PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Tidak ada manusia yang steril dari masalah. Selama hayat dikandung badan,
problema hidup akan senantiasa hadir bahkan sebagai pelengkap hidup itu
sendiri. Bergantung dan arah mana kita memandang problema hidup dapat menjadi
beban atau mungkin batu loncatan untuk mencapai yang lebih baik.
Jika
kita memahami masalah sebagai batu loncatan, maka kemunculannya akan membuat
kita berpikir keras, introspeksi diri yang pada gilirannya akan melahirkan inovasi
baru untuk berbuat lebih baik lagi. Secara psikologis, kita akan semakin dewasa
dalam menghadapi kehidupan. Kian deras masalah yang dihadapi, semakin dewasalah
kita menyikapi hidup. Setiap masalah hakikatnya cobaan untuk meningkatkan
kualitas diri kita. Atau mungkin sebuah peringatan karena kita salah menempuh
jalan. Namun sayang, tidak semua orang memahami hal itu. Banyak yang menganggap masalah yang
dihadapinya sebagai kutukan atau laknat. Tidak jarang mencari kambing hitam sebagai pembenaran dan sikapnya yang salah. Bahkan tidak
jarang furstasi dan merasa bosan akan kehidupan yang dianggapnya tidak berpihak
pada dirinya, lantas dia berhenti berjuang dan akhirnya menjadi sampah
masyarakat.[1]
Disinilah pentingnya psikoterapi
islam sebagai proses pengobatan dan penyembuhan dengan melalui bimbingan
Al-Quran dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW, atau secara empirik adalah melalui bimbingan dan
pengajaran Allah SWT, dan Rasul-Nya. Objek dari psikoterapi Islam adalah
mental, fisik, spiritual dan moral. Dalam psikoterapi Islam terdapat dua
metode, yaitu metode ilahiah dan ilmiah. Bentuk–bentuk psikoterapi Islam, yaitu
membaca Al-Qur’an, shalat diwaktu malam, bergaul dengan orang salih, puasa, dan
zikir. Kesimpulan kelima terapi tersebut adalah terapi dengan doa dan
munajat.
BAB II
PSIKOTERAPI MENURUT ISLAM
A.Definisi
Psikoterapi
Istilah psikoterapi (psychotherapy)
mempunyai pengertian cukup banyak dan kabur, terutama karena istilah tersebut
digunakan dalam berbagai bidang operasional ilmu empiris seperti psikiatri,
psikologi, bimbingan, dan penyuluhan (guidance
and counseling), kerja sosial
(case
work), pendidikan dan ilmu agama.[2]
Dalam perspektif bahasa kata psikoterapi berasal dari kata “psyche” dan “theraphy.” Psyche
mempunyai beberapa arti, antara lain: Pertama,
jiwa dan hati.[3] Kedua, dalam bahasa Arab psyche dapat dipadankan dengan “nafs”
dengan bentuk jamaknya “anfus” atau “nufus.” Ia memiliki beberapa arti, di
antaranya, jiwa, ruh, darah, jasad orang, diri dan sendiri.[4]
Dari beberapa arti secara etimologis tersebut, dapat difahami, bahwa psyche atau nafs adalah bagian dari diri
manusia dari aspek yang lebih bersifat ruhaniyah dan paling tidak lebih banyak
menyinggung sisi yang dalam dari eksistensi manusia, ketimbang fisik atau
jasmaniyahnya.
Adapun kata “therapy” (dalam
bahasa Inggris) bermakna pengobatan dan penyembuhan, sedangkan dalam bahasa
Arab kata therapy sepadan dengan kata
syafa, yasyfi, syifa
(menyembuhkan).[5]
Psikoterapi (psychotherapy) ialah
pengobatan penyakit dengan cara kebathinan, atau penerapan teknik khusus pada
penyembuhan penyakit mental atau pada kesulitan-kesulitan penyesuaian diri
setiap hari atau penyembuhan melalui keyakinan agama, dan diskusi personal
dengan para guru atau teman.[6]
Psikoterapi adalah perawatan dengan menggunakan alat-alat psikologis terhadap
permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dimana seorang ahli secara
sengaja menciptakan hubungan professional dengan pasien, yang bertujuan. Pertama, menghilangkan, mengubah atau menemukan gejala-gejala yang ada.
Kedua, memperantarai (perbaikan) pola tingkah laku yang rusak. Ketiga, meningkatkan pertumbuhan serta
perkembangan kepribadian yang positif.[7]
B. Psikoterapi Menurut Islam
Psikoterapi Islam adalah proses pengobatan dan penyembuhan suatu penyakit,
apakah mental, spiritual, moral maupun fisik dengan melalui bimbingan al-Qur’an
dan as-Sunnah Nabi SAW, atau secara empirik adalah melalui bimbingan dan
pengajaran Allah SWT.[8]
C. Objek Psikoterapi Islam
Sasaran atau yang menjadi fokus penyembuhan, perawatan atau pengobatan dari
psikoterapi Islam adalam manusia (insan) secara utuh, yakni yang berkaitan atau menyangkut dengan
gangguan pada:
Pertama, mental, yaitu yang berhubungan dengan fikiran, akal,
ingatan atau proses yang berasosiasi dengan fikiran, akal ingatan.[9]
Seperti mudah lupa, malas berfikir, tidak mampu berkonsentrasi, picik, tidak
dapat mengambil suatu keputusan dengan baik dan benar, bahkan tidak memiliki
kemampuan membedakan antara halal dan haram, yang bermanfaat dan mudharat serta
yang hak dan yang batil.[10]
Kedua, spiritual yaitu yang berhubungan dengan masalah ruh,
semangat atau jiwa, religius, yang berhubungan dengan agama, keimanan,
keshalehan dan menyangkut nilai-nilai transendental.[11]
Seperti syirik, nifaq, fasiq, kufur, dan lemah keyakinan.
