A.Pemikiran dan
Gagasan Dakwah K.H. Ahmad Sanusi
1. Pemikiran Keagamaan
K.H. Ahmad Sanusi memiliki pemikiran
dan pemahaman yang dalam mengenai ilmu-ilmu ke-Islaman. Ia menguasai ilmu tafsir, mantik,
dan lain-lain. Bahkan ia hafal al-Qur’an 30 Juz. Oleh sebab itu, tidaklah
berlebihan kalau K.H. Ahmad Sanusi mampu merespon dan menjawab
persoalan-persoalan keagamaan yang berkembang saat itu. Seperti, penolakan terhadap gerakan pembaharuan, memerangi
kejumudan, maupun masalah-masalah lainnya. Banyak kitab-kitab yang ditulisnya
dalam berbagai disiplin ilmu mampu menjawab harapan masyarakat dan menjawab
permasalahan tersebut.[1]
Menurut Ahmad
Sanusi, al-Quran sebagai kitab Allah merupakan sentral dalam kriteria
keberimanan seseorang. Karena itu, menurut beliau, syarat diterimanya keimanan
dan ketaatan kepada Allah adalah harus percaya, menghormati dan mengakui
seluruh kitab Allah, termasuk di dalamnya al-Qur’an.[2]
Oleh karenanya,
beliau menegaskan bahwa al-Quran diturunkan semata-mata untuk memperbaiki
segala perilaku kehidupan umat manusia. al-Quran berisi sejumlah perintah dan
larangan yang kemudian disebut Hukum Islam. Menurut K.H Ahmad Sanusi yang
dimaksud dengan Hukum Islam (Hukum Syariah) adalah firman Allah yang berkaitan
dengan perbuatan orang mukallaf.[3]
Ahmad Sanusi menjelaskan
bahwa al-Quran adalah kitab Allah yang berisi sejumlah ketentuan bagi manusia
dalam hidup.[4] Dengan
kata lain, al-Quran adalah tuntunan hidup bagi manusia yang ingin selamat dunia
dan akhirat melalui penjelasan-penjelasan dalam al-Quran tentang aturan yang
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Oleh karenanya,
KH Sanusi menerangkan lebih lanjut bahwa di dalam al-Quran ada 4 kategori
hukum, yakni: (1) berkaitan dengan keimanan dan kebebasan beragama dalam
memilih dan menjalankan ketentuan-ketentuan agama; (2) berkaitan dengan rumah
tangga dan pergaulannya seperti pernikahan dan perceraian, keturunan dan
kewarisan; (3) berkaitan dengan prinsip kerjasama antarsesama umat manusia
seperti jual-beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lain; dan (4) berkaitan dengan
pemeliharaan kehidupan, yaitu berupa peraturan pidana dan perdata untuk
menghukum di antara sesama manusia yang melakukan kesalahan.[5]
Haji Ahmad
Sanusi berkeyakinan bahwa al-Quran sebagai sumber ajaran Islam, oleh karenanya semasa
hidupnya digunakan untuk memahami al-Quran, di samping ilmu-ilmu keagamaan yang
lain. Di pesantren yang didirikannya, yakni Pesantren Genteng Babakan Sirna,
Cibadak, Sukabumi, pria yang pernah menuntut ilmu selama 15 tahun di Makkah ini
mengajarkan ilmu-ilmu al-Quran dan tafsir Quran kepada santri-santrinya.
Ketekunannya dalam menyampaikan ilmu inilah yang mendorongnya untuk menulis
tafsir al-Quran berbahasa Sunda yang ditulis dengan huruf Arab yang kemudian
terbit dalam judul Malja’ ath-Thalibin. Proses mengajar tafsir
al-Quran kepada santri di lingkungan pesantren berjalan terus sehingga tak lama
kemudian terbit sebuah kitab yang sifatnya terjemahan dari al-Qur’an yang
berjudul, Raudah al-Irfân fî Ma’rifah
al-Qur’ân.[6]
Ajengan Genteng juga mengarang sebuah kitab tafsir dalam bahasa Melayu dengan
huruf Latin dengan judul, Tamsyiat al-Muslimin fi Tafsir Kalam
Rabb al-Alamin. Tafsir ini sengaja beliau buat untuk para pembaca yang
tidak memahami bahasa Sunda dan bahasa Arab.
Pemikiran-pemikiran
ajengan Ahmad Sanusi dituangkanya dalam berbagai karya, seperti Raudhatul
Irfân,
kitab terjamah bahasa Sunda per-kata dan dilengkapi dengan tafsir penjelas
secara ringkas. Tafsir ini telah dicetak ulang berpuluh kali dan sampai
sekarang masih dipakai oleh majlis-majlis ta’lim di wilayah Jawa Barat. Karya
lainya adalah serial Tamsyiat al-Muslimîn, tafsir al-Qur’an dalam bahasa
Melayu (Indonesia). Setiap ayat-ayat al-Qur’an disamping ditulis dengan huruf
Arab juga ditulis (transliterasi) dalam huruf Latin. Sementara banyak ulama
pada waktu itu memandang usaha KH. Ahmad Sanusi sebagai suatu bid’ah yang
haram, sehingga menimbulkan perdebatan yang sengit. Serial tafsir ini, sarat
dengan pesan-pesan tentang pentingnya harga diri, persamaan, persaudaraan dan
kemerdekaan di kalangan umat . Kitab lain yang juga ditulis adalah Malja’
al-Talibin fi Tafsir Kalam Tabb al-Alamin, dan Raudah al-‘Irfan.
KH. Ahmad Sanusi juga mengkritik
pola hidup masyarakat Priyangan yang cenderung memfokuskan diri pada akhirat
semata tanpa peduli terhadap kemuliaan hidupnya di dunia. Pemahaman terhadap
Islam secara parsial seperti masyarakat Priangan ini, menurut Ahmad Sanusi sebagai
bukti bahwa proses Islamisasi di suatu daerah hanya bersifat formal keagamaan
dalam bentuk pengucapan kalimat Syahadat semata dan kalau itu pun ada hanya
sebatas pada perkenalan dengan doktrin-doktrin yang non-interpretable.[7]
Oleh sebab itu menurut K.H. Ahmad
Sanusi perlu adanya re-Islamisasi yang terus menerus. Baginya, kondisi
masyarakat Priangan yang seperti itu disebabkan oleh, disamping proses
Islamisasi yang belum selesai, juga disebabkan oleh para kyai sebagai penyebar
Islam yang tidak benar dalam memahami dan menyampaikan doktrin-doktrin Islam.
Maka untuk meluruskan persepsi yang tidak benar tersebut, K.H. Ahmad Sanusi
menjelaskan dan menawarkan konsep khoiru ummat, sebagaimana ditulisnya,
pangkat khoiru ummat itu satu pangkat yang diwajibkan oleh Allah kepada
semua umat Islam yang harus dicapainya.[8]
Lebih lanjut Kyai Ahmad Sanusi mengatakan
bahwa jika umat Islam Indonesia belum sampai kepada identitas khairu ummat,
maka wajib bagi seluruh ummat untuk mengusahakannya. Hal-hal yang harus
dilakukan oleh seluruh umat Islam, menurutnya, pertama, kepada kaum
pesantren dan kaum sekolah untuk berkonsentrasi penuh dalam rangka menuju
pangkat tersebut. Kedua, dalam rangka mencapai pangkat tersebut, semua
aturan-aturannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh
Allah dan rasul-Nya. Ketiga, perilaku, ucapan, dan langkahnya harus
berada dalam kebaikan menurut syara.[9]
K.H. Ahmad Sanusi menyayangkan
sikap kaum ulama muharipin ( yang lebih mementingkan kehidupan akhirat) dan
godirin (yang bekerjasama dengan penjajah). Demikian ia menyebut bagi
ulama Islam yang tidak lurus ilmunya dan memalsukan ilmu terhadap
murid-muridnya, yang berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh mulia, tidak
boleh kaya, tetapi harus bersikap hina dan melarat dalam kehidupan dunia.
Alasan mereka tentang konsep kebahagiaan di dunia buat kaum kafir dan cukup bagi
kaum muslim mendapat kebahagiaan dan kemuliaan di akhirat saja, di bantah oleh
K.H. Ahmad Sanusi sebagai kesalahan pemahaman dalam pengiterpretasian mereka
terhadap ayat al-Qur’an.[10]
Ia juga mengkritik sikap kaum
ulama di atas yang tidak memasukkan al-‘ulumul kauniyyah ke dalam
kategori ilmu Islam. Menurutnya ilmu kauniyyah adalah ilmu kepintaran yang bermanfaat di dunia.
Seperti pertanian yang sempurna, ilmu perdagangan yang sempurna, ilmu abniyyah
yaitu ilmu membuat segala macam bangunan, ilmu shana’ah yang sempurna,
ilmu nasajat yaitu ilmu menenun, ilmu al-khayyathun yaitu ilmu
menjahit dan membuat benang dan ilmu al-hadadah yaitu ilmu bengkel
pabrik dari mulai membuat pancing sampai membuat kapal, kereta api, kapal udara
dan sebagainya.[11]
Di samping mengkritik masyarakat
yang akhirat-oriented, K.H. Ahmad Sanusi juga mengingatkan kepada orang-orang
yang dunia-oriented semata. Dalam satu penjelasannya berkata, “Jika kita
meninggalkan peraturan-peraturan Allah dan rasulnya, kita tidak akan bisa
mencapai pangkat khoiru ummat, walaupun misalnya kita di dunianya bisa
mendapat pangkat kebahagiaan dan kehormatan yang tidak memakai peraturan Allah,
Rasulullah, itu kemuliaan kebahagiaan bukan khoiru ummat tetapi
semata-semata kebahagiaan, kemuliaan yang diungkapkan Allah, wa ma al-dunya
illa mata’u al-gurûr, (tidak ada kehidupan, kekayaan, kemuliaan, kehormatan
yang dunia saja yang tidak disertai oleh agama Islam taat ibadah kepada Allah
yang sempurna, kecuali semata-mata tipuan saja) yang serupa itu mustahil dianggap
baik, tentu saja dianggap jelek. Oleh sebab itu, kemuliaan dunia yang tidak
disertai dengan kesempurnaan agama bukan khoiru ummat tetapi kehidupan
gurur (tipuan).[12]
Deskripsi di atas mengindikasikan
bahwa K.H. Ahmad Sanusi berupaya merasionalisasikan ajaran-ajaran Islam pada
konteks yang sebenarnya. Baginya dunia dan segala yang berhubungan dengannya
diletakkan dalam konteks amanah, dalam artian harus dipelihara dan dijaga.
