain adalah suatu hal yang sudah sering terjadi.
Persoalan pokok bagi umat Islam yang mempelajari psikologi barat adalah
bagaimana menentukan sikap yang tepat. Apakah menerima begitu saja, menolak
begitu saja ataukah memilah-milah mana yang Islami dan mana yang tidak. Menurut
hemat penulis, persoalan yang berkaitan dengan transfer ilmu pengetahuan ini
sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Hal ini didasarkan pada perintah
Rasulullah untuk mencari ilmu sampai ke negeri Cina sekalipun. Dalam sejarah
sudah terbukti bahwa umat Islam mentransfer ilmu pengetahuan, termasuk (dasar-dasar) psikologi,
dari masyarakat Barat (Yunani-Romawi). Dengan cara demikian itulah maka umat
Islam mampu meraih kemajuan. Jadi meskipun psikologi modern sebenarnya
merupakan produk masyarakat Barat dengan nilai-nilai sekulernya, tetapi
bukanlah suatu hal yang haram bagi umat Islam untuk mengambilnya, mempelajari
dan menerapkannya, sepanjang tidak menyimpang atau bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Lebih penting daripada sikap terbuka seperti itu adalah adanya
usaha untuk membangun dan mengembangkan psikoterapi yang berwawasan Islam.[7]
C. Pemantapan Dasar
Pijak Teoritik Psikoterapi Islam
Persoalan landasan pijak teoritik yang dihadapi oleh psikoterapi yang
berwawasan Islam menyangkut beberapa hal di antaranya ruang lingkup dan tujuan
psikoterapi yang berkaitan dengan kriteria tingkah laku yang harus diterapi
serta penyebab paling fundamental bagi timbulnya suatu gangguan. Lebih jauh
lagi juga menyangkut kedudukan psikoterapi Islam dalam peta psikoterapi Barat.[8]
Sejauh ini istilah psikoterapi (dan konseling) memiliki
pengertian sebagai suatu cara yang dilakukan oleh para professional (psikolog,
psikiater, konselor, dokter, guru, dan sebagainya) dengan tujuan untuk menolong
klien yang mengalami problematika psikologis. Selanjutnya Prawitasari
menjelaskan tentang tujuan psikoterapi secara lebih spesifik meliputi beberapa
aspek kehidupan manusia antara lain:
1.
Memperkuat motivasi
untuk melakukan hal-hal yang “benar”.
2.
Mengurangi tekanan emosi melalui pemberian kesempatan
untuk mengekspresikan perasaan yang dalam,
3.
Membantu klien mengembangkan potensinya,
4.
Mengubah kebiasaan dan membentuk tingkah laku baru,
5.
Mengubah struktur kognitif,
6.
Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil
keputusan dengan,
7.
Meningkatkan pengetahuan diri dan insight,
8.
Meningkatkan hubungan antarpribadi,
9.
Mengubah lingkungan sosial individu.
10.
Mengubah proses somatik supaya mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran
dan meningkatkan kesadaran tubuh melalui latihan-latihan fisik.
Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa persoalan yang ditangani
oleh psikoterapis Barat menyangkut masalah-masalah yang bersifat
fisiologis-emosional-kognitif-behavioral-sosial. Meskipun jangkauannya
bervariasi, seringkali konotasinya menjadi sempit, yaitu hanya mengarah kepada
suatu usaha dalam proses penyembuhan,
menghilangkan pesoalan, dan gangguan. Walaupun sebenarnya ada beberapa
psikoterapis yang memasukkan isu pengembangan diri sebagai agenda dalam terapi.
Tetapi secara umum orang akan selalu beranggapan bahwa jika ada seseorang
sedang menjalani suatu psikoterapi, berarti sedang berusaha menyembuhkan diri.
Gambaran seperti di atas jelas harus diubah dalam psikoterapi yang
berwawasan Islam. Beberapa pemikiran yang sempat muncul menunjukkan bahwa
psikoterapi Islam mempunyai ruang lingkup dan jangkauan yang lebih luas. Selain
menaruh perhatian pada proses penyembuhan, psikoterapi Islam sangat menekankan
usaha peningkatan diri. Subandi menyebutkan tujuan psikoterapi berwawasan Islam
menyangkut juga usaha membersihkan kalbu, menguasai pengaruh dorongan primitiv,
meningkatkan derajat nafs, menumbuhkan akhlakul
karimah dan meningkatkan potensi untuk menjalankan tugas khalifatullah. Mappiare menekankan bahwa psikoterapi Islam bertujuan
untuk mengembalikan pribadi seseorang pada fitrahnya yang suci atau kembali ke jalan lurus.
