“Dan bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi yang disediakan untuk al-muttaqin. (Yaitu) mereka yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan yang mampu menahan amarah dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS.
Ali-‘Imran (Keluarga Imran) [3]: 133-134)
Spirit
meringankan derita sesama pernah dilakukan Nabi Musa, tatkala dia keluar
kota dengan perasaan takut dan hati-hati sekali. Dia khawatir tertangkap
prajurit Fir’aun karena dituduh membunuh. Lagi pula orang yang tertuduh
membunuh akan dibunuh. Pada saat itu Nabi Musa melangkahkan kakinya keluar
dan menjauh dari istana Fir’aun tanpa tahu jalan yang akan ia tempuh. Dia
bermaksud pergi ke negeri Madyan.
Setibanya di negeri Madyan Nabi
Musa menjumpai sekelompok orang sedang memberi minum ternaknya. Di sisi lain
di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menarik ternaknya.
Nabi Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu
menjawab: “Kami tidak dapat memberi minum ternak kami, sebelum pengembala-pengembala
itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah
lanjut umurnya.”
Nabi Musa memahami apa yang telah
dijelaskan oleh kedua orang wanita yang ada di hadapannya, bahwa hanya
orang-orang kuatlah yang bisa memberikan minum untuk ternak-ternak mereka
terlebih dahulu. Kemudian setelah mereka selesai, barulah orang-orang yang
lemah mendapatkan kesempatan mengambil air untuk ternak-ternak mereka. Tentu
saja, orang-orang yang mengambil pertama kali akan mendapatkan air yang jernih
dan banyak, dan setelah itu orang-orang lemah yang mengambil air setelah
mereka (orang-orang kuat) akan mendapatkan air yang tersisa dan keruh.
Nabi Musa tergerak hatinya untuk
menolong kedua wanita tersebut dan ia mengambilkan air untuk diminumkan
kepada ternak-ternaknya, “Maka Nabi Musa memberi minum ternak itu untuk
(menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa:
‘Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau
turunkan kepadaku.”(QS. al-Qashash (Kisah-kisah [28]:24).
Ketika kedua orang wanita tersebut
pulang ke rumah lebih awal dari biasanya dengan membawa air minum, sang ayah
pun bertanya kepada kedua anaknya tentang hal tersebut. Kedua anak gadisnya
memberitahukan bahwa yang menolong mereka mengambil air minum untuk ternak
mereka adalah Nabi Musa. Terpesona dengan kebaikan dan ketulusan Nabi Musa yang
menolong anak-anak gadisnya. Lalu sang ayah yang tua-renta itupun mengutus
salah seorang anak perempuannya untuk mengajak Nabi Musa datang ke rumahnya,
untuk menikmati hidangan yang mereka siapkan. Maka Nabi Musa pun menerima
ajakan tersebut karena ia merasa lapar dan letih karena perjalanan jauh yang
ditempuhnya tanpa perbekalan yang cukup.
Salah seorang dari kedua anak
perempuan nabi Syu’aib mengusulkan kepada ayahnya agar memperkerjakan Nabi Musa
guna mengurusi hewan ternak mereka, sehingga dengan demikian beban yang
dipikul mereka berdua dalam mengembala ternak menjadi ringan. Nabi Syua’ib
menyetujui usulan putrinya untuk memperkerjakan Musa. Tetapi tidak hanya itu
Nabi Syua’ib juga menikahkan Musa dengan salah seorang putrinya. Nabi Musa
pun menikah dan tinggal beberapa lama di negeri Madyan.
Di zaman kapitalis saat ini,
hampir semua orang mendewakan kekayaan, jabatan, dan kehormatan. Tidaklah
berlebihan kalau pribadi suka menolong yang mendarah daging dalam diri Nabi
Musa menjadi tontonan langka seperti snow on the Sahara (salju di gurun
Sahara). Sebagian orang ketika dimintai bantuannya menjawab, “Maaf kami tidak
bisa apa-apa.” Agaknya semangat kebersamaan, gotong royong, dan tolong-menolong
yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang kita telah lama kita
tinggalkan, lupakan dan abaikan. Padahal dulu kata paman di kampung kami:
“Bila ada salah seorang warga yang ingin membangun rumah atau pun memanen
ladang, seluruh warga kampung turut membantu dengan suka rela.” Namun pada
generasi kami, tradisi tolong-menolong itu sudah hilang lapuk dimakan zaman.
Mungkin pemandangan
tolong-menolong itu akan sulit kita temui lagi di masa mendatang. Ungtunglah
masih ada segelintir orang yang peduli terhadap nasib sesama. Misalnya
maraknya berbagai instansi pemerintah maupun swasta yang menyediakan rekening
khusus untuk bantuan kemanusian dan bencana alam. Dan juga didukung dengan
maraknya berbagai macam kegiatan amal, baik di media cetak maupun elektronik
yang bertujuan menolong sesama.
