Metode Penelitian Kebudayaan
Dalam dunia ilmu pengetahuan makna
dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau
cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang
dikaji. Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik
yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan
cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian
pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau
cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup
pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan
pendekatan tersebut.[1]
Jadi, pengertian pendekatan kebudayaan
dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan
sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan kebudayaan dari
gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan atau kacamata dalam melihat,
memperlakukan, dan menelitinya. Permasalahannya kemudian adalah pengertian
kebudayaan yang digunakan sebagai sudut pandang atau kacamata dalam melihat
gejala yang dikaji.[2]
Kalau kebudayaan itu didefinisikan
sebagai hasil cipta, karsa dan rasa, pengertian kebudayaan adalah konteks
penilaian keberhasilan manusia dalam menaklukkan alam. Karena dalam kehidupan kita
sehari-hari kita tidak menciptakan kebudayaan kita, atau kebudayaan kita bukanlah
hasil cipta, rasa, dan karsa kita; tetapi justru kita hidup dengan mengikuti
kebudayaan yang ditransmisikan diajarkan kepada kita oleh orang tua kita atau
masyarakat kita. Lebih-lebih jika definisi kebudayaan ini kita gunakan sebagai
pendekatan untuk mengkaji agama, akan tampak amat tidak relevan. Karena agama
bukanlah hasil cipta, karsa, dan rasa kita sebagai manusia.
Di Indonesia, di antara para
cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Prof. Koentjaraningrat
amatlah populer. Dalam konsepnya, kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yang
mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan; (3) hasil kelakuan.
Konsep ini pun tidak dapat digunakan sebagai acuan bagi pendekatan kebudayaan
untuk kajian agama. Karena agama bukanlah gagasan, bukan juga kelakuan, atau
pun hasil kelakuan. Sebaliknya, kebudayaan dalam pengertian Prof.
Koentjaraningrat adalah wujud, dan wujud inilah yang dijadikan sasaran kajian
atau penelitian antropologi. Kajian atau penelitian wujud kebudayaan ini, dalam
konsep Prof. Koentjaraningrat dilakukan dengan mengacu pada kerangka konsep
unsur-unsur budaya universal yang menghasilkan taksonomi kebudayaan.
Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan
adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat tersebut. Jika kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat,
kebudayaan tersebut harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan, dan tidak
mencakup yang namanya kelakuan atau pun hasil kelakukan, seperti yang
dikemukakan oleh Prof. Koentjaraningrat; karena kelakuan dan hasil kelakuan
adalah produk-produk dari kebudayaan.
Sebagai pedoman bagi kehidupan sebuah
masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan untuk
menginterpretasi guna memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta
menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang
ada dalam lingkungan tersebut untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka.
Untuk dapat digunakan secara operasional sebagai acuan bagi interpretasi dan
pemahaman maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan
metode-metode Konsep-konsep dihasilkan dari sistem-sistem penggolongan mengenai
dunia kehidupan masyarakat yang bersangkutan, menghasilkan golongan-golongan
yang terwujud sebagai istilah-istilah atau konsep-konsep. Metode-metode
dihasilkan dari upaya untuk menggolongkan atau memilah-memilah, menyeleksi,
serta menggabungkan hasil pilahan yang berlandaskan atas logika yang masuk akal
menurut nilai-nilai budayanya; dan teori-teori yang dihasilkan dari sesuatu
hasil gabungan dari pilahan-pilahan yang terseleksi yang operasional
kegunaannya untuk sesuatu maksud atau tujuan tertentu dalam kehidupan yang
nyata.
Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan
kebutuhan hidup, kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori atau
resep-resep, dan metode-metode atau petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan
bagi menghadapi dunia yang nyata supaya dapat hidup secara biologi, sosial, dan
adab yang berisikan pedomanpedoman etika dan moral di dalam kehidupan
sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan
masyarakat adalah melalui berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut.
Pedoman moral dan etika yang ada yang digunakan dalam kehidupan masyarakat
adalah inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan. Pedoman yang inti dan
hakiki ini biasanya dinamakan nilai-nilai budaya, karena isinya adalah
patokan-patokan penilaian secara budaya atau yang berdasarkan atas kebudayaan
tersebut mengenai tindakan-tindakan warga masyarakat serta berbagai gejala yang
ada dalam masyarakat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Nilai budaya ini
terdiri atas dua kategori, yaitu: (1) yang mendasar dan tidak terpengaruh oleh
atau mempengaruhi secara langsung kehidupan sehari-hari dari pendukung
kebudayaan tersebut, yang dinamakan pan dangan hidup atau world-view; dan (2) yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh
kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan yang dinamakan
etos (ethos).
