Sumber Gambar: |
Untuk tulisan ini bisa di download disini
Vocabulaire Philosophique Lalande memberikan definisi integrasi sebagai “dibangunnya interdependensi yang lebih rapat antara bagian-bagian dari organisme hidup atau antara anggota-anggota dalam masyarakat, yang cenderung membuatnya menjadi suatu kota yang harmonis, yang didasarkan pada tatanan yang oleh anggota-anggotanya dianggap sama harmonisnya.[1]
Setiap kebudayaan merupakan
sebuah formasi, yang bagian-bagiannya saling sesuai menyesuaikan, oleh sebab
itu masuknya setiap unsur kebudayaan yang baru tentu akan mengganggu
keseimbangan yang telah ada. Sebelum unsur itu dapat menjadi universal atau
spesialistis, lebih dahulu harus melalui serangkaian penyesuaian-penyesuaian.
Gejala saling sesuai menyesuaikan antara unsur-unsur kebudayaan ini disebut
integrasi (integrasion), yang merangkum aspek dinamik maupun statik.
Jadi, proses integrasi ialah perkembangan progresif dalam rangka mewujudkan
persesuaian yang sempurna antara berbagai unsur-unsur, yang secara bersama
mewujudkan “total culture”. Sedangkan yang dimaksud dengan tingkat atau
taraf integrasi (degree of integartion) ialah tingkat penyesuaian yang
telah dicapai pada satu titik (saat) tertentu di dalam “culture continuum”.[2]
Dalam
proses integrasi tidak ada satu kebudayaan pun yang pernah mewujudkan integrasi
dengan mutlak atau sempurna. Jelasnya, tak pernah semua unsur-unsur yang ada di
dalamnya saling sesuai menyesuaikan dengan sempurna, karena di dalam setiap
kebudayaan selalu terjadi perubahan, entah berasal dari inovasi atau dari
difusi. Ini berarti, bahwa tidak ada satu kebudayaan pun yang pernah
diintegrasikan dengan sempurna pada suatu titik sejarahnya. Dengan demikian
integrasi merupakan persoalan taraf atau tingkat. Apabila tingkat integrasi
dalam suatu kebudayaan tidak dapat mencapai ukuran minimal, maka akan lumpuhlah
kebudayaan itu dan runtuhlah masyarakatnya sebagai satu kesatuan fungsional.
Namun hal ini jarang sekali terjadi, karena semua kebudayaan mempunyai
kemampuan yang mengagumkan untuk mewujudkan perubahan dan adaptasi. Malahan
dapat dikatakan bahwa setiap atau serangkaian unsur-unsur kebudayaan baru dapat
diintegrasikannya, asal saja tidak bertentangan secara langsung atau berlawanan
dengan unsur-unsur pokok di dalam formasi yang telah ada, sehingga masyarakat
akan menolaknya seketika.[3]
Selama berlangsungnya proses
perubahan kultural, disintegrasi berjalan berdampingan. Pada saat bagian-bagian
tertentu dari kebudayaan itu telah berhasil mengadakan penyesuaian, ada
bagian-bagian lain yang baru ‘merasakan’ gerak perubahan yang ditimbulkan oleh
unsur baru itu. Pada pokoknya proses penerimaan unsur baru menimbulkan masa
panca roba. Akibat yang ditimbulkan dari penerimaan unsur-unsur terhadap
kebudayaan penerima tidaklah selalu sama. Ada unsur yang dapat dikatakan tidak
menimbulkan kegoncangan sama sekali dan ada juga yang dapat menimbulkan
perubahan yang besar.[4]
Untuk mengetahui sejauhmana
interaksi sosial antaretnis (mayoritas dan minoritas) dan kemungkinan
terjadinya bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan struktural fungsional.
Pendekatan struktural-fungsional sebagaimana dikembangkan oleh Parsons dan
pengikutnya memiliki pandangan bahwa adanya komitmen terhadap norma-norma
sosial (nilai-nilai bersama) sangat penting dalam terjadinya integrasi dalam
suatu masyarakat. Sehingga, dapat dikatakan bahwa individu-individu dan
kelompok-kelompok manusia akan terintegrasi bila adanya, antara lain, persamaan
kepentingan (interast), keyakinan (agama), dan status sosial.
Adanya kecendrungan terwujudnya
integrasi dalam masyarakat bukan berarti terlepas dari perbedaan-perbedaan
pendapat dan konflik. Namun, suatu hal yang penting dari proses integrasi
tersebut adalah adanya kesadaran dalam menjaga keseimbangan hubungan, sehingga
eksistensi dan identitas masing-masing kelompok sosial yang terintegrasi tetap
diakui. Usman menulis bahwa proses terrwujudnya integrasi sosial dikelompokkan
menjadi tiga dimensi. Pertama, masyarakat dapat terintegrasi berdasarkan
kesepakatan kebanyakan anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang
bersifat mendasar. Kedua, masyarakat dapat terintegrasi dikarenakan kebanyakan
anggotanya terhimpun dalam berbagai unit sosial sekaligus (cross cutting
affiliations). Ketiga, masyarakat dapat terintegrasi atas saling ketergantungan
di antara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya dalam mencapai kebutuhan
ekonomi.
Satu hal yang perlu
dikemukakan bahwa adanya nilai-nilai integrasi yang tinggi (interaksi
antaretnis) pada masa kejayaannya, lebih disebabkan oleh suasana integrasi yang
natural yang jauh dari rekayasa politik. Kedatangan bangsa-bangsa Arab ke
Palembang dimotivasi oleh kepentingan perdagangan. Adanya persamaan kepentingan
perdagangan telah menciptakan rasa ketergantungan itu menjadi pendorong bagi
terwujudnya integrasi.
