Ibn Sina’s Concept of Soul
Chapter Four
An Analytical to Ibn Sina’s Concept of Soul
Jiwa merupakan: (i) rahasia Allah dalam
ciptaan-Nya (ii) ayat-ayat-Nya yang ada di dalam diri hamba-Nya (iii) teka-teki
kemanusiaan yang belum terpecahkan, bahkan mungkin tidak akan pernah
terpecahkan (iv) sumber aneka pengetahuan dan sumber ilmu yang tak terbatas,
tetapi belum pernah disebutkan bahwa hakikatnya telah diketahui dengan pasti
dan benar, bahkan sebagai (v) sumber berbagai pemikiran yang jelas dan terang
tapi pemikiran jiwa mengenai hakikatnya penuh dengan ketikjelasan dan
kekaburan. Meskipun demikian manusia sejak awal perkembangannya rindu untuk
mengetahui dan secara serius berusaha memahaminya. Hingga kini manusia selalu
mencurahkan segala kemampuannya untuk mengetahui hakikat dan permasalahan jiwa.
Dengan penuh semangat ia selalu ingin mengetahui lebih teliti tentang
hakikatnya, ingin tahu hubungan jiwa dengan badan dan ingin menjelaskan
bagaimana akhir kesudahannya.
Bagaimana tidak, padahal manusia adalah makhluk
yang selalu ingin tahu mengenai segala hal, dia paling senang untuk mengetahui
hal-hal misterius yang belum dikenal. Maka bia ia telah melangkah cukup jau
dalam memahami alam semesta dan telah menerangkan berbagai fenomenanya, sudah
barang tentu jiwa yang ada pada dirinya lebih utama untuk diteliti, dibahas,
dan dijelaskan. Ini merupakan realitas bahwa manusia mempunyai pembawaan untuk
bersemangat yang ia tidak bisa hidup menyendiri terpisah dari saudara-saudara
sesamanya. Pengetahuan tentang jiwa akan banyak membantu memahami manusia
sesamanya. Betapa besar perhatian para ahli etika dan ahli pendidikan, dalam
mencurahkan segala kemampuannya untuk mempelajari kecendrungan dan
potensi-potensi fitriah sebagai landasan dalam membimbing umat, mengembangkan
kebudayaan di samping merupakan dasar pendidikan dan pengajaran. Agama dan
syariat menyeru kepada jiwa sebelum menyeruh kepada tubuh. Dia lebih banyam
berorientasi pada ruh daripada tubuh. Pahal dan siksa serta pertanggung-jawaban
moral dan pertanggung jawaban keagamaan secara umum mengajak untuk memikirkan
ruh, keabadian, dan kesudahannya setelah berpisah dengan tubuh. Dalam ihwal
manusia baik secara individu maupun sosial, baik dalam kajian ilmiah maupun
dalam ajaran agamanya terdapat faktor-faktor yang mendorong dirinya untuk
menyibak tabir rahasia yang dititipkan Allah padanya, sebagai rahasia yang ia
yakini tanpa pernah dilihatnya.
1. Masalah Jiwa dalam Dunia Islam
Oleh karena itu bukan sesuatu yang aneh bila
masalah jiwa cukup menyibukkan para analis dan pemikir sepanjang masa. Tak
seorang filosofpun yang tidak menyumbangkan pikiran dan tidak mengajukan
pemecahannya. Bahkan sejarah jiwa merupakan inti sari sejarah filsafat secara
keseluruhan. Islam yang datang untuk membangunkan jiwa dari tidur tidak mungkin
mengacuhkan atau mata terhadap persoalan jiwa ini. Islam sebagai agama yang
menyeru untuk membersihkan dan mensucikan jiwa tidak mungkin pura-pura tidak
tahu atau mengingkarinya. Islam secara singkat merupakan agama dan akidah,
sebelum menjadi budaya dan kultur. Oleh karena itu Islam menyeru kepada jiwa
sejak awal dakwahnya dan memusatkan pandangan kepadanya. Bagitu Islam
berkenalan dengan peradaban-peradaban klasik: Mesir, Yunani, Persia, dan India,
para pemikir muslim segera memperluas studinya mengenai jiwa ini. Mereka
meneliti hal ihwal dan keistimewaan-keistimewaan jiwa, terutama mengenai
keabadian dan reinkarnasi. Tentang hal tak pelak terjadi debat dan diskusi.
Al-Qur’an dan al-Sunnah:
Bila kita mereferen kepada ke dua sumber primer ini
maka kita temukan bahwa al-Qur;an dan al-Sunnah tidak hanya sekali menyinggung
masalah jiwa. Ke duanya membicarakan jiwa dalam berbagai kesempatan. Al-Qur’an
misalnya, mengatakan bahwa ruh merupakan pembangkit hidup[1],
bahkan itu dari Allah:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah’ maka apabila
telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan ruh (ciptaan)Ku maka hendaklah
kamu tersungkur dan sujud kepadanya.” (QS Shad, 71:19).
Dan ruh merupakan rahasia Allah dalam ciptaan-Nya.
Manusia yang memang terbatas ilmunya tidak perlu cemas dan bingung bila tidak
mengetahui hakikat dan esensi jiwa.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, maka
katakanlah bahwa ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi ilmu
kecuali hanya sedikit saja. (al-Isra, 17-85).
Allah memperingatkan terhadap syahwat dan hawa
nafsu dengan menandaskan pada nafsu lawwamah yang tidak mau dan emoh pada
hal-hal yang hina.
“Aku bersumpah kepada hari Qiyamah. Dan aku bersumpah
kepada jiwa lawwamah. (al-Qiyamah, 75:2).
Allah juga memperingatkan bahwa jiwa itu
bertingkat-tingkat yang paling tinggi adalah jiwa muthmainnah yang Allah
berfirman kepadanya:
“Hai jiwa yang tenang (muthmainnah).
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi dirihai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamab-hamba-Ku dan
masuklah ke Surga-Ku.
Al-Qur’an juga menerangkan bahwa semua jiwa itu
akan kembali kepada Allah.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya maka Dia tahanlah
jiwa-jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan melepaskan jiwa yang
lain sampai batas waktu yang telah ditentukan.”(az-zumar, 39:42).
Dalam as-Sunnah meskipun ia menahan diri dari
menjelaskan hakikat ruh, tetapi ada juga Hadis yang menerangkan mengenai baik
darimana asal munculnya ruh, maupun eksistensi ruh lebih dulu adanya daripada
tubuh.
“Ruh-ruh itu merupakan bala tentara yang banyak
sekali maka di antara mereka yang saling mengenali lalu bersatu dan berkumpul
sedang di antara mereka yang tidak saling mengenali lalu berbeda dan
berselisih. (Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Kitab al-Ruh, Haiderabad, halaman 9-62).
Ada hadis selain yang menjelaskan tentang (i)
bagaimana keadaannya ketika menghadapi pertanyaan ke dua Malaikat, bahkan
diterangkan (iii) bagaimana nikmat dan siksa yang dialami di dalam kubur. Ada
juga hadis yang menerangkan bahwa (i) ruh orang mati itu saling mengunjungi
antar sesama mereka dan (ii) ruh itu merasa senang bila diziarahi oleh yang masih
hidup.
“Tak seorangpun yang menziarahi kubur saudaranya
dan duduk si situ, kecuali yang diziarahi tadi merasa senang dan membalasnya
hingga ia berdiri. (al-Bukhari, bab Ta’bir al-Ru’yat wa al-Ahlam.
“Rasulullah tidak pernah mimpi kecuali datang
seperti cahaya subuh.”
“Mimpi yang baik dari orang yang saleh itu
merupakan sebagian dari 46 bagian kenabian”
“Barang siapa melihatku dalam mimpi maka
betul-betul melihatku.” (Buku Ibnu Qoyyim yang kami sebutkan di atas merupakan
bentuk yang langka mengenai sam’iyat ini.)
Bila semua ayat dan hadis tadi diartikan secara
lahiriah maka akan terjadi diskusi dan perdebatan yang berkepanjangan terutama
setelah umat Islam berkenalan dengan ajaran-ajaran bangsa lain. Ayat-ayat dan
hadis-hadis tersebut di atas merupakan dasar studi Islam mengenai: (i) mimpi
dan ta’birnya (ii) masalah-masalah yang termasuk sam’iyat, (iii) penjelasan
asal ruh dan penjelasan dan penjelasan bahwa ruh itu lebih dulu daripada tubuh
(iv) ruh yang akan kembali kepada tubuh setelah mati (v) pertanyaan dua
Malaikat dan siksa kubur. Masalah sam’iyat ini merupakan bidang ilmu kalam yang
paling terpengaruh oleh berbagai pemikiran asing, terutama dari Yahudi dan
Nasrani. Imajinasi dan kebohongan tentang sam’iyat ini mempunyai kesempatan
luas baik untuk menyenangkan selera umum maupun untuk kepuasan dalam memberikan
ancaman dan peringatan.
b. Sumber-sumber Asing:
Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa masalah jiwa
telah menyibukkan banyak analis dengan berbagai macam spesialisasinya, bahkan
mendapat perhatian sejak pertumbuhannya. Pemikiran Timur klasik sebagian besar
berkisar mengenai jiwa, tentang: (i) asal-usul (ii) kemana kembalinya (iii)
bagaimana cara membersihkan dan mensucikannya. Orang-orang Mesir kuno sangat
percaya dengan alam lain. Dalam buku al-Mauta terbukti bahwa mereka betul-betul
mempercayai keabadian. Bangsa Israil mengatakan bahwa manusia terdiri dari jiwa
dan tubuh: tubuh akan kembali kepada tanah tetapi jiwa akan kembali kepada
Tuhan untik disiksa atau mendapat pahala. Agama Zoroaster, sebagai fenomena
pemikiran paling populer di Persia sebelum Masehi, menggambarkan bahwa dunia
ini merupakan kumpulan ruh-ruh tadi dalam pertarungan abadi sehingga pada
akhirnya ruh yang baik mendapat kemenangan dan dapat mengalahkan ruh yang
jahat. Filsafat Brahmanisne intinya adalah reinkarnasi jiwa dan usaha
melepaskan jiwa dari tubuh agar dapat menyatu dengan Brahman yaitu Kebenaran
Mutlak. Orang yang belum berhasil mencapai pelepasan jiwa ini akan
terombang-ambing, pindah dari satu ke tubuh lain dalam perjalanan tak terputus
dengan bereinkarnasi atau berganti baju “secara tak berkesudahan.”
Tidak ada yang membantah bahwa banyak pemikiran
ini yang masuk ke dunia Islam karena kedekatan dan pergaulan antara umat Islam
dengan mereka. Dengan tanpa menyinggung baik ajaran Yahudi dan Nasrani yang
telah masuk di daerah Arab sebelum Islam bahkan masik tegak ketika Islam datang
maupun warisan Mesir kuno yang sudah punah ketika Islam mulai menyebarkan
dakwahnya di daerah Mesir, kami hanya akan menunjukkan beberapa pemikiran
Persia dan India. Agama zoroaster dan agama Manichaisme mempunyai hubungan yang
jelas dengan dunia Islam, bahkan aspek spiritualnyapun masuk ke dalam pemikiran
dan pandangan umat Islam. Bagaimana tidak, sementara Islam telah dipeluk oleh
banyak orang Persia, terutama dulunya menganut agama Zoroaster sehingga wajar
saja jika mereka membawa serta ajaran dan mazhab mereka. Mengapa kita tidak
mengatakan ada hubungan antara perdebatan yang berlangsung di antara umat Islam
mengenai ruh (i) apakah ia mengitari tubuh setelah mati, atau (ii) apakah yang
dikumpulkan pada hari kiamat: ruh saja atau dengan jasadnya, dengan debat
orang-orang Manichaisme dan penganut Mazdak sebelumnya mengenai masalah yang
sama?
Mengenai kebudayaan India, umat Islam berhubungan
dengannya lewat Persia atau secara langsung dengan jalan perdagangan atau
penaklukan. Mereka mulai menaklukan India pada tahun-tahun terakhir abad
pertama hijriah. Kebudayaan India dalam pandangan mereka memiliki keistimewaan
tersendiri dibanding banyak kebudayaan kuno lainnya. Mereka menghargai ilmu
hitung, teknik dan falsafah India yang menakjubkan. (al-Jahidh, Rasail, halaman
73, al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab, Juz: I, halaman 35 dan seterusnya. Al-Qifthi,
halaman 27.
Jiwa, dalam filsafat India, mempunyai kedudukan
yang jelas. Bila membicarakan masalah jiwa maka akan dibicarakan: (i) dari mana
asalnya atau bagaimana pertumbuhannya (ii) ke mana akhir dan tujuannya (iii)
bagaimana membersihkan dan melepaskannya dari yang lain, dan (iv) bagaimana ia
berinkarnasi dan berganti baju.” Inkarnasi secara khusus merupakan pemikiran
utama mereka tentang jiwa dan merupakan salah-satu sendi agama mereka yang yang
dihubungkan dengan masalah pahala dan siksa, dengan surga dan neraka. Sudah
lama al-Biruni mengatakan: “Sebagaimana syahadah merupakan tanda keimanan umat
Islam, trinitas untuk orang Nasrani, Sabath untuk orang Yahudi maka inkarnasi
merupakan ilmu agama orang India. Barangsiapa tidak menganutnya maka tidak
dianggap bagian dari mereka.” (al-Biruni, Tahqiq Ma li al-Hindi min maqulat
al-fi al-Aqli aw al-Mardudah, halaman 24. Dalam hal ini al-Biruni memiliki
kelebihan, ia telah mengunjungi India di abad ke empat hijriah. Untuk beberapa
waktu ia tinggal bersama orang-orang India. Dia melaporkan berdasarkan
pengalaman dan menceritakan sesuai dengan apa yang ia lihat.)
Di sini kami tidak bermaksud untuk menjelaskan
apakah teori inkarnasi yang dikemukakan oleh Phytagoras itu murni dari
Phytagoras sendiri atau berasal dari India. Inkarnasi meskipun telah dikenal
dalam dunia Islam tapi tidak ada pengaruh dari teori inkarnasi dari India.
Mengenai masalah ini umat Islam mengenalnya secara langsung atau lewat Persia.
Gemanya terdapat baik dalam aliran maupun pada sebagian pemikir mereka. Teori
ini diikuti oleh: (i) al-Sabaiah, pengikut Abdullah bin Sabak (ii) al-Haithiah,
pengikut Abdullah bin Haith yang memisahkan diri dari al-Nadhdham (iii)
al-Nashiriyah, salah-satu sekte oleh Abu Muslim al-Khurasan dan oleh Muhammad
bin Zakari al-Razi, sang dokter. Mereka semua berpendapat, ruh itu berpindah
dari satu raga ke raga lain meskipun bukan pada raga yang sejenis dengan raga
yang ditinggalkannya. Al-Nashiriyah percaya bahwa barang bahwa barangsiapa
tidak beriman kepada Ali maka setelah mati ia akan kembali ke dunia sebagai
unta, keledai, himar atau anjing. Seperti ini pula pendapat mayoritas pengikut
Abu Muhammad Abdullah al-Darizi. (Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz:I, halaman
236, 242.)