Kebudayaan sebagai pedoman bagi
kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi para warga masyarakat tersebut untuk
dapat saling berkomunikasi tanpa salah paham. Karena dengan menggunakan
kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak, setiap pelaku yang berkomunikasi
tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya.
Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara
bersama-sama mereka pahami makna-maknanya. Mereka itu tidak mengalami kesalah pahaman
mengenai apa yang saling mereka inginkan dalam berkomunikasi dan menilai
interaksi yang berlangsung. Pada tingkat individual, kebudayaan dari masyarakat
tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari para pelakunya. Secara
perseorangan maka pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para pelakunya
tersebut dapat berbeda antara satu dan lainnya; atau beranekaragaman,
bergantung pada pengalaman-pengalaman individual masing-masing dan pada
kemampuan biologi atau sistem-sistem syarafnya dalam merespons dan menyerap berbagai
stimuli atau masukan yang, berasal dari lingkungan hidupnya, termasuk
kebudayaannya dan kebudayaan-kebudayaan masyarakat lainnya.
Kebudayaan sebagai pengetahuan
mengenai dunia yang ada di sekelilingnya dan pengalaman-pengalaman yang terjadi
di dalam lingkungan hidupnya. Perubahan-perubahan kebudayaan tersebut terjadi
karena kebudayaan yang diyakini kebenarannya sebagai pedoman hidupnya itu
adalah pedoman yang operasional dalam menghadapi kehidupan yang nyata. Walaupun
demikian, kebudayaan juga tidak mudah untuk begitu saja berubah, karena jika
setiap saat pedoman bagi kehidupan tersebut berubah, kehidupan manusia dapat
menjadi kacau balau. Mekanisme yang menahan perubahan-perubahan kebudayaan atau
yang melestarikan corak suatu kebudayaan adalah nilai-nilai budayanya karena
nilai-nilai budaya ini berisikan keyakinan-keyakinan mengenai kebenaran dari
kebudayaan yang menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat tersebut. Dan, kuat
serta lama bertahannya sesuatu corak kebudayaan dan nilai-nilai budaya terutama
disebabkan oleh kuat dan mendalamnya keyakinan-keyakinan keagamaan yang
mengejawantah atau menjadi inti dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan
tersebut. Karena pada waktu nilai-nilai budaya sesuatu kebudayaan itu
berintikan atau berasaskan keyakinan agama yang bersangkutan, nilai-nilai
budaya tersebut bersifat sakral atau suci.
Pada awal abad ke-20 ilmu pengetahuan
budaya seolah-olah menemukan kelahirannya kembali. Setelah sebelumnya, pada
abad pertengahan ilmu ini tertutup oleh perkembangan yang cukup pesat ilmu
pengetahuan alarn, kemudian tertutup oleh ilmu pengetahuan sosial. Bahkan, pada
waktu itu sempat ada anggapan bahwa ilmu pengetahuan itu pada hakikatnya hanya
memiliki satu metode, yakni metode ilmu pengetahuan alam. Praktis dengan
anggapan ini semua ilmu pengetahuan yang bukan bidang ilmu alam sering
memaksakan diri menerapkan metode ilmu pengetahuan alam. Bidang-bidang ilmu
yang kadar objektifnya rendah(menurut pertimbangan logika ilmu pengetahuan
alam, ed.) dianggap bukan "ilmu". Dengan demikian, cara kerjanya pun
dianggap tidak atau kurang "ilmiah".
Baru kemudian pada abad ke-20 muncul
seorang ilmuwan yang tidak setuju dengan anggapan itu. ilmuwan itu adalah
Dilthey. Ia berpendapat bahwa metode ilmu pengetahuan tidak hanya satu. Setiap
disiplin ilmu memiliki metodenya sendiri-sendiri. Mengapa? Karena setiap
disiplin ilmu memiliki tujuan berbeda-beda. Ilmu pengetahuan budaya misalnya,
memiliki metode tersendiri karena tujuaannya adalah untuk "mengerti",
dan berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan
"menerangkan".[3]
Selanjutnya, konsep
"mengerti" ini berkembang menjadi dua aspek telaah, yaitu
"gejala" dan "makna" yang terkandung dalam kebudayaan.
