III Chapter
The Maturity of Ancient Philosophy
A. Filosof Kaum
Sopis
Tokoh kaum sopis yang terkenal adalah
Protagoras (485-410. Dia beranggapan, “Manusia adalah ukuran dari segala
sesuatu,” Dengan pernyataan ini dia bermaksud- masalah segala sesuatu terkait dengan benar atau salah, baik atau buruk, harus selalu
dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan seseorang.[1] Pendirian seperti ini boleh disebut relativisme, artinya kebenaran
itu tergantung dengan perspektif dan penilaian manusia.[2]
B.
Socrates dan Filsafat Athena
Tugas seorang filosof seperti
seseorang yang membantu seorang “melahirkan” wawasan yang benar, sebab
pemahaman yang sejati harus timbul dari dalam diri sendiri. Itu tidak dapat
ditanamkan oleh oleh orang lain. Dan hanya pemahaman yang timbul dari dalam
itulah yang dapat menuntun kepada wawasan yang benar.
Socrates (470-399 SM)
Socrates (470-399
SM) mewakili suatu era baru, secara
geografis maupun temporal. Dia adalah filosof besar pertama yang dilahirkan di
Ahtena, dan baik dia maupun kedua penerusnya hidup dan bekerja di sana.
Anaxagoras juga hidup di Athena sebentar namun kemudian diusir keluar sebab dia
mengatakan bahwa matahari adalah sebuah batu merah-panas.
Kehidupan Socrates (470-399 SM) hanya
dapat kita ketahui melalui tulisan-tulisan Plato, yaitu salah seorang muridnya
dan yang menjadi salah satu filosof terbesar sepanjang masa. Plato menulis
sejumlah dialog,
atau diskusi-diskusi yang didramatisasi mengenai filsafat, dimana dia
menggunakan Socrates sebagai tokoh utama dan juru bicaranya.
a.
Seni Berdiskusi
Hakikat dari seni Socrates terletak
dalam fakta bahwa dia tidak ingin menggurui orang. Sebaliknya dia memberi kesan sebagai seseorang
yang selalu belajar dari orang-orang lain yang di ajaknya berbicara. Jadi bukannya memberi kuliah
seperti layaknya seorang guru tradisional, dia mengajak berdiskusi.
Socrates hidup pada masa yang sama
dengan para Sophis. Seperti mereka, dia lebih berminat pada masalah manusia dan
tempatnya di dalam masyarakat daripada masalah kekuatan alam. Tetapi Socrates
berbeda dari para Sophis dalam satu hal yang sangat penting. Dia tidak
menganggap dirinya sebagai seorang “sophis”- yaitu, seseorang yang pandai dan
bijaksana. Tidak seperti kaum Sophis, dia mengajar bukan untuk mendapatkan
uang. Socrates menyebut dirinya seorang filosof dalam pengertian yang
sebenarnya dari kata itu. Kata “filosof” sesungguhnya berarti “orang yang
mencintai kebijaksanaan.
b.
Wawasan yang Benar
Menuntun pada Tindakan yang Benar
Socrates menyatakan bahwa dia dituntun
oleh suara batin ilahi, dan bahwa “hati nurani” ini mengatakan padanya apa yang benar.
“Orang yang mengetahui apa yang baik akan berbuat baik,” katanya. Dengan ini
yang dimaksudkannya adalah bahwa wawasan yang benar akan menuntun pada tindakan
yang benar. Dan hanya orang yang bertindak benar sajalah yang dapat menjadi
“orang yang berbudi luhur.” Jika kita melakukan kesalahan, itu karena kita
tidak tahu. Itulah sebabnya penting sekali untuk terus belajar. Socrates
berusaha berusaha untuk menemukan definisi-definisi yang jelas dan secara
universal diterima mengenai benar dan salah. Tidak seperti kaum Sophis, dia
percaya bahwa benar dan salah terletak pada akal manusia, bukan masyarakat.