Jiwa juga telah dibahas dan dipelajari oleh
orang-orang Yunani. Banyak pendapat dan teori yang telah mereka kemukekakan. Di
antara mereka penganut materialisme mengatakan bahwa jiwa hanyalah semata fisik
tidak ada baik keistimewaan maupun kekhususannya. Sedangkan mereka yang
spitiritualistis mengkultuskan dan menjauhkan jiwa dari dunia materi. Mereka
berpendapat bahwa jiwa adalah kekuatan ilahiah-spiritual yang turun ke dalam
tubuh dari alam atas. Ada juga di antara mereka yang moderat. Mereka mengatakan
jiwa itu campuran antara tubuh dan ruh atau merupakan uap pana sebagaimana yang
dikatakan oleh pengikut Stoa atau sebagai bentuk tubuh dan ruh atau merupakan uap panas sebagaimana yang
diajarkan oleh Aristoteles dan para pengikutnya. Tokoh-tokoh filsafat Yunani
telah mempelajari beberapa fenomena psikologis dan menulisnya dalam beberapa
buku dan berpengaruh di dalam dunia Islam.
Di antara buku-buku tersebut yang terpenting dapat
Naturalia karya Aristoteles, On Sence Perception karya Theophrastus, Kitab
al-Nafs oleh Alexander dari Aphorodisius juga ulasan dan komentar dari
buku-buku karya Aristoteles terutama buku De Anima oleh Themistius dan
Samblikhus dari aliran Iskandariah, buku-buku kedokteran terutama karya
Hypocrates dan Galien. Masih ada dua buku lain yang berasal dari Plotinus yaitu
Ontologi Aristoteles atau Theologia dan buku Kebaikan Murni. Ke dua buku ini
mempunyai peranan penting dalam studi psikologis umat Islam. Buku-buku tersebut
telah dikenal oleh orang-orang Arab pada
umumnya baik secara langsung atau melalui perantara. Mereka banyak mendapat
manfaat dari buku-buku tadi dalam penelitian psikologis, bahkan secara nyata
mereka amat terpengaruh.
C. Ulama Ilmu Kalam dan Ahli Tasawuf:
Begitu pemikiran ini masuk ke dalam dunia Islam,
sgera ia digabungkan dengan ajaran-aajaran al-Qur’an ada ajaran yang justru
tidak mendorong mereka untuk membahas masalah ini bahkan ada sebagian Ahli Fiqh
seperti Malik dan Asy-Syafi’i yang mengharamkannya, tetapi kita menemukan
berbagai pemikiran mengenai hal ini dalam sekte-sekte Syia’ah, Sunni, dan
beberapa aliran ilmu Kalam dan Tasawuf. (Massignon, Recuil, halaman 131.) di
antara mereka ada yang membahas (i) tentang turunnya jiwa (ii) spiritualitas
jiwa, (iii) mengutamakan akal atas jiwa, dan (iv) berpendapat tentang
reinkarnasi jiwa sekaligus menerangkan bagaimana cara dan tujuannya. (Madkour,
La Place, halaman 161-162). Golongan Ismailiah dan Qoromithoh, misalnya, dengan
panjang lebar membahas tentang turunnya jiwa dan kebanyakan dipengaruhi oleh
Ontologi Aristoteles. Telah kami jelaskan bahwa ada beberapa sekte dalam Islam
yang menganut ajaran reinkarnasi, antara lain Sabaiah, Haithiah, dan Nashiriah.
Hanya saja, para ulama Ilmu Kalam dan para ahli
tasawuf merupakan orang-orang yang pertama kali mengetengahkan masalah jiwa ini
secara lebih luas dan lebih dan terinci. Tapi pendapat mereka ada juga yang
aneh dan kontraproduktif. Mereka berusaha untuk: (i)
menginterpretasikan hakikat jiwa dan menerangkan
jenis-jenisnya (ii) membuktikan bahwa jiwa itu temporal dan diciptakan sebelum
masuk dalam tubuh (iii) mencari dasar atas keabadian dan kelanggengan jiwa
setelah berpisah dengan tubuh. Barangkali bahasaan mereka mengenai
karakteristik dan keabadian jiwa merupakan pembahasan yang paling jelas. Tapi
anehnya para Ulama Ilmu Kalam itu berselisih pendapat tentang karakteristik
jiwa seperti perbedaan pendapat yang dialami oleh orang-orang Yunani
sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Ada di antara mereka secara
ekstrim berpendapat bahwa jiwa itu murni ruhani, di samping yang moderat antara
materi dan ruhani.
Mereka yang materialistis mengingkari jiwa secara
total atau mengatakan bahwa jiwa itu adalah fisik atau aksidensia fisik. Mereka
sudah barang tentu adalah pengikut teori otomisme dari kelompok yang materialis
ini. Penciptaan yang kontinu yang merupakan penyempurna teori ini mengharuskan
bahwa tubuh dan ruh sebagai aksidensia tubuh. Jika kita mulai dari Abu Hudzail
al-Allaf-peletak batu pertama bagi teori atom dalam Islam-kita temukan dia
menyatakan bahwa jiwa adalah aksendia tubuh dan aksendia itu tidak langgeng
dalam dua zaman, maka ruh manusia selalu berubah. Abu Hasan al-Asy’ari, yang
telah mengembangkan teori ini ini menjadi kuat setelah melemah, cenderung ke
arah materialisme meragukan keruhanian jiwa. (al-Asy’ari, Maqolat al-Islamiyah,
Juz: II, halaman 337, Ibnu Qoyyim al-jauziyah, al-Ruh, halaman 178). Sedang
muridnya, Abu Bakar al-Baqilani yang dianggap sebagai pembela teori atom di
antara pengikut al-Asy’ari, berpendapat bahwa ruh adalah aksidensia dan tiada
lain hanyalah hidup itu sendiri. Karena itu ia tidak abadi setelah rusaknya
badan. (Ibid., halaman 81, 178, 272).
Sedang para spiritualis berpendapat bahwa jiwa
bukan fisik di samping bukan aksidensia bagi fisik. Maka ia: (i) tidak punya
baik panjang maupun luas (ii) tidak punya tempat yang sebenarnya (iii) tidak
menyentuh sesuatu maupun disentuh oleh sesuatu (iv) tiada gerak, diam, warna
dan rasa. Yang ada padanya adalah pengetahuan, kekuasaan, hidup, kehendak,
cinta dan benci. Dia menggerakkan badan dengan kehendaknya tanpa menyentuh
badan. Seakan dengan mengatakan seperti mereka hendak menjauhkan jiwa dari
kejasmaniahannya secara total. Pengikut pendapat ini dari kalangan Muktazilah
adalah Muammar yang berpendapat bahwa jiwa itu merupakan ilmu murni dan
kehendak murni. Hubungan antara jiwa dan tubuh busa terjadi karena adanya ruh
yang bertebaran dalam tubuh. (al-Razi, Muhashshil Afkar al-Mutaqoddimin wa
al-Muta’akhkhirin, halaman 164). Imam al-Haramain benar-benar merupakan orang
pertama dari kalangan pengikut al-Asy’ari yang berpendapat bahwa jiwa itu
ruhani dan abadi. Jiwa dalam pandangan Imam al-Haramain merupakan substansi
ruhani dari sifat-sifat ketuhanan, ia tidak rusak karena hancurnya badan.
Setelah mati ruh orang yang taat akan naik ke surga sedang ruh orang yang jahat
lagi durhaka akan dimasukkan neraka. Dengan demikia Imam al-Haramain telah meletakkan
sendir-sendi teori ruh yang dianut oleh al-Ghazali, bahak teori tersebut bisa
bertahan sampai saat ini di kalangan umat Islam. (Ibnu Qoyyim al-Jauziyah,
al-Ruh, halaman 81. Lihat juga Madkour, La place, halaman 162-263.)
Sedang yang moderat antara spiritulias dan
materialis menerangkan bahwa jiwa adalah campuran dan tersusun dari empat
tabiat (panas, dingin, basah, dan kering) bentuk atau kerangka tubuh atau benda
halus yang berhalan di dalam tubuh. (al-Asy’ari, Maqolat al-Islamiyyin, Juz:
II, halaman 335. Al-Razi, Muhashshil, halaman 164). Mereka antara lain terdiri
dari para dokter, mujassimah dam musyabihah. Pendapat mereka bagaimana kaum
moderat lainnya menentang dua sisi ekstrim.
Para ahli tasawuf dengan tegas mengatakan bahwa
jiwa itu ruhani dan abadi. Hal itu karena jiwa dalam pandangan mereka
merupakan: (i) substansi ruhani dari Allah (ii) salah satu gambarannya dalam
makhluk, dan (iii) nur-Nya dalam hambanya. Dialah manusia yang sebenarnya
karena jiwa inilah membedakan manusia dari makhluk lain. Jiwa selalu berasal
dari alam atas, bahkan cenderung kembali keasalnya dari mana ia bermula bila ia
bersih dan suci, dan tidak yang menghalanginya keciali kotoran dan cela
jasmani. (De Boer, Encyc, of Ethic, T. Nya II, halaman 746.). Memang tasawuf tidak
akan punya dasar bila mengingkari adanya jiwa dan tidak ada buah dan tujuan
akhir bila ia tidak menerima keruhanian dan keabadian jiwa. (Massignon,
Recueil, halaman 131-132). Selain itu para ahli tasawuf mempunyai pandangan dan
pengalaman yang bisa menyingkap beberapa gejala kejiwaan seperti keasyikan,
cinta, kenikmatan, dan derita. Ucapan mereka tentang hal dan makom mencakup
pemikiran-pemikiran yang berkaitan erat dengan jiwa intuitif atau membentuk apa
yang dikenal dengan ilmu al-Qulub, bahkan ada di antaranya yang telah
mendahului pembahasan modern, dan mereka cukup menyebutnya dengan al-Ta’mmul
al-Bathini (renungan batin) sebelum psikolog modern membahas masalah tersebut.
Hanya saja aneka pendapat ini lebih merupakan cetusan-cetusan perasaan dan perbedaan
pandangan daripada kajian sistematik. Karena itu tidak bisa dikatakan sebagai
teori ilmiah dan tidak bisa membentuk studi yang sempurna mengenai jiwa dan
karekteristiknya. Walaupun demikian telah membentangkan jalan bagi studi
filsafat lebih lanjut dan menciptakan suasana yang sangat berpengaruh dalam
filsafat Islam. Dia, meski sebagian merujuk kepada dasar yang jelas-jelas dari
sumber asing, akan tetapi telah diwarnai corak Islam dan dalam banyak hal telah
bertemu dengan apa yang dikemukakan oleh pnjelasan-penjelasan agama.
d. Para
Tabib (Dokter) dan Filosof Sebelum Ibnu Sina:
begitu pemikiran-pemikiran yang datangnya dari
luar tersebar di dunia Islam segera para dokter dan filosof memberikan
sumbangan dalam masalah jiwa. Mereka mengobservasi, melakukan eksperimen,
menulis dan menyusun buku. Bahasan mereka yang diperkaya dengan warisan
pengetahuan lain yang sampai ke dunia Arab melalui ahli ilmu kalam dan para
Sufi. Materi itulah yang dikemukakan dan mempengaruhi pemikiran Ibnu Sina.
Tanpa menyinggung secara panjang lebar mengenai mereka yang membahas masalah ini dengan segala
perbedaannya kami ingin mengemukakaan pemikiran secara global dari orang yang
paling populer dan paling berpengaruh di antara mereka.
Di masa
penerjemahan pertama, Qustha bin Luqas menyusun sebuah risalah tentang
perbedaan antara ruh dan jiwa. Di situ ia menghimpun pendapat Plato,
Aristoteles, Theophrastus dan Galien.(Risalah ini dipublikasikan oleh Peter
Louis Ma’luf dalam Majallah al-Masyriq, halaman 1911 diterbitkan juga dalam
Majmu’ah Maqolah Falsafiyyah, halaman 121, Beirut, 1911). Di abad ke tiga
Hijriah, al-Razi seorang dokter muslim secara tidak diragukan lagi telah
melakukan studi tentang jiwa secara ilmiah. Dia bermaksud untuk
mempraktekkannya dalam kedokteran dan menggunakannya untuk mengobati pasien.
Dalam bukunya al-Thibb al-Ruhani (Kedokteran Ruhani) terdapat penjelasan
mengenai hal ini. (Dipublikasikan oleh Kraus dalam kumpulan Rasail Falsafiah,
Kairo, 1939). Di abad ke empat, Kairo menjadi istimewa dengan adanya ahli
matematika dan ahli fisika terbesar di abad Pertengahan yaitu Ibnu Sina. Di
banyak menulis tentang cahaya dan ilmu Optik, telah melakukan penelitian
mengenai pengenalan indera pada umumnya dan pengenalan mata khususnya, bahkan
dia telah mendahului psikolog moder dalam menentukan apa yang merupakan
ketetapan dan apa yang merupakan perbandingan atau singkatnya tentang pekerjaan
hati dari segi pengenalan indra. (Musthafa Nadhif, al-Hasan bin al-Haitsam,
Juz: I, halaman 246-247). Mengenai caha dan optika pendapatnya hampir sama
dengan yang dikemukakan Weber di kemudian hari. Inilah kelompok ulama dan para
dokter dan katakanlah kelompok praktisi dan eksperimen.
Sedang untuk kelompok spekulatif murni atau kelompok filsafat, sudah barang
tentu kita harus menyebut tokohnya, al-Kindi, yang telah menulis beberapa
risalah tentang jiwa sebagaimana telah kami sebutkan di muka. (Ibid., halaman
29). Dia mengikuti Aristoteles dalam memberi jiwa pada vegetatif, animal dan
manusiawi. Dia juga menaruh perhatian tentang mimpi bahkan sebagai orang
pertama dalam Islam yang menerangkaan mimpi secara ilmiah. (Ibid., halaman 94.)
dia juga menulis tentang teori akal, suatu bahasan yang menjadi titik tolak
problematika dalam dunia Islam dan merupakan pendahuluan bagi masalah yang sangat
penting dalam sejarah pemikiran sepanjang abad tengah. (Madkour, La Place,
halaman 133-136). Tak lama kemudian Ihwan al-Shafa menyusun risalah-risalah yang
lebih menyerupai ensiklopedi filsafat. Di situ dibicarakan berbagai masalah
filsafat dan sebagian besar risalah tersebut membahas masalah jiwa manusia.