2. Pemikiran tentang Ekonomi Keummatan
Berkaitan
dengan pengembangan Ekonomi keummatan, Ahmad Sanusi menginginkan ekonomi
berdasarkan koperasi. Sedangkan pengumpulan modalnya dikumpulkan dari iuran
masyarakat, modal dikelola untuk kepentingan masyarakat, dengan masyarakat
sebagai pasar. Cita-cita koperasi ini ia sampaikan dalam perhimpunan AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah), sehingga di akomodir dalam Anggaran Dasar perhimpunan AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah) yang dituangkan pada pasal 3 ayat (f), yaitu:
“Perhimpoenan
al-Ittihadiyatoel Islamiyah akan mengadakan Baitoelmall (koempoelan wang modal)
jang masoednja hendak memberikan pertolongan kepada lid-dlinja oentoek
perniagaan dan peroesahaanja, jaitoe mengadakan perbagai barang jang menjadi
keperloeannja, baik dengan pembajaran kontan, maoepoen dengan tjitjilan.
Terhadap koperasi-koperasi jang didirikan oleh kaoem al-Ittihadijaoel
Islamijjah, maka baetoel peola sebagai verkop centrale.[13]
Untuk mewujudkan hal tersebut ia membentuk lembaga permodalan yang diberi nama N.V.
Handel Maatschappij Baetalmal pada 30 Maret 1938.”[14]
Gagasan ekonomi keummatan yang
berbentuk koperasi ia kemukakan pada tahun 1915, dan dipertegas kembali pada
tahun 1935 sebagaimana tercantum dalam majalah bulanan (maanblad) at-Tabligoel
Islami terbitan perdana, yaitu dengan mengutip kitab Nidham al-‘Alam wal
umam (Pengorganisasian Semesta Bangsa) Juz 2 h. 153. “I’lam anna dun-ya
wad-din la yashluhani illah biwujudi arba’ata asy-ya: azzira’atu, wat-tijaratu,
washina’atu, wasiyasatu” yang berarti bahwa urusan dunia dan agama hanya
bisa tegak bila ditopang dengan empat soko guru: pertanian, perdagangan,
industri, dan politik. Pertama, pertanian adalah ekonomi hulu dan utama.
Bertani atau mengolah kekayaan alam untuk bertahan hidup, dapat dilakukan oleh
siapapun. Kedua, perdagangan dilakukan, apabila terjadi surplus bidang pertanian.
Ketiga, industri untuk meningkatkan nilai tambah dengan cara mengubah
hasil alam menjadi barang. Keempat, politik adalah untuk menentukan
bidang pertanian, perdagangan dan industri.[15]
3. Pemikiran Kebangsaan
Semenjak ia berkenalan H. Abdul
Muluk, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H. Mas Masyur, K.H. Abdul Halim, dan
tokoh-tokoh Islam yang lain, di Makkah al-Mukarromah, maka pemikirannya tentang
kebangsaan (nasionalisme), kemerdekaan, dan lain-lain mulai tertanam dengan
baik dalam jiwa dan jati dirinya, sehingga ketika SI (Syarikat Islam) diserang
oleh surat kaleng yang memburuk-burukkan tentang SI, maka ia tampil di muka
untuk membela, yang mana pembelaannya dituangkan dalam sebuah buku yang
berjudul Nahratoeddarham.[16]
Dalam bukunya itu ia menjelaskan bahwa organisasi ini, sesuai dengan isi dari
statuennya (Anggaran Dasar), bertujuan hendak melepaskan ketergantungan bangsa
pribumi dari bantuan banga asing. Hal ini menandakan bahwa Ahmad Sanusi tidak
hanya sebatas menegakkan hukum Islam, tetapi sudah memperlihatkan jiwa
kebangsaan (nasionalisme).[17]
4. Pemikiran Kenegaraan
Pemikiran tentang konsep bentuk
Negara dan wilayah Negara, hal ini terungkap dalam sidang BPUPKI pada tanggal
10-11 Juli 1945:
a. Tentang Bentuk Negara
Ketika sidang BPUPKI digelar pada
tanggal 10 Juli 1945, agenda yang dibicarakan adalah bentuk negara. Mr.
Soesanto (mewakili kelompok Aristokrat) mengusulkan, agar bentuk negara itu
berbentuk kerajaan. Usulan ini ditentang
oleh Muhammad Yamin (Kelompok Nasionalis), menghendaki bentuk Negara itu
berbentuk Republik. Maka Ahmad Sanusi ikut bicara untuk menengahi kedua
pengusul tersebut dengan menjelaskan plus minus bentuk Kerajaan dan Republik
dari perspektif Islam, sehingga beliau berpendapat bahwa sebaiknya berbentuk imamat
yang pimpinan oleh Imam, dengan kata lain berbentuk Republik.[18]
b. Tentang Batas Wilayah Negara
Dalam sidang BPUPKI pada tanggal
10 Juli 1945, agenda acara selain membahas bentuk Negara juga Wilayah Negara.
Setelah pembahasan bentuk Negara usai rapat ditunda untuk istirahat. Kemudian
dalam sidang lanjutan, Ahmad Sanusi mengusulkan untuk pembahasan penetapan
batas Negara, agar dibahas oleh panitia. Dalam sidang berikutnya tanggal 22
Juli 1945, ia mngusulkan agar pembahasan batas wilayah Negara agar ditunda
terlebih dahulu menunggu Indonesia merdeka hal ini sesuai dengan perspektif
hadits bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada sahabat bahwa untuk menentukan
batas wilayah jangan dilakukan terlebih dahulu, menunggu sampai dengan
peperangan usai. Namun akhirnya keputusan di ambil dengan pemungutan suara,
sehingga yang menang batas wilayah Indoensia Hindia Belanda dulu ditambah
dengan Malaya, Borneo, Utara, Papua, Timor Protugis, dan pulau-pulau
sekitarnya.[19]
c. Tentang Rangcangan Uud 1945
Pada tanggal 15 Juli 1945, BPUKPI
menggelar sidang pleno yang merupakan sidang lanjutan setelah panitia-panitia
seperti panitia yang merancang Undang-Undang Dasar, panitia Pembela Tanah Air,
dan lain-lain, yang telah dibentuk oleh Sidang BPUPKI telah melaksanakan
tugas-tugasnya untuk di sampaikan pada sidang pleno. Ketika membahas Rangcangan
Undang-Udang Dasar Negara Indonesia Merdeka, Abdul Fatah Hasan mengusulkan
mengenai Bab 10 pasal 28 ayat (2) diubah kalimatnya dari “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat
menurut agamanya masing-masing” menjadi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya masing-masing.” Usulan tersebut didukung oleh Ahmad Sanusi
karena sesuai dengan kenyataannya bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam sehingga kalau kalimat itu tidak di ubah dikhawatirkan akan menyinggung
perasan ummat Islam.[20]
Selanjutnya masih dalam pasal 28
ayat (2) anggota BPUPKI melakukan perdebatan yang sengit terutama antara K.H.
Abdul Kahar Muzakkir yang mengusulkan dari permulaan pernyataan Indonesia
Merdeka sampai kepada pada pasal di
dalam Udang-Undang Dasar yang menyebut-nyebut Allah atau agama Islam atau apa
saja, agar dihilangkan. Sedangkan K.H. Masjkur mengusulkan untuk mencantumkan
kalimat “menurut agamanya.” Karena sulit untuk dikompromikan kedua pendapat
tersebut Ketua sidang menawarkan untuk di ambil suara berdasarkan suara
terbanyak. Namun tawaran ini ditolak oleh Ahmad Sanusia, menurutnya: “Perkara
agama tidak bisa si stem (diambil suara terbanyak), kita terima usul yang
“menurut agama,” jangan memakai perkataan “agamanya”, karena Negara Indonesia,
walaupun tidak memakai agama tentu akan menjadi Indonesia Merdeka.” Kemudia ia
mengatakan, “Usul saya memakai perkataan “menurut agama”. Jangan pakai “nya”
kalau diterima. Kalau usul itu tidak diterima saya tidak ada keberatan; umat
Islam harus mempunyai Negara yang dimufakatinya.” Usul ini diterima oleh Ir.
Soekarno selaku Ketua merangkap anggota panitia yang merancang Undang-Undang
Dasar Indonesia Merdeka dan usul tersebut diterima pula oleh Ketua Sidang
BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat.
d. Tentang Pembelaan Negara Republik
Indonesia
Sesuai dengan hasil sidang panitia
pembelaan Tanah Air yang merumuskan bentuk pembelaan setiap warga Negara
terhadap negara Indonesia merdeka. Hasil rumusan tersebut disampaikan pada
tanggal 16 Juli 1945 dalam sidang BPUPKI. Adapun anggota Pembelaan Tanah Air
semuanya berjumlah 22 orang yang diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoedjoso,
sedangkan Ahmad Sanusi menjadi salah satu anggotanya dengan nomor urut 6
(enam). Isi dari rumusan itu:
Pembelaan Negara
Republik Indonesia.
1) Republik Indonesia dilahirkan di
tengah-tengah pertempuran seluruh bangsa-bangsa Asia Timur Raya melawan
kenafsuan Amerika, Inggris, dan Belanda, pertama kali ini ingin menyatakan
peringatan kehormatan terhadap rakyat Indonesia yang telah berjuang untuk
melaksanakan Indonesia merdeka dan terutama pula terhadap Balatentara Dai
Nippon serta ratusan ribu tenaga Indonesia yang telah berkorban jiwa di luar
dan di dalam tanah air Indonesia di dalam Perang Asia Timur Raya.
2) Meneruskan pertempuran tadi sehingga
kemenangan akhir tercapai, serta menjaga dan membela kemerdekaan dan kedaulatan
Republik Indonesia dan agama adalah kewajiban seluruh rakyat Indonesia.
Berkenaan dengan kewajiban tersebut, maka bangsa Indonesia yakinlah perlu
adanya pembentukan Tentara Indonesia yang harus dibentuk dengan jalan
mengadakan kewajiban milisi. Di samping itu perlu pula dibentuk Barisan Rakyat.
Cara melaksanakan milisi, begitu pun aturan pembelaan tanah air oleh Barisan
Rakyat disusun tersendiri.
3) Untuk menyempurnakan lagi tenaga perang
seharusnyalah diadakan mobilisasi umum.
4) Kepentingan pembelaan negara meminta
dalam susunan pusat pemerintahan pembentukan Kementerian Pembelaan yang
mengurus Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Sebagai langkah
pertama dari kementerian ini adalah mempersatukan segenap prajurit bangsa
Indonesia sebagai tentara Indonesia di bawa prajurit-prajurit bangsa Indonesia
yang sekarang dan yang akan termasuk dalam Balatentara Dai Nippon menjalankan
tugas kewajibannya menurut perjanjian antara Dai Nippon Teikoku dan Pemerintah
Republik Indonesia.
5) Dalam melaksanakan pertahanan dan
pembelaan negara yang kuat dan sentosa, maka Negara Indonesia menaruh penuh
kepercayaan atas kesanggupan segenap rakyat Indonesia untuk melakukan Jihad di
jalan Allah. Terutama atas semangat dan tenaga pemuda Indonesia yang dengan keteguhan tekad sanggup mengorbankan
jiwa raga. Kecuali daripada itu bangsa Indonesia mengharapkan keeratan bekerja
bersama dengan Balatentara Dai Nippon. Bentuk dan isi perhubungan tersebut akan
dilukiskan dalam perjanjian antara Dai Nippon Teikoku dan Republik Indonesia.