Secara metodologis, konsep ini berkembang menjadi dua metode "mengerti".
Metode pertama adalah “fenomenologi”— yang berusaha mengungkapkan makna
sebagaimana yang ditunjukkan gejala itu. Yang kedua adalah
"hermeneutik"— yang berusaha memberikan interpretasi terhadap gejala
itu sehingga maknanya yang tadinya tersembunyi dapat pula dipahami.[4]
Lebih lanjut penjelasan akan kedua
metode tersebut dalam kerangka kepentingan penelitian akan dijelaskan dalam
aline-alinea berikut.
1. Metode Fenomenologi
Banyak antropolog menggunakan
pendekatan fenomenologi dalam studi mereka tentang pendidikan. Kerangka studi
antropologisnya adalah konsep kebudayaan. Usaha untuk menguraikan kebudayaan
atau aspek-aspek kebudayaan dinamakan etnografi. Walaupun diantara mereka
kurang sependapat tentang definisi kebudayaan, mereka memandang kebudayaan
sebagai kerangka teoretis dalam menjelaskan pekerjaan mereka.
Beberapa definisi membantu memperluas
penelitian kita tentang bagaiaman hal itu mempertajam penelitian. Beberapa
antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahuan yang diperoleh manusia
dan digunakan untuk menafsirkan pengalaman dan memberikan perilaku (Spradley,
1908:5 dalam Bagdan dan Biklen:35). Untuk menggambarkan kebudayaan menurut
perspektif ini, seorang peneliti mungkin dapat memikirkan sesuatu peristiwa
menurut cara sebagai berikut: Sebaiknya etnografi mempertimbangkan perilaku
manusia dengan jalan menguraikan apa yag diketahui mereka yang membolehkan
mereka berperilaku secara baik sesuai dengan common sesnse dalam masyarakatnya.
Peneliti dalam tradisi ini mengatakan bahwa etnografi berhasil jika mendidik
pembaca bagaimana sebaiknya berprilaku dalam suatu latar kebudayaan, apakah itu
di antara keluarga-keluarga masyarakat hitam, di kantor kepala sekolah, atau di
kelas taman kanak-kanak.
Definisi lainnya tentang kebudayaan
memberi tekanan pada semantik dan menganjurkan bahwa ada perbedaan antara
mengetahui perilaku dan bahasa khas sekelompok orang dan yang dapat
melakukannya sendiri. Menurut perspektif ini, kebudayaan tampaknya agak rumit
dan berbeda penekanannya. Dalam hal ini, tekanannya pada interaksi antara
kebudayaan dan pengertian yang diberikan orang terhadap peristiwa-peristiwa.
Dengan demikian, orientasi fenomenologis di sini menjadi jelas.
Etnografi dikenal dengan “uraian
tebal” (thick description). Yang
ditemui etnograf jika menguji kebudayaan menurut perspektif ini ialah suatu
seri penafsiran terhadap kehidupan, pengertian, “akal sehat” yang rumit dan
sukar dipisahkan satu dari lainnya. Tujuan etnografi adalah mengalami bersama
pengertian bahwa pemeran serta kebuadayaan memperhitungkan dan menggambarkan
pengertian baru untuk pembaca dan orang luaran.
Konsep kebudayaan terakhir diambil dari Rosalie Wax (1971, dalam Bogdan dan Biklen:36). Wax mendiskusikan tugas etnografi dalam rangka pengertian. Pengertian bukanlah berupa “empati yang misterius” di antara orang-orang, melainkan suatu kenyataan dari “Pengertian yang dialami bersama” (shared meaning). Dengan demikian antropolog mulai dari luar, baik secara harfiah dalam rangka penerimaan sosialnya maupun secara kiasan dalam rangka pengertian. Suatu penelitian etnografis tentang kelas taman kanak-kanak menguji bagaimana anak-anak yang memasuki sekolahnya menjadi orang dalam, yaitu bagaimana mereka mempelajari kebudayaan sekolahnya dan mengembangkan respons yang tepat terhadap gurunya dan harapan-harapan kelas.