Pada 399 SM, dia dakwa “memperkenalkan
dewa-dewa baru dan merusak kaum muda,” serta tidak mempercayai dewa-dewa yang
telah diterima. Dengan mayoritas tipis, juri yang terdiri atas lima ratus orang
menyatakannya bersalah.
Besar kemungkinan dia dapat mengajukan
kelonggaran. Setidak-tidaknya dia dapat menyelamatkan nyawanya dengan setuju untuk meninggalkan Athena.
Tapi kalau dia melakukan ini, dia bukanlah Socrates. Dia menghargai hati
nuraninya- dan kebenaran- lebih tinggi disbanding nyawanya sendiri. Dia
meyakinkan juri bahwa dia hanya bertindak demi kepentingan Negara. Namun dia
tetap dihukum untuk minum racun cemara. Tak lama kemudian, dia minum racun itu
di hadapan sahabat-sahabatnya, dan meninggal.
A.
Akademi Plato
Plato (427-347 SM) berusia dua puluh Sembilan tahun ketika
Socrates minum racun cemara. Dia telah menjadi murid Socrates selama beberapa
waktu dan telah mengikuti pengadilannya dengan cermat. Kenyataan bahwa Athena
dapat menghukum mati warga negaranya yang paling mulia menimbulkan lebih dari
sekedar kesan mendalam terhadapnya. Hal itu menciptakan jalan bagi seluruh
upaya filosofisnya.
Plato mendirikan sekolah filsafatnya
sendiri di sebuah hutan kecil tidak jauh dari Athena, yang dinamai sesuai
dengan nama pahlawan legendaris Yunani Academus. Karenanya sekolah itu dikenal
sebagai Akademi. Subjek-subjek yang
diajarkan di Akademi Plato adalah filsafat , matematika, dan olah raga-
meskipun barangkali “diajarkan” bukanlah kata yang tepat. Diskusi yang hidup
dianggap paling penting di Akademi Plato. Maka bukan kebetulan kalau
tulisan-tulisan Plato mengambil bentuk dialog.
a.
Dunia Ide
Seperti kebanyakan filosof, Plato heran melihat
bagaimana seluruh fenomena alam dapat begitu serupa, dan dia menyimpulkan bahwa
itu pasti karena ada sejumlah terbatas bentuk-bentuk “di balik” segala sesuatu
yang kita lihat di sekeliling kita. Plato menyebut bentuk-bentuk ini ide. Di balik setiap
kuda, babi, atau manusia, ada “kuda ideal,” dan “manusia ideal.”
Plato sampai pada kesimpulan bahwa
pasti ada realitas di balik “dunia materi.” Dia menyebut realitas ini dunia
ide; di situ tersimpan “pola-pola” yang kekal dan abadi di balik berbagai
fenomena yang kita temui di alam. Pandangan yang luar biasa ini dikenal sebagai
teori ide Plato.
b.
Jiwa yang Abadi
Plato percaya bahwa semua fenomena
alam itu hanyalah bayang-bayang dari bentuk atau ide yang kekal. Tapi kebanyakan orang sudah puas
dengan kehidupan di tengah bayang-bayang. Mereka tidak memikirkan apa yang
membentuk bayang-bayang itu. Mereka mengira hanya bayang-bayang itulah yang ada, tanpa pernah menyadari
bahwa bayang-bayang
tersebut, sesungguhnya hanyalah bayang-bayang. Dan dengan begitu mereka tidak
mengindahkan keabadian jiwa mereka sendiri.
c.