Lebih jauh lagi Hamdani, menyebutkan psikoterapi juga perlu memberikan
bimbingan kepada seseorang untuk menemukan hakikat dirinya, menemukan Tuhannya
dan menemukan rahasia Tuhan. Ini semua memang sesuai dengan tuntutan masyarakat
sendiri, seperti dikutip oleh Bergin,“Makin banyak pasien yang terlibat dalam
psikoterapi yang tidak sekedar menginginkan kesembuhan bagi gangguan atau simptomnya,
tetapi bertujuan untuk mencari makna hidupnya, aktualisasi diri atau
memaksimalkan potensi diri mereka.[10]
Jika memang istilah psikoterapi terpaksa harus mengacu pada konteks proses
penyembuhan, maka psikoterapi berwawasan Islam akan memperluas pandangan
tentang kriteria masalah yang harus diterapi. Psikoterapi Islam tidak
hanya memberikan terapi pada orang-orang yang “sakit” secara moral dan
spiritual. Dengan demikian klien seorang psikoterapis Muslim boleh jadi
dikatakan sehat secara mental-psikologis dan sosial, tetapi ternyata tingkah
laku-nya tidak sesuai dengan nilai-nilai moral keagamaan, maka jelas orang
tersebut harus diterapi. Misalnya, seorang pegawai yang suka menipu dan berbuat
serong. Demikian juga jika kehidupan seseorang tidak memiliki dimensi
spiritual-ketuhanan atau kesadaran Ilahiyah yang konsisten. Misalnya orang yang
telah bertahun-tahun menjalankan shalat, tetapi tidak meninggalkan bekas pada
perbuatan dan ruhaninya, maka jelas ada yang tidak beres pada dirinya. Atau
orang yang masih banyak memiliki kekotoran dalam hati, jiwa, dan ruhaninya,
seperti berbangga diri, rasa ke-aku-an yang tinggi, iri hati, dendam, dan
sebagainya. Jelas semua ini perlu mendapatkan perhatian dalam psikoterapi yang
berwawasan Islam.[11]
Jadi ukuran yang dijadikan sebagai standar untuk menentukan kriteria suatu tingkah laku itu perlu diterapi atau tidak,
yang pertama-tama adalah nilai moral-spiritual dalam Islam. Baru kemudian
mengacu pada kriteria-kriteria psikologi yang ada. Dengan demikian kalau
Prawitasari menyebutkan bahwa salah satu tujuan psikoterapi adalah memperkuat motivasi
untuk melakukan hal-hal yang “benar” maka kebenaran di sini harus dilihat dari
kacamata Islam. Karena teori-teori psikologi pada umumnya sering terlalu
berorientasi pada manusia (antroposentris), sehingga ukuran kebenarannya juga dari kacamata
manusiawi. Maka tidak heran jika dalam kaca mata psikologi psikiatri tingkah
laku homoseksual tidak lagi disebut sebagai suatu bentuk gangguan sepanjang
orang tersebut tidak terganggu dengan keadaannya. Dalam perspektif psikoterapi
Islam hal ini jelas tidak bisa diterima, karena ukuran kebenarannya
dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan demikian, persoalan untuk
menentukan kriteria
tingkah laku mana yang dianggap bermasalah atau sebagai suatu gangguan dan
perlu dijadikan sebagai sasaran terapi, termasuk agenda yang paling penting
dalam pengembangan psikoterapi Islami.
Pengertian bahwa tingkah laku yang perlu diterapi tidak hanya terbatas pada
persoalan psikologis, tapi juga moral spiritual, akan memiliki dampak positif
bagi usaha pengembangan dan penyempurnaan manusia. Orang menjadi tidak
segan-segan mengatakan bahwa dia masih “sakit” (meskipun pada level
moral-spiritual), yang selanjutnya akan memotivasi
dia untuk mendapatkan terapi. Melihat jangkaun luas
tersebut, maka seorang psikoterapis muslim tidak cukup hanya
berbekal psikologi kontemporer saja yang memahami proses
fsiologis-mental-sosial saja, tetapi harus juga memiliki pemahaman tentang
dimensi spiritual-ruhaniah.