Nifaq adalah perbuatannya sedangkan munafiq adalah orang yang melakukan
kemunafikan. Sedangkan definisi munafiq adalah orang yang secara lahiriyah ia
mengaku sebagai orang muslim sedangkan kondisi bathinnya ingkar. Walaupun ia
menampakkan kemuslimannya dengan melakukan shalat, puasa, dan perbuatan ibadah
lainnya, namun sifat nifaq itu tidak atau belum terlepas dari dirinya, selama
sifat-sifat tidak jujur, khianat, dan ingkar janji itu belum hilang dari dalam
dirinya.[12]
Penyakit bathiniyah atau spiritual ini sangat sulit untuk disembuhkan atau
diobati karena ia sangat sulit untuk disembuhkan atau diobati karena ia sangat
tersembunyi di dalam diri setiap orang. Oleh karena itu, tanpa adanya
pertolongan dan petunjuk serta bimbingan dari Allah SWT. Maka penyakit itu
tidak akan pernah dapat disembuhkan dengan mudah.[13]
Demikian pula penyakit bathiniyah yang lain seperti fasiq, yaitu sifat atau
sikap menganggap enteng hukum-hukum dan hak-hak Allah SWT. Suka menunda-nunda untuk melakukan
perbuatan-perbuatan kebenaran dan kebaikan. Menganggap enteng perkara-perkara
yang berhubungan dengan akhlak atau moral. Sehingga tidak dapat melihat
kebenaran Ketuhanan, tidak dapat mendengar dengan kebenaran Ketuhanan dan tidak
dapat mengatakan kebenaran dengan kebenaran Ketuhanan. Hal itu disebabkan
karena fitrah-fitrah yang menghiasi hati nurani dan inderawinya tertutup dan
terbelenggu dengan kotoran-kotoran dan naji-najis bathiniyah seperti terdapat
dalam Kalam-Nya.
Bahkan yang paling parah adalah Allah SWT mencabut potensi Ilahiyah-Nya
yang Dia anugerahkan kepada setiap hamba, yaitu potensi akal, inderawi dan
qalbu. Sehingga akal fikiran sudah tidak dapat merenungkan dan menganalisa
esensi dari rahasia-rahasia ayat-ayat-Nya, Kalam-kalam-Nya, hukum-hukum-Nya,
dan eksistensi diri-Nya. Inderawi pun tidak dapat menangkap pesan-pesan
tersurat yang terhampar di permukaan seluruh alam. Qalbu pun menjadi buta dan
kotor, tidak menangkap pesan-pesan, isyarat-isyarat hidayah dan ilham kewahyuan
serta bashirah (penglihatan bathin)
dan mukasyafah (ketersingkapan
hakikat kebenaran).
Ketiga, moral (akhlak), yaitu suatu keadaan yang melekat pada
jiwa manusia, yang daripadanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa
melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian,[14]
atau sikap mental atau watak yang
terjabarkan dalam bentuk: berpikir, berbicara, bertingkah
laku dan sebagainya, sebagai ekspresi jiwa.
Islam memberikan paradgima moral dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Nabi
Muhammad SAW, adalah jujur yang membawa pesan-pesan moral secara aplikatif dan
kongkrit di dalam kehidupan sehari-hari, baik moral atau akhlak di hadapan
Rabnya, sesama makhluknya maupun dengan lingkungan dan alam sekitarnya.
Ketiga, moral (akhlak) atau tingkah laku merupakan ekspresi
dari kondisi mental dan spiritual. Ia muncul dan hadir secara spontan dan
otomatis, dan tidak dapat dibuat-buat atau direkayasa. Perbuatan dan tingkah
laku itu kadang-kadang sering tidak disadari oleh subyek, bahwa perbuatan dan
tingkah lakunya menyimpang dari norma-norma agama (Islam) dan akhirnya dapat
membahayakan dirinya dan orang lain. Seperti liar, pemarah, sembrono, dengki,
dendam, suka mengambil hak milik orang lain, berprasangka buruk, pemalas, mudah
putus asa dan sebagainya. Dalam ajaran Islam sikap dan tingkah laku seperti itu
merupakan perbuatan tercela dan dimurkai Allah SWT. Untuk menyembuhkan penyakit-penyakit itulah Rasulullah
SAW, diutus ke dunia ini. Semua perkataan, perbuatan, sikap dan gerak-gerik
Rasulullah merupakan keteladanan dan contoh yang baik dan benar bagi manusia.[15]
Oleh karena itulah Allah SWT berfirman:
Demikian pula Allah SWT, melukiskan keagungan akhlak atau moral Nabi Ibrahim, dan
kaumnya yang selalu mencintai dan bersama dengannya, seperti firman-Nya:
Fungsi dan tujuan kedatangan para Nabi dan Rasul itu adalah sebagai
pendidik, pensuci, dan penyembuh terhadap berbagai penyakit yang terdapat
ditengah-tengah umat, agar mereka menjadi hamba-hamba Allah yang benar-benar
memiliki kesehatan dan kemuliaan di hadapan-Nya maupun dihadapan makhluk-Nya.
Untuk
mengetahui tentang berbagai hal tentang ketauladanan yang mulia serta kehidupan
moral mereka, kita dapat membaca dalam kitab-kitab atau literatur historis baik
yang berbahasa Arab, Inggris, Indonesia maupun bahasa-bahasa dunia lainnya, dan
yang lebih utama dapat kita mengkaji dan mempelajarinya lewat tafsir-tafsir
al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi Muhammad SAW, atau sejarah para Rasul dan Nabinya. Bagaimana mereka melakukan terapi
terhadap penyakit-penyakit krisis moral yang terjadi di tengah-tengah kaum dan
umatnya.[16]
Keempat, fisik (jasmaniyah). Tidak semua gangguan fisik dapat disembuhkan dengan
psikoterapi Islam, kecuali memang ada izin Allah SWT. Tetapi adakalanya sering
dilakukan secara kombinasi dengan terapi medis atau melalui ilmu kedokteran
pada umumnya. Seperti lumpuh, penyakit jantung, lever, buta, dan sebagainya.
Terapi fisik (jasmaniyah) yang paling berat dilakukan oleh psikoterapi Islam,
apabila penyakit itu disebabkan karena dosa-dosa dan kedurhakaan atau kejahatan
yang telah dilakukan oleh seseorang.
Dalam psikoterapi Islam, penyembuhan-penyembuhan yang paling utama dan
sangat mendasar adalah pada eksistensi dan esensi mental dan spiritual manusia.
Oleh karena itu, Nabi Muhammah SAW, dua puluh tahun lebih mengajarkan akidah
dan ketauhidan. Karena obyek utama dari ilmu itu adalah pendidikan,
pengembangan, dan pembudayaan eksistensi dan esensi mental dan spiritual.
Apabila keduanya telah benar-benar kokoh, sehat, dan suci maka dalam kondisi
apapun “eksistensi emosional” akan terampil, cerdas, brillian, dan bijaksana.