Konsep kebudayaan terakhir diambil dari Rosalie Wax (1971, dalam Bogdan dan Biklen:36). Wax mendiskusikan tugas etnografi dalam rangka pengertian. Pengertian bukanlah berupa “empati yang misterius” di antara orang-orang, melainkan suatu kenyataan dari “Pengertian yang dialami bersama” (shared meaning). Dengan demikian antropolog mulai dari luar, baik secara harfiah dalam rangka penerimaan sosialnya maupun secara kiasan dalam rangka pengertian. Suatu penelitian etnografis tentang kelas taman kanak-kanak menguji bagaimana anak-anak yang memasuki sekolahnya menjadi orang dalam, yaitu bagaimana mereka mempelajari kebudayaan sekolahnya dan mengembangkan respons yang tepat terhadap gurunya dan harapan-harapan kelas.
Dalam kerangka kebudayaan, apapun
definisi khususnya, kebudayaan merupakan alat organisatoris atau konseptual
untuk menafsirkan data yang berarti dan yang memberi ciri pada etnografi.
Prosedur etnografi, apakah sama atau identik dengan pengamatan-berperanserta, percaya
akan adanya prbedaaan kosa-kata dan telah berkembang dalam kekhasan akademis
yang berbeda. Sekarang ini peneliti telah menggunakan istilah etnografi untuk
menunjuk pada setiap studi kualitatif, ada beberapa kenyataan yang menunjukkan
bahwa sosiolog dan antropolog makin saling mendekat dalam hal melakukan
penelitian dan orientasi teoretis yang mendasari pekerjaan mereka.Spradley
(1980) sebagai antropolog terkenal menyatakan bahwa konsep kebudayaan sebagai
pengetahuan yang dicapai mempunyai ciri umum yang sama dengan interaksi
simbolik.
Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, tujuan metode ini adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan makna
sebagaimana yang ada dalam data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya
fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada
pengertian yang lebih luas.
Dengan demikian, "fenomenologi
agama" dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu
aliran alam filsafat dan sumbangannya terhadap studi agama sebagai salah satu
disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat peneliti (terdahulu)
yang telah menerapkan metodologi fenomenologi dalam penelitian tentang sejarah
agama. Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai data,
dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol— seperti bentuk-bentuk
upacara keagamaan—sebagai fokus perhatiannya.
Mungkin yang paling relevan dalam
hubungannya dengan penelitian agama Islam dalam perspektif ilmu budaya adal ah
acuan ketiga, yaitu penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode itu
bisa diterapkan dalam menelaah (meneliti) ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan,
lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan. Dengan mengacu
pada tiga kerja penelitian dalam metode fenomenologi maka langkah-langkah
penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan
a.Deskripsi
tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang
bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
b.Deskripsi
tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk
ekspresi kebudayaan.
c. Deskripsi
tentang perilaku keagamaan, berupa;
1) deskripsi ontologis
Deskripsi ini memusatkan perhatiannya
pada "objek". Kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan,
"Yang Suci" atau "Yang Gaib", "Kekuasaan" dan
sebagainya.
2) deskripsi psikologis
Perhatian diletakkan pada kegiatan
keagamaan itu sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski, misalnya,
menghubungkannya dengan fungsi kegiatan itu dalam masyarakat.
3) deskripsi dialektik
Apa yang memperoleh perhatian di sini
adalah hubungan antara objek dalam kegiatan keagamaan. Bisa menekankan diri
pada pengalaman keagamaan, bisa juga memfokuskan diri pada peran simbol-simbol
keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam "mengalami" dunianya.
- Metode Hermeneutik
Apabila metode fenomenologi mencoba
mengungkapkan dan mendeskripsikan hakikat agama, metode hermeneutik mencoba
memahami kebudayaan melalui interpretasi. Pada mulanya metode ini diterapkan
untuk menginterpretasikan teks-teks keagamaan. Awal penerapan ini masih tetap
melekat, dalam arti menempatkan konsep teks dalam kedudukan sentral. Kemudian,
Dilthey mengembangkannya menjadi lebih luas, baik sebagai permasalahan filsafat
maupun metodologi.
Berikut disajikan langkah-langkah yang
bisa diikuti dalam melakukan penelitian dengan metode hermeneutika beserta
asumsi-asumsi dasar yang harus dipegang, antara lain sebagai berikut.
a. Telaah Hakikat Teks
Di dalam hermeneutika, teks
diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri,
dilepaskan dan pengarangnya, waktu penciptaannya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu diciptakannya. Oleh karena itu, wujud teks adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa maka yang menjadi pusat perhatiannya adalah hakikat bahasa. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat untuk menyampaikan sesuatu. Sebagai akibatnya terdapat hubungan antara "alat penyampaian" dan "apa yang disampaikan". Tujuan dari metode ini adalah mengerti tentang "apa yang disampaikan" itu, dengan cara menginterpretasikan "alat penyampaiannya", yaitu teks atau bahasa tulis.
dilepaskan dan pengarangnya, waktu penciptaannya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu diciptakannya. Oleh karena itu, wujud teks adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa maka yang menjadi pusat perhatiannya adalah hakikat bahasa. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat untuk menyampaikan sesuatu. Sebagai akibatnya terdapat hubungan antara "alat penyampaian" dan "apa yang disampaikan". Tujuan dari metode ini adalah mengerti tentang "apa yang disampaikan" itu, dengan cara menginterpretasikan "alat penyampaiannya", yaitu teks atau bahasa tulis.