D. Model Pendidikan
dan Pelatihan Psikoterapis Muslim
Salah satu faktor yang sangat penting dalam kesuksesan suatu psikoterapi adalah pribadi
psikoterapis itu sendiri. Hal ini telah diakui oleh berbagai pendekatan
psikoterapi Barat. Bahkan pendekatan humanistik sangat menekankan pentingnya seorang psikoterapis
memiliki pribadi yang terapeutik. Karena secanggih apa pun teknik psikoterapi
yang digunakan, akan tidak berarti jika terapisnya senditi tidak memiliki
pribadi yang dapat menyembuhkan. Menurut seorang tokoh psikologi humanistik, Carl Rogers, seorang terapis paling tidak harus memiliki
kemampuan empati (emphathy) yang
tinggi, dapat bersikap jujur dan transparan (congruence) serta dapat menerima tanpa syarat apapun kondisi
seorang klien (unconditional positive
regard).
Dalam praktik konseling dan psikoterapi yang dilakukan seorang Kyai, faktor pribadi kyai juga memegang peranan sangat penting.
Selain memiliki ciri-ciri seperti dikemukakan oleh Rogers, pribadi seorang kyai
memiliki kelebihan lain karena kedekatan mereka dengan Allah SWT.
Mengingat kondisi di atas, menjadi sangat urgen bagi pengembangan
psikoterapi Islam untuk membentuk suatu pola pendidikan dan pelatihan bagi
calon seorang psikoterapis muslim. Dalam hal ini, pemikiran Hamdani dapat
memberi arti yang sangat penting untuk mengisi kekosongan
tersebut. Di sini pola pendidikan dan calon psikoloterapis mengacu pada pola
pembinaan pribadi para nabi (khususnya Nabi Muhammad SAW), karena para nabi
tersebut adalah para psikoterapis Ilahiyah yang tugasnya adalah memberi terapi
umatnya. Tidak hanya untuk penyakit-penyakit pada dimensi
fisik-mental-psikologi sosial saja, tetapi lebih jauh adalah penyakit
moral-spiritual seperti kekafiran, kemungkaran, kefasikan, kedhaliman. Oleh
karena itu, amat tepat bagi para psikoterapis Muslim untuk merekntruksi pola
pembinaan pribadi para nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW, karena dalam hal
al-Qur’an sendiri Allah SWT telah berfirman, “Pada diri Nabi terdapat suri
tauladan.”
BAB III
PROSES DAN TEKNIK TERAPI DALAM MENANGANI
MASALAH KLIEN
A. Studi Kasus
Seorang mahasiswa baru datang
berkonsultasi ke Biro Konsultasi Psikologi. Tidak seperti mahasiswa baru lain
yang pada umumnya menghadapi persoalan penyesuaian diri atau masalah perkuliahan,
mahasiswa tersebut justru mengeluhkan kecemasannya karena mengantisipasi
kedatangan abad 21.
“Bayangkan, Pak, “katanya mengeluh. Ketika saya lulus nanti zaman sudah
akan banyak berubah. Banyak orang asing yang lebih professional akan bekerja di
Indonesia. Lha, nanti saya kebagian apa? Percuma saja saya kuliah nanti tetap
saja kalah bersaing dan tak dapat pekerjaan.”
Ilustrasi di atas memberi gambaran
yang jelas bagaimana antisipasi datangnya zaman globalisasi, pasar bebas, kemajuan informasi abad 21 mendatang telah menciptakan sebuah
kecemasan, pesimisme, dan meracuni pikiran seseorang. Di satu pihak memang
segala keperluan manusia menjadi dipermudah oleh teknologi yang juga telah
berhasil menggali segala potensi sumber daya alam. Sementera itu, para ilmuwan (termasuk psikolog) juga telah sedemikian
canggih menciptakan berbagai kiat menggali sumber daya manusia. Maka lengkaplah
sudah sketsa kemajuan manusia. Tetapi di sisi lain persoalan kehidupan manusia
menjadi sedemikian rumit dan kompleks. Tidak hanya dalam masalah ekonomi, sosial, politik, budaya bahkan agama. Semua ini selanjutnya
dapat memancarkan radiasi negativ pada jiwa dan ruhani manusia.
Melihat kondisi seperti di atas, tampaknya memang akan semakin bertambah
banyak pekerjaan rumah bagi para psikolog. Persoalan yang harus ditangani tidak
hanya terbatas pada aspek mental-psikologis-sosial saja. Tetapi juga telah
merambah pada persoalan yang berdimensi moral-spiritual. Oleh karena itu
tampaknya menjadi musykil bagi para psikolog untuk dapat menangani persoalan
abad 21 jika hanya bersandar pada psikolog Barat kontemporer saja. Psikologi
yang berdimensi spiritual akhirnya menjadi suatu keharusan yang tak bisa
ditawar lagi. Maka psikologi Islami adalah jawaban yang sangat tepat. Khususnya
berkaitan dengan psikoterapi yang berwawasan Islam di masa itu jelas akan banyak dicari orang. Oleh karena itu sangat urgen
bagi para pemikir psikologi Islami untuk memikirkan strategi pengembangan
psikoterapi Islam.
