Sumbangan
agama Islam yang terpenting adalah sistem keimanan yang menegaskan bahwa Tuhan
adalah asal usul dan tujuan hidup manusia, temasuk peradaban dan ilmu
pengetahuannya. Dengan sistem keimanan kaum muslim diharapkan mampu menawarkan
penyelesaian atas masalah kehampaan spiritual dan krisis moral serta etika yang
menimpa ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Ilmu pengetahuan berasal dari
Tuhan dan harus digunakan dalam semangat untuk mengabdi kepada-Nya. Pada saat
bersamaan, manusia harus didasarkan kembali akan fungsinya sebagai ciptaan
Tuhan yang dipilih untuk menjadi khalifahnya.[1]
Sedangkan
objek pemikiran kalam itu adalah Tuhan serta hubungan-Nya dengan alam semesta
dan isinya, terutama manusia. Malah lebih spesifik lagi, pemikiran kalam itu
memusatkan pada upaya mendefinisikan posisi manusia dalam kaitannya dengan
Tuhan sebagai pencipta. Oleh sebab itu, pemikiran kalam akan membicarakan
manusia, dalam kaitan dengan kebebasan dan keterikatannya, sumber pengetahuannya
serta persepsinya tentang iman, dan membicarakan Tuhan, dalam kaitan dengan
kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya, keadilan serta perbuatan dan
sifat-sifat-Nya.[2]
Ilmu
kalam, sebagaimana didefinisikan oleh Al-Ijl, adalah ilmu yang member kemampuan
untuk membuktikan kebebasan akidah agama (Islam) dengan mengajukan hujjah guna
melenyapkan keragu-raguan. Dalam kaitan ini, ilmu kalam di samping membahas
soal keesaan Allah, juga membahas soal-soal kerasulan, wahyu, kita suci yaitu
al-Qur’an, soal orang yang percaya kepada ajaran itu, yakni orang kafir dan
musyrik, soal hubungan makhluk dan khalik, terutama manusia dan penciptanya,
soal akhir hidup manusia, yaitu soal surga dan neraka.[3]
Dalam
sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak
pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak rasional serta pemikiran
kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran yang bercorak rasional adalah
pemikiran kalam yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada
manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang
terbatas, tidak terikat kepada makna harfiah, dan banyak memakai arti majâzi
dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Sebaliknya, pemikiran kalam
yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan
kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, kekuasaan kehendak Tuhan yang
berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiah dalam memberikan
interpretasi ayat-ayat al-Qur’an.[4]
Sedangkan
corak pemikiran yang berangkat dari berbagai penafsiran tarhadap kitab suci
al-Qur’an, Hadits, dan buku-buku yang dihasilkan pemikir Muslim. Meliputi
berbagai dimensi penafsiran antara lain: Pertama, corak sastra
kebahasaan, yang timbul akibat, banyaknya pemeluk agama Islam yang tidak mendalami
bahasa Arab, baik dari kalangan orang Arab sendiri, lebih-lebih dari kalangan
non-Arab. Ketika kita semua membutuhkan penjelasan menyangkut kedalaman makna
serta ketelitian dan keistimewaan redaksi al-Qur, Hadits, dan Kitab-Kitab yang
dihasilkan para pemikir Islam.
Kedua, corak filsafat
dan teologi, akibat penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani yang mempengaruhi
pemikiran sementara pihak, serta akibat Islamnya pemeluk agama lain yang secara
sadar atau tidak, sebagian keyakinan lama mereka masih membekas, serta dalam
rangka menghadapi penganut ajaran lain yang berbeda dengan ajaran al-Qur’an. Ketiga,
corak fiqh (hukum), akibat berkembangnya ilmu fiqh dan terbentuknya
madzhab-madzhab fiqh di mana setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran
pendapatnya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Keempat, corak tasawuf,
akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai relasi dari kecendrungan berbagai
pihak terhadap kehidupan duniawi, atau kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan, ataukah sebagai kecendrungan pribadi terlepas dari pengaruh-pengaruh
luar. Kelima, corak budaya kemasyarakatan, yakni suatu corak yang
menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an, Hadits Nabi, dan hasil
ijtihad pemikir Islam yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat.[5]
Salah
satu ulama Palembang yang hidup di penghujung akhir abad ke 18 Syekh Muhammad Azhary bin Abdullah bin Ahmad (1811-1874
M). Beliau termasuk ulama produktif yang menghasilkan banyak karya fenomenal.