Jika sebelumnya dikatakan bahwa teks
itu mandiri, apabila dikaitkan dengan bahasa yang dimaksudkan, adalah sifat
otonomi semantik bahasanya. Jadi, interpretasi dilakukan terhadap bahasa
melalui semantiknya untuk mengerti apa yang disampaikan.
Selanjutnya, jika yang disampaikan itu
dikaji lebih mendalam, makna apa yang disampaikan itu dapat berupa ajaran,
pesan, pengalaman atau peristiwa. Adapun yang dimaksud "untuk
mengerti", dalam perspektif ini ialah arti atau makna secara keseluruhan,
makna dari kesemuanya itu. Demikianlah apa yang mula-mula bersifat subjektif,
setelah dirumuskan dalam bahasa menjadi pengakuan umum atau objektif. Ditinjau
dari sisi lain makna arti atau makna dari "apa" itu pun dengan
sendirinya bersifat objektif pula walaupun "apa" itu sendiri masih
bersifat individual.
Permasalahan lain yang timbul adalah
bahwa unit analisis hermenenutika tidak terbatas hanya pada hubungan
"apa" dan "tentang apa" secara semiotik dalam hal ini
"apa" diperlakukan sebagai arti dan tanda. Akan tetapi, semiotik di
sini dipergunakan hanya sebagai alat hermeneutik karena teks adalah sesuatu
yang otonom, satu dunia sendiri, yaitu dunia teks.
b. Proses Apresiasi

Dengan demikian, melalui hermeneutika
pembaca-peneliti tidak diharapkan untuk tenggelam ke dalam dunia teks, tetapi
mengaktualisasikan makna dalam dunia teks, serta kemudian mengaktualisasikannya
dalam dirinya sendiri. Kemampuan aktualisasi pembaca-peneliti ini sangat
ditentukan oleh “horizon”- yang dimiliki manusia, bisa pula sempit. Kemampuan
manusia untuk mempergunakannya pun berbeda-beda, ada yang dapat memperluas,
atau bahkan membuka horizon baru. Ada pula orang yang tidak dapat mempergunakan
dengan baik- tidak mampu melihat jauh sehingga cenderung untuk melebih-lebihkan
hal yang paling dekat dengan dirinya, bergantung pada pengetahuan, pengalaman,
dan keterbukaan manusia itu sendiri.
Di samping horison, kemampuan
aktualisasi itu juga dipengaruhi oleh “kesadaran sejarah”. Pemilikan atas
kesadaran sejarah ini akan memungkinkan manusia untuk menempatkan horizonnya
pada dimensi-dimensi yang sebenarnya. Dengan sendirinya penerapan kesadaran ini
dalam proses aktualisasi dapat menghindarkan manusia dari kesalahpahaman.
c. Proses Interpretasi .
Pada waktu pembaca-peneliti berhadapan
dengan teks, ia berada pada situasi yang dikenal sebagai situasi hermeneutik.
Manusia berada pada posisi "antara", yaitu masa kini (di mana ia
berada) dan masa lalu (di mana teks diciptakan). Dernikian pula antara yang
dikenal dan yang asing.
Di dalam situasi ini pembaca-peneliti
menerka, menginterpretasikan arti yang tampak, dan mencoba mengerti arti yang
tidak tampak ( tampak (tersembunyi). Arti yang tidak tampak itu menjadi
tersembunyi oleh unsur atau jarak waktu, geografis, budaya, atau bahkan spritual.
Dengan demikian, proses interpretasi itu seolah-olah menjembatani unsur dari
jarak itu. Atas dasar inilah maka teks itu disebut sebagai "mandiri".
Sebaliknya, manusia, pembaca-peneliti,
dalam proses interpretasinya melibatkan kemampuan menerapkan
"horizonnya". Tanpa penerapan ini maka proses apresiasi tidak terjadi.