Negara filosofis
Menurut Plato, tubuh manusia terdiri
dari tiga bagian: kepala, dada, dan nafsu terletak di perut. Masing-masing dari
bagian jiwa ini juga memiliki cita-cita, atau “kebajikan.” Akal mencita-citakan
kebijaksanaan, dada (kehendak) mencita-citakan keberanian, dan nafsu harus dikekang sehingga kesopanan dapat
ditegakkan. Hanya jika ketiga bagian itu berfungsi bersama sebagai suatu
kesatuan sajalah maka kita dapat menjadi seorang individu yang selaras atau berbudi luhur. Di
sekolah, seorang anak pertama-tama harus belajar untuk mengendalikan nafsu
mereka, lalu ia harus mengembangkan keberanian, dan akhirnya akal akan
menuntunnya menuju kebijaksanaan.
Plato membayangkan sebuah negara (Republik) yang dibangun dengan
cara persis seperti tubuh manusia yang terdiri dari tiga bagian itu. Jika tubuh
mempunyai kepala, dada, dan perut, maka negara mempunyai pemimpin, pembantu, dan pekerja.
Seperti setiap aspek dari filsafat Plato, filsafat politiknya ditandai dengan
rasionalisme. Terciptanya negara yang baik tergantung pada apakah negara itu diperintahkan
oleh akal. Sebagaimana kepala mengatur tubuh, maka para filosoflah yang harus
mengatur masyarakat.
Setelah terjadi sejumlah kemunduran
politik, Plato menulis kitab hukum, di mana dia menggambarkan “Negara
konstitusional” sebagai negara terbaik kedua. Dia kembali membicarakan tentang kekayaan pribadi dan
ikatan keluarga. Kebebasan kaum wanita menjadi lebih dibatasi. Namun dia
mengatakan bahwa sebuan negara yang tidak mendidik dan melatih kaum wanita itu seperti orang yang
hanya melatih tangan kanannya.
Akhirnya, dapat kita katakan bahwa
Plato mempunyai pandangan positif tentang kaum wanita. Dalam dialog Symposium,
dia memberikan sebuah karyanya pada seorang pendeta wanita legendaris Diotima, sebagai
bentuk penghormatan kepadanya karena dia telah memberikan
wawasan filsafat kepada Socrates.
B.
Filosof dan Ilmuwan
Kemiskinan adalah bapak revolusi dan kejahatan
Aristoleles (384-322 SM)
Aristoleles (384-322 SM), yang menjadi
murid di Akademi Plato selama hampir dua puluh tahun. Aristoteles bukan
penduduk asli Athena. Dia di lahirkan Macedonia dan datang ke Akademi Plato ketika usia Plato 61 tahun.
Ayah Aristoteles adalah seorang dokter yang dihormati- dan karenanya juga
seorang ilmuwan. Latar belakang ini telah memberikan gambaran pada kita tentang
proyek filsafat Aristoteles. Yang paling menarik baginya adalah telaah alam.
Dia bukan hanya filosof Yunani besar yang terakhir, namun juga ahli biologi
besar Eropa yang pertama.
Tidaklah berlebihan, dapat kita
katakan bahwa Plato begitu keasyikan dengan bentuk-bentuk kekal, atau
“ide-ide”, sehingga dia tidak memperhatikan perubahan-perubahan alam.
Aritoteles, sebaliknya sangat sibuk memperhatikan perubahan-perubahan ini- atau
apa yang kini kita namakan proses alam.
a.
Tidak ada ide bawaan
Aristoteles menganggap Plato telah
mengjungkir balikkan segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu
“berubah” dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa
bentuk nyata dari kuda itu kekal dan abadi. Tapi kuda “ide” itu adalah konsep
yang dibentuk oleh manusia setelah melihat sejumlah tertentu kuda. Kuda “ide” karenanya
tidak mempunyai eksistensinya sendiri. Bagi Aristoteles, kuda “ide” atau
“bentuk” tercipta dari ciri-ciri kuda yang mendefinisikan apa yang kini kita
sebut spesies kuda.
Aristoteles tidak setuju dengan Plato
bahwa ayam “ide” itu ada dalam setiap ayam sebagai ciri khas ayam- misalnya,
dia bertelur. Ayam nyata dan ayam “ide” karenanya tidak dapat dipisahkan
sebagaimana tubuh dan jiwa.
b.
