Metode Penelitian Kebudayaan
Dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.[1]
Jadi, pengertian pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi per­hatian dengan menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan atau kacamata dalam melihat, memperlakukan, dan menelitinya. Permasalahannya kemudian adalah pengertian kebudayaan yang digunakan sebagai sudut pandang atau kacamata dalam melihat gejala yang dikaji.[2]
Kalau kebudayaan itu didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa dan rasa, pengertian kebudayaan adalah konteks penilaian keberhasilan manusia dalam menaklukkan alam. Karena dalam kehidupan kita sehari-hari kita tidak menciptakan kebudayaan kita, atau kebudayaan kita bukanlah hasil cipta, rasa, dan karsa kita; tetapi justru kita hidup dengan mengikuti kebudayaan yang ditransmisikan diajarkan kepada kita oleh orang tua kita atau masyarakat kita. Lebih-lebih jika definisi kebudayaan ini kita gunakan sebagai pendekatan untuk mengkaji agama, akan tampak amat tidak relevan. Karena agama bukanlah hasil cipta, karsa, dan rasa kita sebagai manusia.
Di Indonesia, di antara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebu­dayaan dari Prof. Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsepnya, kebu­dayaan diartikan sebagai wujudnya, yang mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan; (3) hasil kelakuan. Konsep ini pun tidak dapat digunakan sebagai acuan bagi pendekatan kebudayaan untuk kajian agama. Karena agama bukanlah gagasan, bukan juga kelakuan, atau pun hasil kelakuan. Sebaliknya, kebudayaan dalam pengertian Prof. Koentjaraningrat adalah wujud, dan wujud inilah yang dijadikan sasaran kajian atau penelitian antropologi. Kajian atau penelitian wujud kebudayaan ini, dalam konsep Prof. Koentjaraningrat dilakukan dengan mengacu pada kerangka konsep unsur-unsur budaya universal yang menghasilkan taksonomi kebudayaan.
Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Jika kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat, kebudayaan tersebut harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan, dan tidak mencakup yang namanya kelakuan atau pun hasil kelakukan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Koentjaraningrat; karena kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk-produk dari kebudayaan.
Sebagai pedoman bagi kehidupan sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan untuk menginterpretasi guna memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan­-tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan tersebut untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan secara operasional sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode Konsep-konsep dihasilkan dari sistem-sistem penggolongan mengenai dunia kehidupan masyarakat yang bersangkutan, menghasilkan golongan-golongan yang terwujud sebagai istilah-istilah atau konsep-konsep. Metode-metode dihasilkan dari upaya untuk menggolongkan atau memilah-memilah, menyeleksi, serta menggabungkan hasil pilahan yang berlandaskan atas logika yang masuk akal menurut nilai-nilai budayanya; dan teori-teori yang dihasilkan dari sesuatu hasil gabungan dari pilahan-pilahan yang terseleksi yang operasional kegunaannya untuk sesuatu maksud atau tujuan tertentu dalam kehidupan yang nyata.
Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan hidup, kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori atau resep-resep, dan metode-metode atau petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan bagi menghadapi dunia yang nyata supaya dapat hidup secara biologi, sosial, dan adab yang berisikan pedoman­pedoman etika dan moral di dalam kehidupan sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral dan etika yang ada yang digunakan dalam kehidupan masyarakat adalah inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan. Pedoman yang inti dan hakiki ini biasanya dinamakan nilai-nilai budaya, karena isinya adalah patokan-patokan penilaian secara budaya atau yang berdasarkan atas kebudayaan tersebut mengenai tindakan-tindakan warga masyarakat serta berbagai gejala yang ada dalam masyarakat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu: (1) yang mendasar dan tidak terpengaruh oleh atau mempengaruhi secara langsung kehidupan sehari-hari dari pendukung kebudayaan tersebut, yang dinamakan pan dangan hidup atau world-view; dan (2) yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan yang dinamakan etos (ethos).