B. Proses dan Teknik
Terapi
Konsep-konsep dalam dunia tasawuf dan praktek-praktek dalam tradisi tarekat
merupakan sumber yang sangat kaya bagi pengembangan terapi yang berwawasan
Islam, khususnya untuk proses dan teknik terapi.
Berkaitan dengan proses pembinaan akhlak manusia dalam dunia tasawuf dan
tarekat dikenal adanya tiga tahap yaitu, takhalli
(pengosongan diri dari sifat buruk dan hawa nafsu), tahalli (pengisian sifat-sifat baik) dan tajalli (terungkapnya rahasia-rahasia ketuhanan).
Tahapan-tahapan tersebut diatas dapat dijadikan sebagai model yang sangat
baik bagi proses terapi dalam psikoterapi Islam. Termasuk menghadapi kasus di
atas, terhadap kecemasan seorang pemuda menghadapi masa depan yang belum jelas.
Pada setiap tahap dapat diterapkan berbagai macam teknik, baik yang berasal
dari tradisi umat Islam sendiri maupun dari Barat.
1. Tahap Takhalli
Tujuan dari tahap ini adalah agar seorang muslim (klien) dapat mengenali,
menguasai, dan membersihkan diri. Untuk itu, ada beberapa teknik yang
digunakan:
Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan
hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus
dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak,
istri, harta dan segala keinginan duniawi.[12]
Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan
manusia. Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap.
Hati yang sibuk pada dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan,
kekecewaan, kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk
kesedihan, lanjut para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu
melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia.
a.
Teknik Pengenalan diri.
Dalam dunia tarekat tekni ini dilakukan melalui suatu bentuk hubungan
guru-murid secara khusus. Hubungan tersebut memiliki persamaan dengan hubungan
antara terapis dan klien. Di sini guru secara langsung atau tidak langsung membantu
murid mengenali diri sendiri.
Di dalam tarekat Qodiriyyah-Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya,
misalnya, teknik pengenalan diri yang paling awal dijumpai pada proses talqin (pengajaran). Tujuan dari proses ini adalah mengajarkan
kepada (calon) murid teknik-teknik melaksanakan dzikir. Berdasarkan pengamatan
dan penelitian, pada waktu seseorang mengikuti talqin, timbul insight tentang diri sendiri, yang
menjadi teringat perbuatan-perbuatan dosanya, sifat-sifatnya yang jelek
sehingga timbul penyesalan dan menitikkan air mata.[13]
Dalam terapi Islam teknik yang bisa ditempuh untuk pengenalan diri ini
adalah dengan metode intropeksi (mawas diri), yaitu senantiasa melihat ke dalam
diri sendiri. Fokus perhatiaannya adalah pada timbulnya penyakit-penyakit hati.
Kalau tanpa bantuan orang lain (guru/terapis), agak sulit bagi seseorang untuk
mengetahui penyakit dirinya sendiri. Halangan utamanya adalah adanya mekanisme
pertahanan diri (defence mechanism)
seperti yang dikatakan Freud. Misalnya orang sulit sekali menyadari kesombongan
dirinya karena sering ada rasionalisasi. Demikian juga orang sulit menyadari
bahwa dia iri dengan keberhasilan orang lain. Termasuk dalam fase ini adalah
proses bantuan konsultasi bagi orang-orang yang memiliki masalah. Pada umumnya
orang yang sedang menghadapi masalah memang sulit untuk berpikir jernih.
b. Teknik Pengembangan
Kontrol Diri
Tekni ini sangat penting bagi orang-orang yang mengalami problem psikologis
yang berkaitan dengan kesulitan untuk mengendalikan (nafsu) diri. Misalnya,
gangguan obesitas, agresif (termasuk pasif agresif) dan berbagai bentuk
penyimpangan seksual. Gangguan-gangguan ini berakar pada problem pengendalian
nafsu. Tetapi mengingat bahwa sebenarnya nafsu-nafsu itu bermanfaat bagi
kehidupan manusia, maka yang perlu dilakukan bukanlah menghilangkan nafsu-nafsu
tersebut, melainkan menumbuhkan kontrol diri yang tangguh. Untuk itu perlu
dilakukan disiplin mental yang ketat. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan,
antara lain:
c. Teknik Puasa
Puasa merupakan salah satu kewajiban ritual umat Islam. Efek positif puasa
secara fisik dan psikologis telah diakui oleh para ahli. Salah satu di
antaranya adalah untuk mengontrol hawa nafsu secara umum. Untuk tujuan terapi,
puasa yang berarti pengendalian diri dapat diterapkan untuk mengembangkan kontrol dari terhadap suatu jenis nafsu tertentu.