6) Tentara musuh telah menduduki beberapa
daerah Republik Indonesia. Tindakan ini terang-terangan merupakan pelanggaran
atas kedaulatan Negara Indonesia. Perkosaan sewajibnya dibalas dengan
pengumuman perang pada Amerika, Inggris, Belanda, dan sekutunya.
7) Terhadap tindakan-tindakan mata-mata
musuh dan pembantu-pembantunya, maka perlulah diadakan badan-badan istimewa,
terdiri dari pecinta-pecinta nusa, bangsa, dan agama, yang telah diuji budi
pekerti, kejujuran, kecakapan, dan rasa keadilannya. Badan tersebut ditempatkan
di bawah Kepala Negara dan Cara susunan dan kedudukannya diatur tersendiri.
8) Peperangan totalitair ini mengharuskan
bukan saja pembentukan tentara yang kuat, akan tetapi pula susunan seluruh
masyarakat yang kukuh, syarat yang terpenting guna penggemblengan seluruh
lapisan masyarakat itu ialah terjaminnya ketenteraman sosial dari segala
lapisan rakyat. Oleh karen itu, maka usaha-usaha pembentukan tentara sekuat dan
serapi-rapinya harus disertai penyempurnaan sosial di segala lapangan dan dari
segenap lapisan rakyat. Di samping itu, hendaknya dibangkitkan suatu Barisan
Kesehatan untuk menjaga kesehatan rakyat dalam arti seluas-luasnya.
9) Persenjataan dan peralatan tentara
hendaklah selekas mungkin dilengkapkan dengan jalan. Pertama,
mendapatkan dari Dai Nippon. Kedua, menyelenggarakan pembikinan dalam negeri
sendiri.
10) Penyempurnaan tentara Indonesia
mengharuskan di samping pembentukan tentara bersenjata, pengerahan dan
pemeliharaan barisan pekerja yang sehat dan rasional guna menjamin perlengkapan
perang, baik di depan maupun di belakang garis.
11) Agar supaya semangat pembelaan tanah air
lebih kuat, hendaknyalah di kalangan wanita dibangkitkan rasa berkewajiban
turut bertanggung jawab mempertahankan kemerdekaan.
12) Nasib para prajurit dalam arti luas
berserta keluarganya haruslah mendapat penghargaan yang sepadan dengan
jasa-jasanya.[21]
Nampaklah pengaruh pemikiran Ahmad
Sanusi yang memiliki latar belakang pesantren, dalam memberikan masukan
terhadap rumusan hasil panitia memberikan masukan terhadap rumusan hasil
panitia Pembelaan Tanah Air, diantaranya memasukkan kata Jihad di jalan Allah
sebagai motivator bagi rakyat untuk memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan dan kemandirian menjadi senjata utama dalam upaya memperjuangkan
dan mempertahankan kemerdekaan. Ia yakin bahwa semangat jihad yang dipadukan dengan
semangat nasionalisme akan mampu melahirkan nilai-nilai kejuangan guna
memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman musuh.[22]
B. Aktivitas Dakwah dan
Jihad K.H. Ahmad Sanusi
1. Aktivitas Dakwah K.H Ahmad Sanusi
a. Metode Dakwah K.H. Ahmad Sanusi
K.H. Ahmad
Sanusi dalam menjalankan misi dakwahnya agar sampai pada masyarakat adalah
dengan menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa sunda. Tujuan al-Qur’an
diterjemahkan ke dalam bahasa sunda, agar nilai-nilai keislaman bisa di
transformasikan secara langsung dan mudah dipahami dan diterima oleh
masyarakatnya. Segala cara pun telah dirintisnya hingga dalam berbagai sikapnya
pun beliau berusaha agar sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
al-Qur’an.[23]
Kitab
Raudhatul al-‘Irfân fi ma’rifati al-Qur’ân dapat dikatakan sebagai starting
point di tengah tradisi tulis-baca di dunia pesantren yang belum cekatan
dalam menghasilkan karya tafsir yang utuh. Tidak kurang dari sekian banyak
pesantren di ranah parahyangan mempergunakan kitab tafsir ini dalam proses
belajar-mengajar. Begitu juga, pengajian kampungan di lingkungan masyarakat
yang dibimbing oleh para alumni pesantren-pesantren di Jawa Barat, baik yang
dilakukan secara rutin (berkala) maupun pada waktu tertentu (insidentil).[24]
Dengan mudah
kita menemukan kitab tafsir ini di beberapa toko-toko kitab di pasar-pasar
tingkat kecamatan sekalipun. Naik cetaknya juga sudah tidak terhitung berapa
kali, sejak diterbitkan oleh beberapa penerbit yang berbeda-beda dan tanpa
tahun penerbitan pertama. Karakteristik Kitab Tafsir Raudhatul al-‘Irfân fi
ma’rifati al-Qur’ân, Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama berisi
juz 1-15 dan jilid kedua berisi juz 16-30. Dengan mempergunakan tulisan Arab
dan bacaan Sunda, ditambah keterangan di samping kiri dan kanan setiap
lembarnya sebagai penjelasan tiap-tiap ayat yang telah diterjemahkan.
Model penyuguhan
tersebut, bukan saja membedakannya dari tafsir yang biasa digunakan di
pesantren dan atau masyarakat Sunda umumnya, melainkan berpengaruh banyak pada
daya serap para peserta pengajian. Tulisan ayat yang langsung dilengkapi
terjemahan di bawahnya dengan tulisan miring akan membuat pembaca langsung bisa
mengingat arti setiap ayat. Kemudian, bisa melihat kesimpulan yang tertera pada
sebelah kiri dan kanan setiap lembarnya. Keterangan yang ada di kiri-kanan di
setiap lembarnya, berisi kesimpulan dari ayat yang tertulis di sebelahnya dan
penjelasan tentang waktu turunnya ayat (asbâb an-nuzûl), jumlah ayat,
serta huruf-hurufnya. Kemudian, disisipi dengan masalah tauhid yang cenderung
beraliran Asy-ari’ah dan masalah fikih yang mengikuti madzhab Syafi’i. Kedua
madzhab dalam Islam itu memang dianut oleh kebanyakan masyarakat muslim di
wilayah Jawa Barat.
Dari sini
terlihat bagaimana K.H. Ahmad Sanusi mempunyai strategi tersendiri dalam
menyuguhkan ayat-ayat teologi dan hukum yang erat kaitannya dengan paham
masyarakat pada umumnya. Pengertian kata perkata yang ada dalam tafsir ini
nampaknya diilhami oleh Tafsîr Jalâlain Karya Jalâluddîn al-Suyûthî dan
Jalâluddîn al-Mahallî yang banyak dipergunakan di lingkungan pesantren Jawa.
Ini terlihat dari awal penafsiran surat al-Fâtihah sampai surat-surat yang
sesudahnya. Model Tafsîr Mufradât (tafsiran kata per kata) yang melekat pada
tafsir al-Jalâlain telah berpengaruh banyak atas diri K.H. Ahmad Sanusi ketika
meracik tafsirannya untuk setiap kata dalam surat-surat al-Quran. Mungkin ini
yang bisa dilakukan ketika tafsir yang dibuat sengaja diarahkan untuk dikonsumi
oleh kebanyakan masyarakat muslim sunda yang belum terbentuk kesadarannya
secara sempurna akan teks kitab suci.
Pada
kenyataanya, pengguna tafsir ini memang terpikat karena gaya penafsiran perkata
itu. Bahwa setelah kemunculan tafsir karya K.H. Ahmad Sanusi di atas, kebutuhan
masyarakat Sunda atas pengetahun tafsir al-Quran semakin meningkat. Hal itu
tidak berbanding lurus dengan kemampuan untuk menyerap langsung dari
kitab-kitab yang bertuliskan “Arab asli”. Hal inilah yang kemudian menjadi
motivasi untuk menyuguhkan terjemahan al-Quran “versi Sunda” yang banyak
dilakukan oleh beberapa penerbit pasca kemunculan karya K.H. Ahmad Sanusi.
Beliau pun dikenal sebagai salah satu penganut Tarekat Qadiriyah yang banyak
dianut oleh masyarakat pasca kemerdekaan. Bahkan, para pemuda yang berjuang
untuk kemerdekaan, kerap meminta ajaran dan kekebalan kepada K.H. Ahmad Sanusi
berkaitan dengan terjemahan Manâqib Abdulqâdir Jailânî yang kemudian jadi
pedoman Tarekat Qadiriyah itu.
Berdasarkan
reportase penulis ke beberapa pengguna dan pengajar, kelebihan kitab ini
teletak pada kemudahan pesan dan kesan yang disampaikan oleh penulisnya. Meski
mempergunakan tulisan Arab dengan bacaan Sunda, tapi para peserta pengajian
dapat menyerapnya dengan mudah. Padanan kata yang digunakannya pun, sesuai
dengan kosakata keseharian yang mana tidak membutuhkan waktu dan tenaga untuk
menyerap isinya. Begitu juga, penulisan arti kata disesuaikan dengan
simbol-simbol makna bahasa Sunda. Seperti mengartikan kata dzarrah
dengan biji sawi, yang diakui dan dikenal sebagai benda yang terkecil dalam tradisi
bahasa Sunda. Sepertinya, model tafsir yang mempunyai dialektika dengan
simbol-simbol makna yang disesuaikan dengan konteks ruang dan waktu tertentu
mempunyai titik fungsional tersendiri. Seorang pembaca diajak menelusuri makna
yang memang hadir di dalam kehidupannya sehari-hari dan langsung terasa
getarannya. Kontekstualisasi tafsir semakin terlihat dalam karya KH. Ahmad
Sanusi manakala membaca setiap arti kata yang berusaha dikorelasikan dengan
padanan bahasa Sunda. Dan, beliau berhasil menghasilkan karya itu di tengah
masyarakat yang haus akan kebutuhan pesan-pesan Qur’ani yang relevan dengan
realitas keseharian mereka. Kitab Tafsir ini merupakan karya monumental dari
seseorang yang bergelut lama di dunia belajar-mengajar di lingkungan pesantren.
Bacaan atas teks-teks tafsir Arab yang ada di lingkungannya telah
menginspirasikan K.H. Ahmad Sanusi untuk membuat sebuah karya yang sampai
sekarang layak dijadikan contoh oleh para pengkaji tafsir, khususnya yang
berbahasa Sunda. Karena tafsir adalah nalar kita atas kitab suci yang dibentuk
oleh lokus budaya dan bahasa yang terus bergerak. Intelektual muslim sunda
sedianya melanjutkan estafet K.H. Ahmad Sanusi, sehingga Al-Quran akan sesuai
dengan perubahan ruang dan waktu (shâlihun li kulli zamân al makân).
b. Mendirikan Pesantren Syamsul ‘Ulum
Sukabumi
Setelah belajar selama sekitar
sebelas tahun di Makkah, Ahmad Sanusi kembali ke kampung halamannya di
Cantayan, Sukabumi. Dia mulai membantu ayahnya mengajar para santri di
Pesantren Cantayan. Kemudian melalui pesantren inilah Ahmad Sanusi mulai
menapak karir keulamaan, di mana dia mulai terlibat dalam berbagai persoalan
kemasyarakatan. Sebagaimana halnya dengan para ulama, Ahmad Sanusi secara
intensif memberikan berbagai ceramah keagamaan di wilayah sekitar Sukabumi.