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi para warga masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa salah paham. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak, setiap pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan mengguna­kan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama mereka pahami makna-maknanya. Mereka itu tidak mengalami kesalah pahaman mengenai apa yang saling mereka inginkan dalam berkomunikasi dan menilai interaksi yang berlangsung. Pada tingkat individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari para pelakunya. Secara perseorangan maka penge­tahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para pelakunya tersebut dapat berbeda antara satu dan lainnya; atau beranekaragaman, bergantung pada pengalaman-­pengalaman individual masing-masing dan pada kemampuan biologi atau sistem-­sistem syarafnya dalam merespons dan menyerap berbagai stimuli atau masukan yang, berasal dari lingkungan hidupnya, termasuk kebudayaannya dan kebudayaan­-kebudayaan masyarakat lainnya.
Kebudayaan sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada di sekelilingnya dan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam lingkungan hidupnya. Perubahan-perubahan kebudayaan tersebut terjadi karena kebudayaan yang diyakini kebenarannya sebagai pedoman hidupnya itu adalah pedoman yang operasional dalam menghadapi kehidupan yang nyata. Walaupun demikian, kebudayaan juga tidak mudah untuk begitu saja berubah, karena jika setiap saat pedoman bagi kehidupan tersebut berubah, kehidupan manusia dapat menjadi kacau balau. Mekanisme yang menahan perubahan-perubahan kebudayaan atau yang melestarikan corak suatu kebudayaan adalah nilai-nilai budayanya karena nilai-nilai budaya ini berisikan keyakinan-keyakinan mengenai kebenaran dari kebudayaan yang menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat tersebut. Dan, kuat serta lama bertahannya sesuatu corak kebudayaan dan nilai-nilai budaya terutama disebabkan oleh kuat dan mendalamnya keyakinan-keyakinan keagamaan yang mengejawantah atau menjadi inti dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Karena pada waktu nilai-nilai budaya sesuatu kebudayaan itu berintikan atau berasaskan keyakinan agama yang bersangkutan, nilai-nilai budaya tersebut bersifat sakral atau suci.
Pada awal abad ke-20 ilmu pengetahuan budaya seolah-olah menemukan kelahirannya kembali. Setelah sebelumnya, pada abad pertengahan ilmu ini tertutup oleh perkembangan yang cukup pesat ilmu pengetahuan alarn, kemudian tertutup oleh ilmu pengetahuan sosial. Bahkan, pada waktu itu sempat ada anggapan bahwa ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya hanya memiliki satu metode, yakni metode ilmu pengetahuan alam. Praktis dengan anggapan ini semua ilmu pengetahuan yang bukan bidang ilmu alam sering memaksakan diri menerapkan metode ilmu pengetahuan alam. Bidang-bidang ilmu yang kadar objektifnya rendah(menurut pertimbangan logika ilmu pengetahuan alam, ed.) dianggap bukan "ilmu". Dengan demikian, cara kerjanya pun dianggap tidak atau kurang "ilmiah".
Baru kemudian pada abad ke-20 muncul seorang ilmuwan yang tidak setuju dengan anggapan itu. ilmuwan itu adalah Dilthey. Ia berpendapat bahwa metode ilmu pengetahuan tidak hanya satu. Setiap disiplin ilmu memiliki metodenya sendiri­-sendiri. Mengapa? Karena setiap disiplin ilmu memiliki tujuan berbeda-beda. Ilmu pengetahuan budaya misalnya, memiliki metode tersendiri karena tujuaannya adalah untuk "mengerti", dan berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan "menerangkan".[3]
Selanjutnya, konsep "mengerti" ini berkembang menjadi dua aspek telaah, yaitu "gejala" dan "makna" yang terkandung dalam kebudayaan. Secara meto­dologis, konsep ini berkembang menjadi dua metode "mengerti". Metode pertama adalah “fenomenologi”— yang berusaha mengungkapkan makna sebagaimana yang ditunjukkan gejala itu. Yang kedua adalah "hermeneutik"— yang berusaha mem­berikan interpretasi terhadap gejala itu sehingga maknanya yang tadinya tersembunyi dapat pula dipahami.[4]
Lebih lanjut penjelasan akan kedua metode tersebut dalam kerangka kepentingan penelitian akan dijelaskan dalam aline-alinea berikut.