Misalnya, orang yang nafsu marahnya besar, dapat melakukan puasa yang di
sunnahkan syariat agama.[14]
Demikian juga jika ada orang yang mempunyai kecendrungan banyak bicara,
sehingga sering secara tidak sadar menggunjing orang. Orang ini dapat melakukan
puasa diam selama sehari atau dua hari. Puasa-puasa seperti di atas, sebagai
suatu teknik terapi ternyata telah banyak dipraktekkan di perguruan-perguruan
beladiri dan kelompok-kelompok tarekat.
d. Teknik-teknik
Pembersihan diri
Salah satu tujuan dari tahap takhalli
ini adalah usaha penyembuhan berbagai bentuk gangguan mental. Karena ada asumsi
bahwa gangguan-gangguan ini berkaitan dengan penyakit hati, akhlak yang buruk
dan dominasi hawa nafsu di dalam kalbu manusia, maka kalbu tersebut perlu
dibersihkan. Ada beberapa cara yang dapat diterapkan, antara lain:
e.
Teknik Dzikrullah
Dzikrullah (mengingat Allah) yang dilakukan dengan menyebut nama Allah atau
mengucapkan berkali-kali kalimat tertentu, ternyata merupakan metode yang
sangat potensial pada tahap takhalli
secara keseluruhan.
Orientasi zikir secara umum adalah perbuatan mengingat Allah SWT dan
keagungan-Nya yang melingkupi atau mencakup seluruh aspek ibadah dan perbuatan
baik seperti bertasbih, tahmid, shalat, membaca al-Qur’an, berdo’a dan
melakukan perbuatan yang terpuji. Secara spesifik arti dari zikir menyebut nama
Allah SWT yang dianjurkan sebanyak-banyaknya dengan memenuhi tata tertib,
metode, rukun, dan syarat-syaratnya.[15]
Mengingat keagungan, kemurahan Allah merupakan obat terhadap komplikasi
penyakit hati (kejiwaan) yang operasionalnya merupakan suatu teknik,
sebagaimana dalam firman Allah SWT, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. ingatlah, hanya dengan meningat
Allah hati menjadi tentram.” (QS. Ar-Rad [13]: 28).
f. Terapi Shalat
Di dalam ilmu psikologi modern, teori Jung menyadarkan para ruhaniawan
untuk melepaskan teori meditasi konvensional yaitu Aku (diri) mencari dan
mengarah (tertuju) kepada Aku yang kekal. Konsep ini dikenal dengan istilah
psikologi transpersonal. Konsep Jung ini yang paling bisa diterima, karena jiwa
memang tidak boleh dibatasi oleh benda-benda. Ruh harus lepas atau moksa menuju wujud mutlak yang tidak
terbatas. Dasar spiritual agama-agama sebelum Islam yang dibawa para Nabi
disebut agama hanif, yaitu agama lurus yang mendasari arah spiritualnya kepada
Zat yang mutlak, tidak boleh menghambat ruhani atau mengikat jiwa seseorang
kepada bentuk materi sebagai alat konsentrasi. Jiwa yang terikat akan berada di
wilayah yang paling rendah. Kondisi ini tidak sesuai dengan fitrah
manusia yang memiliki
kecendrungan untuk kembali kepada Yang Maha Tak Terbatas, Tak Terjangkau, dan
Tak Terdefinisikan. Dengan mengarahkan jiwa kepada Zat
Yang Maha Tak Terbatas, maka jiwa kita akan merasakan seperti kembali dan tidak
terkungkung oleh benda-benda yang mengikatnya.[16]
Jalan spiritual shalat merupakan sebuah konsep meditasi yang sesuai dengan
fitrah manusia, dimana pada saat shalat ruh dibiarkan lepas tanpa hambatan. Hal
ini memungkinkan ruh untuk mengalami pencerahan yang diinginkan. Ruh mengalami
kebebasan yang abadi, bukan berupa ketenangan yang digagas oleh pikiran. Ruh
ini dituntun kembali untuk memperoleh pencerahan melalui cara yang diajarkan
penciptanya sebagaimana tercantum di dalam al-Qur’an Surah al-An’am [6]: 79,
“Aku hadapkan wajahku kepada wajah Zat Yang Menciptakan langit dan bumi
selurus-lurusnya dan ruhku tidak terhambat oleh benda-benda syirk.”[17]
Sayyid Quthub memberikan penjelasan
mengenai bagaimana memohon pertolongan melalui shalat. Beliau memahami bahwa
sesungguhnya shalat merupakan alat komunikasi dan pertemuan antara hamba dengan
Tuhannya, sehingga timbul hubungan yang kuat di dalam hati untuk meminta
pertolongan-Nya sampai terasa ruh berhubungan dengan-Nya. Kemudian jiwa akan
mendapatkan respons atau jawaban sebagai bekal yang paling berharga, lebih dari
pada perhiasan kehidupan dunia, sebagaimana dicontohkan Rasulullah, “Apabila
salah satu di antara kalian mempunyai urusan (persoalan) maka shalatlah dua
rakaat di luar shalat fardhu (shalat sunnah). HR. Bukhari.[18]
g.