(Manusia) yang telah memiliki eksistensi emosional yang stabil adalah
seseorang yang telah memiliki mental dan spiritual yang baik, benar, cerdas,
dan suci karena dalam perlindungan dan bimbingan Allah SWT, sehingga akan
melahirkan moral (akhlak) yang terpuji dan selalu membawa kebaikan bagi dirinya sendiri, orang
lain, dan dalam lingkungannya.
Seseorang yang telah terdidik dengan baik dan benar dalam pendidikan dan
pelatihan keagamaannya, maka dalam situasi dan kondisi bagaimanapun atau dalam
ruang dan waktu bagaimanapun, hal itu tidak akan membuat ia kehilangan kontrol akan kesadarannya
untuk tetap dalam kondisi stabil, baik, dan benar atau
tidak akan mendatangkan kerugian, kehinaan dan kerusakan baik bagi dirinya,
orang lain maupun alam lingkungan sekitarnya. Itulah fathanah, irsyad yaitu kecerdasan emosional yang Allah
telah anugerahkan kepada para Rasul, Nabi, dan ahli waris mereka, yakni para
alim ulama. Suka dan duka, kenikmatan dan kesengsaraan, baik dan buruk, kaya
dan miskin, bagi mereka adalah ilmu-ilmu dan isyarat-isyarat Ketuhanan yang di
dalamnya banyak mengandung hikmah-hikmah dan pelajaran-pelajaran tinggi bagi
pendidikan, pengembangan, dan pemberdayaan potensi fitrah Ketuhanan dari setiap
manusia.
D. Metodologi
Psikoterapi Islam
Sebagai suatu ilmu, Psikoterapi Islam harus mempunyai metode, dan dengan
metode itulah fungsi dan tujuan dari esensi ilmu ini dapat tercapai dengan
baik, benar, dan ilmiah. Artinya ilmu ini membawa manfaat bagi umat manusia,
dan ia benar karena berasal dan berakar dari kebenaran Ilahiyah, serta ilmiah,
karena dapat dengan mudah difahami, diaplikasikan dan dialami oleh siapa saja
yang ingin mengambil manfaat dan kebaikan dari ilmu ini.
Adapun metode-metode yang dipakai oleh psikoterapi Islam adalah: metode
ilmiah (method of science), metode
keyakinan (method of tenacity),
metode otoritas (method of authority),
dan metode intuisi (method of intuition).[17]
Metodologi ilmiah (method of science)
adalah metode yang selalu dan sering diaplikasikan dalam dunia pengetahuan pada
umumnya. Untuk membuktikan suatu kebenaran dan hipotesa-hipotesa maka
dibutuhkan penelitian secara empiris di lapangan, dan untuk mencapai
kesempurnaan, paling tidak mendekati kesempurnaan untuk penelitian hipotesa
itu, maka metode ini sangat dibutuhkan, dengan teknik-teknik seperti interview
(wawancara), eksperimen, observasi (pengamatan), tes, dan survey lapangan di
lapangan.
Metode keyakinan (method of tenacity), adalah metode berdasarkan suatu keyakinan yang kuat
yang dimiliki oleh seseorang peneliti. Keyakinan itu dapat diraih melalui:
Pertama, ilmu yaqin, yaitu
suatu keyakinan yang diperoleh berdasar ilmu secara teoritis, seperti firman
Allah SWT.
Kedua, ‘ainul yaqin, yaitu suatu keyakinan yang diperoleh
melalui pengamatan mata kepala secara langsung tanpa perantara, seperti
firman-Nya:
Ketiga, haqqul yaqin, yaitu suatu keyakinan yang diperoleh
melalui, pengamatan, dan penghayatan pengalaman (empiris), artinya si peneliti
sekaligus menjadi pelaku dan peristiwa dari penelitiannya. Inilah keyakinan
sesungguhnya, seperti firman Allah SWT.
Keempat, kamalul yaqin, yaitu suatu keyakinan yang sempurna dan
lengkap, karena ia dibangun di atas keyakinan berdasarkan hasil pengamatan dan
penghayatan teoritis (ilmul yaqin), aplikatif (‘ainul yaqin), dan empirik (haqqul
yaqin).
Metode otoritas (method of authority),
yaitu suatu metode dengan menggunakan otoritas yang dimiliki oleh seorang
peneliti (psikoterapi), yaitu berdasarkan kehalian, kewibawaan dan pengaruh
positif. Atas dasar itulah seorang psikoterapis memiliki hak penuh untuk melakukan
tindakan secara bertanggungjawab. Apabila seorang psikoterapis memiliki
otoritas yang tinggi, maka sangat membantu dalam mempercepat proses penyembuhan
terhadap suatu penyakit atau gangguan yang sedang diderita oleh seseorang.
Apabila seseorang tidak memiliki otoritas, yaitu wewenang dan keahlian
untuk melakukan suatu tindakan dengan baik dan benar, maka justru tindakannya
akan mendatangkan bahaya dan kesengsaraan bagi orang lain bahkan akhirnya
merugikan dirinya sendiri.
Metode intuisi atau ilham (method of
intuition), adalah metode berdasarkan ilham yang bersifat wahyu yang
datangnya dari Allah SWT. Metode ini sering dilakukan oleh para sufi dan
orang-orang yang dekat dengan Allah SWT dan mereka memiliki pandangan batin
yang tajam (bashirah), serta tersingkapnya
alam kegaiban (mukasysyafah).
Bagi orang-orang yang mata batinnya terbuka dan tajam, maka baginya tidak
ada suatu kesukaran untuk mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi atas izin
Allah SWT, seperti tersirat dalam firman-firman-Nya:
E. Fungsi dan Tujuan Psikoterapi Islam
Sebagai suatu ilmu tentu saja psikoterapi Islam mempunyai fungsi dan tujuan
yang komplit, nyata, dan mulia. Fungsi dari ilmu adalah pemahaman (urderstanding), pengendalian (control), peramalan (prediction), pengembangan (development), dan pendidikan (education).[18]
Di samping fungsi-fungsi utama tersebut, masih ada fungsi yang bersifat
spesifik yaitu pencegahan (prefention),
penyembuhan dan perawatan (treatment),
pembersihan (purification).
Fungsi pemahaman (understanding)
memberikan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan problematikanya dalam
hidup dan kehidupan serta bagaimana mencari solusi
dari problematika itu secara baik, benar, dan mulia.
