Resensi Buku
Judul : Orang
Kaya di Negeri Miskin
Penulis : Eko
Prasetyo
Penerbit : Resist
Book
Cetakan :
Pertama Yogyakarta, Juli 2005
Tebal : vi+172
halaman
Setiap orang didunia pasti tidak ingin terlahir menyandang prediket miskin.
Karena kemiskinan adalah semacam dosa kutukan, yang harus disingkirkan bila
perlu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya.
Tetapi ‘destiny’s game’ terkadang menjadi ‘penyebab’ seorang anak
manusia terlahir berbalut baju kemiskinan. Kehidupan yang tidak banyak menawarkan
pilihan itu, merefleksikan cara hidup fatalistik, meminta-minta, selalu mengharapkan
bantuan pihak lain.
Sesungguhnya, Tuhan tidak pernah menghukum mereka, tetapi hanya ingin
mendidik dan mengajarkan pada mereka ‘kesabaran’. Sebaliknya orang-orang yang
terlahir ‘beruntung’ sering kali
menganggap bahwa, apa yang ia peroleh adalah semata-semata hasil kerja
keras usaha sendiri. Padahal tidak sedikit dari mereka diuntungkan kedudukan
dan kesempatan untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan mereka. Jadilah orang-orang
kaya di negeri ini begitu angkuh dan sombong, dimana penduduknya banyak yang
kelaparan.
Orang kaya di negeri ini lebih suka mengoleksi barang-barang antik dan
mendengar suara burung perkutut yang harganya miliaran rupiah, daripada
mengulurkan uang koin untuk mengurangi cerita duka orang miskin. Memang sulit
untuk bisa dipahami, kebiasaan yang tidak lazim dan mahal ini menjadi semacam
kesukaan orang-orang kaya. Begitu tulis Eko Prasetyo dalam buku ini, orang kaya di Negeri Miskin. Bagi
sebagian orang kaya di negeri miskin, orang miskin harus mengatasi sendiri
problem kemiskinannya, karena hanya merekalah yang paling mengerti apa yang
jadi kebutuhan dan kesulitannya. Mungkin orang kaya di negeri ini lupa atau
pura-pura lupa bahwa: “Dan bahwa dalam
harta mereka (orang-orang berkecukupan) itu terdapat hak orang yang meminta dan
orang yang tidak memiliki”. (firman Tuhan). Mungkin benar bahwa menjadi
kaya bukan sesuatu yang keliru, tapi menjadi bermasalah, ketika kekayaan tidak
dibagi kepada orang yang membutuhkannya.
Bila ditilik dari latar belakang sejarah, bagaimana kisah sukses orang kaya
di Negeri Miskin. Ada semacam ‘jalur sutera’ yang mempermudah langkah mereka
untuk menyandang prediket orang kaya. Hal ini terlihat dalam program Benteng
pada masa Soekarno. Program ini semula dibuat untuk merubah struktur kelas
perekonomian di Indonesia, yang dikuasai oleh pedagang Belanda dan etnis Cina
dialihkan ke kaum pribumi.
Pada praktiknya program Benteng ini mengalami kegagalan, disebabkan oleh
pertama faktor party politics dan sifat patriomonialisme masyarakat, sehingga
pemerintah tidak selektif dalam memberikan kredit dan hak-hak istimewa pada
golongan asli. Hampir seluruh ‘pengusaha’ yang mendapatkan kredit bukan yang
memiliki keahlian wiraswasta melainkan punya hubungan tertentu dengan penguasa.
Akses pada kekuasaan adalah modal untuk mendapatkan kredit. ( hlm., 45)
Peralihan pemerintahan dari Soekarno ke tangan Soeharto juga tidak banyak
mengalami perubahan. Bahkan sederet saudagar yang diuntungkan dengan kebijakan mewakili
kepentingan oligharki, kemudian menjadi dinasti yang kelak akan memiliki kekuasaan
yang menggurita. Sebagai salah seorang serdadu, Soeharto telah memberikan ruang
ekonomi yang luas bagi golongan tentara. Tentara dan bisnis ibarat kepingan
mata uang yang saling menarik laba.