1.      Metode Fenomenologi
Banyak antropolog menggunakan pendekatan fenomenologi dalam studi mereka tentang pendidikan. Kerangka studi antropologisnya adalah konsep kebudayaan. Usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan dinamakan etnografi. Walaupun diantara mereka kurang sependapat tentang definisi kebudayaan, mereka memandang kebudayaan sebagai kerangka teoretis dalam menjelaskan pekerjaan mereka.  
Beberapa definisi membantu memperluas penelitian kita tentang bagaiaman hal itu mempertajam penelitian. Beberapa antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahuan yang diperoleh manusia dan digunakan untuk menafsirkan pengalaman dan memberikan perilaku (Spradley, 1908:5 dalam Bagdan dan Biklen:35). Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini, seorang peneliti mungkin dapat memikirkan sesuatu peristiwa menurut cara sebagai berikut: Sebaiknya etnografi mempertimbangkan perilaku manusia dengan jalan menguraikan apa yag diketahui mereka yang membolehkan mereka berperilaku secara baik sesuai dengan common sesnse dalam masyarakatnya. Peneliti dalam tradisi ini mengatakan bahwa etnografi berhasil jika mendidik pembaca bagaimana sebaiknya berprilaku dalam suatu latar kebudayaan, apakah itu di antara keluarga-keluarga masyarakat hitam, di kantor kepala sekolah, atau di kelas taman kanak-kanak.
Definisi lainnya tentang kebudayaan memberi tekanan pada semantik dan menganjurkan bahwa ada perbedaan antara mengetahui perilaku dan bahasa khas sekelompok orang dan yang dapat melakukannya sendiri. Menurut perspektif ini, kebudayaan tampaknya agak rumit dan berbeda penekanannya. Dalam hal ini, tekanannya pada interaksi antara kebudayaan dan pengertian yang diberikan orang terhadap peristiwa-peristiwa. Dengan demikian, orientasi fenomenologis di sini menjadi jelas.
Etnografi dikenal dengan “uraian tebal” (thick description). Yang ditemui etnograf jika menguji kebudayaan menurut perspektif ini ialah suatu seri penafsiran terhadap kehidupan, pengertian, “akal sehat” yang rumit dan sukar dipisahkan satu dari lainnya. Tujuan etnografi adalah mengalami bersama pengertian bahwa pemeran serta kebuadayaan memperhitungkan dan menggambarkan pengertian baru untuk pembaca dan orang luaran.
Konsep kebudayaan terakhir diambil dari Rosalie Wax (1971, dalam Bogdan dan Biklen:36). Wax mendiskusikan tugas etnografi dalam rangka pengertian. Pengertian bukanlah berupa “empati yang misterius” di antara orang-orang, melainkan suatu kenyataan dari “Pengertian yang dialami bersama” (shared meaning). Dengan demikian antropolog mulai dari luar,  baik secara harfiah dalam rangka penerimaan sosialnya maupun secara kiasan dalam rangka pengertian. Suatu penelitian etnografis tentang kelas taman kanak-kanak menguji bagaimana anak-anak yang memasuki sekolahnya menjadi orang dalam, yaitu bagaimana mereka mempelajari kebudayaan sekolahnya dan mengembangkan respons yang tepat terhadap gurunya dan harapan-harapan kelas.
Dalam kerangka kebudayaan, apapun definisi khususnya, kebudayaan merupakan alat organisatoris atau konseptual untuk menafsirkan data yang berarti dan yang memberi ciri pada etnografi. Prosedur etnografi, apakah sama atau identik dengan pengamatan-berperanserta, percaya akan adanya prbedaaan kosa-kata dan telah berkembang dalam kekhasan akademis yang berbeda. Sekarang ini peneliti telah menggunakan istilah etnografi untuk menunjuk pada setiap studi kualitatif, ada beberapa kenyataan yang menunjukkan bahwa sosiolog dan antropolog makin saling mendekat dalam hal melakukan penelitian dan orientasi teoretis yang mendasari pekerjaan mereka.Spradley (1980) sebagai antropolog terkenal menyatakan bahwa konsep kebudayaan sebagai pengetahuan yang dicapai mempunyai ciri umum yang sama dengan interaksi simbolik.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan metode ini adalah meng­ungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada pengertian yang lebih luas.