Jiwa menurut mereka merupakan limpahan dari jiwa universal atau jiwa Alam,
hanya saja ia tenggelam dalam materi (hayuli) dan tidak mungkin menjadi akal
aktual kecuali hanya bertahap. Dia memiliki kekuatan berfikir yang bisa (i)
membedakan antara manusia dan hewan, (ii) dapat mengenali mana yang benar dan
mana yang salah serta (iii) bisa mengantarkan kepada ilmu dan pengetahuan
sebagai hakikat hidup. (Risalah-risalah Ihwan al-Shafa, Kairo, 1928, Juz: III,
halaman 8 dan seterusnya.).
Di abad ke empat al-Farabi telah: (i) menentukan untuk pertama kali batas
ilmu jiwa dalam Islam (ii) menerangkan materinya (iii) mendefenisikan jiwa
sebagai penyempurna tubuh (iv) mengomentari berbagai potensi jiwa, dengan menjelaskan
bahwa kekuatan berpikir ini meskipun tumbuh dari alam indra dan hayal tidak
bisa mencapai pengetahuan universal kecuali dengan bantuan akal-fa’al.
(Madkour, La Place, halaman 122-128). Al-Farabi betul-betul memperhatikan hal
ini dengan menerangkan cara-cara yang bisa menghubungkan akal manusia dengan
akal fa’al (akal aktif), baik yang diusahakan maupun yang bersifat fitriah.
Hasilnya adalah dua teori: teori kebahagiaan dan kedua teori kenabian
sebagaimana telah diuraikan diatas. (Lihat pasal II dan III buku ini).
Tampil kemudian Ibnu Miskawaih yang semasa dengan Ibnu Sina. Ibnu Miskawaih
lebih dikenal sebagai ahli etika daripada seorang filosof. Etika sudah barang
tentu mempunyai hubungan yang erat dengan psikologi. Oleh karena itu ia merasa
perlu membuat muqaddimah bagi karya-karya etikanya dengan muqaddimah yang
hampir merupakan ringkasan psikologi di masanya. (Lihat kitab, al-Fauz
al-Akbar, al-Fauz al-Ashghor terutama Tahdzib al-Akhlaq, halaman 2-6). Maka ia
menggunakan prinsip-prinsip yang diikuti para pemikir pertengahan akhir abad
ke-4 yaitu bahwa jiwa merupakan atom tunggal yang tidak bisa indra dan bahwa
jiwa itu bisa dikenal adanya dan ia tahu bahwa ia diketahui. Dalam memahami
jiwa menerima gambaran-gambaran indrawi dan akali, di samping pengetahuan akali
yang muncul dari jiwa tersebut di dalam berbagai aksinya dan biasanya menuju ke
arah kebaikan. (Tahdzib al-Akhlaq, halaman 2-6).
Saya berkeyakinan bahwa pemaparan ini meskipun singkat dan global namun
cukup untuk menerangkan sejauh mana perhatian yang dicurahkan pada masalah jiwa
dalam penggal pertama abad ke-4 H. Tak satu pun kelompok atau aliran yang tidak
menaruh perhatian untuk menyelesaikan problematika tersebut, tidak ada satu
sumber pun yang berkaitan dengan jiwa yang tidak dibahas oleh umat Islam,
bahkan tidak ada pemikiran yang berhubungan dengan jiwa yang tidak
disebarluaskan. Mereka berungkali dan terus-menerus membicarakannya, ada yang
menolak dan ada juga yang membelanya. Dengan demikian memperbanyak materi yang
bisa mereka miliki, yang semuanya terhimpun dalam satu lingkungan walaupun asal
dan sumbernya berbeda-beda. Para peneliti memiliki cukup bahan untuk memenuhi
kebutuhan dan penyempurnaan studi mereka.
Pada abad ke empat, secara khusus, muncullah buah usaha keras ini. Kita
bisa melihat kemajuan studi psikologi yang makin jelas, banyak sekolah
diketahui memberikan andil besar melalui berbagai diskusi ilmiah. Tidak pelak
lagi, sekolah-sekolah dan studi-studi tersebut telah merentangkan jalan bagi
kelahiran psikologi Ibnu Sina, yang pada awal abad ke lima hijriah didukung
oleh hasil keseriuasan pendahulunya dan merupakan puncak dari pembahasan
orang-orang sebelumnya.
2.
Psikologi Ibnu Sina
Gambaran
begitu luas, bukan meliputi studi dan kajian Ibnu Sina dapat dilihat pada
upayanya untuk menghubungkan antara kedokteran dan filsafat. Dia
mengkompromikan Plato dengan Aristoteles dan menggabungkan filsafat Barat
dengan hikmah Timur. Dia mengemukakan masalah tersebut dalam berbagai
kesempatan. Kadang dibuat sebagai studi tersendiri tetapi adakalanya sebagai
penyempurna bagi studi-studi lain. Ibnu Sina menanganinya dengan sebaik mungkin
hingga yang kabur menjadi jelas, yang sulit menjadi mudah dan yang berat
menjadi ringan. Oleh karena itulah pengaruhnya besar sekali bagi orang-orang
yang datang setelah dia, baik di Timur sendiri maupun di Barat, baik kalangan
kaum Muslimin, Yahudi maupun Nasrani.
a.
Kecintaan Ibnu Sina Pada Psikologi:
Perhatian Ibnu
Sina pada psikologi sangat besar hingga tak ada tandingannya dalam sejarah,
baik di abad tengah maupun sebelumnya. Dia mempelajari berbagai macam
psikologi. Dia benar-benar ingin menguasai permasalahannya dan mendalaminya
dengan sungguh-sungguh. Dia banyak menulis mengenai psikologi selayaknya
mendapat perhatian kita.
Benar, dalam
beberapa dialognya, Plato membicarakan masalah jiwa tetapi dia mengemukakan
tentang keabadian jiwa dalam dialog tersendiri. Dengan karyanya De Anima dan
dalam Parva Naturalia, Aristoteles menjadi psokolog terkenal dalam sejarah
klasik. Plotinus pun tak ketinggalan membicarakan masalah jiwa dalam
Enneades-nya. Secara khusus dia membicarakan turunnya jiwa dari alam atas ke
alam bawah dan keinginan jiwa untuk kembali ke asalnya. Para Filosof yang lain
juga membahas tentang hakikat jiwa. Kajian tersebut sama dengan kajian yang pernah
ditulis oleh filosof Kristen abad tengah, terutama Agustinus dan Thomas
Aquinas.
Hanya saja
kecintaan mereka pada masalah jiwa tidak sebesar kecintaan Ibnu Sina. Ibnu Sina
menulis masalah jiwa semenjak dia masih muda. Kemudian bukan hanya sekali ia mengulanginya
lagi. Masalah tersebut ia ketengahkan dalam karya-karya penting yang sampai
kepada kita. Dia menerangkan masalah jiwa tersebut dalam beberapa risalah
tersendiri. Dalam al-Qonun yang populer itu ia menerangkan tentang berbagai
kekuatan jiwa menurut metode kedokteran. Dia juga menunjukkan hubungan jiwa dan
tubuh. (Ibnu Sina, al-Qonun, juz: I, halaman 33-39). Dalam al-Syifa’ dia
menyusun uraian yang luas mengenai pandangan-pandangannya tentang jiwa dan
merupakan uraian terbanyak dalam masalah jiwa dari sekian tulisannya. Kemudia
uraian jiwa tersebut diringkas dalam al-Najah, disusun secara akademis dan
meyakinkan. (Ibnu Sina, al-Syifa’ Teheran, Juz: I, halaman 277-368). Dalam
al-Isyarot ia menulis sekita 20 halaman, untuk menerangkan masalah-masalah
psikologi dengan segala perbedaan pendapat yang ada di sekitarnya. Tulisan ini
penuh dengan mutiara, indah lagi berharga. (Ibnu Sina, al-Najah, Kairo, halaman
256-316). Dia juga menulis komentar atas De Anima Aristoteles yang hingga kini
masih merupakan tulisan tangan. (Ibnu Sina, al-Isyarot, Leiden, halaman
119-138). Tidak puas hanya sampai di sini, ia juga menulis suatu risalah
tentang kekuatan jiwa yang dipersembahkan kepada Gubernur Nuh Bin Manshur
al-Samani dan risalah lain tentang pengetahuan jiwa raional dan hal ihwalnya.
Dijelaskan pula turunnya jiwaa ke tubuh dan kerinduannya untuk kembali ke
asalnya, yang ia susun dalam bentuk puisi yang amat terkenal.
Perhatian ini
tidak ragu lagi sungguh besar, yang menjadi Ibnu Sina sebagai pendahulu para
peminat studi psikologi sepanjang abad pertengahan dan sebelumnya. Perhatian
Ibnu Sina ini berpengaruh dalam pandangan psikologisnya, mengalami rivisi
sewaktu ia mempelajari dan mengulang lagi. Di samping itu makin dilengkapi
melalui perbandingan dan komparasi dengan berbagai teori yang ada sebelumnya. Dia juga berusaha
untuk menyempurnakan teori-teori tentang jiwa yang ada sebelumnya. Oleh karena
baiknya penyajian dan kuatnya logika teori psikologis Ibnu Sina ini, maka ia
mampu menembus madzhab-madzhab berikutnya bahkan amat memberikan pengaruh.
b.
Posisi Ibnu Sina di
antara teori-teori yang mendahului dan yang menyusul kemudian:
Bahasan
psikologis Ibnu Sina tidak keluar dari aliran filsafatnya secara global,
sebagai suatu usaha yang berkaitan dengan upaya menghimpun, menyusun,
mengkompromikan dan menyeleksi. Kita
memang mampu dalam setiap aliran sintesis menulusuri dari mana asal-usulnya, di
samping dapat menerangkan sejauh mana ia mengikuti dan terpengaruh dengan yang
lain. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa ia tidak memiliki karakteristik
maupun keistimewaan tersendiri. Sebab, setiap orang yang melakukan perpaduan
pasti mempunyai tujuan tertentu dalam pendapat yang ia pilih, di samping
mempunyai metode tersendiri di dalam melakukan perpaduan tersebut. Karena sekali
ia memberikan tambahan baik dari hasil usahanya sendiri maupun dari pemikiran
murninya.
Di hadapan
Ibnu Sina terdapat warisan psikologi yang membentang panjang sedang di
belakangnya terdapat Plato, Aristoteles, Galien, dan Plotinus. Dari mereka ia mendapatkan
manfaat cukup banyak dan kepada mereka ia mendasarkan diri. Secara khusus
psikologi Aristoteles besar pengaruhnya terhadap Ibnu Sina dan punya sumbangan
besar dalam pembentukan pemikiran-pemikiran psikologisnya. Hanya saja teori
psikologisnya secara detail berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles
bahwa dalam jiwa itu ada aspek fisik dan aspek metafisik. Psikologi fisik versi
Ibnu Sina diwarnai dengan orientasi eksperimental dan lebih banyak dipengaruhi
oleh teori kedokteran dibandingkan dengan yang ada pada guru Lyceum
(Aristoteles-pent). Sedang dalam psikologi metafisik terdapat pendalaman dan
pembaharuan yang hampir sama dengan filosof modern.
Namun tidak
benar bila kita melebih-lebihkan orientasi eksperimentalnya dan jauhnya
pengaruh praktek kedokteran pada psikologi. Kita mungkin berharap Ibnu Sina
seorang dokter dan filosof akan menggunakan ilmu kedokterannya secara luas
dalam mempelajari fenomena-fenomena psikologis, bahkan akan menggunakan
observasi dan eksperimen untuk menjelaskannya, sehingga bertambahlah
pengetahuan kita dan di samping itu kita diajak melangkah ke depan dalam
pembahasan ilmiah yang cermat. Tetapi ia cukup puas dengan mengulang berbagai
observasi fisiologis dan pembagian otak sesuai dengan variasi potensi jiwa sebagaimana
yang telah dikatakan para dokter sebelumnya.
Tampkanya Ibnu
Sina yakin bahwa penjelasan tentang problematika psikologi bukan merupakan
tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam wilayah spesialisasinya. Buktinya
dalam al-Qonun ia menjelaskan beberapa pernyataan yang berkaitan dengan jiwa
beserta berbagai potensinya di mana para dokter dan filosof berbeda pendapat,
kemudian ia segera mengatakan bahwa masalah ini merupakan urusan para filosof
dan pembahasan masalah tersebut secara sempurna terdapat dalam karya-karya
mereka. (Ibnu Sina, al-Qonun, Juz: I, halaman 35). Ibnu Sina adalah seoran
psikolog yang mempunyai kecendrungan lebih kuat di bidang metafisika, maka
tidak mengherankan bila ia bersunggu-sungguh dalam menguji bukti-bukti
keabadian jiwa. Sedang studinya tentang otak dan fenomena psikologis secara
eksperimen tidak terlalu luas.
Memang tidak
mudah- dan sarananya kita tidak tahu-untuk melakukan observasi dan eksperimen
yang teliti pada wilayah otak dan fenomena psikologis. Dalam suasana kedokteran
sedemikian rupa di mana anatomi masih dilarang dan peralatan modern pun belum
ada, tidak mungkin mempelajari otak dan urat syaraf dengan eksperimen yang
sempurna. Yang jelas eksperimen yang sistematik dan studi ilmiuah yang teliti
mengenai jiwa itu merupakan hasil kemajuan abad meodern terutama dua abad
terakhir.
Sumber
referensi mana pun yang mungkin bisa dikatakan menjadi rujukan psikologi Ibnu
Sina, telah berhasil diolahnya. Karena itu, psikologi Ibnu Sina ini merupakan
dasar studi psikologis di dunia Arab sejak abad ke-10 hingga tahun-tahun
terakhir abad ke- 19 Masehi. Pengaruhnya tampak jelas pula pada aliran-aliran
filsafat Yahudi maupun Kristen. Terutama nampak sekali pada Gundisalvus,
Guillaume Averni, Abert Yang Agung, Santo Thomas Aquinas, Roger Bacon, Duns
Scott. Dan berhubungan erat dengan pendapat Descartes tentang hakikat dan
adanya jiwa.
c.
Perhatian Para
Peneliti Jiwa.
Telah kami
sebutkan bahwa para filosof Muslim belum dipelajari secara memadai, bahkan
belum memperoleh tempat yang layak dalam mata rantai pemikiran manusia. Akan
tetapi Ibnu Sina relatif lebih banyak melakukan penelitian dan studi dan
sebagai orang yang kini dikenal paling ahli dalam bidang filsafat, baik di
Timur maupun di Barat. Teori-teori psikologisnya secara khusus telah mempercepat
kebangkitan para peneliti dan mendorong semangat mereka untuk menanganinya
dengan berbagai bentuk. Di antara mereka ada yang berusaha untuk: (i)
mempublikasikan dan menghimpun sumber-sumbernya, (ii) mempelajari, meringkasnya
dan mengemukakan teori-teori mengenai masalah tersebut (iii) menjelaskan sejauh
mana pengaruhnya dalam aliran-aliran kristen.