Hanya saja, bagi Ahmad Sanusi, penyampaian doktrin-doktrin Islam melalui karya
tulis dianggap lebih efektif. Oleh karena itu, tidak lama setelah pulang dari
Makkah, Ahmad Sanusi menulis sejumlah karya yang membahas berbagai masalah
keagamaan yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.
Keterlibatan Ahmad Sanusi di dunia
pendidikan tidak berlangsung lama. Pada 1915 Ahmad Sanusi diminta Haji Sirodj,
presiden SI lokal Sukabumi, untuk menjadi advisur (penasehat) SI.
Permintaan tersebut diterima, meski disertai beberapa syarat agar anggota SI
lebih mengamalkan doktrin-doktrin Islam. Namun, tidak lama kemudian, kedudukan
sebagai penasihat SI ditinggalkan. Alasan permohonan berhentinya itu disebabkan
oleh sistem sentralisasi, terutama dalam masalah uang kas SI, yang dilakukan
oleh pengurus pusat SI. Walaupun demikian, sikap Ahmad Sanusi tetap berhubungan
dengan SI lewat para santrinya yang menjadi anggota organisasi itu. Oleh karena
itu, ketika terjadi peristiwa SI Afdelling B tahun 1919, dia termasuk salah
seorang Kyai yang dianggap terlibat dalam kasus tersebut. Bahkan ia dituduh
telah menyembunyikan Kyai Adra’i, tokoh utama Afdelling B, yang saat itu masih
buron.[25]
Sejak peristiwa tersebut,
perhatian Ahmad Sanusi lebih terfokus kepada bidang pendidikan dan pengajaran. Hal ini
selanjutnya didorong pertentangan terus menerus di kalangan masyarakat muslim,
tepatnya antara kaum modernis dan tradisionalis. Untuk menetralisir keadaaan
demikian, ia berusaha bersikap independen dengan kembali ke pesantren. Maka
pada 1922, Ahmad Sanusi membuka pesantren di kampung Genteng, Babakan Sirna,
sekitar sepuluh kilometer dari Pesantren Cantayan. Di pesantren inilah ia
menerapkan sistem madrasah yang mempergunakan bangku dan meja secara klasikal,
walaupun sistem pengajaran pesantren tradisional masih dipakai. Selain itu,
yang paling penting Ahmad Sanusi menerapkan metode pembelajaran yang menekankan
kebebasan berpikir dan bersikap moderat dalam membahas persoalan-persoalan yang
dihadapi umat Islam.[26]
Ternyata memang
respons masyarakat sekitar cukup antusias terhadap pendidikan yang beliau
ajukan untuk mereka. Terbukti sejumlah santri yang pada saat beliau buka
awalnya sudah mencapai kurang lebih sekitar 170 orang. Suatu jumlah yang cukup
banyak untuk ukuran pesantren perintis. Kesekian santri yang telah beliau didik
selama itu ternyata tidak sisa-sia. Banyak dari mereka yang kembali
mengembangkan sayapnya untuk terus menyebarkan syiar-syiar islam di Sukabumi.
Kurang lebih dari santri yang terdidik itu ada 50 orang yang menjadi kiyai yang
mendirikan pesantren juga serta memiliki santri yang banyak didaerahnya.
Diantara nama-nama santri yang pernah menimba ilmu bersama di pondok beliau
adalah K.H al-Masturo (Alm) yang membangun pesantren Al-masturiyyah di Cisaat
Sukabumi, K.H Sanusi pendiri pesantren Sunnanul Huda Cikaroya, Cisaat, dan juga
K.H Dadun Abdul Qohar pendiri pondok pesantren Ad-Da’wah Cibadak Sukabumi.[27]
Salah satu kuci
utama yang beliau punyai dalam mendidik santrinya adalah bahwa beliau selalu
memberikan kepercayaan kepada para santrinya untuk berpikir bebas tanpa ada
batas sesuai kemampuan ilmunya sehingga mereka mengambil ilmu berdasarkan cara
yang mereka punyai. Alasan yang mereka miliki ternyata beliau luruskan melalui
jalan penengah terlebih lagi dalam masalah furuiyyah. Selain mengembankgan
ilmunya untuk para santri ternyata beliau juga tidak pernah melupakan anak-anaknya
dengan didikan beliau agar menjadi putera yang berbakti pada negara, agama, dan
ummat.[28]
Selain itu juga
pola pendidikan yang beliau ajarkan kepada santrinya adalah beliau selalu memberikan
materi pada jam 03.00 pagi hari hingga shubuh menjelang. Asumsi ini mengacu
pada suatu fatwa nabi bahwa ilmu itu akan lebih berhasil ketika pagi hari saat
fajar belum menyingsing. Untungnya beliau masih diberikan kepercayaan oleh Allah
meskipun berbagai rintangan yang menghalanginya, beliau selalu pasrah dan
tawakkal serta dalam usaha yang maksimal karena berbagai tekanan baik dalam
intern maupun dari ancaman imperium belanda. Salah satu sipat ramah yang beliau
miliki adalah beliau selalu memberikan penghormatan pada setiap orang yang
menjadi partner hidupnya, meskipun juga lawan fahamnya. Terkadang bahkan beliau
selalu menjadi ma’mum saat beliau melakukan ibadah jamaah shalat. Dan justeru lawan
fahamnya yang menjadi imam dalam shalat itu. Hal itu sering berlangsung dan
beliau selalu berusaha untuk tawadhu akan hal itu demi kemashlahatan bersama.[29]
Pendirian pesantren baru di
Genteng ini selanjutnya menjadikan Ahmad Sanusi semakin dikenal luas masyarakat
sebagai Ajengan Genteng. Selain itu, melalui pesantren ini, ia mulai tampil
sebagai ulama yang bertindak sebagai peletak dasar bagi terbentuknya suatu
komunitas Muslim dan sekaligus sebagai perumus realitas sosial dalam kerangka
doktrin-doktrin keagamaan.[30]
Oleh karena itu, melalui pesantren inilah Ahmad Sanusi telah melahirkan
sejumlah ulama terkemuka yang banyak berjasa dalam proses intensifikasi
keislaman di berbagai daerah di Jawa Barat. Berikut ini adalah santri angkatan
pertama: Ajengan Komaruddin, Ajengan Siroj, Ajengan Marfu, Ajengan Nuh, Ajengan
Nakhrowi, Ajengan Nur, Ajengan Mukhtar, Ajengan Hafidz, Ajengan Zaen, dan
Ajengan Khoir Affandi. Sementara angkatan kedua tercatat nama-nama Ajengan
Abas, Ajengan Damiri (K.H. Yusuf Tauziri), Ajengan Nawawi, Ajengan Badruddin,
Ajengan Zaenuddin, Ajengan Masturo, Ajengan Kurdi, Ajengan Kholid, dan Ajengan
Uci Sanusi.[31]
Pemikiran dalam bidang pendidikan
Ahmad Sanusi mengagas perubahan sistem pengelolaan pesantren untuk menjawab
Instituut Soeka Boemi yang dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan
mendirikan Perguruan Syamsul ‘Ulum yang penyelenggaraan pendidikannya berbeda
dengan pesantren pada umumnya, yaitu dengan menegaskan adanya kurikulum,
batasan usia santri (siswa), tingkatan kelas, konsep konsentrasi santri
(siswa), iuran bulanan, dewan guru dan syarat pendaftaran. Ia juga menggagas
adanya madrasah yang berada di lingkungan pesantren dengan sistem pendidikan
klasikal artinya murid (santri) duduk dikursi dengan menggunakan bangku atau
meja belajar, memiliki jenjang kelas dengan mata pelajaran yang ditentukan yang
tiap kelasnya di pimpin oleh seorang guru.[32]
2.
Aktitas Jihad K.H. Ahmad Sanusi
Sarekat
islam
Pada saat Ahmad
di Makkah al-Mukarramah ia melakukan kontak dengan berbagai tokoh baik dengan
ulama seperti Syeikh Saleh Bafadil, Syeikh Maliki, Syeikh Ali Tahyyib, Haji
Muhammad Junaedi, Haji Abdullah Jawani, Haji Mukhtar, dan lain-lain, maupun
dengan tokoh pergerakan yang sedang melakukan Ibadah Haji atau yang sedang
mukim untuk menuntut ilmu, seperti, Haji Abdul Muluk (Tokoh SI), K.H. Abdul
Halim (Tokoh Pendiri PUI dari Majalengka), K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Salah
satu tokoh pendiri NU), K.H. Mas Mansyur (Salah satu tokoh Muhammadiyyah).
Sehingga muncul pada dirinya jiwa juang dalam pergerakkan nasional, dengan
ditandai bergabungnya menjadi anggota Syarikat Islam (SI), yang menuntut
Stutuennya (Anggaran Dasar SI), bertujuan hendak melepaskan ketergantungan
bangsa pribumi dari bantuan asing.[33]
Ketika terjadi gerakan protes
pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya yang dipimpin oleh K.H. Zaenal
Mustafa, Ahmad Sanusi salah satu tokoh yang bersama-sama dengan H.O.S
Tjokroaminoto, Agus Salim Abdul Muis, dan K.H. Abdul Halim melakukan gerakan Revival
of Islam (Kebangkitan Islam) dengan membangkitkan kesadaran berpolitik,
baik di Indonesia pada umumnya maupun di wilayah Jawa Barat pada khususnya,
sehingga Iklim politik menghembus ke kampus pesantren Sukamanah yang berujung
meletusnya peristiwa gerakan protes pesantren Sukamanah.
Begitupun di Sukabumi ketika akan
terjadi pertempuran konvoy Sukabumi-Cianjur pada tahun 1945-1946, Ahmad Sanusi
bersama-sama Mr. Syamsuddin, Abu Hanifah dan R. Didi Soekardi, senantiasa
diminta saran, pendapat dan masukannya oleh Letnan Kolonel Eddie Soekardi
sebagai Komandan Resimen TKR Sukabumi, terutama dalam pertimbangan secara
politis dan operasional dalam merencanakan peperangan tersebut secara cermat.
- Melakukan
Perlawanan Terhadap Belanda
KH Ahmad Sanusi,
sebagai tokoh Syarikat Islam, aktif dalam usaha mengusir kolonial Belanda dari
Tanah Air. Akibatnya, ia menjadi tahanan politik selama tujuh tahun di Batavia.
Selama di pengungsian, ia menulis buku dan membentuk suatu organisasi yang
bernama al-Ittihadiat al-Islamiyah pada tahun 1931.