Dengan demikian, "fenomenologi agama" dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu aliran alam filsafat dan sumbangannya terhadap studi agama sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat peneliti (terdahulu) yang telah menerapkan metodologi fenomenologi dalam penelitian tentang sejarah agama. Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol— seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan—sebagai fokus perhatiannya.
Mungkin yang paling relevan dalam hubungannya dengan penelitian agama Islam dalam perspektif ilmu budaya adal ah acuan ketiga, yaitu penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode itu bisa diterapkan dalam menelaah (meneliti) ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan. Dengan mengacu pada tiga kerja penelitian dalam metode fenomenologi maka langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan
a.Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
b.Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
c. Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa;
1) deskripsi ontologis
Deskripsi ini memusatkan perhatiannya pada "objek". Kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan, "Yang Suci" atau "Yang Gaib", "Kekuasaan" dan sebagainya.
2) deskripsi psikologis
Perhatian diletakkan pada kegiatan keagamaan itu sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski, misalnya, menghubungkannya dengan fungsi kegiatan itu dalam masyarakat.
3) deskripsi dialektik
Apa yang memperoleh perhatian di sini adalah hubungan antara objek dalam kegiatan keagamaan. Bisa menekankan diri pada pengalaman keagamaan, bisa juga memfokuskan diri pada peran simbol-simbol keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam "mengalami" dunianya.

  1. Metode Hermeneutik
Apabila metode fenomenologi mencoba mengungkapkan dan mendeskripsikan hakikat agama, metode hermeneutik mencoba memahami kebudayaan melalui interpretasi. Pada mulanya metode ini diterapkan untuk menginterpretasikan teks-teks keagamaan. Awal penerapan ini masih tetap melekat, dalam arti menempatkan konsep teks dalam kedudukan sentral. Kemudian, Dilthey mengembangkannya menjadi lebih luas, baik sebagai permasalahan filsafat maupun metodologi.
Berikut disajikan langkah-langkah yang bisa diikuti dalam melakukan penelitian dengan metode hermeneutika beserta asumsi-asumsi dasar yang harus dipegang, antara lain sebagai berikut.

a. Telaah Hakikat Teks
Di dalam hermeneutika, teks diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri,
dilepaskan dan pengarangnya, waktu penciptaannya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu diciptakannya. Oleh karena itu, wujud teks adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa maka yang menjadi pusat perhatiannya adalah hakikat bahasa. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat untuk menyampaikan sesuatu. Sebagai akibatnya terdapat hubungan antara "alat penyampaian" dan "apa yang disampaikan". Tujuan dari metode ini adalah mengerti tentang "apa yang disampaikan" itu, dengan cara mengin­terpretasikan "alat penyampaiannya", yaitu teks atau bahasa tulis.
Jika sebelumnya dikatakan bahwa teks itu mandiri, apabila dikaitkan dengan bahasa yang dimaksudkan, adalah sifat otonomi semantik bahasanya. Jadi, interpretasi dilakukan terhadap bahasa melalui semantiknya untuk mengerti apa yang disampaikan.
Selanjutnya, jika yang disampaikan itu dikaji lebih mendalam, makna apa yang disampaikan itu dapat berupa ajaran, pesan, pengalaman atau peristiwa. Adapun yang dimaksud "untuk mengerti", dalam perspektif ini ialah arti atau makna secara keseluruhan, makna dari kesemuanya itu. Demikianlah apa yang mula-mula bersifat subjektif, setelah dirumuskan dalam bahasa menjadi pengakuan umum atau objektif. Ditinjau dari sisi lain makna arti atau makna dari "apa" itu pun dengan sendirinya bersifat objektif pula walaupun "apa" itu sendiri masih bersifat individual.