Teknik Membaca Al-Qur’an
Al-Qur`an merupakan sarana terapi utama. Sebab di dalamnya memuat
resep-resep mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit jiwa manusia. Tingkat
kemujarabannya sangat tergantung seberapa jauh tingkat sugesti keimanan pasien.
Sugesti itu dapat diraih dengan mendengar dan membaca, memahami, dan merenungkan, serta melaksanakan isi kandungannya.[19]
Masing-masing tahapan perlakuan terhadap al-Qur`an dapat mengantarkan
pasien ke alam yang dapat menenangkan dan menyejukkan jiwanya. Allah berfirman,
Dan kami turunkan dari al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (Qs. al-Isrâ` [17]: 82).[20]
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan, ada dua pendapat dalam memahami
term syifâ` dalam ayat tersebut. Pertama, terapi bagi jiwa yang dapat
menghilangkan kebodohan dan keraguan, membuka jiwa yang tertutup, dan
menyembuhkan jiwa yang sakit. Kedua,
terapi yang dapat menyembuhkan penyakit fisik, baik dalam bentuk azimat maupun
penangkal.[21]
Sementara Thabathaba’i mengemukakan, bahwa syifâ` memiliki makna terapi ruhaniah yang dapat menyembuhkan
penyakit batin. Dengan al-Qur`an, seseorang dapat mempertahankan keteguhan jiwa
dari penyakit batin, seperti keraguan dan kegoncangan jiwa, mengikuti hawa
nafsu, dan perbuatan jiwa yang rendah. Al-Qur`an juga dapat menyembuhkan
penyakit jasmani, baik melalui bacaan atau tulisan.[22]
Al-Faidh al-Kasyani dalam tafsirnya menilai, lafadz-lafadz al-Qur`an dapat
menyembuhkan penyakit badan, sedangkan makna-maknanya dapat menyembuhkan
penyakit jiwa. Dan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, bacaan al-Qur`an mampu
mengobati penyakit jiwa dan badan manusia. Menurutnya, sumber penyakit jiwa
adalah ilmu dan tujuan yang rusak. Kerusakan ilmu mengakibatkan penyakit
kesesatan, dan kerusakan tujuan mengakibatkan penyakit kemarahan. Obat yang
mujarab yang dapat mengobati kedua penyakit ini adalah hidayah al-Qur`an.[23]
2. Tahap Tahalli
Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang
telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati
harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat
Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang
ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati
yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah,
bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan
mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya
tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan
lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat.
Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata,
kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai
ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya
bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput.
Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada
kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah
dalam setiap detik.[24]
Kalau tahap tahalli adalah tahap
penyembuhan atau perbaikan, maka tahap tahalli
adalah pengembangan. Tujuan pokok dari tahap ini adalah untuk menumbuhkan
sifat-sifat terpuji pada diri seseorang. Baik terhadap diri sendiri (rendah
hati, sabar), terhadap orang lain (kasih sayang, pemaaf, dan murah hati) terhadap
alam dan lingkungan (menghargai sesama makhluk) maupun terhadap Tuhan (syukur,
ridha, dan tawakkal).
a. Teknik
Internalisasi Asmaul Husna
Nama-nama Allah yang baik (asmaul husna) dapat dijadikan sebagai sarana
untuk menumbuhkan sifat-sifat yang baik dalam diri seseorang. Hal ini sesuai
dengan Hadits Nabi yang memerintahkan umat Islam untuk menghiasi diri dengan
akhlak Allah (takhalluq bi alkhlaq Allah). caranya adalah dengan
menginternalisasi sifat-sifat yang tercermin dalam asmaul husna tersebut.