Mereka yang
ada dibarisan depan dalam publikasi karya-karya psikologis Ibnu Sina adalah
Samuel Landauer yang telah mempublikasikan al-Quwa al-nafsaniyyah (Potensi
Psikologis) yang dipersembahkan Ibnu Sina kepada Nuh bin Manshur al-Salani,
dipublikasikan pada tahun 1875. Dalam usahanya ini ia betul-betul bekerja
dengan baik, menggunakan cara-cara yang teliti dan melalui pembahasan ilmiah
yang benar. (S. Landauer, Die Psychologie des Ibnu Sina, Z.D.M, 1896). Dia
menggunakan sumber-sumber asli berbahasa arab, Ibrani dan Latin untuk
mengetahui teks asli dan memilih
ungkapan yang paling tepat, di samping merujuk pada sumber-sumber Yunani agar
bisa menjelaskan beberapa ungkapan Ibnu Sina. Dengan berpijak pada usaha
besarnya ini, Van Dyck dapat mengulangi mempublikasikan risalah tersebut untuk
yang kedua kalinya setelah 30 tahun dari publikasi pertama kali disertai
lampiran terjemahan dalam bahasa inggris yang cermat. (Van Dyck, Mabhats ‘an
al-Quwa al-Nafsiyyah, Kairo). Sejak sepuluh tahun atau lebih Dr. Tsabit
al-Fandi telah mempublikasikan risalah lain dari sekian risalah psikologi Ibnu
Sina dengan judul Fi Ma’rifah al-Nafs al-Nathiqoh wa Ahwaliha (tentang pengetahuan
jiwa dan berbagai kondisinya). Tsabit al-Fandi, Risalah fi Ma’rifah al-Nafs wa
Ahwaliha, Kairo, 1936). Dr. Fuad al-Ahmani kemudian menyusul mempubliksasikan
risalah besar Fi Ahwal al-Nafs (tentang berbagai kondisi jiwa) di dalamnya di
tambahkan tiga risalah lainnya: (i) Mabhats ‘an al-Quwa al-Nafsaniyyah
(Pembahasan tentang Potensi Psikologis) yang telah dipublikasikan sebelumnya
oleh Landauer dan Van Dyck, (ii) risalah Ma’rifah al-Nafs al-Nathiqoh
(Pengetahuan tentang Jiwa Manusia), risalah telah dipublikasikan oleh Dr.
Tsabit al-Fandi (iii) risalah Fi al-Kalam ‘an Nafs al-Nathiqoh (Pembahasan
Tentang Jiwa Manusia) yang juga telah dimuat dalam majalah al-Katib, April
1952. (Ahmad Fuad al-Ahwal al-Nafs, Kairo, 1952).
Mengenai usaha
meringkas dan menguraikan psikologi Ibnu Sina kita dapatkan sajian para penulis
filsafat Ibnu Sina. Barangkali Carra de Vaux merupakan orang pertama yang
menaruh perhatian mengenai masalah ini. Di menguraikan dalam bukunya, Avicenne.
(C. De Vaux, Avicenne, halaman 207-208). Kemudian agak lebih luas oleh Dr.
Jamil Saliba dalam tesisnya yang diajukan pada universitas sorbon untuk
memperoleh gelar doktor. (Saliba, Etude Sur La metaphisique d’Avicenne, Paris,
1926, halaman 188 et siv.) ada baiknya bila kami mengemukakan kajian lain yang
sedikit ada hubungannya dengan masalah yang sedang kita hadapi, dan secara
global layak mengdapat penghargaan dari kita yaitu risalah yang di susun oleh
Muhammad Utsmaan Najati, orang secara khusus mempelajari salah-satu aspek
psikologi Ibnu Sina. Risalah tersebut baru diterbitkan beberapa tahun kemudian,
dengan judul al-idrak al-Hissi ‘inda Ibnu Sina (Persepsi Inderawi menurut Ibnu
Sina). Risalah ini telah diajukan kepada Fakultas Adab Universitas Kairo untuk
memperoleh gelar master pada tahun 1942. Kami yakin setelah diterbitkan akan
banyak manfaat yang bisa dipetik risalah tersebut. (Telah diterbitkan pada
tahun 1948 dengan judul al-idrak al-hissi ‘inda Ibnu Sina, Kairo, 1948).
Nampak bahwa
pengaruh pemikiran-pemikiran Ibnu Sina
pada Skolastik Kristen, sejak dulu dipelajari oleh para peneliti dan
ahli sejarah filsafat. Pada awal abad ini Winter dalam sebuah surat kabar
ilmiah di Munich menulis suatu makalah panjang yang didasarkan pada juz enam
dari al-Syifa’ yang diterjemahkan dalam bahasa Latin. Saya tidak perlu
membuktikan bahwa juz enam inilah Ibnu Sina menerangkan tentang jiwa dengan
segala potensinya. (M. Winter, Uber Avicennas opus egrigium de anima, Munchen,
1903). Akhirnya Prof. Gilson pada tahun 1929 telah membahas masalah ini secara
memadai dan ia menerangkan pengaruh Ibnu Skolastik Kristen secara meyakinkan.
(Gilson, Archives, T. Iv, 1929, halaman 38-74).
Barangkali
uraian di muka cukup membuktikan bahwa
psikologi Ibnu Sina mendapat perhatian isitmewa melebihi filsafat yang lain.
Segala upaya sudah dicurahkan agar pembaca dapat: (i) mengetahui
sumber-sumbernya (ii) menyingkapkan kesulitan-kesulitannya (iii) mempermudah
yang sulit. Secara khusus dipikirkan teori dan pendapat yang memeang untuk
dibahas dan dipelajari yang dikandung oleh psikologi Ibnu Sina. Usaha untuk
memberikan kemudahan mengenai banyak hal yang telah kami ketengahkan dala
uraian di atas sudah barang tentu layak mendapat penghargaan.
Dalam banyak
hal studi yang disebutkan di atas masih banyak kekurangannya. Sebagian hanya
terjemahan harafiah atau merupakan ringkasan yang tidak lengkap mengenai
pendapat-pendapat Ibnu Sina. Sedangkan sebagian memperhatikan sejarah pemikiran
Ibnu Sina. Oleh karena itu cabang filsafat Ibnu Sina perlu dipelajari dan
dibahas bahkan masih tetap perlu untuk dijelaskan dan diterangkan lagi.
d.
Beberapa Masalah
Psikologi Ibnu Sina;
Sebagaimana
filosof Muslim lainnya Ibnu Sina mengikuti klasifikasi ilmu-ilmu filsafat
tradisional yang berasal dari Aristoteles. Yakni bahwa ilmu filsafat itu
terbagi dalam ilmu teoritis dan ilmu praktis. Dalam kelompok ilmu teoritis
termasuk fisika, matematika, dan metafisika. Sedang yang termasuk ilmu praktis
adalah etika, tata rumah tangga, politik. Kami perlu menerangkan dalam cabang
atau kelompok mana psikologi digolongkan. Ibnu Sina dengan Aristoteles dengan
jelas menempatkan psikologi dalam kelompok pengetahuan teoritis dan masuk dalam
ilmu-ilmu alam. Dalam karya-karyanya baik yang besar maupun yang kecil ia
memperhatikan dan menghormati hubungan ini. Psikologi menurut Ibnu Sina pada
dasarnya adalah studi positifistik-eksperimental.
Di samping itu
ia menambahkan hal-hal lain yang tidak jauh dari sifat eksperimen. Dan
hampir-hampir penelitiannya psikologinya bisa dikalsifikasikan menjadi dua,
pertama: Psikologi fisik, berkisar mengenai jiwa dengan segala macamnya yang
terdiri dari vegetatif, animal, dan manusiawi, terutama dimaksudkan dengan
kekuatan jiwa manusia baik yang lahir maupun yang batin. Dalam hal ini Ibnu
Siba benar-benar memperluas studinya. Sebagian besar tulisannya mengenai
berbagai rasa dan indra. Diwarnai dengan pemikiran-pemikiran para pendahulunya
dengan berusaha memperbaiki, menghilangkan kekurangannya dan mentarjih antara
yang satu dengan yang lainnya. Ada pula pendapat Ibnu Sina tentang indra dan perasaan
batin yang dekat dengan pendapat psikologi modern. Tidak ragu lagi bahwa bagian
ini menggambarkan studi psikologi yang sebenarnya.
Tetapi Ibnu
Sina menambahkan lagi beberapa masalah
lain yaitu apa yang disebut dengan psikologi metafisika. Ia mengetengahkan
masalah adanya jiwa, hakikatnya, kaitannya dengan tubuh dan keabadiannya. Di
situ juga dimasukkan teori akal meskipun tidak jauh dari masalah kekuatan jiwa
bahkan mempunyai kaitan yang amat erat. Dalam bagian ini Ibnu Sina tampil
dengan karekteristiknya sendiri, kita rasakah ia menyelesaikan masalah menurutk
kehendak hatinya dan hasilnya adalah pemikiran dan pendapat yang mendalam
bahkan mengagumkan. Di sini ia lebih dekat pada filosof modern dan jauh dari
filosof Yunani.
Kita akan
sampai pada bahasan terakhir ini dengan menerangkan pertama, tentang pemikiran
yang terkandung di dalamnya serta lingkungan di mana pemikiran Islam tumbuh dan
berkembang. Kedua dengan berusaha mengungkapkan sumber-sumber rujukannya- bila
ada dari filosof dan para dokter Yunani. Dan terakhir, berusaha menerangkan
pengaruhnya baik di Timur maupun di Barat.
Hanya saja
pembahasan aspek akal dilewatkan meskipun ia merupakan dasar dalam bangunan
filsafat Skolastik pada umumnya. Ini karena ia terlalu penting untuk hanya
sekedar disinggung saja dan dibicarakan bersama dengan kajian yang lain,
alangkah baiknya jika dibahas secara tersendiri. Dan kami telah menguraikannya
secara-lebar dalam buku tentang al-Farabi. Karena itu kami hanya akan
membicarakan tentang adanya jiwa, hakikat, hubungannya dengan tubuh serta
keabadiannya.
3.
Adanya jiwa
Pada mulanya,
banyak hal yang begitu mudah bisa kita terima tetapi jika hendak kita buktikan,
ia tampak lebih sulit dari yang kita bayangkan. Pertama adalah masalah jiwa
manusia atau jiwa Anda yang berada dalam diri Anda sendiri, bula pernyataan ini
bisa diterima dan dibenarkan secara ilmiah. Hanya saja refleksi filosofis telah
melangkah lebih jauh dan telah berusaha menjelaskan kerumitan dan membuktikan
hal-hal yang perlu dibuktikan. Oleh karena itu aneh bila ada beberapa filosof
yang bermaksud membuktikan adanya jiwa, terutama pada jiwa terdapat sebagian
pemikiran dan teori mereka. Untuk waktu yang cukup lama mereka berkeyakinan
bahwa jiwa merupakan pembangkit hidup, maka barng siapa mengingkari hidup dengan
jiwa. Mereka selalu berpendapat bahwa jiwa sumber rasa dan pemikiran yang bila
diingkari maka akan tikda berarti interpestasi fenomena psikologis.
Di samping itu
semua bahasan keagamaan juga berkaitan dengan adanya jiwa manusia, yang
menjadi: (i) temapt iman dan kepercayaan, (ii) tempat bergantungnya perintah
dan tanggung jawab. Oleh karena tiu agama dan hukum syariat lebih dahulu
berbicara dengan jiwa sebelum dengan tubuh. Agama memberi kabar gembira dengan
surga dan ancaman dengan neraka kepada jiwa bukan kepada tubuh. Tokoh-tokoh
agama berusaha keras untuk: (i) menerangkan asal jiwa (ii) menerangkan bahwa jiwa itu lebih dahulu daripada raga
(iii) menjelaskan tentang kelanjutan serta keabadian jiwa tersebut. Mereka
dalam hal ini cukup berpijak dengan wahyu dengan berusaha menambah dasar lain
yang bisa diterima akal.
Tetapi dalam
gambaran fikiran kita tak seorangpun yang intens untuk membuktikan adanya jiwa
seperti yang telah dicurahkan Ibnu Sina. Ia menganggap jiwa sebagai salah-satu
dari rujukannya dan merupakan tujuan utama yang menjadi titik tolak. Untuk itu
ia mengemukakan rangkaian bukti-bukti. Dalam berbagai kesemptan ia ketengahkan
dengan menulis masalah ini menjadi buku-buku besar. Kita telah melihat adanya
usaha untuk membuktikan adanya jiwa baik dalam sejarah Abad Tengah maupun abad
sebelumnya tapi tak satupun diantara mereka yang sama dengan pembuktian Ibnu
Sina baik dalam kelengkapan maupun keanekaannya. Juga tak satupun yang lebih
hasilnya melebihi hasil penelitian Ibnu Sina baik dalam penyajian maupun dalam
penjelasan rinciannya.
a.
Bukti-bukti Psiko
Fisik
Ada beberapa
kenyataan yang tidak mungkin kita tafsirkan kecuali bila kita mengakui adanya
jiwa. Yang paing penting adalah gerak dan pengenalan. Gerak terbagi dalam dua
macam. Pertama, gerak terpaksa timbul dari dorongan unsur luar yang mengenai
suatu benda tertentu lalu menggerakkannya. Kedua, bukan paksaan, itulah yang
penting bagi kita di sini. Yang ini dengan berbagai peranannya terbadi dalam
beberapa macam juga. Ada yang terjadi sesuai dengan hukum alam seperti jatuhnya
batu dari atas ke bawah. Ada juga yang menentang hukum alam seperti manusia
yang berjalan di atas bumi sedang berat badannya seharusnya membuat manusia itu
tak bergerak. Atau burung yang mengepak di udara sehingga ia tidak terjatuh di
bumi. Gerak yang menentang hukum alam ini tentu ada penggerak tertentu di luar
unsur tubuh yang digerakkan. Yaitu jiwa. (Ibnu Sina, Risalah fi al-Quwa
al-Nafsaniyyah, halaman 20-21). Sedangkan pengenalan merupakan keistimewaan
satu makhluk atas yang lain. Karena itu makhluk yang dapat mengenal harus
memiliki kekuatan yang tidak dipunyai oleh makhluk yang tidak dapat mengenal.
(Ibid).
Demikianlah
bukti-bukti psiko-fisik yang dijadikan landasan pembuktian Ibnu Sina hasil
penelitian Landauer sebagian besar diambil dari bagian-bagian buku Aristoteles,
De Anima dan Psysique. (Landauer, Die Psychologie des Ibnu Sina, halaman
376-377). Dalam buku pertamanya filosof Yunani ini mengatakan bahwa makhluk
hidup adalah berbeda dengan yang bukan hidup dengan dua hal pokok: Gerak dan
perasaan. (Aristoteles, De I’anie, 1,2,403b.125). dalam bukunya yang kedua
diterangkan diterangkan sejumlah pembagian gerak yang oleh Ibnu Sina hanya
diulangi lagi dan berdasarkan pada hal tersebut ia membangun argumentasi. (Aristoteles,
Psyique, v, 177b., 431a,30).