Tangga Alam
Ketika Aristoteles “membuat
penjelasan” tentang kehidupan, pertama-tama dia menyatakan bahwa segala sesuatu
di alam ini
dapat dibagi menjadi dua kategori utama. Di satu pihak ada benda mati, seperti
batu, tetes air, atau gumpalan tanah. Benda-benda ini tidak mempunyai potensi
untuk berubah. Menurut Aristoteles, benda-benda mati hanya dapat berubah
melalui pengaruh luar. Hanya benda hidup yang mempunyai potensi untuk berubah.
Aristoteles membagi “benda hidup” ke
dalam dua kategori. Yang satu terdiri atas tanaman, dan yang lain adalah
makhluk. Akhirnya, “makhluk-makhluk” ini juga dapat dibagi ke dalam dua
subkategori, yaitu binatang dan manusia.
Menurut Arisitoteles manusia menduduki
tangga tertinggi dari proses kehidupan alam. Manusia tumbuh dan menyerap
makanan seperti tanaman, dia mempunyai perasaan dan kemampuan untuk bergerak
seperti binatang, tapi dia juga mempunyai ciri khas yang hanya dimiliki
manusia, yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional.
c.
Logika
Aristoteles dipandang sebagai pendiri
ilmu logika. Hal ini sebetulnya berkat sifat logis dari cara berpikir
Aristoteles yang memungkinkannya mampu mempersembahkan begitu banyak bidang ilmu. Dia punya bakat
mengatur cara berpikir, merumuskan kaidah-kaidah dan jenis-jenisnya yang
kemudian jadi landasan berpikir banyak bidang ilmu pengetahuan.
d.
Etika
Aristoteles berpendapat ada tiga
bentuk kebahagiaan. Bentuk pertama kebahagiaan adalah hidup senang dan nikmat.
Bentuk kedua adalah menjadi warga negara yang bebas dan bertanggung jawab. Bentuk
ketiga adalah menjadi seorang ahli pikir dan filosof. Aristoteles selanjutnya menekankan
bahwa ketiga kriteria itu harus ada pada saat yang sama agar manusia dapat menemukan
kebahagiaan dan kepuasan. Dia menolak segala bentuk ketidakseimbangan.
e.
Politik
Aristoteles mengemukakan tiga bentuk
konstitusi yang baik. Yang pertama
adalah monarki, atau kerajaan- yang berarti hanya ada satu kepala negara. Agar bentuk
konstitusi ini bisa berjalan baik, ia tidak boleh melenceng menjadi “tirani”-
yaitu jika seorang pemimpin mengatur negara hanya demi kepentingannya sendiri. Bentuk
konstitusi yang baik lainnya adalah aristokrasi, di mana ada sekelompok, besar
atau kecil, pemimpin. Bentuk konstitusi ini hendaknya tidak melenceng menjadi
“oligarki”- yaitu pemerintahan yang dijalankan hanya beberapa orang. Bentuk
konstitusi yang baik ketiga adalah apa yang dinamakan Aristoteles polity, yang
berarti demokrasi.
f.
Pandangan mengenai
Wanita
Aristoteles lebih cenderung untuk
percaya bahwa kaum wanita itu tidak sempurna dalam beberapa hal. Seorang wanita
adalah “pria yang belum lengkap.” Dalam hal reproduksi, wanita bersikap pasif
dan reseptif sementara pria aktif dan produktif; karena anak hanya mewarisi
sifat-sifat pria, kata Aristoteles. Dia percaya bahwa semua sifat anak
terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah ladang, yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria adalah
“yang menanam.”