Pada tanggal 12 dan 13 bulan Nopember 1926 meletus
pemberontakan di Jawa Barat yang dikenal sebagai Gerakan Syarikat Islam (SI)
Afdeeling B yang merupakan perlawanan rakyat jelata terhadap pemerintah
kolonial Belanda. K.H. Ahmad Sanusi bersama santri-santri Pesantren Genteng
Babakan Sirna dituduh terlibat dalam pemberontakan tersebut, sehingga beliau
ditangkap dan masuk penjara di Sukabumi 6 bulan dan di Cianjur 7 bulan.
Kemudian pada tahun 1927 beliau diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Tanah
Tinggi, Jakarta selama 7 tahun (1927-1934). Dalam pengasingannya, K.H. Ahmad
Sanusi tetap terus berdakwah menyebarluaskan ilmunya dengan giat dan istiqomah,
sehingga seluruh masjid yang ada di Jakarta masa itu sempat dikunjungi dan
bertabligh. Karena pada saat itu hampir seluruh kota-kota besar di jawa barat
berontak mengusir belanda dari bumi Indonesia ini.
Awal pemberontakannya dilakukan oleh SI. Karena memang
pada saat itu Ahmad sanusi mempunyai banyak santri maka dikerahkannya pula mereka
dengan semangat jihad yang membara. Salah satu usahanya dalam menghambat laju
pergerakan belanda yang dilakukan oleh beliau adalah dengan memutuskan aliran
listrik dan telepon serta rel-rel kereta api juga di rusaknya. Hal itu
dilakukannya agar belanda terhambat dan susah masuk ke daerah itu, dan
komunikasi diantara mereka total terhambat. Sementara beliau mempersiapkan diri
untuk menyerangnya.
Selain melawan penjajahan Belanda,
yang menyebabkan Ahmad Sanusi masuk penjara. Pertama, ia berbeda
pendapat dengan ulama pekauman dalam masalah pengumpulan zakat dan fitrah yang
menurutnya tidak benar kalau dikelola oleh suatu badan (para lebe atau
amil dari pekauman) yang kemudian disetorkan kepada naib dan seterusnya
kepada penghulu kepala di kabupaten. Karenanya, zakat fitrah tidak perlu
diserahkan kepada pemerintah, tetapi dikoordinir oleh amil yang ditunjuk
masyarakat, kemudian dibagikan kepada mustahik yang benar-benar
membutuhkan. Fatwa inilah yang membuat pihak pekauman merasa diremehkan
kewibawaannya. Kedua, K.H. Ahmad Sanusi mengkritik upacara ketiga hari,
ketujuh hari dan seterusnya bagi orang yang telah meninggal dunia (slametan).
Menurutnya perbuatan itu hukumnya makruh, bahkan bisa jadi haram jika dianggap
sebagai ketentuan agama mengikuti waktu-waktu yang telah ditentukan. Fatwa
inipun mendapat reaksi keras dari pihak pekauman, salah satunya dari Kyai Raden
Haji Uyek Abdullah, yang menjabat Imam kaum Sukabumi. Ketiga, yaitu yang
berhubungan dengan fatwa tentang hukumnya tidak wajib mendo’akan nama bupati
dan pejabat pemerintah yang non-Islam dalam khutbah Jum’at. Kasus ini kemudian
dikenal dengan kasus abdaka maulana. Sedangkan alasan utama yang
dijadikan dasar pengasingannya itu adalah karena pemikiran K.H. Ahmad Sanusi
dinilai berbahaya dan dapat menumbuhkan suatu paham revolusioner, demi menjaga
ketentraman umum (rust en orde), khususnya di daerah Priangan Barat.[34]
Dalam masa pengasingan selama
tujuh tahun ditambah empat tahun tahanan kota. K.H. Ahmad Sanusi justru lebih
memfokuskan pikirannya dalam tulis-menulis. Keproduktifan dalam tulis
menulisnya dapat terlihat dalam bentuk buku-buku, majalah, dan buletin-buletin
yang dicetak di percetakan AI-Idrus, di Kwitang Jakarta dan percetakan Masduki
di Sukabumi. Antara lain buku yang pertama kali dia karang adalah Tasyqîqul
al-Auham fî al-Rad’i ‘an al-Thugham, kemudian Malja al-Thâlibîn
fî Tafsîr al-kalâm
rabb al Âlamîn, Ar-Raudus Shâ’iqah,
Lu’lu’un Nadhîd dan majalah yang pertama kali
terbit adalah majalah al-Bidâyat al-Islâmiyyah,
yang isinya berisi petunjuk agama Islam. Majalah ini diterbitkan sebulan sekali
di Tanah Tinggi 191 Batavia Centrum.[35]
Usaha pemerintah Belanda untuk
menjauhkan K.H Ahmad Sanusi dengan umatnya ternyata sia-sia, malah sebaliknya
muncul sikap militansi di kalangan para pengikutnya. Hal ini ditunjukkan dengan
dihubunginya K.H. Ahmad Sanusi oleh para pengikutnya. Masalah-masalah yang
menjadi kegelisahan dan kekhawatiran para pengikutnya adalah sekitar kondisi
kehidupan beragama dan perjuangan kemerdekaan. Pada masa K.H. Ahmad Sanusi
dalam pengasingan di daerah Sukabumi, para mujadid sangat agresif menyebarkan
paham yang menyangkut masalah talafud biniat, talqin dan penggunaan
kitab-kitab kuning, serta ada tidaknya bid’ah hasanah. Para mujadid
tak segan-segan menyebut orang yang bertaklid kepada ulama, suka membaca talafud
biniat, talqin adalah musyrik dan bukan umat Muhammad.
Dalam masalah perjuangan
kemerdekaan pun terjadi perdebatan, di satu pihak berpendapat bahwa berjuang
atas dasar nasionalisme atau kebangsaan hukumnya haram tetapi di lain pihak
termasuk K.H. Ahmad Sanusi, menyatakan bahwa boleh berjuang atas dasar
nasionalisme. Kedua, masalah di atas, furu’iyyah dan nasionalisme
menurut Mohammad Iskandar menjadi pendorong terbentuknya AII (AL-Ittihadiyyah
Islamiyyah) oleh K.H. Ahmad Sanusi dan para pengikutnya pada bulan November
1931 di Batavia.[36]
b. Mendirikan Organisasi AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah).
Dalam kongres AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah) pertama yang diadakan pada tanggal 23-25 Maret 1933 di
Majelis Umum Al-Ittihad, Cipelang Gede, Sukabumi, K.H. Ahmad Sanusi menjelaskan
sebab-sebab dibentuknya organisasi AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah). Pertama,
berkaitan dengan masalah menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kedua,
munculnya pendapat para ulama bahwa umat Islam dalam kehidupan dunia tidak
harus mulia, tidak boleh kaya, tetapi umat Islam harus hina dan melarat. Ketiga,
ketidakseimbangan antara ilmu keagamaan dan ilmu keduniaan. Istilah Ahmad
Sanusi adalah ilmu kauniyyah yang dimiliki oleh umat Islam. Keempat,
banyaknya ulama yang menyuruh untuk melakukan ‘uzlah dan tidak boleh membuat
sebuah organisasi. Karena anggapan ulama tersebut bahwa hanya berjamaah shalat
atau shalat Jum’at yang boleh berkumpul.[37]
Sebagai organisasi sosial
keagamaan yang lahir dalam penjara AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah) dalam
perkembangannya merupakan organisasi yang paling militan di keresidenan
Priangan dan Bogor. Kegiatan mereka tidak hanya ditujukan pada bidang-bidang
sosial dan pendidikan melainkan juga dalam bidang pergerakan nasional. Dalam
surat Bupati Sukabumi tanggal 28 Agustus 1933 seperti yang dikutip M. Iskandar,
ia (Bupati) melaporkan tentang hubungan AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah)
dengan organisasi-organisasi lainnya seperti “Pasundan”, PI (Partij
Indonesia-Partindo), dan PNI. Di mana para Mu’alim AII(Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah), sebagai pemimpin
masyarakat di kampung, menjadi pemimpin-pemimpin PI dan PNI dan sebaliknya
tidak sedikit anggota PNI baru dan Partindo yang bertindak sebagai pengajar di
sekolah-sekolah AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah).[38]
Sebagai seorang ketua organisasi
AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah), usaha pertama dan utama yang dilakukan
oleh Kyai Haji Ahmad Sanusi adalah mengatur jalannya organisasi dan memantaunya
dari Jakarta. Apa boleh buat, AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah) berpusat
di Sukabumi sedangkan dirinya berada dalam masa pembuangan di Batavia. Maka
hubungan antara dia dan para pengurus serta para anggotanya tidak terlalu
intens dan hanya bisa melalui pamflet, buletin, buku, dan majalah sebagai
sarana komunikasi yang paling efektif. Oleh karena itu, roda organisasi di
jalankan secara penuh oleh para pengurusnya di Sukabumi, akibatnya jika muncul
persoalan-persoalan harus datang ke Jakarta terlebih dahulu mengkonsultasikan
kepada Kyai tersebut. Padahal pada waktu itu sifat dan kecendrungan organisasi
itu bergerak.[39]
Walaupun Kyai Ahmad Sanusi sedang
dalam pengasingan di Jakarta, kegiatannya dalam AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah) tetap aktif, terutama dalam bidang dakwah dan pengajaran. Dia
mengadakan pengajian di majelis-majelis umum dan masjid-masjid dan mengeluarkan
sebuah buletin pengajaran agama Islam yang bernama, Pengajaran al-Ittihad.
Lewat buletin ini, ia menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk bersatu, bukan
saja di kalangan organisasi AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah) saja. Pada
tahu 1932 ia aktif mencari dana untuk membangun sebuah majelis umum di
Cipelang, Sukabumi, majelis tersebut untuk keperluan anggota-anggota AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah). Majelis itu dipimpin oleh Ajengan Basyuni dan Ajengan
Syafi’i yang keduanya anggota pengurus besar AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah).[40]
Setelah Kyai Ahmad Sanusi kembali
ke Sukabumi Agustus 1934, sebagai tahanan kota, ia memboyong keluarganya ke
Sukabumi dan menetap di jalan Vogelweg no. 190 (sekarang jalan Bhayangkara),
Gunung Puyuh. Di tempat itu ia membangun pesantren yang kedua bernama Perguruan
Syamsul Ulum. Dengan pembangunan pesantren Gunung Puyuh, maka konsolidasi
organisasi menjadi mudah dan penggemblengan dan pengikatan para ajengan dan
mu’alimin yang ditinggalkan selama pengasingan dihidupkan kembali.[41]
Maka usaha Kyai Ahmad Sanusi
berupa konsolidasi organisasi tercapai dengan diadakannya mukmatar AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah) tahun 1935. Masalah-masalah penting yang dibicarakan dalam
muktamar ini adalah masalah keagamaan, perdebatan transliterasi huruf al-Qur’an
ke dalam huruf latin dan membuat mosi kepada pemerintah Belanda supaya Kyai
Ahmad Sanusi dibebaskan dari tahanan kota. Pada muktamar kedua yang diadakan di
Sukabumi tersebut memutuskan secara resmi kedudukan pengurus besar AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah) ditempatkan kedudukannya di Sukabumi. Melalui muktamar ketiga
di Bandung tahun 1939, struktur kepemimpinan AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah)
diubah. Kyai Ahmad Sanusi tidak lagi duduk sebagai ketua tetapi ia ditempatkan
sebagai advisur (penasehat) AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah).[42]
Sedangkan tujuan didirikannya
organisasi AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah), sebagai salah satu alat
perjuangan dalam pergerakkan nasional untuk menuju kemerdekaan RI, sehingga
pada tahun 1943 dua tahun lagi sebelum Indonesia Merdeka, AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah) berubah nama menjadi POII (Persaoean Oemmat Islam Indonesia),
padahal nama “Indonesia” saat itu hanya baru cita-cita, namun ia telah
mencantumkan dan menyatakan secara jelas pada nama organisasinya. Hal ini secara
tidak langsung bahwa ia menyatakan bahwa negara Indonesia itu telah terbentuk.