Hanya saja
bukti ini mengandung kelemahan dari beberapa segi. Pertama, ia merupakan
pembuktian dengan sesuatu yang telah pasti, sehingga tidak menghasilkan
kesimpulan secara langsung serta tidak memuaskan sesuai yang diinginkan. Kedua,
lebih besar dari segi fisiknya. Itu tidak benar dan tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip ilmu modern. Karena, bila tubuh terdiri dari satu unsur maka
bukti ini memang akan berarti. Tapi karena terdiri dari berbagai bentuk, maka
ada kemungkinannya fisik yang menentang hukum alam yang khas untuknya,
mempunyai unsur lain yang memungkinkan ia bergerak. Betapa banyak saat ini
peralatan-peralatan canggih yang dapat bergerak menenatang hukum alam dan tidak
seorangpun yang membayangkan bahwa di situ ada jiwa atau kekuatan lain yang
balik menggerakkan.
Di samping itu
masa, di mana jiwa dianggap sebagai asal kehidupan dan sumber fikiran secara
bersamaan atau sumber gerak dan pengenalan dalam istilah Ibnu Sina, telah
berlalu. Ahli biologi sudah menafsirkan dinamik lepas dari kekuatan psikologis.
Mereka menyerahkan kepada para psikolog untuk menjelaskan jiwa dan fenomenanya.
Mereka hingga yang menaruh perhatian pada masalah ruhani, kini secara mutlak
tidak ada yang berpendapat bahwa jiwa itu mempunyai aksi fenomena rasional dan
mereka menerima penafsiran dinamik ini untuk hidup dan gerak.
Tampak bahwa
Ibnu Sina menyadari kelemahan pembuktiannya ini ia hanya sekali saja
menguraikan dengan panjang lebar. Ada bukti-bukti bahwa hal itu ditulis ketika
Ibnu Sina masih muda.(Landauer, Die Psychologi, halaman 336-338). Lihat juga
Van Dryk, Risalah fi al-Quwa al-Nafsaniyyah li Ibnu Sina, halaman 9-12).
b.
Konsep “Aku” dan
Kesatuan Fenomena Psikologis:
Kelihatan bila
seseorang membicarakan pribadinya atau ketika berbicara dengan orang lain maka
yang dimaksudkan adalah jiwanya bukan tubuhnya. Ketika anda berkata, saya akan
keluar, saya akan tidur, misalnya tidak terlintas dalam hati anda yang
dimaksudkan adalah menggerakkan kaki atau memejamkan mata tetapi yang anda kehendaki
tentu hakikat diri dan seluruh pribadi Anda.
Pandangan ini
oleh Ibnu Sina disusun dalam bentuk sebagai berikut: bahwa manusia itu bila
berbicara tentang dirinya mengenai suatu masalah maka ia akan menghadirkan
pribadinya hingga ia mengatakan, saya melakukan ini dan melakukan itu. Dalam
contoh ini ia melupakan seluruh bagian tubuhnya. Padahal yang benar ia sama
sekali tidak melupakan badannya. Maka diri manusia berbeda dengan badan. (Ibnu
Sina, Risalah fi Ma’rifah al-Nafs al-Nathiqoh, halaman 9).
Dalam
penelitian ini kita menemukan teori “Aku” (L’deedu moi) yang membangkitkan
diskusi berkepanjangan atau “Aku” dalam pandangan Ibnu Sina tidak merujuk
kepada fisik dan fenomena fisik tapi yang dimaksud adalah jiwa dan kekuatannya.
Terlihat juga
dalam masalah psikologi ada hubungan dan keharmonisan yang menunjukkan adanya
kekuatan memelihara dan mengawasi keteraturannya. Meskipun bermacam-macam dan
berbeda-beda bahkan kadang saling bertentangan ia bergerak mengitari satu fokus
yang tetap dan berhubungan dengan suatu dasar tidak berubah-rubah seakan ia
terikat dengan ikatan yang menghimpun ujung-ujungnya yang berjauhan.
Kita
bergembira dan susah, kita mencintai dan benci, kita menolak dan menerima, kita
mengurai dan menghimpun, kita dalam semua hal ini bersumber pada kepribadian
yang satu dan dari kekuatan besar yang mengkompromikan perbedaan-perbedaan dan
menyatukan perselisihan. Andaikata tanpa kekuatan ini maka akan berbeda-beda
ihwal psikologis, tentunya keteraturanya dan satu sama lain saling memusuhi.
Jiwa terhadap yang dipengaruhi sama halnya indra yang menghimpun berbagai objek
inderawi. Ke duanya menyatukan apa yang bercerai-berai dan membangkitkan
keteraturan dan membangkitkan keteraturan dan ketertiban. (Ibid., halaman
9-10., al-Syifa’, juz: I, halaman 362., al-Najah, halaman 310-333., al-Isyarot,
halaman 121).
Di sini Ibnu
Sina menunjukkan pembuktian yang terkenal itu yang kini banyak dikutip oleh
aliran spiritualis. Kesimpulannya bahwa kesatuan fenomena psikologis
mengharuskan adanya asal yang merupakan sumbernya dan adanya asas yang
merupakan dasarnya. (Ribot, materi jiwa dalam La Graide Encyclopedie). Lemahnya
kesatuan ini atau tidak adanya kesatuan ini berati lemahnya kehidupan atau
hanncurnya kehidupan. Bila kesatuan fenomena psikologis mengharuskan adanya
asal sebagai sumbernya sudah barang tentu tidak bisa dielakkan mengharuskan
adanya jiwa.
c.
Bukti Kontinuitas:
Pada
pembuktian lain Ibnu Sina mendekati dengan bentuk yang lebih jelas daripada
orang-orang sezaman. Pembuktian tadi dapat kita sebut kontinuitas, yaitu bahwa
pada masa kini terkandung masa lampu dan menyiapkan masa yang akan datang.
Hidup ruhaniah kita hari ni berkaitan dengan hidup kita kemarin tanpa ada tidur
atau tanpa ada kekosongan atau terputus dalam rangkaiannya, tapi hidup ini bergerak
dan berubah, gerak dalam sambungan perubahan itu dalam kaitan.
Sambung-menyambung dan berantai tiada lain kecuali karena ihwal psikologis itu
murapakan limpahan yang mengalir dan satu di samping merupakan lingkaran yang
punya daya tarik yang tetap.
Mengenai hal
ini Ibnu Sina mengatakan: Coba renungkan wahai manusia berakal bahwa Engkau
hari ini ada dalam jiwamu di sepanjang usiamu, hingga Engkau dapat mengingat
banyak tingkah-laku dna hal ihwal yang telah berlalu. Dengan Demikian Engkau
tetap dan kontinu, tidak ragu lagi dalam hal ini. Dan badanmu serta
bagian-bagian badannya tidak tetap dan tidak kontinu. Tapi selalu berubah,
terurai dan berkurang. Karenanya, bila orang tidak diberi makan beberapa saat
badannya akan turun dan berkurang hampir seperempat tubuhnya. Maka Engkau tahu
bahwa selama 20 tahun tak ada bagian tubuhmu yang masih ada sedang Engkau juga
tahu bahwa dirimu masih tetap ada selama kurun waktu tersebut bahkan sepanjang
hayatmu. Dengan demikian dirimu itu berbeda dengan bagian-bagiannya; lahir
maupun batin. (Ibnu Sina, Risalah fi Ma’rifah al-Nafs al-Nathiqoh, halaman 9).
Kontinuitas hidup rasional dan keterkaitannya merupakan ide yang kini
ditetapkan oleh William James dan Bergson bahkan dianggap sebagai fenomena
psikologis yang paling unik, dan merupakan bukti terbesar akan adanya “Aku” atau kepribadian. Ke duanya berpendapat
bahwa gerak fikiran itu tidak tenang, terbagi-bagi dan terpisah-pisah, geraknya
bersambung dan berangkai.
Dalam
pandangan Bergson kehidupan akal itu sangat menyerupai musik yang terdiri dari
berbagai irama yang beragam dan berbeda-beda. Semuanya dijadikan satu,
bagian-bagiannya diaransir hingga tercipta sebuah lagu yang runtut. (Bergson,
Evolution Creatrice, halaman 3). William James mengatakan: “Sangat sulit dalam perasaan
yang realistis ditemukan ihwal psikologis yang betul-betul hanya terbatas pada
saat ini saja. Artinya di situ tidak bisa diungkap cahaya masa lampau yang baru saja terjadi. (James,
Principle of Psychology, I, halaman 206)
Ibnu Sina
dengan dalil kontinuitas ini telah membuka ciri kehidupan yang paling khas dan
mencerminkan penyelidikan dan penelitiannya yang cermat dan mendalam. Bahkan
boleh dikatakan ia telah melapuai masanya jauh beberapa generasi. Dia tetap
menjangkau teori-teori yang kini secara populer diikuti psikolog modern.
Dalil Manusia
Terbang atau Manusia Melayang di Awang-awang:
Akhirnya
inilah dalil imajinasi yang paling mengagumkan dan menakjubkan, betapa hebat
lagi kuat kreasinya. Bukti ini dibangun berdasarkan perkiraan dan hayalan meski
demikian tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil Ibnu
Sina ini adalah apa yang dikenal dengan dalil manusia terbang atau manusia di
awang-awang. Dalil ini secara ringkas adalah sebagai berikut:
Andaikanlah
ada seseorang lahir dengan dibekali kekuatan akal dan jasmani yang sempurna,
lalu ditutup mukanya hingga ia tidak bisa melihat sesuatu di sekelilingnya, dan
diletakkan di udara atau tepatnya di ruang kosong hingga ia tidak merasakan
sentuhan, benturan, atau perlawanan. Organ tubuhnya diletakkan sedemikian rupa
sehingga tidak bersentuhan atau bertemu. Walaupun sudah diatur seperti itu,
jelas bahwa jiwa itu ada walaupun sulit baginya untuk menetapkan adanya
bagian-bagian tubuhnya bahkan mungkin sama sekali ia tidak mempunyai gagasan
apa pun tentang tubuhnya. “Ada” yang digambarkan, adalah bebas dari tempat,
panjang luas dan tinggi. Apabila dalam waktu tersebut ia mengkhayal tentang
tangan atau kaki maka ia tidak menyangka bahwa itu kaki atau tangannya. Dengan
demikian penetapan bahwa ia ada, bukanlah lewat indra dan bukan lewat seluruh
tubuhnya. Maka oleh karena itu butuh sumber yang sama sekali berbeda dengan
tubuh yaitu jiwa. (Ibnu Sina, al-Isyarot, halaman 199-120, al-Syifa’, juz:I,
halaman 263).
Ibnu Sina
mengatakan bahwa salah seorang di antara kita hendaknya mengkhayal, bahwa ia
diciptakan sekali jadi dan sudah sempurna tapi lantas ia ditutup matanya hingga
tidak bisa melihat hal-hal di luat. Kemudian ia ditaruh di udara atau di ruang
kosong ia terbang tanpa ada penyangga yang menyentuhnya hingga ia dapat
merasakan. Organ tubuhnya juga dipisah-pisahkan hingga tidak dapat bertemu dan
bersentuhan. Kemudia ia berpikir apakah dirinya ada. Tidak ragu-ragu ia dapat
menetapkam bahwa dirinya ada. Bersamaan dengan itu ia tidak mampu menetapkan
hati, otak, dan lainnya. Meskipun ia dapat menetapkan dirinya tapi ia tidak
bisa menetapkan panjang, luas, dan tingginya. Bila dalam waktu tersebut ia
dapat mengkhayalkan tangan, kaki, atau anggota badan lainnya itupun tidak
dikhayalkan sebagai bagian dari tubuhnya dan bukan merupakan suatu tanda dalam
dirinya. Dan Anda tahu bahwa sesuatu yang ditetapkan itu berbeda dengan yang
bukan diakui. Oleh karena itu diri yang ditetapkan itu berbeda dengan yang
tidak ditetapkan, ia pasti memiliki kekuatan khusus dan kekuatan khusus ini
seuudah barang tentu bukan tubuh juga bukan organ-organ tubuhnya yang tidak
ditetapkan. (Ibid, juz:I, halaman 281).
Jelas dalil
ini, sebagaimana dalil Descartes, didasarkan pada asumsi bahwa pengenalan yang
berbeda-beda mengharuskan adanya hal-hal yang berbeda pula yang merupakan
sumber pengenalan. Meskipun manusia itu bisa dipisahkan dari segala sesuatu
hanya saja ia tidak bisa dipisahkan dari jiwanya yang merupakan dasar penyangga
dirinya dan merupakan asas diri dan hakikatnya. Bila hal-hal yang ada ini semua
berhubungan denga kita lewat perantara, ada satu yang dapat kita kenali secara
langsung dan sama sekali kita tidak meragukan adanya karena semua aktivitasnya
selalu membuktikan adanya. Benar kata Descartes: “Kenalilah dirimu dengan
jiwamu.” Apabila kita membuktikan adanya tubuh dengan aktivitasnya maka
berpikir itu merupakan sifat khusus jiwa yang pasti ada padanya, itulah dalil
tentang adanya jiwa.
Empat dalil
berturut-turut di atas merupakan usaha kratif yang ditempuh melalui berbagai
cara yang berbeda-beda. Maka adakalanya Ibnu Sina bertumpu pada pengertian umum
dan apa yang lazim dikenal orang, dan dari situ ia mengambil
pengertian-pengertian yang dapat menunjukkan keyakinan kita bahwa dalam diri
kita ada suatu yang berbeda dengan tubuh. Kadang ia meyakini
pernyataan-pernyataan para filosof muslim klasik untuk mendukung agar dia dapat
mencapai tujuan yang diinginkannya atau menciptakan alasan-alasan yang cermat
dan hipotesa-hipotesa yang kreatif juga pendapat-pendapat yang bernilai tinggi
mengungguli masanya bahkan menjangkau hasil puncak yang dipercayai psikolog
modern.
Maka ia tidak
meremehkan usaha untuk membuktikan bahwa dalam tubuh ada sesuatu yang tidak
sama dan benar-benar berbeda dengan tadi dan bahwa dalam makhluk hidup itu ada
sesuatu yang bukan daging, bukan darah, itulah sumber gerak, perasaan, dan
pikirannya. Baik itu selalu sesuai dengan dalilnya atau tidak. Yang penting
sebagaimana para spiritualis baik yang klasik maupun yang modern- dia
mendasarkan pada fenomena-fenomena yang tidak dapat diinterpretasikan secara
materialistik dan mengatakan itu harus ada kekuatan yang tersembunyi yaitu
jiwa. Fenomena-fenomena ini ada dua macam: bersifat fisik dan kedua rasional.
