“Dan Dia yang menjadikan bagi kamu bintang-bintang, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kepada kaum yang mengetahui.”
(QS. al-An‘âm (Binatang
Ternak [6]: 97)
Ketika aku
masih kanak-kanak, sebagian warga dikampung kami, belum menggunakan listrik
sebagai alat penerang. Sebagai alat penerang warga di desa kami menggunakan
lampu tembok atau peltromak. Maklumlah karena program pemerintah LKMD
(listrik masuk desa) belum sampai seluruhnya ke desa kami. Ayahku sering
berpergian pada malam hari. Profesi Ayahku sebagai guru agama serta salah
satu tokoh masyarakat dikampungku, telah menyita waktunya. Terkadang ia
baru bisa pulang kerumah pada tengah malam. Jarak antara satu rumah dengan
rumah yang lainnya relatif jauh dan terkadang dihubungkan dengan
hutan-hutan kecil dan melewati jalan setapak.
Sesekali aku diajak Ayah bertandang ke
rumah teman-temannya dan pulang pada tengah malam. Ketika pulang kami melewati
jalan setapak dan melintasi hutan kecil. Sekalipun belum ada listrik dan
penerangan yang memadai, kami tetap bisa menentukan langkah dan arah yang kami
kehendaki. Karena kami dibantu oleh penerangan bulan dan bintang-gemintang
yang tergantung indah di langit. Terlebih lagi disaat bulan purnama, aku
sering memperhatikan bulan dilangit dan seolah-olah ia mengikuti kami terus
sampai kami tiba dirumah.
Bila ingat peristiwa itu, aku suka
merenung dan berpikir sejenak bahwa dalam keadaan gelap gulita sekali pun Allah
masih menyisakan cahaya petunjuk buat hamba-hambanya yang mau mengubah dan
berusaha melakukan sesuatu yang lebih baik. Jadi, janganlah kita patah arang
dan putus asa untuk terus menerus menjadi insan yang lebih baik. Sebagaimana
pepatah mengingatkan di ujung lorong gelap terdapat cahaya terang benderang.
Saya pernah membaca satu defenisi tentang
langit yang penuh bintang, tampaknya cukup menarik untuk kita simak. Menurut
Komaruddin Hidayat, ada ungkapan Immanuel Kant di dalam Critigue of Practical
Reason yang menarik untuk direnungkan. Katanya, ada dual hal yang mengisi
pikiran kita dengan kekaguman yang selalu bertambah besar, jika kita semakin
sering memikirkannya, yaitu langit yang penuh bintang di atas dan hukum moral
di dalam hati nurani. Bintang di langit memberikan gairah dan cahaya pada
intelek untuk merenungkan kebesaran dan keindahan alam raya, sedangkan hati
nurani memberikan cahaya untuk menjalani hidup yang bermoral, yang membedakan
dunia manusia dari dunia binatang. Kalau saja kehidupan ini didominasi oleh
naluri hewani dan tidak mengenal mahkamah Ilahi, maka betapa absurd dan
konyolnya drama kehidupan manusia ini.
Di dalam realitas kehidupan kita seringkali
gagal menemukan hukum moral (hidup yang berlandaskan akhlak terpuji) di dalam
hati nurani serta tidak berhasil mengagumi keindahan alam ini. Begitu banyak
fenomena kehidupan ini yang sulit kita mengerti dan terkadang kita gagal
menemukan seberkas cahaya terang dari fenomena itu. Sebagai contoh; ketika
bencana tsunami menelan korban jutaan orang, ketika banjir bandang
memporak-porandakan rumah warga dan menelan banyak korban, saat kekeringan
melanda banyak petani terancam gagal panen, berujung pada kesulitan ekonomi,
bencana kemiskinan serta kelaparan.
Mungkin
nun jauh di lubuk hati terdalam tersembul pertanyaan mengapa Allah yang
amat penyayang itu, menurunkan semua bencana ini? Mengapa Allah membiarkan
jutaan orang mati dalam kondisi yang mengenaskan? Mengapa, mengapa dan mengapa?
Sepintas lalu, kita tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari sejumlah
pertanyaan di atas. Namun, kalau kita kaji lebih jauh, kita akan menemukan
titik terang dari setiap penderitaan itu.
Sebagian orang tidak dapat melihat dan
menemukan cahaya dalam kegelapan sehingga ia selalu menyalahkan takdir dan
keadaan. “Tuhan kenapa kau timpakan musibah ini padaku?” Rintihan-rintihan
seperti ini hanya akan memparah luka yang dia derita dan bermuara pada rasa
kecewa serta putus asa.
Di dalam suasana ke gelapan ada orang
yang bisa melihat cahaya, namun sayang cahaya itu tidak bertahan lama dan lama
kelamaan memudar. Sehingga kehidupan dan suasana hatinya menjadi tidak stabil
serta tidak sedikit berujung kepasrahan yang salah arah. Tetapi tidak sedikit
orang yang bisa menemukan cahaya dalam kegelapan dan menjadikan cahaya itu
sebagai penerang untuk kedamaian, ketentraman pikiran, jiwa dan raganya. Dalam
hal ini Hasan al-Banna mengatakan, “Ketika malam semakin gelap gulita, maka
sesungguhnya sebentar lagi pagi akan datang.”
Titik Terang dalam Penderitaan
• Yakinilah
dalam setiap kegelapan ada banyak titik terang.
• Kita
bisa mengatakan itu terang setelah melewati kegelapan.
• Kalau
kita belum berhasil menemukan titik terang dalam kehidupan ini. Cobalah terus
berusaha untuk mendapatkannya. Bila sudah tiba waktunya Insya Allah kita akan
menemukannya.
• Dalam
setiap kegegelapan pasti ada pelajaran didalamnya.
“Perjalanan
hidup manusia yang tidak disinari cahaya kebenaran dari Allah Laksana manusia
yang berjalan di kegelapan malam.” (Al-Ghazali)
Post a Comment