Khususnya terhadap gangguan mental, kejiwaan, spiritual dan moral, serta problematika-problematika
lahiriyah maupun batiniyah pada umumnya. Memberikan pemahaman pula bahwasanya
ajaran Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) merupakan sumber yang paling lengkap, benar dan suci
untuk menyelesaikan berbagai problematika yang berkaitan dengan pribadi manusia
dengan Tuhannya, pribadi manusia dengan dirinya sendiri, pribadi manusia dengan
lingkungan
keluarganya, pribadi manusia dengan lingkungan sosialnya.[19]
Fungsi pengendalian
(control), memberikan potensi yang
dapat mengarahkan aktifitas setiap hamba Allah agar tetap terjaga dalam
pengendalian dan pengawasan Allah SWT. Sehingga tidak akan keluar dari hal
kebenaran, kebaikan, dan kemanfaatan. Cita-cita dan tujuan hidup dan kehidupan
akan dapat tercapai dengan sukses, eksistensi dan esensi diri senantiasa
mengalami kemajuan dan perkembangan yang positif serta terjadinya keselarasan
dan harmoni dalam kehidupan bersosialisasi, baik secara vertical maupun
horizontal.
Potensi pengendalian diri itu dapat difahami secara tersirat dari
pesan-pesan ayat Allah.
Seseorang yang telah memiliki kesabaran yang tinggi, apabila ia ditimpa
ujian, musibah atau bencana, maka secara otomatis ia akan dengan segera
mengembalikan hal itu semua kepada Allah SWT. Emosional dan kepribadiannya tetap
terkendali dan stabil dalam hal bimbingan, tuntunan dan perlindungan-Nya.
Fungsi peramalan
atau analisa ke depan (prediction). Sesungguhnya dengan ilmu ini seseorang akan memiliki
potensi dasar untuk dapat melakukan analisa ke depan tentang segala peristiwa,
kejadian, dan perkembangan. Hal itu dapat dibaca dan dianalisa berdasarkan
peristiwa-peristiwa masa lalu dan sedang atau akan terjadi. Sebagaimana Nabi
Yusuf AS. Pernah menganalisa suatu peristiwa yang akan terjadi berdasarkan
analisa dari suatu mimpi tentang “tujuh ekor lembu yang gemuk-gemuk dimakan
oleh tujuh ekor lembu yang kurus-kurus dan tujuh butir (gandum) yang hijau dan
tujuh butir (gandung) lainnya yang kering.” Beliau menjelaskan bahwa negara
akan dilanda kekeringan tujuh tahun dan setelah itu akan mengalami kemakmuran.
Hal itu semua semata-mata karena bimbingan, tuntunan dan pengajaran dari
Allah SWT. Seseorang tidak akan mungkin dapat melakukannya, melainkan semata
mata karena pertolongan-Nya.
Dengan mengetahui sesuatu yang akan terjadi, maka seseorang akan dapat mempersiapkan
diri untuk tindakan antisipasi, jika peristiwa itu akan membawa manfaat atau
tidak, kebaikan atau tidak, kebenaran atau tidak dan sebagainya. Dan akhirnya
banyak mengundang hikmah dan kebaikan bagi kehidupan manusia.
Fungsi pengembangan (development).
Mengembangkan ilmu
keislaman, khususnya tentang manusia dan seluk-beluknya, baik yang berhubungan
dengan problematika Ketuhanan menuju keinsanan, baik yang bersifat teoritis,
aplikatif maupun empirik. Bahkan bagi yang mempelajari dan mengaplikasikan ilmu ini, ia pun berarti
melakukan proses pengembangan eksistensi keinsanannya menuju kepada esensi
keinsanan yang sempurna.
Fungsi pendidikan (education).
Hakikat pendidikan adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, misalnya
dari keadaan tidak tahu menjadi tahu, dari buruk menjadi baik, atau dari yang
sudah baik menjadi lebih baik lagi.
Fungsi utama datangnya para Nabi dan Rasul adalah memberikan pendidikan
kepada seluruh umat manusia, agar menjadi pandai, kritis, dan brillian. Dengan
potensi itu seorang manusia akan dapat menjadi seorang manusia yang unggul dan
sempurna.
Psikoterapi Islam memberikan bimbingan dalam proses pendidikan melepaskan
diri dari bekasan-bekasan dosa dan kedurhakaan serta pengaruh-pengaruh negatif
lainnya, yang senantiasa dapat mengganggu eksistensi kepribadian yang fitri,
yaitu suatu kepribadian yang selalu cenderung untuk taat dan patuh kepada
Tuhannya serta cenderung berbuat baik dan kemaslahatan kepada sesama makhluk dan lingkungannya.
Fungsi pencegahan (prevention).
Dengan mempelajari, memahami, dan mengaplikasikan ilmu ini, seseorang akan
dapat terhindar dari hal-hal, keadaan atau peristiwa yang membahayakan dirinya,
jiwa, mental, spiritual atau moralnya. Sebab ilmu akan dapat menimbulkan
potensi prefentif sebagaimana yang telah diberikan oleh Allah SWT, kepada
hamba-hamba yang dikehendaki-Nya.
Fungsi penyembuhan dan perawatan (treatment).
Psikoterapi Islam akan membantu seseorang melakukan
pengobatan, penyembuhan, dan perawatan terhadap gangguan atau penyakit, khususnya
terhadap gangguan mental, spiritual, dan kejiwaan seperti dengan berdzikir, hati dan jiwa menjadi tenang dan damai, dengan
berpuasa, akal fikiran, hati nurani, jiwa dan moral menjadi bersih dan suci,
dengan shalat dan membaca shalawat Nabi Muhammad SAW, spirit dan etos kerja
akan bersih dan suci dari gangguan setan, jin, dan iblis, dan sebagainya.
Fungsi pensucian dan pembersihan (purification).
Psikoterapi Islam melakukan upaya pensucian-pensucian diri dari bekasan-bekasan
dosa dan kedurhakaan dengan pensucian najis (istinja’), pensucian yang kotor (mandi), pensucian yang bersih
(wudhu), dan pensucian yang suci (shalat taubat).