Permasalahan lain yang timbul adalah bahwa unit analisis hermenenutika tidak terbatas hanya pada hubungan "apa" dan "tentang apa" secara semiotik­ dalam hal ini "apa" diperlakukan sebagai arti dan tanda. Akan tetapi, semiotik di sini dipergunakan hanya sebagai alat hermeneutik karena teks adalah sesuatu yang otonom, satu dunia sendiri, yaitu dunia teks.

b. Proses Apresiasi
Text Box:  Apabila sebelumnya disampaikan bahwa teks itu bersifat otonom, lalu bagai­mana dengan pembaca atau peneliti? Di dalam penerapan metode hermeneutika, persoalan ini sering disebut dengan "proses apresiasi" yaitu proses yang pembaca-penelitinya (pembaca yang melakukan penelitian) terlebih dahulu mengerti akan dunia teks atau kemampuan ketika membaca teks yang tidak hanya bisa kembali ke dunianya sendiri, tetapi juga menciptakan dunia baru bagi dirinya. Dengan kata lain, ia terlebih dahulu menjadi mengerti dirinya sendiri, mengerti dirinya "secara lain", atau mungkin baru mulai mengerti akan dirinya setelah mengerti "dunia" teks.
Dengan demikian, melalui hermeneutika pembaca-peneliti tidak diharapkan untuk tenggelam ke dalam dunia teks, tetapi mengaktualisasikan makna dalam dunia teks, serta kemudian mengaktualisasikannya dalam dirinya sendiri. Kemampuan aktualisasi pembaca-peneliti ini sangat ditentukan oleh “horizon”- yang dimiliki manusia, bisa pula sempit. Kemampuan manusia untuk mempergunakannya pun berbeda-beda, ada yang dapat memperluas, atau bahkan membuka horizon baru. Ada pula orang yang tidak dapat mempergunakan dengan baik- tidak mampu melihat jauh sehingga cenderung untuk melebih-lebihkan hal yang paling dekat dengan dirinya, bergantung pada pengetahuan, pengalaman, dan keterbukaan manusia itu sendiri.
Di samping horison, kemampuan aktualisasi itu juga dipengaruhi oleh “kesadaran sejarah”. Pemilikan atas kesadaran sejarah ini akan memungkinkan manusia untuk menempatkan horizonnya pada dimensi-dimensi yang sebenarnya. Dengan sendirinya penerapan kesadaran ini dalam proses aktualisasi dapat menghindarkan manusia dari kesalahpahaman.

c. Proses Interpretasi .
Pada waktu pembaca-peneliti berhadapan dengan teks, ia berada pada situasi yang dikenal sebagai situasi hermeneutik. Manusia berada pada posisi "antara", yaitu masa kini (di mana ia berada) dan masa lalu (di mana teks diciptakan). Dernikian pula antara yang dikenal dan yang asing.
Di dalam situasi ini pembaca-peneliti menerka, menginterpretasikan arti yang tampak, dan mencoba mengerti arti yang tidak tampak ( tampak (tersembunyi). Arti yang tidak tampak itu menjadi tersembunyi oleh unsur atau jarak waktu, geografis, budaya, atau bahkan spritual. Dengan demikian, proses interpretasi itu seolah-olah menjembatani unsur dari jarak itu. Atas dasar inilah maka teks itu disebut sebagai "mandiri".
Sebaliknya, manusia, pembaca-peneliti, dalam proses interpretasinya melibatkan kemampuan menerapkan "horizonnya". Tanpa penerapan ini maka proses apresiasi tidak terjadi. Demikian pula halnya dengan kesadaran sejarah.
Setiap interpretasi menciptakan situasi tertentu dan pada waktu tertentu pula. Hal ini berarti bahwa setiap saat terjadi interpretasi baru. Dengan kata lain,
ditinjau dari proses, seolah-olah unsur kesejarahan ini melekat dalam struktur.