IV Chapter
Helenistic Philosophy
Helenisme ditandai dengan fakta bahwa
perbatasan antara berbagai negara dan kebudayaan menjadi terhapus. Sebelumnya
bangsa Yunani, Romawi, Mesir, Babylonia, Syiria, dan Persia telah menyembah
dewa mereka sendiri-sendiri. Kini kebudayaan yang berbeda-beda melebur dalam
satu cerek besar yang menampung gagasan-gagasan agama, politik, dan ilmu
pengetahuan.
Filsafat Helenistik selalu berusaha
untuk mengatasi masalah-masalah yang dikemukakan oleh Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Ciri umum yang ada pada filsafat Helenime adalah hasrat untuk mengetahui cara terbaik bagi
manusia dalam menjalani kehidupan dan kematian. Semuanya berbicara tentang
etika. Dalam peradaban baru, inilah proyek filsafat yang utama. Tekanan
terbesar diberikan pada upaya menemukan apakah kebahagiaan sejati itu dan
bagaimana mencapainya. Kita akan mengenal empat dari aliran filsafat ini.
A. Kaum sinis
Konon suatu hari Socrates sedang
berdiri menatap sebuah kedai yang menjual segala macam barang. Akhirnya dia
berkata, “Betapa banyak benda yang tidak kuperlukan!” pernyataan Socrates ini menjadi motto aliran
filsafat Sinis, yang didirikan oleh Antithenes (444- 360 SM). Antisthenes pernah menjadi murid Socrates, dan
sangat tertarik pada kesederhanaan.
Kaum Sinis menekankan bahwa kebahagiaan
sejati tidak terdapat dalam kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi,
kekuasaan politik, atau kesehatan yang baik. Kebahagiaan sejati terletak pada
ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan mengambang. Dan karena
kebahagiaan tidak terletak pada keuntungan-keuntungan semacam ini, maka semua
orang dapat meraihnya. Lebih-lebih begitu berhasil diraih, ia tidak akan lepas
lagi. Kaum sinis yang paling terkenal adalah Diogenes.
B.
Kaum Stoik
Sebagai anak-anak zaman mereka yang
sejati, kaum Stoik benar-benar “kosmopolitan,” dalam pengertian bahwa mereka lebih
mudah menerima kebudayaan kontemporer dibanding “kaum sinis”. Mereka memberi perhatian pada persahabatan
manusia, sibuk dengan politik, dan kebanyakan dari mereka, terutama Kaisar
Romawi Marcus Aurelius (121-180 M), adalah negerawan yang aktif. Mereka
mendorong berkembangnya kebudayaan dan filsafat Yunani di Romawi, dan salah
seorang tokoh yang paling menonjol di antara mereka adalah sang orator,
filosof, dan negarawan Cicero (106-43 SM). Dialah yang membentuk konsep
“humanisme”-
yaitu, suatu pandangan hidup yang menempatkan individu sebagai fokus utamanya. Beberapa
tahun kemudian, tokoh Stoik Seneca (4 SM-65 M) mengatakan bahwa “bagi umat
manusia, manusia itu suci.” Ini tetap menjadi slogan humanisme hingga sekarang.
C.
Kaum Epicurean
Seperti kita tahu, Socrates berusaha
untuk mengetahui bagaimana manusia dapat menjalani kehidupan yang baik. Baik
kaum Sinis maupun Stoik menafsirkan filosofinya dengan menegaskan bahwa manusia
harus membebaskan diri dari kemewahan materi. Tapi Socrates juga mempunyai
seorang murid bernama Aristippus. Dia percaya bahwa tujuan hidup adalah meraih
kenikmatan indrawi setinggi mungkin. “kebaikan tertinggi adalah kenikmatan
indrawi,” katanya, “Kejahatan tertinggi adalah penderitaan.” Maka dia ingin
mengembangkan suatu cara hidup yang tujuannya adalah menghindari penderitaan
dalam segala bentuknya.
Sekitar 300 SM, Epicurus (342-270) mendirikan suatu
aliran filsafat di Athena. Para pengikutnya dinamakan kaum Epicurean. Dia mengembangkan
etika kenikmatan Aristippus dan menggabungkannya dengan teori atom Democritus.