F. Paradgima Psikoterapi Islam
Paradigma adalah sistem atau model konseptual yang menggambarkan suatu aspek kenyataan dimana
nantinya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan tentang bagaimana atau apa
langkah-langkah yang harus diambil untuk menjalankan suatu penelitian.[20]
Paradigma psikoterapi Islam jelas berakar pada al-Qur’an dan as-Sunnah,
empiris (pengalaman), dan science (ilmu
pengetahuan), yakni dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah wahyu Allah SWT yang telah diturunkan oleh Allah SWT, kepada Rasul-Nya
Muhammad SAW, melalui seorang malaikat-Nya yang bernama Jibril AS. Dan atas
bimbingan-Nya pula Nabi SAW, dapat menerangkan
dan menjelaskan tafsir dan takwil wahyu-Nya itu sebagai
suatu pesan-pesan yang tersurat maupun tersirat as-Sunnah. Dengan bekal itulah
para ahli waris, pengikut, murid, sahabat, dan kekasih Nabi-Nya dapat memahami
secara dalam dan mengakar dan pemahaman itupun bukan datang dengan sendirinya,
melainkan atas pertolongan, bimbingan, dan wahyu yang berasal dari-Nya pula.[21]
Bahwasanya konsep penyembuhan, pengobatan atau perawatan dari suatu
penyakit yang terdapat dalam al-Qur’an asalnya mengandung makna.
Pertama, menguatkan keimanan dengan al-Qur’an. Kedua, membenarkan suatu keyakinan bahwa barangsiapa ditimpa
suatu penyakit, maka sesungguhnya ia mampu mengobati penyakit itu kapan saja ia
kehendaki dengan mencari metode atau penyembuhannya.
Keyakinan
orang yang mempercayai (beriman) kepada Rasulullah SAW, bahwa Tuhannya telah
memberi petunjuk kepadanya mengenai pelajaran-pelajaran tentang rahasia-rahasia
al-Qur’an, dan daripadanya terdapat rahasia pengobatan atau penyembuhan yang
bermakna.[22]
Adapun arti penyembuh (syifa) yang terdapat dalam al-Qur’an menunjukkan
bahwa al-Qur’an itulah akal dan penyembuh bagi siapa saja yang meyakininya.
Dalam hal itu al-Qur’an sebagai penyembuh dibagi dua bagian:
Pertama, bersifat umum, seluruh isi al-Qur’an secara maknawi,
surat-surat, ayat-ayat, maupun huruf-hurufnya adalah memiliki potensi penyembuh
atau obat, sebagaimana firmannya:
Dalam beberapa riwayat seperti diriwayatkan oleh Mardawiyah dari Abu Said al-Khudri ra., ia mengatakan
bahwa ada seseorang lelaki pernah menemui Nabi SAW, dan ia mengeluh sambil
mengatakan, “Sesungguhnya hamab mengalami keraguan yang ada di dalam dada
hamba.” Kemudian Nabi SAW, bersabda kepadanya, “Bacalah al-Qur’an! Karena
sesungguhnya Allah SWT berfirman, al-Qur’an itu obat bagi penyakit yang ada
dalam dada.” Riwayat Ibnu Majah dari Ali ra, mengatakan bahwasanya Rasulullah
SAW, bersabda, “Sebaik-baik obat adalah al-Qur’an.”
Kedua, bersifat khusus, yakni bukan seluruh al-Qur’an bersifat
khusus, yakin bukan seluruh al-Qur’an, melainkan hanya sebagian, bahwa ada dari
ayat-ayat atau surat-surat dapat menjadi obat atau penyembuh terhadap suatu
penyakit secara spesifik bagi orang-orang yang beriman dan meyakini akan
kekuasaan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
Asmaul Husna
Rasulullah SAW, bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Allah SWT mempunyai sembilan
puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa telah menghafalnya masuk
surga. Sesungguhnya Allah itu ganjil, dan menyenangi yang
ganjil. Dialah dzat yang bernama Allah, tidak ada sesembahan kecuali Dia Maha
Pemelihara keamanan, (Nama Dzat yang Maha Suci yang mengandung makna kesucian,
tidak dapat diserupakan dengan apapun dan oleh siapapun).
Kalimat Basmalah
Rasulullah SAW, menyatakan, “Apabila seseorang ingin memulai suatu
pekerjaan hendaknya ia memulai dengan membaca kalimat “basmalah” agar selama
melakukan pekerjaan itu senantiasa di dalam bimbingan rahmat Allah SWT. Dan
Ibnu Mas’ud menyatakan, barangsiapa ingin agar Allah menyelamatkan dirinya dari
malaikat Jabaniyah yang berjumlah Sembilan belas, maka hendaknya ia
memperbanyak membaca sembilan kali huruf, setiap huruf dapat menyelamatkan dari
salah seorang mereka; dan barangsiapa telah memperbanyak menyebut sembilan
belas huruf itu (basmalah) Allah akan melimpahkan kehormatan di alam ‘uluwi (alam yang tinggi) dan alam sufliy (alam yang rendah), dan dengan
kalimat basmalah itu telah berdiri kokoh Raja Sulaiman Daud AS.
As-Sunnah
(al-Hadits).
Ada beberapa hadits yang menyatakan bagaimana Rasulullah SAW, melakukan
penyembuhan secara psikoterapi di antaranya;
Dari ‘Aisyah ra., beliau menyatakan, “Bahwasanya apabila Rasulullah SAW,
sakit, beliau membaca dua surat al-Qur’an (al Falaq dan An-Naas) untuk dirinya
dan meniupkannya. Kemudian ketika sakitnya bertambah keras, maka sayalah yang
membacanya lalu saya usapkan ketempat yang sakit itu dengan menggunakan tangan
beliau, demi mengharapkan berkahnya.” (HR. Muslim).
Dari Utsman ibn Abil ‘Ash bahwa ia menderita suatu penyakit ditubuhnya
sejak ia masuk Islam dan hal itu disampaikannya kepada Rasulullah SAW. Kemudian
bersabda beliau, “Letakkanlah tanganmu pada tempat yang terasa sakit, lalu
ucapkanlah, “Dengan nama Allah sebanyak tiga kali, dan ucapkanlah tujuh kali,
aku berlindung dengan Allah dan kekuasaan-Nya dan kejahatan usaha temui dan
waspadai.” (HR. Muslim).
Empirik
Pengalaman para sahabat ketika ditengah-tengah perkampungan mereka
menemukan seorang kepala suku atau suatu kaum telah tersengat binatang berbisa.