Teknik Teladan
Rasul
Bagi umat Islam meneladani (akhlak) Rasulullah adalah suatu keharusan.
Karena beliau adalah manusia sempurna yang memiliki akhlak mulia. Tetapi dalam
meneladani ajaran Rasul umat Islam seringkali berhenti sebatas konsep. Oleh karena itu, dalam konteks terapi islam tahap lanjut,
meneladani Rasul ini perlu dilaksanakan secara terprogram. Misalnya mengambil
salah satu sifat Rasul yang tampaknya ringan, yaitu jujur. Secara terprogram
seseorang kemudian mencanangkan dalam dirinya untuk berkata jujur kepada siapapun juga
(termasuk kepada anak dan istri) selama beberapa hari saja. Setelah sifat itu
betul-betul terinternalisasi, dapat dilanjutkan dengan sifat yang lain. Cara
ini akan lebih efektif bila di bawah bimbingan orang lain (guru).
b. Teknik Pengembangan Hablum-minannas.
Fokus utama dalam tahap tahalli adalah menjalin hubungan dengan sesama manusia, yang dilandasi dengan akhlak Allah dan akhlak
Rasul. Namun demikian, landasan yang baik dalam praktek belum tentu sesuai.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknik-teknik komunikasi. Menurut
Jalaluddin Rakhmat, ada enam prinsip berkomunikasi yang diungkap dalam
al-Qur’an yaitu: Qaulan sadiidan
(berbicara dengan perkataan yang benar), qaulan
balighon (berbicara dengan perkataan yang menyenangkan), qaulan layyinan (berbicara dengan
perkataan yang sopan), dan qaulan
ma’ruufan (berbicara dengan perkataan yang bermutu).
Dalam menjalin hablum minannas
ini psikologi barat, terutama dari pendekatan humanistik, juga telah memiliki pola komunikasi yang cukup baik.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya teknik-teknik tersebut dilaksanakan dalam
terapi Islam, seperti penerimaan orang lain sepenuhnya, tidak cepat menilai
atau memberi
label tertentu, penuh empati dan sebagainya.
3.
Tahap Tajalli
Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap
dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wata̢۪ala. Ia lebur bersama Allah
dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridho̢۪an-Nya.
Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma̢۪rifah, orang yang sempurna
sebagai manusia luhur.
Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, manusia
sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi seorang malaikat yang berbadan manusia.
Rohaninya telah mencapai ketinggian kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang
yang telah masuk pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah.
Orang-orang yang telah memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai derajat
tertinggi kerohanian manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam
Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah,
Ma̢۪ruf al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar
Kalabadhi, Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan
lain sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup dapat ditemui, yaitu kebahagiaan
sejati.[25]
Jika tahap tahalli memfokuskan diri
pada hubungan dengan sesama manusia, maka tahap tajalli adalah tahap peningkatan hubungan dengan Allah (hablum minallah). Hubungan yang semula
hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan ritual semata (misalnya shalat), perlu
ditingkatkan pada hubungan “keakraban”, kedekatan bahkan hubungan yang penuh
“rasa” cinta. Kualitas hubungan seperti itu dapat diperoleh melalui pengalaman-pengalaman
mistis, yang sebenarnya merupakan dampak otomatis dari proses-proses
sebelumnya.
Hubungan tersebut tidak hanya berhenti pada pengalaman pribadi semata,
tetapi perlu dimanifestasikan keluar, yaitu dengan menjalankan fungsi kekhalifahan, memakmurkan kehidupan di
bumi. Oleh karena itu, seseorang perlu menggali seluruh potensi yang dimiliki.
Konsep ini mirip dengan kondsep aktualisasi diri dari Abraham Maslow. Tetapi
kalau aktualisasi diri Maslow hanya menekankan pada segi kemanusiaan semata,
dalam terapi Islam aktualisasi diri itu memiliki dimensi keruhanian dan
pengembangan kekhalifahan manusia di
muka bumi.
Tahap-tahap terapi yang telah disampaikan di atas bukan suatul hal yang
terpisah secara jelas. Keterkaitan antara satu tahap dengan yang lain sangat
erat. Bisa juga dikatakan bahwa tahap-tahap tersebut adalah suatu proses yang
melingkar. Artinya secara teoritis seseorang pada tingkat nafs tertentu membutuhkan ketiga tahap untuk dapat meningkat pada
tingkat nafs yang lebih tinggi. Dengan demikian proses tersebut terus berjalan
dan senantiasa dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Arif Wibisono,
“Mengembangkan Kurikulum Psikologi yang Berwawasan Islam,” Psikologi Islam, Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 1996.
