PROPOSAL
SEMINAR TAPAK TILAS DAKWAH
KIAI MAROGAN
“Bagaimana memaknai Kewalian
& Kekeramatan Kiai Marogan di Sumatera Selatan?”
DASAR PEMIKIRAN
Imam al-Ghazali
mendefinisikan makna al-Wali sebagai Dia yang mencintai dan yang
membela, karena itu ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada
ketakutan atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Qs. Yunus
[10]: 62).
Kata wali juga disandang oleh
manusia beriman, berarti: “pencinta Allah, pencinta Rasul, dan pendukung serta
pembela ajaran-ajaran-Nya.”
Sedangkan keramat
diartikan, sebagaimana dalam kamus bahasa Indonesia sebagai “suci dan dapat
mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaan kepada
Tuhan. Juga berarti suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan
psikologis kepada pihak lain (barang atau tempat suci).”
Dalam konteks ini, Nabi
Muhammad saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi
berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang dekat kepada-Ku),
maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang terhadapnya. Tidaklah seorang
hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku, dengan sesuatu lebih Aku senangi daripada
melaksanakan apa yang Aku fardhu-kan atasnya. Dan tidak pula hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri dengan melakukan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku
mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, menjadilah Aku pendengarannya yang ia
gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia menghajar dan kakinya yang
dengannya ia berjalan. Apabila ia bermohon kepada-Ku, maka pasti Kukabulkan
(permohonannya), apabila ia meminta perlindungan-Ku maka pasti ia Kulindungi.”
(HR. Bukhari, melalui Abu Hurairah).
Cinta atau ridha-Nya adalah
puncak perjalanan spiritual, begitu penegasan pakar-pakar tasawuf. Dengan cinta-Nya
seseorang akan dianugerahi kekuatan yang menjadikannya dapat menggunakan
kekuatan Allah—sesuai potensinya sebagai makhluk—dan karenanya dari para
pencinta itu lahir hal-hal yang menurut ukuran manusia biasa adalah sesuatu
yang di luar kebiasaan, tetapi pada hakikatnya itu dapat saja terjadi sebagai
anugerah dan tanda kecintaan kemuliaannya di sisi Allah swt, tanda kemuliaan
itulah yang dinamai karamah (penghargaan/kemuliaan) yang dapat berbentuk
hal-hal yang luar biasa.
Jika demikian halnya, maka
apa yang dikemukakan oleh pakar-pakar tasawuf tentang adanya apa yang dinamai karamah/kekeramatan
bukanlah sesuatu yang serta merta harus ditolak.
Kiai Marogan semasa
hidupnya adalah seorang ulama abad 19 yang gigih menyebarkan ajaran Islam sejak
dari kota Palembang hingga ke daerah pedalaman Sumatera Selatan. Ia dianggap
sebagai salah seorang pelopor dakwah Islam di Sumatera Selatan. Bukti nyata
dakwahnya yaitu peninggalannya berupa dua buah masjid bersejarah dan
berpengaruh hingga masa sekarang: masjid Jami’ Kyai Muara Ogan di tepian sungai
Ogan dan masjid Lawang Kidul di tepian sungai Musi. Begitu besar peran dan
perjuangan dakwahnya untuk masyarakat Sumatera Selatan sehingga setelah ia
meninggal pun, masyarakat masih terkenang jasanya dengan berziarah ke makamnya
yang terletak di samping masjidnya. Hal ini dikarenakan masyarakat masih
mengingat karamahnya (kemuliaannya) hingga sekalipun jasadnya telah tiada.
Di antara keramat Kyai
Marogan ketika masih hidup dan masih diingat sampai sekarang oleh wong Palembang, yaitu:
1.