Dengan sendirinya dari sudut pembaca-peneliti, diperlukan pemilikan kesadaran sejarah dalam horizonnya agar unsur kesejarahan dapat tercakup dalam proses interpretasinya. Penerapan yang demikian dapat mencegah penempatan situasi di mana ia berada pada perspektif sejarah atau pada dimensi yang keliru. Kekeliruan penempatan pada dimensi waktu inilah yang sering mengakibatkan kesalahpahaman.

3.    Pendekatan Kebudayaan, Pendekatan Kualitatif, dan Kajian Agama
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi, dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.[5]


Setiap kebudayaan adalah unik atau tidak sama dengan kebudayaan yang lain, bahwa setiap masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing; dan bahwa setiap agama[6] untuk dapat berpijak di bumi atau hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat haruslah menjadi pedoman yang diyakini kebenarannya bagi kehidupan suatu warga masyarakat.
Jadi, suatu agama untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat haruslah menjadi kebudayaan bagi masyarakat tersebut. Karena setiap masyarakat itu mempunyai kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial, dan kebutuhan adab yang integratif.[7]
Adapun agama sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat hanya mencakup serta terpusat pada penyajian untuk pemenuhan kebutuhan adab yang integratif. Karena itu, dalam hubungan antara agama dan kebudayaan dari masyarakat setempat, agama berfungsi sebagai pedoman moral dan etika yang terwujud sebagai nilai-nilai budaya yang mengintegrasikan dan menjiwai setiap upaya peme­nuhan kebutuhan biologi dan sosial dari warga masyarakat tersebut.[8]
Dengan demikian, apabila agama dilihat dan diperlukan sebagai kebudayaan, yaitu sebagai nilai-nilai budaya dari masyarakat yang dikaji, agama diperlakukan sebagai sebuah pedoman yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan serta pedoman bagi kehidupan tersebut dilihat sebagai sesuatu yang sakral dengan sanksi-sanksi gaib sesuai dengan aturan dan peraturan keagamaan yang diyakini. Dalam pendekatan ini, agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat, yang pengetahuan dan keyakinan tersebut menjadi patokan-patokan sakral yang berlaku di dalam hampir semua kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia sehingga tindakan-tindakan pemenuhi kebutuhan manusia itu dapat men­jadi beradab penuh dengan ciri-ciri kemanusiaan yang dibedakan dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologi dan sosial hewan.[9]
Pada waktu agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan maka yang` terlihat adalah agama sebagai keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia, dan bukannya agama yang terwujud sebagai petunjuk-petunjuk dan larangan-larangan serta perintah-perintah Tuhan yang ada dalam al-Quran dan hadis Nabi. Jika agama Islam yang tertuang sebagai teks suci dalam al-Quran dan hadis itu bersifat universal, keyakinan keagamaan yang hidup dalam masyarkat itu bersifat lokal, yaitu lokal sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup, dan kebudayaannya.[10]
Mengapa bisa demikian keadaannya? Untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan-keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan maka agama (Islam) harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam upaya meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut, di samping harus juga melakukan berbagai penyesuaian nilai-nilai hakiki yang ada dalam keyakinan agama tersebut dengan nilai-nilai budaya dari masyarakat sehingga agama tersebut dapat diterima dan diyakini kebenarannya. Dalam keadaan demikian itulah agama yang diterima oleh sebuah masyarakat menjadi bersifat lokal.
Dalam beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para sarjana Indonesia mengenai penyebaran Islam di Jawa oleh para wali songo, antara lain ditunjukkan bagaimana upaya dakwah tersebut dilakukan dengan menggunakan wayang kulit (tradisi budaya Jawa) dan diciptakannya lakon dengan isu pokok bamus kalimosodo (kalimosodo sebenarnya bahasa Jawa dari Kalimat Sahadat). Begitu juga berbagai dongeng suci atau mitologi persebaran Islam di Jawa, peng-Islaman kerajaan Pajajaran, atau kegiatan para wali songo dalam mengislamkan orang Jawa yang tidak menggunakan pedang, tetapi menggunakan kesaktian atau kemukdjizatan Tuhan yang dipunyai oleh para wali atau penyebar agama Islam, sebagai orang yang terpilih; adalah, antara lain, contoh-contoh mengenai hubungan antara agama dan kebudayaan setempat.
