Al-Kindi mendefenisikan jiwa sebagai
berikut, “Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan
memiliki kehidupan yang energik, atau kesempurnaan fisik alami yang memiliki
alat dan mengalami kehidupan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan
pandangan Menurut Al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya, antara lain 1. jiwa bernafsu
(al-quwwah asy-syahwāniyyah), 2. jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan
3. jiwa berakal (al-quwwah al-‘aqilah).
Selama ruh atau jiwa berada di badan,
ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang sempurna.
Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke
“alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan
cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh.
Namun jika ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke
Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke
dalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi
di bawah cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa
(ruh) manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi
manusia yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di
bumi, akan dekat dengan cahaya Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya.
Dia juga mengemukakan bahwa jiwa tidak
tersusun, namun mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi jiwa
berasal dari Tuhan. Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya
dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, llahiah, terpisah dan
berbeda dari tubuh. Jiwa atau ruh tidak pernah tidur, hanya saja ketika tubuh
tertidur, ia tidak menggunakan indera-inderanya. Dan bila disucikan, ruh dapat
melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh
lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Argumen yang dikemukakan
AI-Kindi tentang perbedaan ruh dengan badan adalah bahwa ruh menentang
keinginan hawa nafsu dan sifat pemarah.
Bagi al-Kindi jiwa akan tetap kekal
setelah kematian. Dia pindah ke alam kebenaran yang di dalamnya terdapat nur
Sang Pencipta. Itulah tempatnya yang abadi. Di tempat itu, ia sangat dekat
dengan Sang Pencipta. Itulah tempatnya yang abadi. Di tempat itu, ia sangat
dekat dengan Sang pencipta sehingga mampu mengetahui segala hal, yaitu
mengetahui setiap yang nyata maupun yang tidak nyata, atau mengetahui setiap
rahasia dan bukan rahasia. Mengenai hal ini al-Kindi mendasarkan pendapatnya
pada ayat al-Qur’an; sesungguhnya kamu dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka
Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu
pada hari itu amat tajam (QS Qaf: 22).
Al-Kindi memiliki buku kecil tentang
obat duka yang berjudul, “Kiat Melawan Kesedihan). Dalam bukunya ini al-Kindi
mendefenisikan kesedihan, menjelaskan sebab-sebab kesedihan, serta menyebutkan
beberapa cara untuk melawan kesedihan. Al-Kindi mendefenisikan kesedihan
sebagai gangguan psikis (neurosis) yang terjadi karena kehilangan hal-hal yang
dicintai dan yang diinginkan.
Al-Kindi menasehati, agar perbaikan
dan penyembuhan jiwa dari gangguan kesedihan dilakukan secara bertahap.
Pertama-tama dengan membiasakan diri melaksanakan kebiasaan terpuji pada
hal-hal yang sepele. Kemudian meningkatkan pada tahap mendisiplinkan kebiasaan
terpuji tadi pada hal-hal yang sulit, baru setelah itu meningkat ke hal-hal yang
lebih sulit. Tahapan itu berlanjut hinggaa kita sampai pada hal-hal yang sangat
sulit.
Lebih lanjut al-Kindi mengatakan,
“Kita harus sabar dalam memperbaiki diri melebihi kita dalam menyembuhkan
gangguan fisik. Apalagi penyembuhan jiwa lebih ringan dari segi biaya dan
ketidaknyamanan dibanding penyembuhan gangguan fisik. Perbaikan diri ini hanya
dapat dilakukan dengan kekuatan tekad atas orang yang memperbaiki diri kita,
bukan dengan obat yang dapat diminum, bukan deraan ataupun api, dan bukan pula
dengan biaya uang. Tetapi itu melalui disiplin diri dengan kebiasaan yang
terpuji pada hal yang kecil atau sepele. Kemudian meningkat pada tahap
pembiasaan yang lebih besar daripada itu. Jika hal itu telah menjadi kebiasaan,
maka kita meningkat ke tahap yang lebih tinggi sehingga kita dapat membiasakan
hal-hal yang lebih besar sebagaimana kebiasaan pada hal-hal yang lebih kecil.
Sebab, kebiasaan itu memudahkan apa yang kita bayangkan dan memudahkan
kesabaran atas berbagai peristiwa kehilangan dan kepergian.
Dengan ide ini, al-Kindi telah
mendahului para psikolog modern yang menganut prinsip belajar, yaitu prinsip
bertahap dalam mempelajari kebiasaan yang sulit. Prinsip ini telah digunakan
oleh psikiater behavioristik modern dalam menyembuhkan diri dari kebiasaan yang
buruk dan dalam menyembuhkan keresahan.
Tentang Kebahagiaan
Menurut al-Kindi kebahagiaan sejati
bagi manusia bukanlah kenikmatan yang bersifat inderawi, duniawi, dan
artifisial, tetapi berupa kenikmatan inderawi; dan mendekatkan diri kepada
Allah- sehingga Dia memancarkan cahaya dan rahmat kepadanya. Walhasil, pada
saat itu manusia merasakan kenikmatan abadi di atas segala kenikmatan inderawi
yang dapat dicapai dari kenikmatan hidup duniawi.
Post a Comment