Ikan
dalam Buah Kelapa
Suatu hari ketika Kyai Marogan hendak
berangkat ke masjid Agung untuk menunaikan shalat Jum’at dengan perahu besar
yang oleh wong Palembang disebut Jung. Perjalanan perahu itu selalu melewati
rumah Tuan Residen Belanda (wong Palembang menjulukinya Tuan Besak). Residen
Belanda itu lalu memanggil Kyai Marogan. Lalu Kyai menghampiri Residen dan
disapanya dengan ramah, “tabik apo
gerangan Tuan memanggil hamba,” Tanya Kyai Marogan. Residen itu menjawab
bahwa ia tertarik dengan ceramah Kyai Marogan beberapa waktu lalu yang
berbunyi, “dimana ada air pasti ada kehidupan”. Bagi Tuan Residen, ajaran ini
penuh teka-teki, ia butuh bukti. Akan tetapi sebenarnya, maksud dari Residen
Belanda ingin menguji kehebatan ilmu sang Kyai. “Kalau begitu, apakah ada
kehidupan di pohon itu Tuan Kyai?” Tanya Residen. Kyai Marogan lantas menjawab,
“atas iradah dan kehendak-Nya, segala sesuatu di muka bumi bisa saja terjadi.
Jangankan di dalam buah kelapa, di batu yang keras pun pasti ada kehidupan.”
Lalu Residen Belanda menyuruh opsirnya memetik buah kelapa di halaman rumahnya.
“Jika benar di dalam buah kelapa itu ada kehidupan seperti ikan, Tuan Kyai dan
seluruh keluarga akan dimuliakan tidak saja oleh Pemerintah Belanda akan tetapi
seluruh anak negeri ini akan turut memuji Tuan. Namun jika tidak terbukti, Tuan
Kyai harus angkat kaki dari bumi Palembang, kata Residen.
Tanpa ragu, Kyai Marogan menjawab, “insya
Allah, berkat Rabbul Izzati (Tuhan yang Memiliki zat Mulia), buah kelapa yang
tidak berdaya ini akan ada kehidupan, yaitu ikan.” Selanjutnya, Kyai Marogan
mempersilakan opsir membelah buah kelapa muda (dogan) itu. Sekali tebas, kelapa
itu terbelah dua. Residen Belanda terheran-heran saat melihat seekor ikan
menggelepar hendak keluar dari buah kelapa. “Wah hebat sekali ilmu sihir Tuan,
tolong ajarkan saya,” katanya. Dengan tegas Kyai Marogan menjawab bahwa ia
bukan tukang sihir ataupun tukang sulap. Ia hanya mengamalkan beberapa ayat
suci al-Qur’an dan sangat yakin kebesaran Allah swt.
(Sumber: Majalah Demo/10-16 Februari
2000, h.14)
Cerita di atas merupakan
satu dari banyak cerita yang bersumber dari tradisi lisan yang dituturkan oleh
para tetua di Palembang hingga generasi sekarang.
Sejauhmana kebenaran
cerita-cerita tersebut dan bagaimana semestinya kita menyikapinya, butuh
jawaban dari tokoh atau ulama yang ahli. Selain itu bagaimana sebenarnya arti
dan maksud dari “kekeramatan seorang ulama”. Disinilah pentingnya mengkaji dan
mengangkat seminar ini agar masyarakat yang menganggap kuburannya ’keramat’ dan
memiliki nilai magis mensikapinya lebih wajar dan sesuai dengan ajaran agama.
NAMA KEGIATAN:
NAMA KEGIATAN:
SEMINAR TAPAK TILAS DAKWAH KIAI
MAROGAN
“Mengenang
Kewalian & Kekeramatan Kiai Marogan di Sumatera Selatan”
PEMBICARA:
Drs.
KH. Shodiqun (MUI), Ust. KH. Ali Umar Thayyib (Ketua Yayasan Masjid Lawang
Kidul), Mgs. A. Fauzi, S.Pd, MM (Zurriyat Kiai Marogan), Kemas Syarifuddin,
S.Ag (Sejarawan)
TEMPAT:
Masjid
Jami’ Kiai Muara Ogan Kertapati/Masjid Lawang Kidul Palembang
WAKTU:
Tanggal
29 Desember/Senin, dari Pukul 09.00-13.00
PESERTA:
Ulama,
Umara’, Guru, Dosen, Pengusaha, dari Palembang dan Daerah Sum-Sel.
PENYELENGGARA:
Pengurus
Yayasan Kiai Marogan
Post a Comment