Salah seorang dari para sahabat Nabi Muhammad SAW, mengobati dan menghilangkan
bisa itu dengan membaca surat al-Fatihah.
Demikian pula Syekh Ibnu al-Qayyim al Jauziyah dalam kitabnya Ad Daa’ wa Ad
Dawaa, beliau menceritakan pengalamannya, “Ketika saya bermukim di kota Mekkah
beberapa waktu saya pernah terkena suatu penyakit, dan sayapun telah berupaya
menemukan seorang dokter maupun obat, namun tidak seorangpun dokter dan satu obatpun saya temukan.
Akhirnya, saya mencoba menyembuhkannya sendiri dengan menggunakan surat
al-Fatihah setelah berlangsung beberapa lama, saya telah melihat hasilnya yang
begitu menakjubkan. Kemudian masalah itu saya ceritakan kepada siapa saja yang
sedang terkena suatu penyakit, dan ternyata hasilnya memang benar-benar memuaskan.
BAB III
STUDI KASUS TERHADAP MASALAH
REMAJA DAN SOLUSINYA
A. Studi Kasus
Iwan dilahirkan bukan untuk jadi sampah masyarakat. Namun keluarga dan
lingkungan
memaksanya menjadi menjadi sampah. Dalam kehancuran ia sadar, masa depan ditentukan
oleh dirinya sendiri.
Ia anak bungsu dari tiga bersaudara. Waktu ia SD saudara-saudaranya telah
menikah dan pindah rumah. Meskipun tidak terlalu jadi
masalah, namun kehidupannya ibarat anak gembel. Ia tumbuh
dalam keluarga berantakan. Ibunya sibuk dengan urusan pribadinya. Sedangkan
ayahnya asyik dengan karirnya.
Sementara Iwan hidup sebatang kara. Rumah mewah yang ia tempati tak lebih
kuburan yang sepi. Ia diberi rekening bank tersendiri oleh ayahnya yang jumlahnya
sangat besar untuk anak seusia dia. Uang itu setiap bulan ditambah oleh ayahnya
dengan jumlah yang cukup besar. Apalagi jika tahu ia harus membayar ujian
akhir, transfer itu bisa sangat besar. Maksudnya agar keperluannya terpenuhi
baik uang sekolah, jajan, maupun pakaian dan ia tidak boleh meminta lagi secara
langsung.
Perkenalannya dengan minuman keras
sejak SMP kelas dua. Sejak kelas satu, ia telah merokok. Saat itu secara tidak
sengaja ia menemukan botol aneh di kamar temannya yang juga orang berada. Ia
disuruh temannya mencoba minuman itu, untuk menghilangkan stress. Pertama kali
ia mencoba, rasanya tidak enak, namun perlahan-lahan ia ketagihan. Namun
minuman itu lambat laun kurang berkesan, selain mudah diketahui orang tua, juga
baunya dapat dihirup orang lain.
Suatu saat salah seorang temannya
menawarkan lintingan semacam rokok yang ternyata ganja. Perkenalannya dengan
ganja membuatnya mabuk kepayang karena barang itu mengasyikkan dan dapat
membawanya mabuk kepayang karena barang itu mengasyikkan dan dapat membuatnya
terbang. Namun saat ia ingin mencoba lagi, barang tidak ada karena bandar
sekaligus pengedarnya tertangkap polisi. Ia kembali lagi ke miras dan mencoba
berbagai jenis obat-obatan.
Ayahnya mengetahui perilaku
buruknya. Pertengkaran hebat antara ayah dan ibunya kembali terulang, keduanya saling
menyalahkan. Bahkan ayahnya menyalahkan sekolah yang dianggapnya tidak mampu
mendidik anaknya dengan benar. Uang jajan akhirnya dibatasi dan ayahnya mengawasi
dia dengan ketat. Namun karena kesibukan ayahnya akhirnya terulang kembali.
Perkenalannya dengan heroin saat
pesta kenaikan kelas dari kelas dua ke kelas tiga. Saat itu di salah satu rumah
temannya, ia diajari cara memasukkan jarum suntik. Sekaligus ia diberi
sebungkus kecil heroin. Menurutnya barang ini lebih gila dari ganja dan
shabu-shabu. Heroin jenis putaw itu memberinya fantasi yang lebih mengashikkan
dan cukup tahan lama.
Lambat laun ia kecanduan. Heroin itu menjadi menu wajib baginya, karena
jika sekali saja tidak ada, ia bisa menderita. Untuk memperolehnya, ia biasa
mangkal di salah satu diskotek. Di sana telah menunggu pengedar langganannya.
Sekaligus ia juga bisa menjumpai wanita spesialnya. Jika dihitung-hitung,
sehari ia bisa menghabiskan uang dua juta rupiah, untuk putaw kurang lebih tiga
ratus ribu rupiah, bayar hotel dan biaya hotel semalam suntuk. Belum lagi jika
mentraktir teman, ia bisa menghabiskan tiga juta rupiah sampai empat juta
rupiah sehari. Tetapi baginya uang bukan masalah. Hampir setiap malam minggu ia rutin ke tempat itu dan menginap
di hotel. Khusus untuk malam minggu ayahnya memberinya kebebasan untuk ke luar
rumah sampai kapan pun, asal minggu sore harus kelihatan di rumah lagi.
Miras, ganja, heroin, shabu-shabu, dan ektasi telah ia coba. Hotel-hotel
telah ia singgahi. Akibat overdosis akhirnya ia terbaring lemah di rumah sakit.
Dua bulan ia dirawat selanjutnya dipindahkan ke Rumah Sakit Ketergantungan
Obat. Setelah cukup pulih, ia dititipkan di salah satu lembaga terapi
ketergantungan obat terlarang. Dari semenjak masuk rumah sakit hingga singgah
di tempat terapi ini menghabiskan waktu 10 bulan. Akhirnya ia pulang dalam
pengawasan ketat seluruh keluarganya.
Ia menyadari, miras, dan obat-obat terlarang itu telah merenggut semuanya.
Tubuhnya hancur terutama memori otaknya
telah cacat dan sulit disembuhkan. Masa depannya tidak jelas, ia tidak tahu harus berbuat apa. Hampir saja ia putus asa. Beruntung ia segera pergi ke pisikiater Islam. Dan memperoleh bimbingan yang baik dan perlahan-lahan mulai
membantunya untuk lebih optimis menghadapi hidup dan masa depan.