Kemudian tidak hanya AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah) yang ia bentuk
tapi organisasinya lainnya seperti BII (Barisan Islam Indonesia) juga memakai
nama “Indonesia” padahal organisasi ini dibentuk pada bulan November 1939 dan
berdasarkan hasil Muktamar I BAII (Barisan Islam Indonesia) pada tanggal 24-29
Desember 1940 (Barisan Al-Ittihadiyatul Islamiyyah) dirubah namanya menjadi
BII.[43]
Ahmad Sanusi, menghimbau kepada
santri-santrinya, para pengkitunya, anggota AII/BII, dan masyarakat Sukabumi
agar menggunakan: Pertama, simbol-simbol lokal seperti memakai peci
hitam, yang kemudian disebut “peci nasional” sebagai identitas bangsa
Indonesia, karena pemerintah kolonial Belanda beserta antek-anteknya, tidak ada
yang yang memakai peci hitam tersebut, jadi yang memakai peci hitam hanyalah
bangsa Indonesia.[44]
Istilah Indonesia dan Bahasa
Melayu (bahasa Indonesia). Ini bisa dilihat dalam tulisan-tulisannya baik dalam
kitab maupun majalah atau bulletin yang ia ia gunakan, sehingga terlihat rasa
nasionalisme yang begitu tinggi yang tumbuh dan berkembang pada dirinya untuk
di teladani oleh santri, pengikut, dan masyarakat.[45]
Dalam mengembangkan organisasi
berusaha mencari format-format yang sesuai dengan situasi pada masa itu. Di
antaranya pertama, ia menyeragamkan kurikulum pengajaran madrasah-madrasah yang
berada di bawah AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah) yaitu dengan disusunnya
buku tuntunan yang bernama Majmu’ul Funun (Himpunan Bidang Studi). Kedua,
mengusahakan pembentukan sebuah organisasi GUP PI yaitu Gerakan Urusan
Pendidikan Pesantren Islam. Ia dan Kyai Anwar Musyadad (Garut) sebagai
pimpinannya. Ketiga, membentuk organisasi SUPI (Syarikat Usaha Persatuan
Islam), ia juga dan Das Saad (pengusaha terkenal di Jakarta) yang menjadi
pemimpinnya. Keempat, mengembleng para pemuda yang terhimpun dalam
organisasi BII (Barisan Islam Indonesia). Selama ia menjadi ketua AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah), tercatat telah berdiri 26 cabang yang tersebar di seluruh
Jawa Barat dan dua cabang di Jakarta.
AII (Al-Ittihadiat
Al-Islamiyah), yang di kendalikan dari Jakarta, sasaran garapanya adalah
dalam Pendidikan, Dakwah, Sosial, Ekonomi, dan Kebangsaan (Politik). Di bentuk
pula Baitul Maal yang menghimpun dana, yang banyak membantu para pedagang kecil
dan warga AII. Untuk melayani pengusaha-pengusaha ummat Islam lainya, dibentuk
Syarikat Usaha Persatuan Umat Islam (SUPI). Dalam pengembangan dan pembinaanya,
Das Sa’ad, seorang pegusaha yang cukup terkenal di Jakarta, besar peranannya
dalam hal ini. AII bersama organisasi lainya, pada tahun 1932, memboikot
barang-barang Import, terutama barang-barang dari Eropa.[46]
Pada tahun 1933,
KH. Ahmad Sanusi masih di penjara di Jakarta, AII mengadakan Muktamar I di Bogor
dengan tema “Pemantapan Organisasi dan pimpinan”. AII menempuh jalan Ahli Sunnah
Wal Jama’ah, yang menetapkan ciri-cirinya yang terdiri 10 pasal, yaitu : (1)
Shalat lima waktu berjama’ah. (2) Tidak menghina salah seorang Sahabat Nabi
Muhammad SAW. (3) Tidak durhaka kepada pimpinannya. (4) Tidak diragukan
keimanannya. (5). Beriman kepada Qodlo dan Qodar. (6). Tidak bermusuh-musuhan
dalam agama Allah. (7). Tidak sekalipun berani mengkafirkan kepada salah
seorang pemeluk Agama Islam. (8). Tidak segan mensholatkan mayit orang Islam. (9).
Suka shalat dengan berma’mum baik dengan orang yang sefaham maupun dengan orang
yang tidak sefaham.[47]
Selanjutnya
beliau mengadakan kembali muktamar lanjutan pada tahun Tahun 1935, yakni
Muktamar II di Sukabumi. Kemudian pada tahun 1939 diadakan Muktamar III di
Bandung. Pada kedua Muktamar ini, banyak masalah yang dibicarakan antara lain
konsolidasi organisasi, keagamaan, masalah penulisan mushaf al-Qur’an dengan
huruf latin, mosi pembebasan K.H. Ahmad Sanusi dari tahanan kota, sikap ummat
Islam terhadap penjajah Belanda, menampilkan tokoh-tokoh muda, penerbitan
majalah resmi organisasi yaitu Attabligh Isslamiyah, dan pembentukan
departemen-departemen (sejenis majlis). Departemen-departemen tersebut seperti:
Departemen barisan Islam Indonesia (majlis Pemuda), Departemen Zaenabiyah
(Majlis Wanita), Departemen Muballigh dan Propaganda (Majlis Penyiaran dan
Penerangan), Departemen Ittihadul Madaris Islamiyah (Majlis Pendidikan
danPengajaran), dan sebagainya.[48]
Kemudian sekitar
tahun 1935-1936, ada penilaian di kalangan pimpinan AII, bahwa bila AII terus
dipegang oleh K.H. Ahmad Sanusi yang sifatnya radikal dan tegas, maka AII akan
mendapat hambatan. Sebaliknya bila AII ditinggalkan oleh K.H. Ahmad Sanusi
kemajuannya pun belum tentu dipertanggung jawabkan. Akibatnya timbul AII pusat
yang dipimpin oleh K.H. Syafi’i dan Hasan Natsir. Adapun AII cabang yang
dipimpin oleh K.H. Ahmad Sanusi ternyata masih dipandang oleh masyarakat,
karena pribadi beliau, sehingga AII ini masih diterima ummat.
Ketika
berkecamuk Perang Dunia ke II, Belanda di duduki Jerman, sehingga partai-partai
politik Indonesia menuntut dengan penuh semangat agar indonesia berparlemen.
Pada saat itu tanggal 24-29 desember 1940, AII mengadakan Muktamar yang ke IV
di Cianjur. Pada Muktamar ini Departemen barisan Islam Indonesia sangat
berperan, K.H. Ahmad Sanusi langsung menggemblengnya. Diterbitkanlah majalah
sendiri majalah Barisan Islam Indonesia (BII) dengan motto beruliskan, nashrumminallah
Wafathun Qorib. BII sangat menunjang perjuangan dan mempercepat proses
Indonesia merdeka. Sejak tahun 1940, AII menjadi anggota majlis Islam ‘Ala
Indonesia (MIAI), kemudian tahun 1942, MIAI berubah menjadi organisasi federasi
baru dengan nama majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), yang pimpinan
pusatnya berkedudukan di Jakarta.
Anggota Federasi
masyumi pada waktu itu adalah organisasi Islam yang pusatnya berkedudukan di pulau
jawa antara lain: NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, Perikatan Ummat Islam (PUI) dan
Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII). Pada tanggal 9 Maret 1942, Belanda
menyerah kepada Jepang tanpa syarat, bendera Belanda turun dan naiklah bendera
Jepang. Jepang menyebarkan slogan-slogan yang sangat menarik. Indonesia akan
bebas dari penjajahan dan penderitaan. Ternyata slogan-slogan itu bohong
belaka. Ummat Islam diperintahkan untuk menyembah (ruku) menghadap tokyo dan
matahari, kekayaan bangsa Indonesia diangkut ke Jepang. Rakyat Indonesia, ummat
Islam, diharuskan kerja paksa (romusha). Timbullah kelaparan di mana-mana dan organisasi
politik masyarakat dibubarkan.
Disaat-saat
kritis itu, K.H. Ahmad Sanusi tidak tinggal diam beliau mencoba mendekati
tentara Jepang supaya mendapat kelonggaran menghimpun Ulama, guru-guru dan
pemuda Islam yang terhimpun dalam BII. Karena AII dibubarkan Jepang, komunikasi
dengan ummat Islam terputus. K.H. Ahmad Sanusi mengajukan permohonan kepada
jepang untuk menghidupkan kembali AII, dengan perubahan nama Persatuan Ummat
Islam Indonesia (PUII). K.H. Ahmad Sanusi diangkat menjadi residen bogor dan menjadi
anggota parlemen Jepang (Cuo sangi in).
