Pendahuluan
Dalam musyawarah ada tujuh manfaat penting, yaitu
mengambil kesimpulan yang benar, memperoleh masukan pemikiran, menjaga diri
dari kejatuhan, memperoleh kelayakan, terhindar dari penyesalan, mencairkan
hati, dan mengikuti tuntunan.
Ali Ibn Abi Thalib
Syura
merupakan sistem partisipasi secara kolektif dalam mengeluarkan pendapat dan
ketetapan yang berlandaskan al-Qur’an. Syura juga merupakan kerangka bagi
bentuk-bentuk hubungan sosial dan kesetiakawanan. Ia adalah suatu cara yang
digariskan oleh syariat kita agar umat dapat mencapai tujuannya yang mulia, dan
dengan perantaraannya sampai kepada gagasannya yang ideal. Adapun kekuatan yang
mendorong ke arah tujuan tersebut ialah akidah yang benar dan syariat yang
penuh toleransi.[1]
Pada praktiknya, mabda
syura
merupakan urat nadi yang dari sela-selanya berjalan dan bergerak
pikiran-pikiran kreatif umat dan pendapat individunya dalam kehidupan
masyarakat. Adapun syariat dan kandungan-kandungannya berupa kumpulan nilai dan
prinsip itulah- yang menciptakan pikiran-pikiran tersebut. Dialah yang
mengeluarkan, membersihkan, dan menjadikannya pantas untuk menjadi “air
kehidupan” dalam urat nadi, sel-selnya, dan anggota-anggotanya.[2]
Esensi syura adalah pemberian kesempatan kepada
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum
ataupun kebijaksanaan politik. Ini biasa dipahami dari ungkapan yang
dipergunakan yakni syawir, bentuk
imperatif dari kata kerja syawara-yusyawira,
yang berimplikasi-agar pemimpin masyarakat meminta pendapat dari mereka yang
mempunyai kepentingan pada masalah yang dihadapi.[3]
Syura adalah bagian integral dari
Islam dan bahwa pada prinsipnya syura mencakup semua lingkungan kehidupan umum,
dan bahkan pribadi, kaum Muslim. Kita juga mendapati dalam al-Qur’an, ayat
tentang perlunya menjalankan musyawarah disejajarkan dengan acuan kepada
pilar-pilar Islam, seperti keimanan, shalat, dan zakat. Hal ini, sekali lagi,
dijadikan sebagai bukti bahwa syura diperlukan dengan dasar yang serupa, dan
diberi tempat yang sama pentingnya dalam pengaturan masalah-masalah sosial dan
politik masyarakat Muslim. Jadi, menurut al-Bahi, ketentuan Qur’ani disampaikan
dalam terma-terma yang tidak hanya berisikan masalah-masalah pemerintahan
tetapi juga mengenai hubungan dalam keluarga, antartetangga, antara mitra dalam
bisnis, antara majikan dan pekerja, dan sebenarnya semua aspek kehidupan di
mana ia dianggap bermanfaat bagi masyarakat.[4]
[1] Taufik
Muhammad, Asy-Syawi, Fiqhusy Syura wal-Istisyarat, terj.
Djamaluddin (Kairo: Dar- al Wafa’,
1992), hal. 56.
[3] Badan
Litbang dan Diklat Depag, Tafsir
al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, Seri.
III, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Cet. I, 2009), hal. 222.
[4] Mohammad
Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat
dalam Islam, (Bandung: Mizan, Cet. I, 1994), hal. 61.
Post a Comment