B. Pemecahan Masalah
Untuk menghindari problem yang dihadapi oleh remaja
seperti kasus di atas, maka perlu
sekali diadakan pencegahan yang terarah. Demikian juga dalam menghadapi
kenakalan remaja perlu adanya tindakan-tindakan yaitu: Pertama, tindakan preventif, yakni segala tindakan yang bertujuan
mencegah timbulnya kenakalan-kenakalan remaja yang bersifat merusak. Kedua, tindakan represif, yakni tindakan
untuk menahan kenakalan remaja dan menghalangi timbulnya peristiwa kenakalan
yang lebih hebat. Ketiga, tindakan
kuratif, dan rehabilitasi, yakni memperbaiki akibat perbuatan nakal, terutama
individu yang telah melakukan perbuatan tersebut.
- Tindakan Preventif
Usaha-usaha yang sifatnya preventif dapat dilakukan melalui pendidikan
informal (keluarga), pendidikan formal (sekolah) atau juga melalui pendidikan
non formal (masyarakat). Pembinaan pendidikan keluarga di antaranya: Pertama, menghindari keretakan rumah
tangga (broken home). Kedua, menanamkan pendidikan agama yang
sesuai dengan tingkat perkembangan remaja. Misalnya berkenaan dengan
peningkatan keimanan, akhlak, dan ibadah. Nabi Muhammad bersabda, “Perintahlah
anak-anakmu mengerjakan shalat, lantaran ia berumur 7 tahun, pukullah mereka
setelah mereka berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidurmu dan tempat tidur
mereka.” (HR. Abu Daud).
Ketiga,
pemeliharaan hubungan kasih sayang yang adil dan merata, antara sesama anggota keluarga.
Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala suka agar kamu berlaku adil
antara anak-anakmu sehingga dalam ciuman.” (HR. Ibnu Najjar).
Keempat,
pengawasan yang intensif terhadap gejala aktivitas yang dilakukan anak-anak
untuk menekan kemungkinan berprilaku negatif. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim:6). Kelima, memberikan kesibukan dan
tanggung jawab kepada anak-anak.
- Pembinaan Pendidikan Formal
Sekolah sebagai lingkungan kedua setelah keluarga memegang peranan yang
sangat penting, terutama dalam pembinaan sikap mental, pengetahuan, dan
keterampilan anak. Sasaran pembinaan ini tumbuhnya remaja-remaja yang dinamis,
kritis dalam berpikir dan bertindak. Keadaan ini akan memperkecil frekuensi
terjadinya penyimpangan. Usaha pendekatannya antara lain: Pertama, mengintensifkan pelajaran pendidikan agama. Kedua, mengadakan pembinaan dan
pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan. Ketiga,
penerapan metodologi mengajar dan belajar yang efektif, menarik minat dan
perhatian anak, sehingga anak belajar lebih aktif. Nabi bersabda, “Berbicaralah
kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masing-masing.” (HR.
Muslim).
Keempat, dalam pelaksanaan kurikulum hendaknya memperhatikan
keseimbangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang memadai.
Kelima, peningkatan
pengawasan dan disiplin terhadap tata tertib sekolah.
Keenam, mengadakan
identifikasi dan bimbingan mengenai bakat, minat, kemampuan, dan penyalurannya.
Ketujuh, melatih atau membiasakan anak untuk dapat bekerja sama,
berorganisasi dengan bimbingan guru melalui organisasi sekolah.
- Pembinaan Pendidikan Non Formal
Masyarakat adalah tempat pendidikan yang ketiga sesudah rumah tangga dan
sekolah. Pembinaan pendidikan kemasyarakatan dimaksudkan untuk mengisi waktu
senggang dengan kegiatan yang bermanfaat. Hal itu dapat dilakukan dengan jalan
meningkatkan pendidikan kepramukaan, penyuluhan mental agama, pendidikan
keterampilan, pembinaan olah raga, usaha-usaha perluasan perpustakaan, Palang
Merah Remaja, Karang Taruna, Remaja Masjid, dan usaha-usaha lainnya.
Usaha-usaha yang menunjang pembinaan itu diperlukan sarana-sarana sebagai
wadah remaja menyalurkan kreativitasnya. Untuk kepentingan itu diperlukan
fasilitas-fasilitas yang memadai seperti gelanggang remaja, tempat olah raga,
balai perpustakaan, kelompok pembinaan mental dan lain-lainnya.
Dalam hal ini perlu sekali pemerintah dan masyarakat
memperbaiki kondisi sosial atau lingkungan remaja, terutama yang berhubungan dengan stabilitas
keamanan dan lain lain.
- Tindakan Represif
Selanjutnya ialah usaha-usaha atau tindakan represif. Tindakan ini
diartikan, semua tindakan secara hukum yang ditujukan kepada remaja yang
melakukan kenakalan yang melanggar hukum, atau orang yang secara langsung
membantunya, atau menjadi penyebab sehingga remaja itu melanggar hukum.
Ruang lingkup tindakan represif meliputi: Pertama, razia terhapat tempat-tempat atau barang-barang yang dapat
dijadikan tempat atau alat berbuat nakal oleh para remaja. Kedua, penyidikan atau pengusutan dan pemeriksaan terhadap remaja
yang berbuat nakal. Ketiga, penahanan
sementara untuk kepentingan pemeriksaan dan perlindungan bagi
remaja. Keempat, penuntutan dan peradilan terhadap perkara yang
melanggar hukum.
Setiap tindakan yang dilakukan pihak yang berwenang secara hukum supaya bersifat mendidik dan menolong remaja agar
mereka menyadari perbuatannya keliru. Selanjutnya mereka kembali memperoleh
harga diri, sehingga mereka bukan saja menolong dirinya sendiri, tetapi juga
menolong para petugas untuk mencari jalan dan cara-cara pemecahan problema
remaja. Disini selalu digunakan pendekatan yang bersifat psikologis dan
paedagogis.
Prinsip utama dalam semua proses penindakan secara hukum, supaya
diperhatikan: Pertama, perlakuan
terhadap remaja harus bersifat khusus, artinya berbeda dengan perlakuan
terhadap orang dewasa atau juga terhadap anak-anak. Kedua, setiap tindakan tidak bersifat menghukum, tidak merupakan
balas dendam, tetapi hendaklah bertujuan untuk menolong, mendidik dan
melindungi atas dasar rasa kasih sayang dan bersifat kekeluargaan.