Adalah hal yang biasa bila ada cela dan kekurangan dalam dalil Ibnu Sina.
Sewaktu
berbicara tentang perasaan dan gerak bahwa hal itu tidak bisa dimengerti
kecuali jika kita menerima kekautan rohani yang mengawasi dan mengaturnya,
tampak sangat menjauhi pendapat-pendapat orang-orang modern. Tetapi ketika ia sedang mengetengahkan kepribadian dan
pemikiran serta genomena psikologi baik dalam kesendiriannya maupun
keterkaitannya, ia menyatakan itu membutuhkan dasar yang bukan tubuh dan sumber
lain yang berbeda dengan tubuh. Di sini ia cenderung pada pemikiran-pemikiran
yang dekat pada kita dan menjadikan ia melampaui orang-orang yang sama dengan
dia. Yang terakhir inilah yang merupakan dalil Ibnu Sina yang masih ada pada
generasi sesudahnya. Juga patut kita simpan dan kita jaga.
Kita tidak
bisa memastikan bahwa Ibnu Sina telah membuktikan adanya jiwa dengan
dalil-dalil yang meyakinkan dan dengan argumentasi yang bebas dari kekurangan.
Itu ada dan selalu merupakan problema dan medan perdebatan pendapat baik para
spiritualis maupun para materialis. Tetapi tidak diingkari bahwa Ibnu Sina
mengenai hal ini telah menyumbangkan banyak dalil yang lebih banyak bisa
diterima dan lebih jelas.
Masih ada
masalah lain yang menarik untuk diperhatikan, yakni bahwa Ibnu Sina itu betul
menghargai dan memberi perhatian khusus pada dalil-dalil ini. Pertanyaannya,
apakah yang mendorong dia seperti itu, apakah itu merupakan tradisi filsafat
yang ia ikuti ataukah ada hal lain yang mengharuskan ia seperti itu?
e.hal-hal yang mendorong dan Sumber dalil-dalil Ibnu
Sina:
orang-orang
yang membahas masalah jiwa sejak dulukala terbagi dalam dua kelompok,
materialis dan spiritualis. Akan tetapi salah sekali jika kita menyamakan
antara materialisme yang ada dalam sejarah dengan materialisem modern. Sebab
orang-orang Yunani tidak materialis murni di samping tidak ada yang spiritualis
murni. Banyak di antara mereka yang menggabungkan di antara keduanya. Mereka
tidak memisahkan secara tegas antara yang bersifat materi dengan yang
non-materi, seperti yang dilakukan Descartes. Karena itulah muncul perbedaan
antara materi dan ruh di antara mereka dan seakan-akan perbedaan pendapat ini
hanyalah mengenai tingkatannya, tidak pada hakikatnya. (Yavet dan seailles,
Histoirect de la philosophie, Paris, 1925,).
Dengan
demikian kita tidak melihat adanya materialisme ekstrim yang muncul selama dua
abad, ke-18 dan ke-19. Ini merupakan selah-satu kemajuan ilmu kodekteran dan
ilmu fungsi tubuh. Para pengikutnya tidak puas hanya hanya dengan menerangkan
fenomea fisik, tetapi mereka berusaha untuk menafsirkan keadaan jiwa secara
positifis dan eksperimental. Mereka berpendapat bahwa otak dan ura syaraf cukup
untuk menerangkan setiap kerja fikir yang tinggi. Mereka menjelaskan bahwa
tidak ada pemikiran tanpa fosfor dan bahwa otak itu menyerap perasaan-perasaan
dengan bentuk tertentu dan menguraikan hasil abstraksi fikiran secara organik.
Dokter Yunani
tidak semaju dokter modern. Fungsi anggota badan tidak mereka ketahui setinggi
yang telah diketahui orang saat ini. Oleh karena itu materialisme mereka hanya
terbatas sampai lingkungan yang sempit sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Penganut spiritualisme tidak merasa perlu dalil-dalil yang valid tentang jiwa
sebagaimana dilakukan oleh generasi penerusnya. Dalam dialog Plato- meskipun
berungkali- terdapat suatu usaha untuk menetapkan adanya jiwa padahal untuk
menerangkan keabadian jiwa dan dialog khusus mengenai hal tersebut. Aristoteles
dalam karya psikologinya yang paling besar dalam bab pertama membicarakan
tentang pendapat-pendapat orang-orang sebelumnya mengenai hakikat jiwa dan
keistimewaan-keistimewaannya, tanpa menyinggung tentang adanya pembuktian
adanya jiwa. (Ibnu Sina, al-Syifa, juz:I, halaman 234). Dalam Enneads ada
uraian yang panjang tentang turunnya jiwa tapi di situ Plotinus tidak merasa
perlu membuktikan adanya, seakan para filosof itu beranggapan bahwa adanya jiwa
itu sesuatu yang niscaya, tidak perlu pembuktian.
Dengan
demikian tidak ada tradisi filsafat yang perlu diikuti oleh Ibnu Sina, meskipun
Empedocles dan Democritus mendiskusikan dalam penafsiran materialis mengenai
persepsi. Ke duanya tidak secara mutlak mengingkari adanya jiwa. (Ibnu Sina,
al-Syifa, juz:I, halaman, 234). Dan alangkah baiknya bila kami membahas fakta
lain yang secara langsung mendorong Ibnu Sina untuk menjadikan adanya sebagai
salah-satu tema yang perlu dibuktikan secara sistematis dan selalu dikemukakan
dalam setiap karya-karya psikologinya.
Ibnu Sina
sendiri menunjukkan dan menerangkan pendorong ini yang dapat disimpulkan dalam
dua hal. Pertama, pendorong metodis dan kedua pendorong yang bersifat material.
Matode yang valid dalam pandangan Ibnu Sina mengharuskan seorang pembahas
memulaai untuk menetapkan adanya jiwa, lalu menerangkan fungsi-fungsinya. Ia
mengatakan:
Orang yang
ingin menerangkan sesuatu, sebelum melangkah lebih jauh, ia harus menetapakan
adanya, maka oleh para filosof ia dianggap sebagai orang yang menyimpang dari
argumentasi yang jelas. Maka kita harus lebih dulu menetapkan adanya kekuatan
jiwa dengan serius sebelum memberikan batasan masing-masing dan sebelum menjelaskan
pendapat mengenai kekuatan jiwa tersebut. (Ibnu Sina, Risalah fi al-Quwa
al-Nafsiyah, halaman, 8).
Sebab lain
yang hakiki adalah bahwa beberapa pengikut materialisme yang semasa dengan Ibnu
Sina atau sedikit lebih dahulu dari dia, telah sesat bahkan ekstrim sesesat dan
seekstrim materialisme modern. Mereka menyamakan antara jiwa dan tubuh atau
dengan tegas menolak adanya jiwa. Mereka beranggapan bahwa tubuhlah yang
membangkitkan aneka fenomea rasio. Ibnu Sina membantah dan menerangkan
kesalahan mereka. Hal ini dapat dilihat dalam salah-satu risalahnya. (Ibnu
Sina, Risalah fi Ma’rifah al-Nathiqahwa Ahwaliha, halaman 20).
Tidak sulit
bagi kita untuk mengungkapkan pandangan yang materialis ini. Sebelum disebutkan
secara keseluruhan mengingkari adanya jiwa, ada juga yang berpendapat jiwa itu
fisik atau aksidensia bagi fisik. Orang yang terkemuka dalam hal ini adalah
pengikut aliran atom dari Mu’tazilah atau Asy’ariah. Abu Hudzail al-Allaf
menyatakan bahwa adalah aksidensia tubuh. Sedang Abu Hasan al-Asy’ari meragukan
keruhanian jiwa tetapi muridnya Abu Bakar al-Baqillani mengulang apa yang
dikemukakan Hudzail. (Ibid, halaman 125-126)
Baik
Mu’tazilah maupun Asy’ariyah sama-sama mempunyai kedudukan penting dalam
sejarah peradaban Islam, pendapat-pendapat mereka berbobot. Al-Asy’ariyah,
misalnya, telah mampu membangkitkan kembali kebesaran kembali kekuatannya yang
lemah. Ibnu Sina melawan aliran ini. Ibnu Sina mengemukakan baik
sanggahan-sanggahan tegas maupun penolakan-penolakan yang kuat. Dia juga
melawan hasil-hasil yang merupakan konsekuensinya. Karena itu besar
perhatiannya untuk membuktikan adanya jiwa dan membuktikan bahwa jiwa itu
berbeda dengan tubuh apalagi dunianya itu penuh dengan jiwa dan ruh. Peredaran
bintang-bintang, menurut Ibnu Sina, sebenarnya digerak oleh “jiwa” orbit
bintang. Tumbuhanpun diberi kekuatan oleh jiwa yang khusus padanya. Hewan juga
bergerak karena jiwa kebinatangannya. Manusia hanya bisa mengenal dan naik ke
tingkat kesempurnaan lewat jiwa mengenal dan naik ke tingkat kesempurnaan lewat
jiwa rasionalnya. Dari penglihatan di atas tampak bahwa Ibnu Sina dalam
menetapkan keruhanian jiwa menyimpang dan menentang aliran atimisme. Seakan
tantangannya ia tunjuk kepada al-Asy’ari dan al-Baqillani. Dalam setiap hal ia
lalu menghancurkan asas yang dijadikan dasar bagi pengingkaran adanya jiwa.
(Ibnu Sina, al-Najat, halaman 285-290).
Termasuk yang
menguatkan pernyataan ini adalah seorang pemikir yang semasa dengan Ibnu Sina
yang mengungkapkan orientasi materialistik ini dan menjelaskan orang-orang yang
mengikutinya. Dia adalah Ibnu Hazm dari Andalusia yang juga membawakan teori
“Bagian yang terbagi-bagi” secara mengagumkan. Dia juga membuktikan adanya jiwa
serupa dengan yang dilakukan Ibnu Sina. Dia melihat bahwa bila orang ingin: (i)
bersih pikirannya (ii) benar pendapatnya, dia harus bebas dari indra dengan
segala cacatnya hingga tidak melihat orang di seklilingnya. Dengan cara ini
pikirannya akan bersih dan putusannya akan lebih diterima. Mungkin organ
tubuhnya satu persatu akan hilang tetapi meskipun demikian jiwanya tidak rusak
dan berubah. (Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal, Kairo,
1347, H. Juz: v, halaman 47-48).
Jelas bahwa
dalil Ibnu sian berpengaruh hingga pada para pengikut Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Kita lihat Abu al-Ma’ali Imam al-Haramain menyimpang dari teori gurunya dan
menyatakan bahwa jiwa itu merupakan substansi ruhani dari tabiah ilahiah yang
tidak rusak karena hancurnya tubuh. Maka dengan itu ia telah meletakkan aliran
spiritualisme yang dianut oleh muridnya, al-Ghazali dan menjadi salah-satu
dasar akidah Akhirusannah. (Ibid, halaman 126).
Bila tidak ada
tradisi filsafat yang jelas pada dalil adanya jiwa, maka sia-sialah bila kita
membahas tentang dasar mapan yang menjadi rujukan dalil Ibnu Sina. Benar Ibnu
Sina telah memanfaatkan pikiran-pikiran filosof sebelumnya, tapi dalilnya
mengenai eksistensi jiwa berisi banyak unsur yang menunjukkan kemurnian dan
kreasi baru.
Ada satu hal
yang tidak bisa kita lupakan yaitu bahwa Agustinus- filosof Kristen abad ke-5
masehi- telah mendahului Ibnu Sina tentang pembuktian adanya jiwa. Agustinus
menempuh jalan sebagaimana yang ditempuh Ibnu Sina seperti yang telah
disebutkan di atas. Ia mengatakan bahwa jiwa dan tubuh itu dua hakikat yang
benar-benar berbeda. Yang pertama memiliki tempat, panjang, luas dan kedalaman.
Sedang yang kedua secara mutlak tidak memiliki tempat, fungsi utamanya satu
yaitu berpikir. Karena itu perasaan dan pengenalan terhadap jiwa bisa secara
langsung. Berpikir tidak perlu perantara dalam memahami dirinya. Jiwa selalu
berpikir, maka ia ada karena berpikirnya sama dengan adanya. Mungkin manusia:
(i) bisa lepas dari tubuhnya, dari dunia luar dengan segala gejalanya (ii)
dapat mengingkari segala kenyataan yang
beraneka (iii) dapat meragukan segala sesuatu. Hanya saja jiwanya itulah yang
merupakan sumber keragu-raguan dan pembangkit pikiran, maka ia tidak ada jalan
untuk meragukan jiwanya. (St. Agustinus, De trinieate, Lib. X, cap. X art.
13-16, Gilson, Introduktion a l’etude de St. Augustin, halaman 56-59).
Bagian
terahkir dari dalil Agustinus ini secara khusus mengingatkan kita pada dalil
manusia terbang Ibnu Sina. Dengan melihat hal ini kita bisa bertanya apakah ada
pengaruh Agustinus pada Ibnu Sina atau hanya kebetulan keduanya ada kesamaan?
Secara pasti tidak ada karya-karya Agustinus yang sampai ke dunia Arab dan kami
juga tidak menemukan bukti dari mana Ibnu Sina mengambil pendapat Agustinus.
Prof. Gilson membenarkan bahwa ke duanya muncul bersamaan dari sumber
Iskandariah, apalagi ke duanya sangat erat hubungannya dengan Plotinus dan
ajaran-ajarannya. (Gilson, Archives, T, IV, halaman 41). Akan tetapi kita bisa
melihat bukti yang sampai pada kita bahwa aliran Iskandariah telah berusaha
membuktikan adanya jiwa dengan cara sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Secara khusus telah kami baca buku Tehologia dan dalam al-Illal tetapi saya
tidak menemukannya dalam ke dua buku tersebut.
Kami tidak
mengerti apa yang menghalangi untuk menyatakan bahwa dalil “manusia terbang”
itu merupakan kreasi baru dan ciptaan Ibnu Sina, terutama bila kita menengok
pada bentuk-bentuk hipotesa lain seperti cerita Hayy Ibnu Yaqdhon dan risalah
al-Tair yang menunjukkan suatu imajinasi kreatif dan kepandaian dalam membuat
penggambaran. Meskipun kita menerima anggapan bahwa hal itu berkaitan dengan
orang-orang yang ada sebelumnya dalam unsur-unsur dalilnya tapi jelas gambaran
yang mengagumkan dari Ibnu Sina itu merupakan hasil pikiran dan hasil upaya
pribadinya sendiri. Dia mampu menggambarkan dengan indah dan menakjubkan. Tiada
lebih jelas membuktikan hal ini daripada bahwa Ibnu Sina menerangkan dalam
al-Syifa’ dan untuk ketiga kalinya ia menerangkannya dalam al-Isyarot. (Ibnu
Sina, al-Syifa, juz:I, halaman 281,282,363).al-Isyarot, halaman 119-120).