Semangat meringankan beban sesama
tidak mesti selalu berbentuk barang, uang serta perhiasan. Apa pun yang kita
punya bisa didermakan untuk kebahagiaan orang lain sebagaimana yang pernah
diungkapkan Nabi Muhammad dalam sebuah haditsnya, “Wajib atas setiap Muslim
itu mengeluarkan sedekah.” Orang-orang bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, bagaimana?’
Nabi menjawab, ‘Dia harus bekerja
dengan tangannya untuk dapat memberikan manfaat bagi dirinya dan dapat bersedekah.’
Mereka bertanya lagi, ‘Bagaimana
bila tidak juga mendapatkan kesanggupan itu?’
Nabi menjawab, ‘Membantu orang
yang kesusahan dan memerlukan bantuan.’
Mereka bertanya lagi, ‘Bila
tidak juga mendapatkan?’
Nabi menjawab, ‘Hendaklah ia
berbuat makruf.’ Disebutkan dalam sebuah riwayat, ‘Hendaklah ia menyuruh
kepada kebaikan atau kepada yang makruf dan menahan diri dari kejahatan’ (HR.
al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i).
Persis seperti dalam sebuah petuah, sekalipun
kebaikan itu hanya setetes air, namun ia telah membuat samudera bertambah luas.
Dalam petuah yang lain disebutkan, semua orang dapat menjadi orang mulia,
karena semua orang dapat meringankan derita sesama. kita tidak harus memiliki
harta berlimpah untuk dapat meringankan derita sesama. Kita tidak perlu
memiliki pendidikan tinggi untuk menolong sesama. Kita hanya perlu memiliki
hati nurani yang penuh belas kasih, serta iman yang tulus tanpa pamrih.
Intelektual yang diabadikan dengan
tinta emas dalam lintasan sejarah adalah mereka yang mendermakan ilmunya untuk
kemanusian. Konglemerat yang dikagumi adalah mereka yang dengan hartanya
meninggalkan amal kebajikan untuk menolong sesama dan kemajuan masyarakat
luas. Sesungguhnya, apa pun yang kita miliki belum memiliki makna kalau belum
mendatangkan manfaat bagi orang lain. Sebagaimana yang diungkapkan Nabi
Muhammad dalam haditsnya, “Barang siapa melapangkan kesulitan orang Mukmin
saat di dunia, niscaya Allah akan melapangkannya dari kesulitan pada hari
kiamat. Barang siapa memberikan kemudahan terhadap orang yang dalam kesusahan,
maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Allah
akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia masih menolong saudaranya.” (HR.
Muslim).
Pesan serupa juga diungkapkan
Tudor Drizer, “Apabila seseorang ingin hidup bahagia, maka ia sebaiknya ikut
mengusahakan kebahagiaan untuk orang lain, karena kebahagiaan seseorang
bergantung pada kebahagiaan orang lain dan kebahagiaannya.”
Suatu hari Sahabat Ali bertanya
kepada para muridnya, “kalau di tangan saya ada uang sepuluh dirham, kemudian
tiga dirham saya sedekahkan, lalu berapa sisa uang saya?” Muridnya menjawab,
“Masih tujuh dirham”. “Salah...”, sahut Ali. “Yang benar uang saya masih tiga
dirham, karena apa yang saya sedekahkan itulah yang sudah pasti tercatat
sebagai amal saleh, sedangkan selebihnya belum pasti.”
Demikianlah,
dialog ini mengandung pelajaran yang sangat dalam bahwa apa yang kita miliki
adalah apa yang sudah kita belanjakan di jalan kebaikan, bukanlah barang
perhiasan yang kita simpan. Meminjam ungkapan Kahlil Gibran “Uang koin yang
kau lemparkan ke tangan yang menadah di hadapanmu adalah satu-satunya jalan
mempermudah langkahmu menuju surga.” Chin Ning Chu menuturkan hal yang serupa
“Kalau yang kita inginkan dari hidup ini adalah uang, kekayaan, dan semua yang
baik, satu-satunya rahasia terbesar untuk memperoleh kekayaan ialah
mengusahakan agar Tuhan “berhutang” kepada kita.”
Keutamaan Meringankan Derita Sesama
• Berusahalah
untuk membuat orang lain bahagia, karena kebahagiaan kita bergantung pada
kebahagiaan orang lain.
• Berikanlah
kemudahan kepada orang yang kesusahan, maka Allah akan memberikan kemudahan
kepada kita di dunia dan akhirat. (HR. Muslim)
• Dermakanlah
sejumlah harta kita sesuai ketentuan dan kemampuan, karena itulah investasi
yang sesungguhnya.
"Dan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguan jiwa
mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh
hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan
lebat tidak menyiraminya, maka embun/hujan gerimis (pun memadai). Allah Maha Melihat
apa yang kamu perbuat.” (QS. al-Baqarah (Sapi
Betina) [2]: 265)
Post a Comment