A. PENDAHULUAN
Tiada lebih utama daripada akal
Tiada Kepapaan yang lebih menyedihkan daripada kebodohan
Dan tiada Kebenaran yang lebih baik daripada Wahyu Ilahi
(Diinterpretasikan dari Nahj al-Balagah)
Perbincangan mengenai hubungan
antara akal dan wahyu, adalah diskusi yang berumur panjang- sepanjang sejarah peradaban
anak manusia itu sendiri. Sebagian kalangan memandang keduanya merupakan dua
entitas yang tidak berhubungan sama sekali, namun sebagian lagi justru
menganggap keduanya merupakan dua “sahabat lama” yang saling melengkapi.
Pertanyaan yang sering muncul ke permukaan adalah apakah akal manusia dapat
menjangkau Tuhan tanpa bimbingan wahyu. Beragam komentar, tanggapan, dan jawaban
muncul dalam lintas sejarah pemikiran umat manusia. Sebagian filosof mengklaim
bahwa akal saja sudah cukup untuk menemukan Tuhan, namun yang lain menyanggah
dengan dalih bahwa akal terbiasa berpikir dengan kategori-kategori. Sementara itu,
Tuhan adalah samudera eksistensi yang luas dan tak bertepi.
Nah, filsafat Islam
sebagai sebuah tradisi berpikir yang berlandaskan wahyu- muncul pada awalnya
adalah sebuah upaya merespon pertanyaan mendasar di diatas, dan juga didorong
oleh sebuah cita-cita terciptanya keharmonisan antara akal dan wahyu. Tradisi pemikiran
Islam mengenai hubungan antara akal dan wahyu berdenyut kencang ketika Islam
mulai bersentuhan dengan tradisi filsafat Yunani klasik yang berkembang di abad
pertengahan. Tokoh filosof Islam yang pertama kali berusaha mengharmoniskan
antara akal dan wahyu adalah Al-Kindi (801-873 M). Dia adalah tokoh yang
pertama kali merumuskan secara sistematis apa itu filsafat Islam dan apa saja
ruang lingkupnya. Meskipun, pemikiran Al-Kindi sendiri sebenarnya masih berbaur
secara lekat dengan debu-debu teologi yang berserakan secara acak dan tumpang
tindih.
Dalam makalah sederhana ini akan dipaparkan- apa yang
dimaksud dengan akal dan wahyu serta bagaimana hubungan antara keduanya, dalam
kontek aliran dan filsafat yang
berkembang dalam dunia Islam.
Post a Comment