Pada hakikatnya tidak ada
kebudayaan di dunia ini yang statis dan tiada mengalami perubahan, baik
disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Kebudayaan yang
berfungsi bagi manusia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya, senantiasa
berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan, baik karena perubahan
dalam bidang pemikiran, ekologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kebutuhan
untuk melakukan perubahan atau pembaharuan nilai inilah yang prosesnya disebut
transformasi.[1]
Kuntowijoyo
mengartikan transformasi sosio-kultural sebagai arah dari sebuah perubahan
(sosial) yang bersifat profetik (normatif). Pengertian sosio-kultural dibatasi
pada nilai-nilai normatif (agama, etika sosial, ekonomi Islam) yang dapat
dijadikan acuan dalam mendorong peningkatan dan hubungan-hubungan pertukaran di
dalam suatu sistem sosial.[2]
Asimilasi Kebudayaan
Asimilasi adalah suatu proses
sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat
khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah
menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi
terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas, sehingga
sifat-sifat khas dari kebudayaannya lambat-laun berubah dan menyatu dengan
kebudayaan golongan mayoritas.[3]
Di Amerika, proses sosial
seperti itu banyak diteliti para ahli sosiologi, dengan munculnya
masalah-masalah yang diakibatkan oleh kedatangan para imigran dari Eropa. Bagi
Indonesia, pengetahuan mengenai kebinekaan suku bangsa, lapisan sosial, dan
agama serta proses asimilasi yang terjadi di tempat-tempat lain di dunia,
sangat penting sebagai bahan perbandingan.[4]
Dari berbagai proses asimilasi
yang pernah diteliti, diketahui bahwa pergaulan intensif saja belum tentu
mengakibatkan terjadinya proses asimilasi, tanpa adanya toleransi dan simpati
antara kedua golongan. Contohnya adalah orang Cina di Indonesia, yang walaupun
telah bergaul secara intensif dengan penduduk pribumi bangsa Indonesia sejak
beberapa abad, belum seluruhnya terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan
Indonesia. Sebaliknya, kurangnya toleransi dan simpati terhadap suatu
kebudayaan lain umumnya disebabkan karena berbagai kendala, yaitu kurangnya
pengetahuan mengenai kebudayaan pihak yang dihadapi, kekhawatiran akan kekuatan
yang dimiliki kebudayaan tersebut, dan perasaan bahwa kebudayaan sendiri lebih
unggul dari kebudayaan pihak yang dihadapi.[5]
Post a Comment