Struktur ekonomi yang timpang memamerkan komitmen rezim demokrasi pasar
yang bias kepentingan segelintir orang. Sistem ekonomi liberal bukan hanya
menebar jumlah orang miskin melainkan juga melambungkan sejumlah kecil orang
untuk jadi kaya dan hidup secara berlebihan.
Gaya hidup orang kaya di negeri ini untuk memanjakan tubuhnya, mereka
berani mengeluarkan budget jutaan. Padahal budget sebesar itu cukup untuk
membiayai ratusan penduduk miskin. Bagi orang kaya di negeri miskin, budget
sebesar itu tak bisa dinilai berlebihan. Karena kebutuhan memanjakan tubuh tak
berkaitan dengan fungsi melainkan jalan untuk mengungkapkan simbol dan status.
Kelompok-kelompok masyarakat yang semestinya memperjuangkan nasib wong cilik,
juga ikut terlibat penumpukan kekayaan. Misalnya: rohaniawan, ilmuwan dan
lain-lain. Mereka yang kemudian percaya bahwa tidak ada kelirunya
menumpuk-numpuk kekayaan sembari berinfaq dan bersedekah ala kadarnya.
Kekayaan bisa hidup seperti ini karena kokohnya sistem ekonomi pasar. Satu
sistem yang berulang-ulang dalam hampir semua karya Eko Prasetyo menjadi
kutukan abadi. Ini karena sistem ekonomi pasar yang digerakkan oleh hasrat
untuk mengakumulasi laba. Laba ini dihimpun dengan menjalankan serangkaian
praktik produksi yang tidak lagi bertumpu pada bekerja keras, peras keringat
melainkan bagaimana menimbulkan efek pencitraan. Efek yang akan merangsang
seseorang untuk belanja, mengeluarkan uang bahkan menerjunkan diri dalam arus
konsumsi yang tanpa kontrol. ( hlm., 21)
Eko Prasetyo, penulis produktif trilogi buku orang miskin diantaranya: orang miskin dilarang sekolah (2004), orang
miskin dilarang sakit (2004) dan orang miskin tanpa subsidi (2004). Ia menyajikan
kritikan elegan terhadap prilaku orang kaya yang secara tidak langsung menjadi
salah satu ‘penyebab’ meryeruaknya kemiskinan. Ia juga mengajak orang kaya di
negeri miskin ini untuk bercermin pada salah seorang founding-father bangsa.
Mohammad Hatta seorang negarawan
mempunyai pandangan, demokrasi ekonomi wajib didasari oleh pemerataan keadilan.
Bentuk badan ekonomi yang penting dikembangkan adalah koperasi. Hidupnya
sendiri bisa menjadi kaca bagi semua pejabat negeri ini, sederhana dan apa adanya.
(hlm., 157)
Pada setiap bagian pembahasan orang
kaya di negeri miskin, diselingi dengan ilustrasi-ilustrasi yang dijamin
mengundang tawa pembaca. Berisi sindiran terhadap prilaku orang-orang kaya.
Dari ilustrasi-ilustrasi ini tersingkap betapa istimewanya hidup jadi orang kaya
dilingkungan orang yang mencari makan-pun susah. Ilustrasi yang memperlihatkan
kisah hidup orang kaya dilingkungan orang miskin secara dramatik mampu
menggetarkan pembaca.
Salah satu semangat buku ini adalah mencoba menggugah kesadaran orang kaya
di negeri ini untuk lebih peduli dan peka terhadap penderitaan orang-orang yang
terlahir tidak berdarah biru. Tanpa terasa, saking terbawa perasaan, buku tipis
ini akan segera tamat dibaca, sementara pembaca boleh jadi belum puas membaca dan
menelaah kisa sukses orang kaya di negeri miskin.
Post a Comment