- Tindakan Kuratif
Selanjutnya ialah usaha atau tindakan secara kuratif dan rehabilitasi,
yaitu setelah usaha dan tindakan yang lain dilaksanakan. Tindakan ini merupakan
pembinaan khusus untuk memecahkan dan menanggulangi problema kenakalan remaja.
Pembinaan khusus memberikan kesan yang baik, bahwa seorang remaja itu
diperbaiki dan diberikan dorongan, kesempatan, dan fasilitas untuk menjadi baik
kembali sesudah melakukan sesuatu yang dianggap tidak wajar atau tercela.
Pembinaan khusus diartikan kelanjutan usaha atau daya upaya untuk memperbaiki
kembali sikap dan tingkah laku remaja yang melakukan kenakalan dengan tujuan
agar remaja tersebut dapat kembali memperoleh kedudukan yang layak
ditengah-tengah pergaulan sosial dan berfungsi secara wajar.
Prinsip dari pembinaan khusus ini. Pertama,
sedapat mungkin dilakukan ditempat orang tua atau walinya. Kedua, kalau dilakukan oleh orang lain, maka hendaknya orang lain
itu berfungsi sebagai orang tua atau walinya. Ketiga, kalau di sekolah atau asrama, hendaknya diusahakan agar
tempat itu berfungsi sebagai rumahnya sendiri. Keempat, dimanapun remaja itu ditempatkan, namun hubungan kasih sayang dengan orang tua atau familinya tidak boleh
diputuskan. Kelima, remaja itu harus
dipisahkan dari sumber pengaruh buruk. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi.” (QS. Al-An’am:
151).
Adapun proses pembinaan khusus yaitu: Pertama,
sebagai tahap persiapan ialah dengan menanamkan pengertian, pemberian
bimbingan, dan nasehat. Kedua, tahap
pengendalian kesadaran yaitu dengan menanamkan secara terus menerus pendidikan
agama atau pendidikan mental dan budi pekerti yang baik dan bermanfaat. Ketiga, tahap penambahan pengetahuan
yaitu untuk dikembalikan kepada lingkungan semula dan kepada pergaulan sosial
yang baik. Keempat, tahap pengawasan
yaitu setelah remaja dikembalikan ke dalam lingkungan pergaulan sosial yang lebih luas, perlu adanya pengawasan.
Dari uraian diatas dapatlah diketahui bahwa problem remaja maupun kenakalan
remaja dapat ditanggulangi, baik secara preventif, represif, maupun kuratif,
dan rehabilitasi. Pada setiap tindakan preventif, represif, maupun kuratif,
pendidikan agama selalu dibutuhkan dan dipergunakan, karena pendidikan agama
adalah suatu amal kebajikan, sedangkan kebajikan bisa menghapuskan kejelekan.
Sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat.” (QS. Hud: 114).
Pendidikan agama adalah obat yang paling ampuh untuk mengatasi segala
problem remaja, karena memang setiap penyakit ada obatnya. Maka obat bagi
setiap penyakit mental adalah agama. Oleh karena itu, mengenai pemecahan
problem remaja perlu ditinjau dari sudut pendidikan agama dan juga ditinjau
dari ilmu yang berhubungan dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995.
Chaplin, C.P., Kamus Psikologi, Penerjemah. Kartini
Kartono, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1995.
Daradjat, Zakiyah, Peranan Psikoterapi dalam Pembinaan Mental,
Jakarta: Gunung Agung, 1983.
Dzaky, Hamdani Bakran, Psikologi dan Konseling Islam: ruh, nafs,
dan akal, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Echol, John M. dan Hassan Shadily,
Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1994.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994.
Ghifari Abu, Romantika Remaja:
Kisah-Kisah Tragis dan Solusinya dalam Islam, Bandung: Mujahid, 2004.
Khalidy, Muhammad Abdul ‘Aziz, al-Isytisyfa’ bil Qur’an, Beirut
Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990.
Mubarok, Achmad, Jiwa dalam al-Qur’an: Solusi Krisis
Keruhanian Manusia Modern, Jakarta: Paramadina, 2000.
----------,Relevansi Tasawuf
dengan Problem Kejiwaan Manusia Modern,” Manusia Modern Mendamba Allah:
Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMan dan Hikmah, 2002.
Munawir, Ahmad Warsan, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia,
Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak, tt.
Nasir Sahilun, Peranan
Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, Jakarta: Kalam Mulia,
1999
Wahyudi, Abdul Aziz, Psikologi
Agama, Bandung: Sinar Bintang, 1991.
[1]Abu
Ghifari, Romantika Remaja: Kisah-Kisah
Tragis dan Solusinya dalam Islam, (Bandung: Mujahid, 2004), h. 5-6.
[2] Abdul
Aziz Wahyudi, Psikologi Agama,
(Bandung: Sinar Bintang, 1991), h. 156.
[3]John
M. Echol dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1994), h.
454.
[4]Ahmad
Warsan Munawir, Al-Munawir Kamus Arab
Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawir Krapyak, tt), h. 1545
[6]C.P.
Chaplin, Kamus Psikologi, Penerjemah.
Kartini Kartono, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1995), h. 407.
[7]Abdul
Aziz Wahyudi, Psikologi Agama, h.
156.
[8]Dzaky,
Hamdani Bakran, Psikologi dan Konseling
Islam: ruh, nafs, dan akal, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 222
[9]C.P.
Chaplin, Kamus Psikologi, h. 296.
[10]Dzaky,
Hamdani Bakran, Psikologi dan Konseling Islam, h. 231.
[11]
C.P. Chaplin, Kamus Psikologi, h.
480.
[12]
Dzaky, Hamdani Bakran, Psikologi dan
Konseling Islam, h. 241.
[14]Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 102.
[15]Dzaky,
Hamdani Bakran, Psikologi dan Konseling
Islam, h. 244.
[17]Hanna
Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi
Dengan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 9.
[19]Dzaky,
Hamdani Bakran, Psikologi dan Konseling
Islam, h. 264.
[20]Kartini
Kartono, dan Dali Gulo, Kamus Psikologi,
h. 333.
[21]
Dzaky, Hamdani Bakran, Psikologi dan Konseling Islam, h. 273.
[22]Muhammad
Abdul ‘Aziz Khalidy, al-Isytisyfa’ bil
Qur’an, (Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), h. 64.
Post a Comment