Sehubungan dengan budaya,
Kedekatan budaya Arab dengan Budaya Palembang, membuat kedua etnis melakukan
kolaborasi budaya. Budaya Arab yang mengambil sendi al-Qur’an dan hadits dan
Palembang dengan kitab perundang-undangan
adat yang dikenal Undang-undang Simbur
Cahaya. Undang-undang Simbur Cahaya yang terkenal untuk daerah pedalaman,
tampaknya masih dikenal hingga kini. Collins dalam penelitiannya tahun 1977
masih melihat di kantor Kabupaten Lahat Undang-undang
Simbur cahaya ini dipakai sebagai rujukan dalam menyelesaikan masalah adat.[5]
Dan dapat dipastikan sebahagian besar hukum dari Undang-undang Simbur Cahaya
ini dipengaruhi oleh kedatangan dan budaya Arab.
Sebagai
ilustrasi kecil dari isi kitab Undang-undang Simbur Cahaya. Dalam Bab I, aturan
Bujang gadis dan Kawin, tampak adanya aturan yang ketat mengenai hubungan pria
dan wanita. Ketentuan yang ketat seperti ini merupakan pengaruh dari hukum
Islam yang sangat membatasi hubungan antara pria dan wanita yang bukan muhrim. Walupun demikian tampaknya ketentuan
itu telah menunjukan adanya penyesuaian dengan adat setempat.
Satu hal yang perlu
dikemukakan bahwa adanya nilai-nilai integrasi yang tinggi (integrasi
antaretnis) pada masa masyarakat
Palembang, lebih disebabkan oleh suasana integrasi yang natural yang jauh dari rekayasa politik.
Kedatangan bangsa-bangsa asing (cina,Arab,Persia,India) ke Sriwijaya (bernotabene kerajaan budha) dimotivasi
oleh kepentingan perdagangan telah menciptakan rasa ketergantungan satu sama
lain (mutual simbolis). Keadaan saling
ketergantungan itu menjadi pendorong terwujudnya integrasi. Situasi tersebut
tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sikap politik dan pelayanan dibidang
perdagangan Palembang sudah demikian baik, sehingga mempunyai citra tersendiri.
Seperti kebanyakan yang
ditunjukkan oleh para penulis Hadrami, merupakan fakta bahwa imigran menganggap
agama yang sama dengan masyarakat pribumi telah membuat integrasi lebih mudah
terjadi dibandingkan dalam kasus Cina Hindia, khususnya di kota-kota pelabuhan
di mana umumnya terdapat komunitas pedagang muslim yang besar maka Islam
merupakan faktor pemersatu yang kuat. Hadrami berinteraksi dengan masyarakat
India, Jawa, Palembang dan lainnya dalam sebuah komunitas yang dibatasi dengan
ikatan keyakinan yang sama. Keyakinan agama yang sama ini membuat kerja sama
lebih mudah karena bahkan hal-hal praktis dibatasi dengan pemahaman yang sama
termasuk dalam hal pembagian keuntungan. Sekalipun berbeda asal-usul namun
keyakinan ini telah menggolongkannya dalam lingkup identitas bersama Islam.
Oleh karena itu, Hadrami dipandang tidak terlalu “asing” melainkan bagian dari
persaudaraan masyarakat Islam di seluruh dunia.[6]
Ironisnya, bahwa persoalan
realitas social saat ini sebetulnya memiliki keterkaitan yang erat dengan
realitas social-historis sebelumnya. Proses dialektika antara nilai-nilai lokal
mengenai persoalan social,budaya,ekonomi dan politik terlebih agama merupakan
elemen penting perekat bangsa. Secara makro, kepincangan social,
budaya, ekonomi dan politik (multi gaps) masih
sangat dirasakan, bahkan sering dikaitkan dengan etnis datangan.[7]
Namun secara mikro, harus diakui pula
bahwa pada daerah tertentu keadaan integrasi menunjukan lebih baik. Sebagai
ilustrasi, di Palembang tingkat pembauran antara etnis cina, Arab dan Pribumi
setempat menunjukan gejalah konflik yang relative kecil dan tidak mengalami
ketimpangan. Sehingga sejak awal dan
bahkan sampai akhir abad-20 kehidupan penduduk pribumi Palembang dengan Hadrami
selaku masyarakat pendatang tetap terjalin secara harmonis.
[1]Maurice Duverger, Sosiologi Politik,
terj. Daniel Dhakidae, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. VI. 1998), hal.
310.
[2] Linton, Ralph, op. cit., hal. 266
[3]Hasbullah,
op. cit., hal. 19.
[5] William Augustus Collins, Basemah Concepts, A Study of the Culture A
People of South Sumatra, Disertasi University of California, 1979, hal.34
[6] Lihat, Natalie Mobini Kesheh, Hadrami
Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia, terj. Ita Mutiara, (Jakarta:
AKBAR Media Eka Sarana, Cet. I, 2007), hal. 18
[7] Seringkali persoalan ketimpangan
social,budaya,ekonomi dan politik-terutama social dan ekonomi-dikaitkan dengan
kiprah orang beretnis cina dalam bidang ekonomi. Para ahli social
budaya,ekonomi dan politik menyakini bahwa tidak kurang 75 persen asset Negara
ini dimiliki oleh etnis migrant cina. Struktur social dan ekonomi yang demikian
telah mempersulit terwujudnya integrasi bangsa berbagai kerusuhan 12-13 mei
memiliki keterkaitan dengan ketimpangan persoalan social dan ekonomi tersebut.
Lihat Abdullah Idi,kerajaan sriwijaya,
Nilai-nilai integrasi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, dalam
Zulkifli & Abd.Karim Nasution (ed), Islam
Dalam Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan. UNSRI, 2001.hal.9
Post a Comment