Demikian pula halnya dengan kesadaran sejarah.
Setiap interpretasi menciptakan
situasi tertentu dan pada waktu tertentu pula. Hal ini berarti bahwa setiap
saat terjadi interpretasi baru. Dengan kata lain,
ditinjau dari proses, seolah-olah unsur kesejarahan
ini melekat dalam struktur.
Dengan sendirinya dari sudut
pembaca-peneliti, diperlukan pemilikan kesadaran sejarah dalam horizonnya agar
unsur kesejarahan dapat tercakup dalam proses interpretasinya. Penerapan yang
demikian dapat mencegah penempatan situasi di mana ia berada pada perspektif
sejarah atau pada dimensi yang keliru. Kekeliruan penempatan pada dimensi waktu
inilah yang sering mengakibatkan kesalahpahaman.
3. Pendekatan Kebudayaan, Pendekatan Kualitatif, dan
Kajian Agama
Fenomena agama adalah fenomena
universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang
menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang
agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna
agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat.
Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian
yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian
tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu
faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi, dan perubahan sosial
dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor
determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan
realitas sosial yang lebih lengkap.[5]
Setiap kebudayaan adalah unik atau
tidak sama dengan kebudayaan yang lain, bahwa setiap masyarakat mempunyai
kebudayaan masing-masing; dan bahwa setiap agama[6] untuk dapat
berpijak di bumi atau hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat
haruslah menjadi pedoman yang diyakini kebenarannya bagi kehidupan suatu warga
masyarakat.
Jadi, suatu agama untuk dapat hidup
dan berkembang serta lestari dalam masyarakat haruslah menjadi kebudayaan bagi
masyarakat tersebut. Karena setiap masyarakat itu mempunyai kebudayaan yang
digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi guna kelangsungan hidupnya yang
mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial, dan kebutuhan adab yang
integratif.[7]
Adapun agama sebagai pedoman bagi
kehidupan masyarakat hanya mencakup serta terpusat pada penyajian untuk
pemenuhan kebutuhan adab yang integratif. Karena itu, dalam hubungan antara
agama dan kebudayaan dari masyarakat setempat, agama berfungsi sebagai pedoman
moral dan etika yang terwujud sebagai nilai-nilai budaya yang mengintegrasikan
dan menjiwai setiap upaya pemenuhan kebutuhan biologi dan sosial dari warga
masyarakat tersebut.[8]
Dengan demikian, apabila agama dilihat
dan diperlukan sebagai kebudayaan, yaitu sebagai nilai-nilai budaya dari
masyarakat yang dikaji, agama diperlakukan sebagai sebuah pedoman yang diyakini
kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan serta pedoman bagi
kehidupan tersebut dilihat sebagai sesuatu yang sakral dengan sanksi-sanksi
gaib sesuai dengan aturan dan peraturan keagamaan yang diyakini. Dalam
pendekatan ini, agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan
keyakinan-keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat, yang pengetahuan dan
keyakinan tersebut menjadi patokan-patokan sakral yang berlaku di dalam hampir
semua kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia sehingga tindakan-tindakan pemenuhi
kebutuhan manusia itu dapat menjadi beradab penuh dengan ciri-ciri kemanusiaan
yang dibedakan dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologi dan sosial hewan.[9]
Pada waktu agama dilihat dan
diperlakukan sebagai kebudayaan maka yang` terlihat adalah agama sebagai
keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia, dan bukannya agama yang
terwujud sebagai petunjuk-petunjuk dan larangan-larangan serta
perintah-perintah Tuhan yang ada dalam al-Quran dan hadis Nabi. Jika agama
Islam yang tertuang sebagai teks suci dalam al-Quran dan hadis itu bersifat
universal, keyakinan keagamaan yang hidup dalam masyarkat itu bersifat lokal,
yaitu lokal sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup, dan
kebudayaannya.[10]
Mengapa bisa demikian keadaannya?
Untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan-keyakinan dari masyarakat yang
bersangkutan maka agama (Islam) harus melakukan berbagai proses perjuangan
dalam upaya meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan
hakiki dari agama tersebut, di samping harus juga melakukan berbagai
penyesuaian nilai-nilai hakiki yang ada dalam keyakinan agama tersebut dengan
nilai-nilai budaya dari masyarakat sehingga agama tersebut dapat diterima dan
diyakini kebenarannya. Dalam keadaan demikian itulah agama yang diterima oleh
sebuah masyarakat menjadi bersifat lokal.