Konon kaum Epicurean hidup di taman. Karena itu mereka dikenal sebagai “para
filosof taman.” Di atas pintu masuk ke taman ini katanya digantungkan sebuah
pengumuman yang berbunyi, “Orang asing, di sini kalian akan hidup senang. Di
sini kenikmatan adalah kebaikan tertinggi.”
D.
Neoplatonisme
Kaum sinisme, stoikisme, dan
epicureanisme semuanya berakar pada ajaran Socrates. Tetapi kecendrungan
filsafat yang paling mengagumkan pada periode Helenistik akhir terutama adalah
yang diilhami oleh filsafat Plato. Karena itu menamakannya Neoplatonisme. Tokoh
yang paling penting dalam Neoplatonisme adalah Plotinus (205-270 M), yang mempelajari
filsafat di Alexandria tapi kemudian menetap di Roma. Menarik untuk dicatat
bahwa dia berasal Alexandria, kota yang menjadi titik temu utama filsafat
Yunani dan mistisme Timur selama beradab-abad. Plotinus membawa ke Roma suatu
doktrin keselamatan yang bersaing keras dengan ajaran Kristen. Namun,
Neoplatonisme juga memberi pengaruh kuat dalam aliran utama teologi Kristen.
Plotinus percaya bahwa dunia terentang
antara dua kutub. Di ujung yang satu adalah cahaya ilahi yang dinamakannya Yang
Esa. Kadang-kadang dia menyebutnya Tuhan. Ujung yang satunya lagi adalah
kegelapan mutlak, yang tidak menerima cahaya dari Yang Esa. Tapi maksud
Plotinus adalah bahwa kegelapan ini sesungguhnya tidak ada. Dia hanyalah
ketiadaan cahaya- dengan kata lain, dia tidak ada. Yang ada hanyalah Tuhan, atau Yang Esa, tapi
sebagaimana suatu cahaya semakin lama semakin kecil dan akhirnya lenyap, di
suatu tempat ada suatu titik di mana cahaya ilahi tidak sampai.
Mistisme
Plotinus beberapa kesempatan yang
langka dalam hidupnya- mengalami penyatuan antara jiwanya dengan Tuhan. Kita
biasanya menyebut ini pengalaman mistik. Pengalaman mistik adalah pengalaman
menyatu dengan Tuhan atau “jiwa kosmik.” Banyak agama menekankan keterpisahan
antara Tuhan dan ciptaan-Nya, tapi ahli mistik tidak menemui pemisah semacam itu. Mereka mengalami rasa
“penyatuan dengan Tuhan.”
V Summary
Sejak pertama kali membuka
matanya di dunia, filsafat telah ditandai dengan rasa
ingin yang kuat umat manusia untuk menjawab persoalan-persoalan seputar alam,
manusia dan Tuhan. Itulah sebabnya filsafat pada gilirannya mampu melahirkan
sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika, dan metafisika yang
menjadi fondasi terkuat kebudayaan umat manusia. Dengan
ide jernih dan mendalam para filosof berhasil menemukan jalan menuju kebaikan,
kebahagiaan, dan kebenaran. Meskipun hasil pemikiran para filosof ini-
terkadang sulit dicerna akibat beragamnya mazhab dan paradigma yang
dikembangkan.
Bibliography
Bertens, K, Dr, Sejarah Filsafat Yunani,Yogyakarta: Kanisius, 1997,
Cet. Ke-
XIV
Gaarder, Joestein, Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Alih Bahasa, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-I
Hart, Michael H, Seratus Tokoh: yang Paling Berpengaruh dalam
Sejarah, Alih Bahasa, Mahbub
Djunaidi, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995, Cet. Ke-XVII
Hunnex, Milton D, Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan
Tematis, Alih
Bahasa, Zubair, Jakarta: Teraju, 2004, Cet. Ke-I
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.