Judul : Bangka: Sejarah Cina-Melayu
Penulis : Prof.
Dr. Abdullah Idi, M. Ed
Penerbit : Tiara Wacana
Cetakan : Pertama
Yogyakarta, Januari 2011
ISBN : 978-979-1262-43-9
Tebal : viii+240 hlm. 21 cm
Peresensi : Dr. Muslimin, M. Kom. I
Bukankah era reformasi seperti pisau bermata dua,
dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia. Di
satu sisi, reformasi meniupkan spirit demokrasi sebagai basis legitimasi bagi eksistensi
bangsa Indonesia. Tetapi, di sisi lain, melalui semangat
keterbukaan, reformasi membuka tabir-tabir disharmoni sosial yang semula tersimpan
rapat. Konflik sosial menjadi
lebih nyaring terdengar dalam nuansa pluralitas etnis, agama, dan budaya.
Bahkan, konflik sosial juga terjadi di antara sesama etnik dan sesama pemeluk
suatu agama, dengan motif yang beraneka ragam. Pada ranah yang paling ekstrem,
segenap konflik sosial itu kemudian lebih banyak dimaknai sebagai benih-benih
disintegrasi yang mengancam kehidupan bangsa Indonesia.
Tetapi yang menarik dicermati, realitas etnisitas
di Bangka, di mana interaksi sosial antara etnik Cina dan Melayu-Bangka
cenderung asimilatif secara natural, barangkali dapat memberikan suatu gambaran
penting bagi bangsa ini yang masyarakatnya sangat pluralistik, seperti digagas
J.S. Furnivall. Bangka memiliki penduduk sekitar 80 persen penduduknya menganut
agama Islam. Dalam sejarah asimilasi Cina dan Melayu-Bangka, agama Islam
ternyata bukanlah suatu kendala bagi terjadinya asimilasi etnik Cina dan
Melayu-Bangka. (hlm., 201).
Fenomena asimilasi Cina dan Melayu di Bangka,
sekaligus sebagai counter-attack- bantahan terhadap pendapat William
Skinner yang mengatakan bahwa Islam sebagai kendala terhadap asimilasi etnik
Cina di Indonesia. Dalam masyarakat pluralistik Indonesia, Islam merupakan
agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia (85-90 persen), yang juga
sekaligus sebagai Negara yang memiliki penduduk beragama Islam terbesar di
dunia. Umat Islam-Indonesia, karenanya, memiliki peranan signifikan dan
strategis dalam memperkuat integrasi sosial dan integrasi bangsa.
Sama halnya, ketika terjadi kerusuhan etnis pada
1998, terdapat banyak etnis Cina asal pulau Bangka dan Belitung yang sebelumnya
tinggal di kota-kota besar, seperti Jakarta, Suarabaya, Bandung, dan Palembang,
kembali ke pulau ini yang diduga untuk mencari perlindungan. Sama halnya,
ketika terjadi proses pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 2000,
terdapat banyak etnis Cina asal daerah ini yang memilih pulang ke pulau ini
sebagai tempat masa depan.
Lebih dari itu, nenek moyang dan leluhur orang
Cina asal Bangka dan Belitung memang berasal dan berada di kedua pulau ini.
Oleh sebab itu, dapat dimaklumi bahwa jika setiap tahun orang Cina asal Bangka
dan Belitung yang berada di luar negeri, sering pulang mengunjungi leluhurnya
di pulau ini.
Tentunya, suasana kondusif di Bangka disebabkan
masyarakat yang mayoritas beragama Islam sangat toleran terhadap penganut agama
lain. Secara implisit Islam menyindir siapa pun yang terjebak di dalam
pemahaman keagamaan yang sempit, eksklusif dan monolitik. Sebab, persepsi
kebenaran tidak menjadi monopoli seseorang atau sekelompok tertentu. Dalam
hubungan antaragama, Frithjof Schuon dan Abdullah Idi dikatakan bahwa dalam hal
hakikat dan perwujudan antara agama-agama, yang dikatakan sebagai esoterik dan
eksoteris.
Post a Comment