Salah satu karyanya adalah kitab ‘Athiyah al-Rahman yang selesai
ditulis pada tahun 1259/1843 M dan
kemudian dicetak untuk pertama kali pada tahun 1304/1887 M di percetakan Al-Mayriyah
Al-Kinah, Makkah. Ketika dicetak penulis kitab tersebut sudah wafat karena
ia wafat pada tahun 1874 M. Kitab ini menggunakan bahasa Melayu Palembang
sebagaimana ditegaskan juga dalam halaman judulnya yang berbunyi, “Inilah
kitab yang dinamakan ‘Athiyah al-Rahman pada menyatakan qawa ‘id al-iman dengan
bahasa Melayu Palembang karangan hadharah al-‘alim al-‘allamah yukrim Allah
Ta’ala Al-Syeikh Muhammad Azhary bin ‘Abd Allah Al-Palimbani…”[6]
Kata
“almarhum” menunjukkan bahwa ketika kita itu diterbitkan pengarangnya sudah
meninggal dunia. Pada halaman akhir, halaman 20, kitab tersebut mendapat
pengesahan dan sambutan penutup dari Syekh Daun bin Ismail Al-Fathani dalam
bahasa Melayu dan Arab. Sebagaimana disebutkan, kitab yang berjumlah dua puluh
halaman ini menguraikan kaidah-kaidah iman sebagaimana yang ditunjukkan dari
rukun iman yang enam. Inti kitab ini menjelaskan rukun iman yang diawali dengan
ucapan basmalah dan hamdalah dan diakhiri juga dengan hamdalah dan shalawat
atas Nabi SAW.[7]
Namun
kiprah dan perjuangan yang telah beliau lakukan nyaris terlupakan oleh sejarah
dan masyarakat, sehingga tidak mengherankan banyak kaum generasi muda khususnya
kaum generasi muda Palembang, tidak begitu mengenal sosok ketokohan Syeikh
Muhammad Azhari bin Abdullah. Oleh karena itu, untuk mengingat, mengenang, dan
meneladani semangat Syeikh Muhammad Azhari bin Abdullah. Penulis tergerak menulis
dan mengangkat corak pemikiran kalam Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Palimbani yang terdapat dalam
kitab ‘Athiyah Al-Rahman.
[1]Komaruddin Hidayat, “Agama dan Kegalauan
Masyarakat Modern,” Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan
Transformasi Nilai-nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Iiman dengan Hikmah, 2002) h. 101.
[2]Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam
dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Prenadamedia
Group), h.105
[3]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jarkarta: UI Press, 1983), h. 30.
Syahrastani menyebut objek studi seperti itu dinamai dengan al-ushul
yang kajiannya adalah untuk mengetahui Allah, keesaan dan sifat-sifa-Nya,
mengetahui rasul-rasul dengan tanda-tanda dan ajaran yang mereka bawa. Lihat, Syahrastani,
Al-Milâl wa Al-Nihl, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.,) h. 41.
[4]Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir
Al-Azhar Sebuat Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta:
Penamadani, 2004), h. 7-8.
[5]M. Quraish Shihab, Kata Pengantar, Yunan Yusuf, Corak
Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar Sebuat Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam
Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. xxxiii-xxxiv.
[6]Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan: Pemikiran dan
Peranannya dalam Lintasan Sejarah, (Palembang: Universitas Sriwijaya,
1999), h. 18-17.
[7]Ibid., h. 19.
Post a Comment