Pada saat-saat
perjuangan kemerdekaan Indonesia, K.H. Ahmad Sanusi mempunyai hubungan yang
lebih akrab dan erat dengan K.H. Abdul halim terutama pada lembaga-lembaga yang
sama-sama mereka duduki. Di MIAI, Masyumi, parlemen Jepang, PETA, Hizbullah dan
Bada Penyelidik Usaha Pemeriksaan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang kemudian
menjadi KNIP. Diskusi dan tukar pikiran antara keduanya mempunyai sikap yang
sama terutama menghadapi perjuangan bangsa, masalah keagamaan, masalah ummat
dan persatuan ummat. Gagasan-gagasan yang dilahirkan berupa pemikiran persatuan
umat Islam. Keinginan timbul dari kedua ulama ini untuk mempersatukan perikatan
Umat Islam (PUI) dari majalengka dibawah pimpinan K.H. Abdul Halim dengan Persatuan
Ummat Islam Indonesia (PUII) pimpinan K.H. Ahmad Sanusi (Sukabumi).[49]
Saat ini, PUI
memiliki jutaan kader.Anggota dan jaringan struktur terbesar ada di Jawa Barat–
jumlahnya ditaksir lebih dari 10 juta anggota. PUI memiliki ribuan madrasah
mulai tingkat Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan yang
sederajat, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau SLTP, dan Madrasah Aliyah (MA) atau
SLTA sampai tingkat Perguruan Tinggi.[50]
Anggotanya
beragam, tersebar di daerah-daerah tingkat I (propinsi), yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur DI. Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara, Aceh, Riau, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Bali.[51]
Harus diakui,
“bendera” PUI jarang atau tidak berkibar seperti bendera ormas Islam lain,
seperti NU dan Muhammadiyah. Popularitas PUI pun cukup jauh di bawah kedua
ormas tersebut. Akibatnya, kehadiran PUI kurang dirasakan atau kurang dikenal
di masyarakat.Penyebab utamanya, seperti dikemukakan Anggota Penasihat PP PUI,
Hasan Mu’arif Ambary, kegiatan PUI di berbagai wilayah cenderung tidak
menampilkan kehadiran organisasi PUI itu sendiri. Ambary menyatakan“Penyelenggaraan
kegiatan yang semestinya menunjukkan organisasi induk (PUI), sering dilakukan
dengan mempergunakan lembaga lokal, misalnya yayasan, sehingga kehadiran PUI
kurang dikenal masyarakat,”[52]
Popularitas PUI
tidak sebesar nama-nama pengurusnya. Di tingpat pusat (PB PUI), sejumlah tokoh
tercantum sebagai pengurus PB PUI. Sebagai contoh saja, Cholid Fadhlullah (Ketua
Penasihat), HM. Ahmad Rifa’i (Ketua Dewan Pembina), Anwar Saleh (Pembina),
Didin Hafiduddin (Dewan Pakar), Sunmanjaya Rukmandis, dan banyak lagi. Kini
popularitas PUI “mencuat”, menyusul terpilihnya Ahmad Heryawan (Ketua Umum PB
PUI) sebagai Guburnur Jawa Barat periode 2008-2013 dalam Pilkada Jabar 2008.
c. Menjadi Shu Sangi Kai (Dewan
Penasihat Keresidenan Bogor) dan Wakil Presiden
Pada tanggal 20 Februari 1939,
Gubernur Jenderal mengeluarkan satu keputusan untuk membebaskan Kyai Ahmad
Sanusi. Baginya kabar pembebasan itu bukan sebuah akhir perjuangan. Menurutnya
perjuangan yang berat sudah di depan mata yaitu perang dunia bahkan ramalan
akan masuknya Jepang ke Indonesia sudah ia ketahui dari MIAI dan para
pengikutnya yang aktif dalam partai politik.
Ketika tentara Jepang datang ke
Indonesia, rakyat Indonesia menyambutnya dengan sikap penuh harapan. Tetapi
sebaliknya pemerintah Jepang melarang semua organisasi, termasuk organisasi
Islam. Organisasi Islam seperti MIAI, PSII dan Partai Islam Indonesia
dibubarkan pada Mei 1942.[53]
Namun seperti yang tertera dalam judul H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari
Terbit, pihak Islam memperoleh tempat yang baik dalam kebijakan pemerintahan
Jepang. Salah satu kebijakannya adalah sikap akomodatif terhadap Islam berupa
penghidupan kembali MIAI pada 5 September 1942 yang nantinya pada akhir 1943
diubah menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Kemudian menyusul
dibolehkannya NU dan Muhammadiyah bergerak kembali pada 10 September 1943.
Pada tahun yang sama (1943), Kyai
Ahmad Sanusi diangkat salah seorang pengajar pada badan latihan bagi para kyai
dan ulama yang dibentuk pemerintah Jepang. Pada awal tahun berikutnya ia
ditawari menjadi anggota Dewan Penasihat Keresidenan Bogor (Shu Sangi Kai).
Tawaran itu ia terima tetapi dengan syarat AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah)
dihidupkan kembali. Syarat itu agak berat bagi pemerintahan Jepang, karena
sudah ada organisasi Masyumi yang pada dasarnya mewakili Kaum pembaru
(Muhammadiyah) dan kaum tradisional (NU). Dengan cara meyakinkan pemerintah
Jepang bahwa AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah) berbeda dengan Muhammadiyah
dan NU, akhirnya syarat Kyai Ahmad Sanusi dikabulkan juga. Pada tanggal 1
Februari 1944 AII (Al-Ittihadiat Al-Islamiyah) diakui secara resmi dan
mendapatkan badan hukum dari pemerintahan Jepang. Sewaktu pemerintahan Jepang
mengubah struktur pemerintahan, termasuk struktur pemerintahan di tingkat
daerah, di mana jabatan-jabatan baru di tingkat daerah banyak diberikan kepada
para priyayi tinggi. Tetapi untuk jabatan wakil residen Bogor diberikan kepada
Kyai Haji Ahmad Sanusi yang berasal dari kalangan Islam tradisional.
d. Anggota BPUPKI
Sebagai pelaksanaan janji Perdana
Menteri Jepang Kuniaki Koiso yang diumumkan di depan resepsi The Imperial
Diet yang ke-85 pada tanggal 7 September 1944 adalah pembentukan Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan BPUPK) pada
29 April 1945. Badan Penyelidik itu beranggotakan 62 orang, termasuk Kyai Ahmad
Sanusi. Selama persidangan berlangsung, K.H. Ahmad Sanusi membicarakan masalah
bentuk negara dan rancangan undang-undang dasar, terlihat dia mempunyai wawasan
yang cukup luas dan argumen-argumen yang dilontarkan memakai perspektif
al-Qur’an, misalnya ketika ia mengajukan konsep imamat, yang tidak lain
adalah bentuk Republik, ia berkata, “Saya akan mengemukakan kepada tuan-tuan
soal kerajaan atau republik dipandang dari al-Qur’an, dari firman Tuhan.
Mudah-mudahan uraian saya menjadi jembatan untuk persatuan antara kita sekalian.
Hadirin yang mulia, bentuk kerajaan memang diterima oleh agama Islam, dipuji
oleh agama Islam. Hanya kita harus menyelidiki syarat-syarat untuk menjadi
raja, syarat-syarat untuk menjadi pemimpin besar atau kepala negara.
Saudara-saudara, di dalam al-Qur’an yang suci, di dalam surat al-An’am tertulis
pernyataan yang artinya: Membangun negara kerajaan adalah sangat berat, karena
bilamana seseorang diangkat menjadi raja ia sudah menjadi wakil mutlak daripada
Tuhan. Tidak boleh ia dipotong, dibelah, atau dipecah. Kedudukan raja harus
terus menerus. Oleh karena itu yang menjadi raja harus orang yang sangat suci,
kalau orang hanya suci saja ia tidak pantas menjadi raja, ia harus seratus kali
suci. Sucilah yang menjadi raja. Ada dikatakan dalam surat Yusuf yang artinya:
wajib mengangkat seorang yang menjadi kepada negara, yang memimpin negara. Oleh
karena itu supaya kita bahagia, saya setuju bahwa di Negara Indonesia yang
menjadi kepada seorang Imam, sesuai dengan agama Islam.”[54]
Kemudian usulan Kyai Ahmad Sanusi tanggal
10 Juli 1945 dipahami oleh anggota-anggota sidang sebagai dua alternatif yang
harus dipilih salah satunya. Maka para anggota sidang memilih konsep republik
sebagai dasar negara. Kemudian dalam perdebatan sengit berkaitan dengan
pencantuman kata “agamanya” dalam pasa 28 ayat 1, rancangan undang-undang
dasar, ia memperlihatkan ketegasan dan kelugasannya dalam berpendapat. Pada
waktu itu K.H. Kahar Muzakir meminta agar dalam ayat itu tidak berbau agama. Sementara
K.H. Maskur mengusulkan mencantumkan kalimat “menurut agamanya”. Kemudian Ir.
Soekarno sebagai anggota panitia kecil yang menyusun rancangan undang-undang
berniat mencoretnya, serta mengusulkan diadakannya pemungutan suara yang
disetujui oleh Radjiman Wedioningrat. Dengan tegas K.H. Ahmad Sanusi berkata,
“Tidak bisa tuan, tidak bisa disetem, Perkara agama tidak bisa disetem. Kita
terima usul tuan Muzakkir atau usul tuan Maskur, mengenai perkataan usul yang
“menurut agama”, jangan memakai perkataan “agamanya”, karena negara Indonesia,
walaupun tidak memakai agama tentu akan menjadi Indonesia merdeka.”[55]
Kemudian Radjiman berkata, “Jadi
ini hanya tinggal diterima atau tidak, disetem tidak boleh.” Kemudian Ahmad
Sanusi mengusulkan,
“menurut agama.” jangan pakai “nya”, kalau diterima. Kalau usul tidak diterima saya tidak akan keberatan, umat Islam harus mempunyai negara yang dimufakatinya.”[56]
“menurut agama.” jangan pakai “nya”, kalau diterima. Kalau usul tidak diterima saya tidak akan keberatan, umat Islam harus mempunyai negara yang dimufakatinya.”[56]
Akhirnya sidang menerima usulnya.
Keputusan diambil tanpa pemungutan suara, yaitu dengan mencoret kata “nya” yang
berarti menerima kalimat “menurut agama”.
C. Pengaruh Dakwah K.H. Ahmad Sanusi di
Sukabumi.
Ahmad Sanusi adalah ulama dan
tokoh masyarakat daerah yang berjuang dalam pentas nasional yang senantiasa
melakukan kontak dengan tokoh-tokoh nasiona lainnya seperti Soekarno, H Agoes
Salim, Muhammad Hatta dan Sutan Syahrir dan lain-lain. Ahmad Sanusi senantiasa
dijadikan salah satu sumber informasi dan orang yang dituakan untuk diminta
saran, pendapat dan masukannya dalam berbagai hal baik yang ada hubungannya
dengan kepentingan politik kedaerahan, kewilayahan, nasional dan kebangsaan
maupun yang berhubungan dengan pengetahuan keagamaan.[57]
Sebagai guru dan
orang tua ia yang mendidik baik anak-anaknya
maupun santri-santrinya menjadi Ulama-Ulama besar dan berpengaruh tidak
hanya di Jawa Barat, akan tetapi berpengaruh pula di tingkat nasional, seperti
ketika mengajar di Pesantren Cantayan, melahirkan santri angkatan pertama
menjadi ulama-ulama besar, di antaranya: Ajengan Qomaruddin, Ajengan Siroj,
Ajengan Marfu, Ajengan Soleh, Ajengan Abdullah bin Nuh, Ajengan Nakhrowi,
Ajengan Mukhtar, Ajengan Nur, Ajengan Hafidz, Ajengan Zaen, dan lain-lain.[58]
Ketika mengajar
di Pesantren Genteng Babakansirna, melahirkan santri angkatan kedua menjadi
ulama besar, di antaranya: Ajengan Abas (guru di pesantren Gunungpuyuh),
Ajengan Damiri (Yusuf Taujiri pendiri pondok pesantren Cipari Wanaraja Garut),
Ajengan Khoer Apandi (pendiri pondok pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya),
Ajengan Uci Sanusi (pendiri pondok pesantren Sunanul Huda Cikaroya Cisaat
Sukabumi), Ajengan Masturo (pendiri pondok pesantren al-Masthuriyyah Cisaat
Sukabumi), Ajengan Badruddin (pendiri pondok pesantren Bondongan Bogor), Ajengan
Soleh Iskandar (tokoh militer), Ajengan Nawawi, Ajengan Hasbullah, Ajengan
Zaenuddin, Ajengan Nur Hawi, Ajengan Kurdi, Ajengan Uho, Ajengan Suhrawardi,
Ajengan Kholil, Ajengan Ahmad, Ajengan Zarkoni, dan lain-lain.[59]
Ketika mengajar
di pesantren Gunungpuyuh melahirkan santri menjadi ulama-ulama besar, di
antaranya: K.H. E.Z. Muttaqin (pendiri UNISBA Bandung), Ibrahim Husein (Mantan
Rektor IIQ dan ketua majelis fatwa MUI pusat), K.H. Ilyas Rukhiyat (pimpinan
pondok pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya), K.H. Ishak Farid, dan
lain-lain.[60]
Dalam Pegerakan
Nasional membidangi lahirnya, Tentara PETA (Pembela Tanah Air) di wilayah Keresidenan
Bogor. BKR (Badan Keamanan Rakyat) Sukabumi, yang nantinya merupakan cikal
bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia). KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah)
Kotapraja Sukabumi, yang nantinya menjadi DPRD Kota Sukabumi.