Pendekatan kebudayaan dalam kajian agama seperti yang dilakukan oleh para ahli antropologi, dalam dunia ilmu pengetahuan dinamakan sebagai pen­dekatan kualitatif.  Inti daripendekatan kualitatif ini adalah pada upaya "memahami" atau verstehen dari sasaran kajian atau penelitiannya. Ini berbeda dengan pendekatan kuantitatif yang intinya mengukur. Karena dasar dari pendekatan kualitatif atau etnografi dalam antropologi adalah pemahaman, konteks kebudayaan dari masalah yang di kaji menjadi amat penting. Karena itu, dalam pendekatan kualitatif tesebut cirinya yang mendasar, yang membedakannya dari pendekatan kuantitatif, adalah "holistik" atau "sistemik" .[11]
Max Weber (1976) adalah pelopor dari penggunaan metode verstehen yang menjadi cikal bakal dari pendekatan kualitatif atau etnografi dalam penelitian agama. Dalam karya klasiknya ini, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Weber memahami teologi Kristen Protestan aliran Calvin, yang menekankan bahwa hidup manusia itu penuh dosa karena dosa turunan yang dibawanya sejak lahir akibat dari perbuatan Adam dan Hawa, dan bahwa walaupun Nabi Isa telah diturunkan untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosa tersebut, dosa­-dosa tesebut tidak bisa hilang kecuali apabila manusia betul-betul takwa dan mengabdi kepada Tuhan. Ketakwaan dan pengabdiin kepada Tuhan tidak hanya dalam bentuk bersembahyang, tetapi yang terpenting adalah memuliakan rumah Tuhan atau gereja. Memuliakan rumah Tuhan dilakukan dengan cara bekerja untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan menyerahkan keseluruhan keun­tungan tersebut kepada gereja untuk digunakan memuliakannya. Gereja, dengan demikian, adalah pusat akumulasi modal, setiap saat dapat memijamkan modal untuk berbagai kegiatan kerja dan usaha yang menguntungkan, dan kesemuanya itu dikembalikan kepada gereja dengan segala kelebihan-kelebihan melalui keun­tungan-keuntungan yang diperolehnya. Inilah semangat kapitalisme yang acuan landasannya berasal dari etika Protestan Calvin.
Pada waktu Weber melakukan kajian mengenai etika Protestan tersebut, dia melihat teologi Kristen sebagaimana yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaan Kristen Protestan Calvin, sesuai dengan apa yang ada di dalam pengetahuan dan keyakinan penganut Kristen Protestan Calvin. Hal yang sama juga dilakukan oleh Clifford Geertz (1963) dalam kajinya mengenai agama Islam orang Jawa, yang menghasilkan penggolongan abang , santri, dan priyayi; dan kajiannya mengenai Islam di Maroko dan di Jawa (1972 ).

4.    Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam  
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.
Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai "international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.

a.    Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.

b.   Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.


[1]Parsudi Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), hal. 110
[2] Ibid., hal. 110
[3] Noerhadi Magestari, op. cit., hal. 146
[4] Ibid., hal. 146
[5] http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp
[6] Menurut Parsudi Suparlan, agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin yang terwujud sebagai teks suci. Adapun hubungan agama dengan manusia yang meyakininya, dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia yang menjadi penganut agama tersebut, tidak tercakup dalam definisi tersebut. Lihat, Parsudi Suparlan, op. cit., hal. 109
[7] Ibid., hal. 113
[8] Ibid., hal. 113
[9] Ibid., hal. 114
[10] Ibid., hal. 114
[11] Ibid., hal. 115

Post a Comment

 
Top