Penggambaran inilah yang merupakan keunggulan dalil Ibnu Sina melebihi dalil
Agustinus, meskipun ke duanya mempunyai kesamaan, tujuan, dan maksud yang
hendak dicapai.
Dengan demikian,
dalam masalah dalil adanya jiwa, Ibnu Sina telah menciptakan sesuatu yang baru
yang belum dikenal sebelumnya dengan segala teori-teorinya, baik di Barat
maupun di timur. Al-Farabi yang mempengaruhi dari berbagai segi tidak secerdas
Ibnu Sina. Juga ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara dalil Ibnu
Sina dengan dalil Agustinus kecuali bahwa ke duanya sama-sama religius dan
spiritualis. Keduanya merasa perlu untuk menetapkan adanya jiwa dan mengakui
bahwa jiwa itu berbeda hakikatnya dengan tubuh. Sekarang tinggal menguraikan
seberapa jauh pengaruh Ibnu Sina dengan dalilnya ini pada generasi setelahnya.
f.
Pengaruh dalil
adanya jiwa.
Dalam dalil
Ibnu Sina, sebagaimana telah disebutkan di atas, ada dua aspek. Pertama aspek
isi, dan kedua aspek bentuk. Aspek isi cukup beberapa dalil yang banyak
perbedaan dalam penilaian dan cara menerangkannya dengan generasi berikutnya.
Sedang dari segi bentuk kita harus memulai dari penetapan adanya jiwa sebelum
berbicara tentang kekhasannya, agar bisa menerapkan sifat kepada yang disifati
secara permanen. Dalil dari aspek ini berpengaruh sama dengan dalil dari aspek
isinya. Para peneliti selalu mengikuti model yang telah ditetapkan Ibnu Sina
yaitu menganggap adanya jiwa sebagai suatu masalah mendasar yang perlu
dibuktikan dan diskusikan sebelum masuk dalam rincian pembicaraan tentang
hakikat dan fungsi jiwa. Sementara yang lain mengulangi dalil-dalil Ibnu Sina
dengan mengutamakan satu asa lainnya serta berusaha untuk menambah kejelasan
dan kekuatan dalil-dalil tersebut. Hal ini tidak hanya terbatas pada umat Islam
saja, tapi meluas di kalangan orang Kristen, tidak terbatas hanya di abad
tengah saja tapi sampai sekarang gemanya masih terasa.
Bila kita
memulai pada al-Ghazali kita temukan, meskipun ia mengakhirkan, dalam
al-Maqashid ia membicarakan dalil adanya jiwa. Sistematika yang dibuat oleh
al-Ghazali jauh lebih baik dari yang dibuat oleh Ibnu Sina. (al-Ghazali,
Maqhoshid, halaman 292). Berikutnya datang Fakhrudin al-Razi yang benar-benar
menjadi pengganti al-Ghazali. Orang yang tidak kalah usahanya dalam
menggabungkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan pembahasan-pembahasan agama
meskipun ia membantah dan menolaknya. Tidak keluar dari model ini juga para
filosof dengan sempurna menggabungkan
ilmu kalam dengan filsafat.
Mereka adalah orang yang karya-karyanya mampu merebut hati masyarakat
Islam sepanjang tujuh abad terakhir, misalnya al-Nasafi dalam Aqoidnya dan
al-Iji dalam Mawaqifnya.
Sebagai contoh
cukup disebutkan karya al-Razi dalam masalah ini. Dalam Muhashshil Afkar
al-Mutaqoddimin wa al-Muta’akhirin, setelah menyinggung masalah jiwa, ia
langsung menerangkan hakikat apa yang ditunjuk setiap manusia dengan kata
“Aku.” Dalam judul yang sama ini kita kita diingatkan dengan ungkapan-ungkapan
yang pernah disampaikan oleh Ibnu Sina. (al-Razi, al-Muhashshil, halaman 163).
Dalam buku yang lain, Ma’alim Ushul al-Din Bab IX ia menerangkan tentang jiwa
rasional. Di situ ia membicarakan sepuluh masalah, dimulai dengan ucapannya:
“Yang benar-benar manusia itu tidak hanya tubuh yang dapat diindra
saja.(al-Razi, Ma’alim Ushul al-Din, (dalam lampiran al-Muhashshil), halaman
114).
Hanya saja
masalahnya tidak berhenti pada batas bentuk saja, tapi para peneliti juga
memegangi dalil-dalil Ibnu Sina baik dalam premis-premis dan argumentasi
mereka. Tetapi sejak awal mereka kelihatan kurang memperhatikan dalil
psiko-fisik atau dalil gerak karena mereka membuktikan kelemahan dalil ini.
Sedang dalil “Ego” dan kesatuan fenomena psikologis serta dalil kontinuitas,
mereka perluas di samping itu bila mungkin mereka berusaha untuk menguatkan ke
dua dalil tadi barangkali dapat menambah apa yang telah kita dapatkan dari Ibnu
Sina. (Ibid, halaman 114-117). Tetapi anehnya dalil manusia terbang tidak
menarik perhatian mereka padahal dalil itu sangat kuat bagi Ibnu Sina.
Di atas itu
semua peneliti tidak puas dengan dalil-dalil rasional dan mereka berusaha untuk
menambah dalil lain yang bersifat naqliah yang menetapkan bahwa dalam manusia
pada hakikatnya terdapat sesuatu yang lain selain tubuh. Antara lain firman
Allah Swt:
“Jangan kamu
mengira bahwa orang-orang yang meninggal gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (Ali Imron, 3: 169).
Tidak bisa
digambarkan adanya hidup setelah gugur di medan perang kecuali dengan jalan
yang bukan tubuh kecuali ruh. (Op. Cit, halaman 117). Sebagaimana disebutkan
juga dalam hadits, bila jenazah diusung di atas kerandanya maka ruhnya melayang
diatas keranda tersebut seraya berkata, wahai keluargaku, wahai anak-anakku,
jangan sampai dunia mempermainkan kalian sebagaimana ia telah mempermainkan
diriku. Di sini diterangkan bahwa manusia setelah kematian tubuh merupakan
substansi ruhani rasional. Dan itu tiada lain kecuali lewa jiwanya. (ibid).
Dari uraian
ini jelas bahwa dalil adanya jiwa yang telah dirumuskan Ibnu Sina masih tetap
dipelajari di Timur hingga kini. Secara global baik bentuk maupun isinya masih
tetap dihargai, walaupun ada yang dikurangi atau ditambah. Bila dalil “manusia
terbang” di sini kurang sukses sebagaimana yang diharapkan ia akan sukses di
tempat lain.
Setelah
menguraikan penjelasan diatas kami tidak perlu beralih ke madrasah Andalusia
karena pengaruhnya di Timur kurang jelas. Barangkali pemikiran-pemikiran
psikologis mereka di Barat sangat jelas meskipun pembicaraan Ibnu Rusd baik
tentang eksistensi maupun tentang keabadian jiwa adalah lemah dan rancu. Tidak
ada yang menarik untuk menghampirinya.
Di Barat,
dalil-dalil Ibnu Sina tidak kalah nilainya dengan penilaian orang-orang Timur.
Kita semua tahu bahwa al-Syifa diterjemahkan dalam bahasa latin di abad ke-12
Masehi dan bagian dari al-Syifa’ yang berkaitan dengan masalah jiwa merupakan
bagian yang paling besar pengaruhnya pada tokoh-tokoh filsafat Barat. Begitu
Gundisalvus merampungkan terjemahnya, segera mereka menyambut, mempelajari
bahkan mengikuti berbagai pendapat yang ada disitu. Bahkan Gundisalvus tidak
sekedar menyalin, tapi ia adalah orang pertama yang meletakkan dasar-dasar Ibnu
Sina- mengambil dalil-dalil filsafat Skolatik Kristen. (Gilson, Archives, T, I,
halaman 48).
Para tokoh
Skolastik- dalam pengambilan pendapat-pendapat Ibnu Sina- mengambil dalil-dalil
adanya jiwa. Yang paling jelas bagi mereka terutama dalil “manusia terbang”.
Banyak diantara mereka mengulangi dalil-dalil Ibnu Sina itu, kadang-kadang
secara tekstual, terutama para pengikut Agustinus, seperti Guillaume Averni,
Hana Roucilio. Dan telah kami tunjukkan bahwa ada keserupaan antara dalil Ibnu
Sina dengan dalil-dalil Agustinus. Barangkali para skolastisi menjadi kuat
keterkaitannya ketika melihat ada kesamaan dengan pendapat-pendapat guru mereka
dari Latin. (Ibid, T. IV, halaman 41 (dalam catatan kaki). Maka mereka secara
terus-menerus mengulang-ulanginya di antara mereka hingga masa Ranaissance.
Bahkan masih dikenal juga hingga masa kini ketika Descartes menyatakan prinsip
Cogito-nya yang terkenal itu.
Descastes
dalam usahanya mencari hakikat sesuatu
berusaha menghilangkan keragu-raguan karena indra kita dalam kondisi bangun
menipu kita dan menyampaikan dunia luar pada kita dengan mengalami perubahan.
Sedang khayalan kita dalam mimpi memberi kita gambaran dan angan-angan yang
berlebih-lebihan dan tak berdasar. Descartes lantas mulai meragukan segala
sesuatu hingga keragu-raguannya tadi pada hakikatnya yang tetapi yaitu bahwa ia
berpikir dan selama ia berpikir maka ia ada. Orang yang skeptis atau sofistik
boleh menolak segala sesuatu dengan aneka ragamnya tapi ia tidak bisa meragukan
hakikat ini yang telah membawa dalilnya sendiri.(Hamelin, Le Syatime de
Descartes, halaman 122).
Descartes
mengatakan: Saya dapat mengandaikan saya tidak punya tubuh, tidak ada alam
semesta dan tidak ada tempat yang bisa saya tempati, tapi meski demikian saya
tidak bisa mengandaikan saya tidak ada. Tapi sebaliknya dari keraguanku
mengenai hakikat segala sesuatu timbul dengan kesimpulan bahwa saya ada, maka
dengan demikian dapat saya ketahui bahwa hakikatku adalah jiwa dan sifat
utamanya adalah berpikir. Adanya tidak materi. Dengan demikian “Aku” atau jiwa
yang merupakan asas bagi diriku betul-betul berbeda dengan tubuh. Tapi ia lebih
mudah untuk diketahui daripada tubuh bahkan hingga dalam hal tidak adanya tubuh
jiwa selalu ada dengan segala keistimewaannya. (Ibid; Meditations, halaman
11.).
Inilah
“Cogito” Descartes. Ini pula dalil Descartes. Dan tidak terlalu sulit bagi
sidang pembaca untuk mendapatkan segi-segi kesamaan antara dalil Descartes
dengan dalil Agustinus maupun Ibnu Sina. Sejak dahulu Arnold melihat bahwa
Descartes betul-betul meniru Agustinus dalam mebuktikan adanya jiwa dan
membedakannya dengan badan. (Hamelin, le systeme, halaman 122). Tidak diragukan
bahwa Bapak filo medern ini membawa karya-karya yang ditulis dalam bahasa Latin
terutama yang beruhungan dengan jiwa dan keabadian jiwa.(Brechier, Histoire de
la philosophie, T.II, halaman 73). Dia sendiri menyatakan kegembiraannya atas
kesamaan Cogito dengan ide-ide Agustinus. (Utsman Amin, Descartes, cet. II,
halaman 123). Baru-baru ini L. Blancher telah dapat menjelaskan luas dan
terinci tentang adanya pemikiran-pemikiran dari orang lain yang mendahului
serta melapangkan jalan bagi “Cogito” Descartes. (Blancer, Les antecedents
historiques du “Je pensedonc je suir” Paris, 1920). Hanya saja ia lupa tidak
menyebutkan hubungan antara Cogito Descartes dengan dalil manusia terbang.
Selanjutnya, Orientasi Italia, Furiani, telah berusaha menutup kekurangan
ini. Dalam majalah Islamica ia menulis sebuah artikel dengan judul Ibnu Sina
dan Cogito Descartes. (Furlani,
“Avicenne e il cogito”, dalam Islamica, Leipzig, 1927). Di situ ia
mengetangahkan dalil Ibnu Sina dan terjemahannya dalam bahasa Latin kuno
kemudian dibandingkan dengan apa yang dikemukakan Descartes. Dalam hal ini ia
mengarahkan perhatian untuk menjelaskan pengaruh indra dan imajinasi pada
mereka berdua. Kesimpulan akhirnya adalah bahwa jauh sekali bila Descartes
telah membaca karya Ibnu Sina secara langsung karena sedikitnya buku-buku yang
dicetak dan tidak banyak orang bisa mendapatkan karya Ibnu Sina. Dia lebih
cenderung bahwa Descartes membaca karya Ibnu Sina lewat Guillaume Averni.
(Ibid., halaman 70).
Akan tetapi kita melihat terjemahan al-Syifa’ itu dicetak ulang sampai tiga
kali di Venezia antara tahun 1496 dan tahun 1536. Maka terbitan yang terakhir
muncul hanya berselang 50 tahun sebelum kelahiran Descartes. Kita tahu di masa
Descartes betapa maju pembicaraan tentang permasalahan juwa dan keabadiannya,
maka mungkin sekali mereka merujuk kepada setiap sumber yang dapat memecahkan
problem jiwa dan keabadian tersebut. Dan Ibnu Sina adalah filosof yang paling
panjang pembicaraannya mengenai jiwa di samping yang paling banyak tertarik
dengannya. Renan sebelumnya telah menjelaskan sejauhmana hubungan antara
Civitas Academica Sorbon dan tokoh agama di Paris dengan filsafat Islam secara
umum serta diskusi mereka, penolakan mereka dan pembahasan mereka tentang
asa-usul dan sumber filsafat Islam.(Renan, Averroes, halaman 267-278). Maka
tidak mungkin bila sampai tidak mendapatkan terbitan-terbitan Venezia yang
pertama apalagi mereka menemukan kesamaan dan merasakan dekatnya antara
pendapat-pendapat Ibnu Sina dan Agustinus. Dalam perpustakaan nasional Paris
terdapat lebih dari satu naskah dari terbitan-terbitan tersebut. Bisa diduga
bahwa naskah tersebut sampai di Sorbon sejak masa itu. (Catalogue de le
Bibliotheque nationale, cadangan/ R. (I), (2) 83, 613). Meskipu Arnold hanya
menunjuk sampai Agustinus saja, itu telah membuktikan bahwa Descartes mendasarkan
diri pada orang-orang sebelumnya. Hal itu barangkali karena ia memilih
seseorang tertentu dari dunia Kristen yang mengitarinya.