Dalam bidang
Islam dan politik, menjadi Ketua Umum Pengurus Besar AII (POII atau PUII),
Instruktur pada Pelatihan Ulama yang diselenggarakan oleh pemerintah militer
Jepang. Anggota Dewan Penasehat Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai).
Pengurus Hokokai (Kebangkitan Jawa), Pengurus partai Masyumi, Wakil Residen
(Fuku Syucokan) Bogor. Anggota BPUPKI (Dokuritsu Cosakai.
Ia juga pendiri
dan pimpinan pesantren Genteng. Pendiri dan pimpinan pondok pesantren
Gunungpuyuh. Pendiri AII yang berubah menjadi POII (PUII) dan fusi dengan POI (PUI)
Majalengka menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1950.
Pendiri organisasi anderbouw AII, seperti BII, Zaebiyyah, IMI, dan lain-lain.
GUPPI (Gabungan Usaha-Usaha Perbaikan Pendidikan Islam.
Penghargaan di antaranya, sebagai
perintis kemerdekaan dari pemerintah republik Indonesia. Bintang Maha Putra
Utama dari Presiden Republik Indonesia. Bintang Maha Putra Adipradana dari
Presiden republik Indonesia. Namanya di abadikan Pemerintah Kota Sukabumi
menjadi nama salah satu jalan di Kota Sukabumi, yang menghubungkan antara jalan
Cigunung sampai dengan Degung, yaitu Jalan K.H.A. Sanusi.
Sikap dan
pendirian untuk kepentingan Bangsa dan Negara. Ditahan oleh pemerintah Kolonial
Belanda tanpa ada putusan dan dimasukkan ke penjara di Cianjur dan penjara di
Kota Sukabumi selama kurang lebih 2 (dua) tahun. Dibuang/diasingkan ke Batavia
Centrum kurang lebih selama 6 (enam) tahun. Jadi tahanan Kota di Sukabumi,
kurang lebih selama 7 (tujuh) tahun. Ikut Hijrah ke Yogyakarta, sebagai
konsekwensi anggota KNIP yang mematuhi perjanjian Renville tahu 1948 antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Menolak DI/TII yang
dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, dan tetap setia kepada NKRI.
[1]Munadi
Shaleh, op. cit., h. 29-30. Sosok KH Ahmad Sanusi juga dikenal lewat
karya-karyanya. Tidak kurang 75 judul buku telah ditulisnya, antara lain kitab
“Tamsyiat al-Muslimin fi Kalam Rab al-Alamin” (Perjalanan Muslimin dalam
Firman Tuhan Seru Sekalian Alam) dan “Raudhah Al-Irfan” (Taman Ilmu
Pengetahuan). Ia juga menulis buku-buku yang membahas ilmu tauhid dan fikih.
Karyanya yang paling menonjol adalah Raudhah Al-Irfan, yang berisi
terjemahan Alquran 30 juz dalam bahasa Sunda, dengan terjemahan kata per kata
dan syarah (tafsir penjelasan) singkat. Menulis berbagai macam Kitab dan
Majalah dan Bulletin untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat, dengan
mengupas ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kemanusiaan, kebangsaan,
persaudaraan, kemerdekaan, dan lain-lain, sehingga tumbuh dan berkembang rasa
kebangsaan dikalangan maysarakat yang menjadi salah satu motivasi dalam
pergerakkan nasional untuk menuju gerbang kemerdekaan Republik Indonesia.
[2]Haji Ahmad Sanusi, Al-‘Uhud
fi al-Hudud (Sukabumi: ttp., tt.), h. 19.
[3]Haji
Ahmad Sanusi, Al-Aqwâl al-Mufîdah
fi al-Umûr al-Muhimmah, (Sukabumi: al-Ittihad, tt.), h.
1-2.
[4]Haji
Ahmad Sanusi, Tafsir Tamsyiat al-Muslimîn fi Tafsîr Kalâm Rabb
al-’Alamin (Sukabumi:
tp., 1934), h. 7.
[6]Fadlil
Munawwar Manshur, Ajaran Tasawuf dalam Raudah al-Irfan fi Ma’rifatil Qur’an
Karya Kiai Haji Ahmad Sanusi: Analisis Semiotika dan Resepsi (Yogyakarta:
Tesis-Universitas Gajah Mada, 1992), h. 117.
[7] Ibid., h. 235.
[8]Ahmad Sanusi, Addalil,
No. 3 Juni 1933 Tahun 1, (Tanah Tinggi Senen 191, Batavia Centrum), h. 9.
[9] Ahmad Sanusi, Addalil,
No. 3 Juni 1933 Tahun 1, (Tanah Tinggi Senen 191, Batavia Centrum), h. 10.
[10] Ahmad Sanusi, At-tablighul
Islami, no. 3 Juli 1935, h. 17.
[11] Ibid., h. 18.
[12]Ahmad Sanusi, Addalil,
No. 3 Juni 1933 Tahun 1, (Tanah Tinggi Senen 191, Batavia Centrum), h. 11.
[13]Ahmad Sanusi, Al-Hidajaatul
Isamijjah, No 6, (Batavia Centrum: 31 Maart 1932/Zoelkaida
1350), h. 221.
[14] Ibid., h. 222.
[16]Kitab Nahratoeddarham
(Suara Singa Wilayah) yang diajukan untuk mencegah serangan oleh para
penghianat yang ditujukan terhadap Sarekat Islam. Ditulis oleh Ahmad Sanusi
sewaktu di Mekkah al-Mukarramah untuk menjawab surat tanpa identitas (surat
kaleng) yang isinya menuduh Syarikat Islam bukanlah organisasi yang
berlandaskan Islam. Kitab tersebut ia kirim ke K.H. Moehammad Hasan Basri dari
Cicurug. Selanjutnya K.H. Moehammad Hasan Basri mengirimkan draft kitab
tersebut ke K.H. Moechtar dan menurutnya draft kita tersebut sudah ada
catatan-catatan tambahan. Namun sayang sebelum kitab tersebut sampai kembali ke
tangan Ahmad Sanusi, pemerintah kolonial Belanda telah menemukan kita tersebut
dan menganggap berbahaya sehingga melarang untuk disebarluaskan. Lihat,
Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi, (Masyarakat
Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat bekerja sama dengan Pemerintah Kota
Sukabumi, 2009), h. 24-26.
[18]Safroedin Bahar, dkk, Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945
(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, Cet. III, Edisi III, 1995), h.
23-25
[19] Ibid., h. 131.
[20]Munadi Shaleh, op. cit.,
h. 24.
[21]Safroedin Bahar, dkk, op.
cit., h. 23-25.
[22]Nina H. Lubis, dkk, Peran
Politik K.H. Ahmad Sanusi di BPUPKI (Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarawan
Indonesia, 2011), h. 56-57.
[23]Wawancara pribadi dengan Maman
Abdurrahman, Pimpinan Pondok Pesantren Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, 14
Desember 2012.
[24]Ibid.
[25] Mohamad Iskandar, op.
cit., h. 6.
[27]Wawancara pribadi dengan Maman
Abdurrahman, Pimpinan Pondok Pesantren Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, 22
November 2012.
[28] Ibid.
[30]Taufik Abdullah, Islam
dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka, 1987), h. 152.
[31]Ajengan-ajengan tersebut
kebanyakan bermukim di daerah Jawab Barat, khususnya daerah Priangan Seperti
K.H. Khoir Affandi (pendiri pondok pesantren Manonjaya, Tasikmalaya dan
pernah menjadi Bupati Darul Islam (DI)
untuk daerah Ciamis). Untuk studi pesantren Manonjaya, lihat, C.Van Dijk, Darul
Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Pustaka utama Grafiti, 1995), h. 4.
[32]Munadi Shaleh, op. cit.,
h. 30.
[33]Asep
Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan Kiprahnya dalam Pergolakan Pemikiran
Keislaman dan Pergerakan Kebangsaan di Sukabumi 1888-1950, h. 221-222.
[34]Mohamad Iskandar, Kiyai
Haji Ajengan Sanusi, (Jakarta: Pengurus Besar Persatuan Umat Islam,
1993), h. 1.
[35] Husein Hasan Basri, K.H.
Ahmad Sanusi: Membangun Format Ideal Relasi Agama dan Politik, h. 230.
[36] Mohamad Isknadar, op.
cit., h. 13.
[37] Lihat, Ahmad Sanusi, At-Tabligul Islami, no. 3, Juli 1935.
[38]Mohammad Iskandar, op.
cit., h. 13. Lihat juga, Husein Hasan Basri, op. cit., h. 231.
[39]Lihat, Deliar Noer,
“Perkembangan dan Sifat Gerakan Modern Islam di Indonesia,” dalam Ahmad
Ibrahim, dkk (ed), Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta:
LP3ES, 1989), h. 242.
[40] Husein
Hasan Basri, K.H. Ahmad Sanusi: Membangun Format Ideal Relasi Agama dan
Politik, h. 232.
[42] Ibid., h. 232.
[44]Munadi Shaleh, op. cit.,
h. 35.
[46]Wawancara pribadi dengan Maman
Abdurrahman, Pimpinan Pondok Pesantren Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, 22
November 2012.
[47] Ibid.
[50] Sejarah
Dinamika PUI artikel di akses tanggal 9 November 2012 dari http:// pui ja bar
.org/ pui/ sejarah-pui
[53]Harry J. Benda, Bulan
Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia pada masa Pendudukan Jepang
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 142.
[54] Husein Hasan Basri, op.
cit., h. 234.
[55] Ibid., h. 235.
[56] Ibid., h. 235.
[58]Wawancara pribadi dengan Maman
Abdurrahman, Pimpinan Pondok Pesantren Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, 22
November 2012.
Post a Comment