Dalam beberapa kajian yang telah
dilakukan oleh para sarjana Indonesia mengenai penyebaran Islam di Jawa oleh
para wali songo, antara lain ditunjukkan bagaimana upaya dakwah tersebut
dilakukan dengan menggunakan wayang kulit (tradisi budaya Jawa) dan
diciptakannya lakon dengan isu pokok bamus
kalimosodo (kalimosodo sebenarnya bahasa Jawa dari Kalimat Sahadat). Begitu
juga berbagai dongeng suci atau mitologi persebaran Islam di Jawa, peng-Islaman
kerajaan Pajajaran, atau kegiatan para wali songo dalam mengislamkan orang Jawa
yang tidak menggunakan pedang, tetapi menggunakan kesaktian atau kemukdjizatan
Tuhan yang dipunyai oleh para wali atau penyebar agama Islam, sebagai orang
yang terpilih; adalah, antara lain, contoh-contoh mengenai hubungan antara
agama dan kebudayaan setempat.
Pendekatan kebudayaan dalam kajian
agama seperti yang dilakukan oleh para ahli antropologi, dalam dunia ilmu
pengetahuan dinamakan sebagai pendekatan kualitatif. Inti daripendekatan kualitatif ini adalah
pada upaya "memahami" atau verstehen
dari sasaran kajian atau penelitiannya. Ini berbeda dengan pendekatan
kuantitatif yang intinya mengukur. Karena dasar dari pendekatan kualitatif atau
etnografi dalam antropologi adalah pemahaman, konteks kebudayaan dari masalah
yang di kaji menjadi amat penting. Karena itu, dalam pendekatan kualitatif
tesebut cirinya yang mendasar, yang membedakannya dari pendekatan kuantitatif,
adalah "holistik" atau "sistemik" .[11]
Max Weber (1976) adalah pelopor dari
penggunaan metode verstehen yang
menjadi cikal bakal dari pendekatan kualitatif atau etnografi dalam penelitian
agama. Dalam karya klasiknya ini, The
Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, Weber memahami teologi
Kristen Protestan aliran Calvin, yang menekankan bahwa hidup manusia itu penuh
dosa karena dosa turunan yang dibawanya sejak lahir akibat dari perbuatan Adam
dan Hawa, dan bahwa walaupun Nabi Isa telah diturunkan untuk menyelamatkan
manusia dari dosa-dosa tersebut, dosa-dosa tesebut tidak bisa hilang kecuali
apabila manusia betul-betul takwa dan mengabdi kepada Tuhan. Ketakwaan dan
pengabdiin kepada Tuhan tidak hanya dalam bentuk bersembahyang, tetapi yang
terpenting adalah memuliakan rumah Tuhan atau gereja. Memuliakan rumah Tuhan
dilakukan dengan cara bekerja untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan menyerahkan
keseluruhan keuntungan tersebut kepada gereja untuk digunakan memuliakannya.
Gereja, dengan demikian, adalah pusat akumulasi modal, setiap saat dapat
memijamkan modal untuk berbagai kegiatan kerja dan usaha yang menguntungkan,
dan kesemuanya itu dikembalikan kepada gereja dengan segala kelebihan-kelebihan
melalui keuntungan-keuntungan yang diperolehnya. Inilah semangat kapitalisme
yang acuan landasannya berasal dari etika Protestan Calvin.
Pada waktu Weber melakukan kajian
mengenai etika Protestan tersebut, dia melihat teologi Kristen sebagaimana yang
hidup dalam masyarakat dan kebudayaan Kristen Protestan Calvin, sesuai dengan
apa yang ada di dalam pengetahuan dan keyakinan penganut Kristen Protestan
Calvin. Hal yang sama juga dilakukan oleh Clifford Geertz (1963) dalam kajinya
mengenai agama Islam orang Jawa, yang menghasilkan penggolongan abang , santri,
dan priyayi; dan kajiannya mengenai Islam di Maroko dan di Jawa (1972 ).
4.
Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia,
menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang
manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan
manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan
pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang
penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting
untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil
Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam
Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa
sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana
memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya
persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada
dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan
agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai
'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common
sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan
pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious
sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan
nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim
tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud
yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia,
sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia.
Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama
juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian
ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya
menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal
manusia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam
sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas
keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam
dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak
pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat
diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is
practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan
agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The
Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer
sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa.
Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri
dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang
dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun
hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara
agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami
banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya.
Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba
menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik
terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat
Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli
dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya
pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada
orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa
ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang
jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis
pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di
dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan
lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan
partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan
perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan
arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan
negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang
baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di
Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang
lebih luas di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi
bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana
tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang
melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran
grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat.
Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama
dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan
tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama
yang dipraktikkan.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat
penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan
ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai
posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka
"desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam
arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal
dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir
oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi
berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang
laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah
membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat
telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa
globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu
sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti
antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya
komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya
untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan
terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk
mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya
"pengetahuan lokal" di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah
globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali
budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.
Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin
manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui
bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau
mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk
mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal
harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak
menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi
di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian
Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan
berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel
Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan
untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai
"international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan
dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian
Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama,
penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara
empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social
context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke
dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk
membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan
sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah
tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan
menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka
mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi
sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi
kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan
dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang
terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka
budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian
kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara
historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian
berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis
tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya
menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif
untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama
sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci
sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga
worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter
dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun
estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus
bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping
itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh
manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk
karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran
realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian
Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam.
Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian
Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan
gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang
luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan
barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang
disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada
kekayaan budaya dunia.
a.
Tradisi
Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan
mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan
(beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi
untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat.
Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di
Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman
realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang
mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika
menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan
Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut
Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian
Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh
empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan
mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi
karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan
mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan
bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal
dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah
"takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan
agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang
meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan
usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula
usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat,
menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem
yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih
dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam
menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan
sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini
mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama
dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama.
Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat
dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan
besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu
tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan.
Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan
keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai
kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali
makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal
yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai
pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu
mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan
sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat
dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist,
functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali
dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk
melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat
perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam
tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama
sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi
agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan
generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya
kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut
perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade
perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu
bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang
dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme.
Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller
berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi
agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis,
sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of
the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat
buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang
diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured
dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim
menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi
antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan
pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam
agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang
sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu,
Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai
sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka
society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial
yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para
antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam
masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus
mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban
hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam
bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat.
Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja
secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur
sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam
masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris.
Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan
equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para
antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut.
Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi
sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari
perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi
agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap
permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common
sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali
menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan
rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional
Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah
dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan
teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi
masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana
gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan
rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka
sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana
komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang
unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an
sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara
eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai
makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk
mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan
pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut
adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di
masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang
dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual
bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian
kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual
(ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune)
mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media
untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang
disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain.
Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi
di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali
hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali
nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai
kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya
terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis,
fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam
kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti
halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih
tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi
manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak
tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan
agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte
Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk
mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika
tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte
Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah
keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh
ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah
tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan
restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di
Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian
yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama,
tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial
manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan
agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan
ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada
argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama
dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam
kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam
kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal
yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka
sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama.
Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi.
Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia
adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya
adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan
sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat
betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi,
menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat
dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an
seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan.
Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada
konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an
menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk
pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu
termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep
agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas
empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah
cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan
segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris.
Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam
budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas
universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya
manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya
adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.
b.
Agama
Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan
tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, "Religion as a
Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan
Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada
teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori
fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian
agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang
mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang
menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan
bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter
masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru,
tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols which acts to establish powerful,
pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of
existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that
the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke
dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure
yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik.
Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan
suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya
diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu.
Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia
merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of
reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem
yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu
sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti
tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The
Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita
bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java
memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga
bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik
maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin
melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan
kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari
interaksi dengan budaya lokal.
[1]Parsudi Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”,
Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet.
I, 1998), hal. 110
[6] Menurut
Parsudi Suparlan, agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan gaib,
khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya,
dan mengatur manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama
dilihat sebagai sebuah doktrin yang terwujud sebagai teks suci. Adapun hubungan
agama dengan manusia yang meyakininya, dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia
yang menjadi penganut agama tersebut, tidak tercakup dalam definisi tersebut. Lihat,
Parsudi Suparlan, op. cit., hal. 109
Post a Comment