Amin, Syukur,
Menggugat Tasawuf; Sufism dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999.
Assagioli, Roberto, Psychosynthesis, New York:
Viking Press, 1965.
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Daradjat, Zakiyah, Peranan Psikoterapi dalam Pembinaan Mental,
Jakarta: Gunung Agung, 1983.
Editor, Dewan, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
G.I Gurdjieff,. Meeting With Remarkable Men, New
Yokr: Dutton, 1974.
Harre Rom dan Roger Lamb, Ensiklopedi
Psikologi: Pembahasan Dan Evaluasi Lengkap Berbagai Topik, Teori, Riset, dan
Penemuan Baru dalam Ilmu Psikologi, Jakarta: Ensiklopedi, 1996.
Kamba, Muhammad Nursomad, “Dimensi
Prgamatis Tasawuf Dalam Kerangka Terapi”, Manusia Modern Mendamba Allah:
Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMan dan Hikmah, 2002.
Laing, R.D. The Politics of Experience, New York:
Ballantine, 1967.
Maslow, Abraham, Toward a
Psychology of Being, New York: Van Nordstrand Reinhold, 1968.
Mubarok, Achmad, Jiwa dalam al-Qur’an: Solusi Krisis
Keruhanian Manusia Modern, Jakarta: Paramadina, 2000.
----------,Relevansi Tasawuf
dengan Problem Kejiwaan Manusia Modern,” Manusia Modern Mendamba Allah:
Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMan dan Hikmah, 2002.
Mujib, Abdul, Nuansa
Psikologi Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
Nasichah, “Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem Kehampaan Spiritual”,
Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. X, No. II, Jakarta:
Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2003.
Nasution, Harun, Falsafat
dan Mistisime dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2003.
Rahman, Budi Munawar, “Psikologi
Baru Mengenai Spiritualitas Manusia Modern” Manusia Modern Mendamba Allah:
Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMan dan Hikmah, 2002.
Rakhmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1988.
Rodale, Maria For Long Life and Happines, New Yok:
Regeneration, 1988.
Sangkan, Abu, “Pelatihan Shalat Khusyu’: Shalat Sebagai
Meditasi Tertinggi dalam Islam,” Jakarta: Yayasan Shalat Khusyu’ dan
Manajemen Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia, Cet. 2, 2007.
Subandi, “Strategi Pengembangan
Psikoterapi Berwawasan Islam,” Metodologi
Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Watts, Alan, The Book, New York: Viking Press,
1972.
Wilcox, Lynn, Personality
Psychotherapy: Perbandingan dan Praktik Bimbingan dan Konseling Psikoterapi
Kepribadian Barat dan Sufi, Jogjakarta: Ircisod, 2006.
[1]Maria Rodale, For Long Life
and Happines, (New Yok: Regeneration, 1988), h. 1.
[3]Lihat,
Zakiyah Daradjat, Peranan Psikoterapi dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Gunung
Agung, 1983), h. 80.
[4]Arif
Wibisono Adi, “Mengembangkan Kurikulum Psikologi yang Berwawasan Islam,” Psikologi Islam, (Surakarta:
Muhammadiyah Universitas Press, 1996), h. 73.
[8]Subandi, “Strategi Pengembangan
Psikoterapi Berwawasan Islam,” Metodologi
Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 212.
[12] Dewan Asatidz
Takhalli, Tahalli, dan Tajalli http://www.pesantrenvirtual.com/index.
php ?option =com_ content & task=view&id=919&Itemid=4
[13]Subandi, “Membangun Psikoterapi
Baerwawasan Islam,” Psikologi Islam, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
1996), h. 82.
[15]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), h. 158.
[16]Abu
Sangkan, “Pelatihan Shalat Khusyu’: Shalat Sebagai Meditasi Tertinggi dalam
Islam,” (Jakarta: Yayasan Shalat Khusyu’ dan Manajemen Masjid Baitul Ihsan Bank
Indonesia, Cet. 2, 2007), h. 15.
[17] Ibid., h. 16.
[18] Ibid., h. 25.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24]Dewan
Asatidz Takhalli, Tahalli, dan Tajalli http://www.pesantrenvirtual.com/index.
php ?option =com_ content & task=view&id=919&Itemid=4
[25] Dewan
Asatidz Takhalli, Tahalli, dan Tajalli http://www.pesantrenvirtual.com/index.
php ?option =com_ content & task=view&id=919&Itemid=4
Post a Comment