Descartes
memang tidak mempelajari Ibnu Sina hanya lewat Guillaume Averni tapi besar
kemungkinan ia mengetahui Ibnu Sina lewat Roger Bacon, orang yang paling
tertarik dengan filsafat Islam dari kalangan Kristen. Descartes telah membaca
karya-karya Roger Bacon dan terpengaruh dengannya dalam berbagai aspek. Apakah
Descartes mempelajari pikiran Ibnu Sina secara langsung atau tidak langsung,
tapi cukup bukti yang menunjukkan bahwa dalil manusai terbang Ibnu Sina
merupakan pemikiran yang mendahului dan melapangkan jalan bagi Cogito
Descartes. (Mengenai hal ini Prof. Gilson setuju dengan kami. Lihat, Archives,
I, halaman 63 (en b). Bila Descartes sedikit banyak mengikuti Agustinus dalam
argumentasi dan penggambarannya maka ia juga mengikuti Ibnu Sina layak
mendapatkan penghargaan atas usahanya membangkitkan kembali pemikiran-pemikiran
Agustinus serta mengarahkan pemikiran-pemikiran Latin yang aktif empat abad
mendahului Descartes. Ibnu Sina bersama kawannya, Ibnu Rusd, telah
mengatengahkan di dunia Barat sejak abad kedua belas masalah akal,jiwa, dan
teori pengetahuan secara umum yang pengaruhnya masih terasa hingga saat ini.
Jelas tidak
ada arti sedikitpun bagi Cogito bila sebelumnya dengan cara lain ada orang yang
mengemukakannya. Sebab kesamaan pendapat atas satu masalah bisa membuat lebih
kuat dan lebih meyakinkan. Kita tidak perlu bersusah payah untuk membuktikan-
sebagaimana yang dilakukan oleh Hamelin dan orang-orang lain dengan cara apa
pun- bahwa Descarteslah yang pertama kali menciptakan Cogito. Hal itu merupakan
usaha yang sia-sia dan tidak sesuai dengan semangat pembahasan ilmiah.(Hamelin,
Le systeme de Descartes, halaman 122-123). Dan tidak cela bagi Descartes
sendiri bila orang yang lebih dahulu mengemukakan, atau bila ada orang yang
mendahuluinya dengan baju yang tidak sama dengan baju yang dikenakan pada
teorinya. Sebab, satu teori bisa memiliki bentuk yang berbeda-beda dengan
aliran filsafat yang membentuknya.
Sejak abad
ke-11 sampai abad ke-20 dalil Ibnu Sina terus dipelajari di pusat-pusat studi
di Timur dan beberapa fakultas tertentu di al-Azhar hingga kini masih
mengulang-ulang dalil Ibnu Sina. Sering juga dalil Ibnu Sina tadi diangkat ke
permukaan dan didiskusikan tanpa menyebut penciptanya di samping tidak dibahas
dari buku aslinya. Apalagi pertalian ini lebih disempurnakan maka pembahasannya
akan menjadi lebih jelas dan penelitian ilmiahnya akan makin lengkap. Dalil
Ibnu Sina ini bisa bertahan dipelajari orang di Barat selama lebih empat abad
dan sekitar dalil tersebut dibentuk gerakan pemikiran yang luas meski ada yang
mendukung dan menolak. Sebagai peninggalannya, ia telah banyak melapangkan
jalan bagi suatu prinsip penting yang merupakan salah-satu prinsip filsafat
modern yaitu Cogito Descartes.
4.
Hakikat Jiwa
Kadang kami
beranggapan bahwa setelah menetapkan adanya hakikat yang berbeda dengan tubuh
maka di depan kita tak ada lagi kesulitan untuk mengetahui dan menentukan
hakikatnya, tapi kenyataannya seperti itu. Mendefenisikan jiwa kenyataannya
bukan hal mudah bahkan mungkin lebih sukar daripada membuktikan akan adanya.
Tidak ada yang lebih bisa membuktikan kebenaran pernyataan ini kecuali bahwa
filosof sejak zaman dulu telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Ibnu Sina
menggambarkan bahwa cara paling mudah
untuk memecahkan kesulitan ini adalah mengemukakan pendapat-pendapat orang yang
mendahuluinya secara kritis dan dialogis agar menemukan suatu pengertian yang
bisa diterima dan defenisi yang memuaskan.
a.
Pendapat Filosof
Pra Socrates:
Para filosof
berbeda pendapat mengenai hakikat jiwa. Yang berada di barisan depan dalam soan
lini adalah Ptyhagoras, Empedocles dan Democritos meskipun Ibnu Sina tidak
jelas menyebut mereka. Menurut Ibnu Sina perbedaan pendapat mereka karena jiwa
itu mempunyai dua pengaruh yang jelas, yaitu hidup dan gerak dari satu sisi dan
pengenalan dari sisi lain. Ada yang hanya mengambil yang pertama dan berusaha
mendefenisikan jiwa dengan cara itu saja. Sementara yang lain yang bisa
diketahui karakteristik jiwa hanyalah pengenalannya saja. Ada juga yang
berusaha mengkompromikan dua segi ini. Yang dimaksud dengan kelompok pertama
ini adalah mereka yang menganggap bahwa jiwa itu sumber hidup dan gerak yang
pokok. Maka mereka mencampuradukkan antara jiwa dengan darah yang bila
dialirkan maka matilah orang atau antara jiwa dengan atom al-Haba’ dalam
istilah Ibnu Sina yang dianggap selalu bergerak. Kelompok kedua percaya bahwa
sesuatu itu tidak bisa mengenal yang lain kecuali bila ia merupakan dasar dan
pendahulu baginya. Karena itu jiwa bagi mereka merupakan satu atau sejumlah
prinsip dasar yang macam dan jumlahnya mengikuti filsafat yang dianut. Mereka
beranggapan bahwa jiwa itu tersusun dari empat unsur seperit yang dikatakan
Empedocles. Ia mengatakan yang ada kesamaan saja yang bisa mengenal yang lain
bagian dari sesuatu yang dikenalinya. Yang lain mengatakan jiwa itu bilangan
sebab bilangan itu merupakan dasar bagi ada, gerak, dan pengenalan. (Ibnu Sina,
al-Syifa:I, halaman 282).
Ibnu Sina
tidak puas hanya dengan menyarikan pendapat ini saja, tapi ia mendiskusikannya
secara serius dan panjang lebar. Namun kami kira cukup disebutkan beberapa di
antaranya sebagai contoh. Ia menentang kelompok pertama sebab mereka tidak
menerangkan mengenai diam. Karena jika jiwa bergerak dengan dirinya maka
bagimana ia diam?; di samping mereka juga mengalami kesulitan untuk menerangkan
tentang macam gerak yang menjadi dasar jiwa. Ibnu Sina juga menolak madzhab
atomis yang dibuktikan kesalahannya dalam berbagai kesempatan yang lain. Ia
juga jelas-jelas mengkritik mereka yang beranggapan bahwa manusia itu hanya
mengenal apa yang keluar dari dirinya saja dengan menunjukkan bahwa manusia
mengenal banyak hal yang tak seorang pun yang mengatakan bahwa hal-hal tadi
berasal dari manusia. Dan sama sekali tidak benar hanya sama saja yang bisa
mengenal yang lain. Sebab, bila ini bisa diterima, maka itu berarti alam atas
tidak akan mengetahui sesuatu dari alam bawah. (Ibid., juz:I, halaman 282-284).
Saya tidak
perlu menunjukkan sumber rujukan pengetahuan Ibnu Sina mengenai hal ini, sebab
uraiannya yang disusun dalam al-Syifa’ dengan judul penjelasan tentang pendapat
Para Pendahulu tentang jiwa dan hakikatnya serta sanggahannya, sama dengan apa
yang dikatakan Aristotels dalam bab pertama dari De Anima. (Ibid., juz:I,
halaman 282. Lihat juga, Aristo, De l’ane, I, 2-5). Ringkasan pendapat ini
merupakan gambaran apa yang dikatakan Aristoteles. Maka jelas Ibnu Sina berguru
kepadanya dan juga ia mengulangi pendapat sang guru dari Yunani ini.
Tetapi tidak
bisa disangkal bahwa studi dan diskusi Ibnu Sina atas pendapat-pendapat ini
memungkinkannya dapat menjelaskan segi-segi kelamahannya dan siap memilih
pengertian yang layak. Hanya saja di situ tampat dua pendorong yang saling
berebutan dan dua pengaruh besar yang saling menarik, sedang posisinya di
antara ke dua tarikan itu tampak jelas ragu-ragu dan bimbang, bahkan
kadang-kadang dalam posisi bertentangan secara terbuka. Katika ia membaca
ungkapan-ungkapan Aristoteles yang memikat, uraian-uraiannya yang sistematis dan sanggahan-sanggahannya
yang memukau, ia terus mengulang dan mengikutinya. Tapi ketika ia mendengar
Plato mengumandangkan hakikat jiwa dan mengatakan bahwa jiwa itu betul-betul
berbeda dengan tubuh, seruan ini menguasai dirinya dan mengarahkan
keinginannya, meskipun tidak sesuai dengan Aristoteles. Ibnu Sina akhirnya
mengambil jalan tengah di antara dua sisi yang bertentangan ini, dan berusaha
mengkompromikan ke duanya. Berikut ini akan kami jelaskan secara rinci mana
yang diyakini Ibnu Sina.
b.
Jiwa Bentuk Bagi
Fisik:
Setiap fisik
secara alami tersusun dari bentuk dan materi. Materi hanyalah persiapan untuk
ada, atau merupakan bagian dari ada tapi secara potensial. Sedang bentuk
merupakan kekuatan pengubah dan mempengaruhi, atau merupakan bagian dari adanya
sesuatu tetapi secara kongkrit. Yang ada tergantung pada materi dan bentuk
bersama-sama. Keduanya, dengan peran masing-masing, saling membutuhkan. Materi
akan berada dalam bentuk dan bentuk akan bersandar pada materi. Materi mutlak
tidak akan ada dalam kenyataan bila lepas dari bentuknya, makan akan hancur.
Bentuk itu lebih sempurna dan lebih tinggi daripada materi, sebab bentuk itu
merupakan aksi dan aksi itu lebih tinggi daripada potensi. Bentuk akan
membedakan fisik antara satu dengan yang lain dan menjadi jelas posisinya serta
dapat menunaikan fungsinya. Sebilah pedang tidak bisa memotong dengan besinya,
tapi karena ketajamannya. (Ibnu Sina, al-Syifa’ juz:I, halaman 22-23.,
al-Najah, halaman 160, 332-336).
Secara alami
manusia merupakan fisik. Dia tersusu dari bentuk dan materi. Materinya adalah
tubuh, sedang bentuknya adalah jiwa. Dengan jiwa ini manusia berbeda dengan
makhluk tiak bernyawa. Sebab jiwa merupakan sumber hidup perasaan dan fikirannya. Dengan demikian jiwa
merupakan bentuk tubuh. Bentuk itulah yang sempurna dan yang sempurna sejak
semula. Sebab adanya berbagai hal itu tidak akan sempurna tanpa bentuk. Tapi
jiwa bukanlah penyempurna utama bagi seluruh melainkan hanya tubuh fisik saja
yang berbeda dengan tubuh buatan manusia, karena yang pertama tadi bisa hidup
dan mempunyai peralatan dan organ yang bisa menjalankan berbagai fungsi jiwa
merupakan penyempurna utama bagi tubuh fisik yang tumbuh. (Aristoteles, De
l’ame, II, 1-2).
Di sini perlu
disebutkan titik tolak pemikiran ini. Prinsip materi dan bentuk merupakan
prinsip yang mendasari filsafat Aristoteles. Dengan prinsip ini Aristoteles
menjelaskan problematika gerak dan ia menerapkannya dengan mengikuti psikologi
yang menjadi bagian fisik. Ibnu sina tidak berbuat lebih banyak dari mengikuti
prinsip ini dan penerapannya. Mengenai masalah ini, Ibnu Sina hanyalah
meringkas dari bab pertama dan kedua buku De Anima. Ibnu Sina tidak sekedar
mengambil pendapat-pendapat Aristoteles saja, tapi ia mempertimbangkan lagi
kata ungkapan Aristotels tersebut. Kata kamal yang merupakan pegangan dan dasar
pengertiannya merupakan terjemahan yang benar dari kata ontologi (Yunani) dan
ungkapan, jiwa adalah bentuk tubuh, juga merupakan terjemahan dari kata-kata
Aristoteles hule-morfe. (Ibid., 412a,20). Maka bila pengertian ini ada
kekurangan atau celanya, maka Ibnu Sina tidak bertanggung jawab mengenai
masalah tersebut secara sendirian, tapi bersama gurunya, Aristoteles.
Bila kita
meninggalkan kata kamal atau ontologi, kita pun akan berhadapan dengan ungkapan
populer, yakni jiwa adalah bentuk tubuh, suatu ungkapan yang mengagumkan.
Tetapi ia tidak berbuat banyak dalam memahami hakika jiwa dan dalam memberikan
batasan hakikat jiwa. Berkali-kali Aristoteles perkataan ini yang disitu ada
beberapa problem yang masih global yang tak terpecahkan. Kita mengakui bahwa
teori bentuk merupakan masalah substansial dalam mazhabnya, tapi lebih dari itu
merupakan masalah yang paling rumit dan paling sukar, bila dikaitkan dengan
orientasi positifnya. Sebab orang yang mengatakan bentuk ia dekat dengan
idealisme Plato meskipun ada deviasi di sana.
Yang jelas
Aristoteles telah bekerja keras untuk mengkritik idealisme Plato yang
mengatakan bahwa jiwa itu sesuatu yang berbeda dengan tubuh. Aristoteles juga
mengatakan bahwa apa yang dikatakan para pengikut Plato dan Pythagoras bahwa
jiwa itu substansi ruhani, lebih mendekati khayalan daripada kenyataan. Tidak
bisa gambarkan bahwa jiwa itu sesuatu yang datang dari luar lalu berada dalam
tubuh. Bagaimana kita bisa menerima ini bahwa itu masuk dalam tubuh seperti
tiletakkan dalam tempat tertentu. Padahal bentuk itu tidak bisa dipisahkan dari
bentuknya. (Ibid., 407b, 13). Dengan demikian Aristoteles menginterpretasikan
dengan interpretasi yang lebih masuk dalam teori idealisme gurunya. Aristoteles
menganggap jiwa adalah bentuk dan bentuk itu bukan materi dengan bentuk
tertentu. Ini bertentangan yang nyata dan lazim bagi setiap filsafat
positivisme untuk menjaga diri dari idealisme.
Tampak Ibnu
Sina telah menemukan kekurangan dalam pengertian tersebut. Buktinya, ia
kelihatan tidak mendefenisikan jiwa sebagai jiwa tapi didefenisikan dalam
kaitannya dengan tubuh. (Ibnu Sina, al-Syifa, juz:I halaman 279). Oleh karena
itu ia perlu menjelaskannya dengan penjelasan yang hakiki dan perlu merupakan
defenisi yang sempurna hingga tidak ada lagi perdebatan dan pertentangan. Dalam
merumuskan defenisi ini Ibnu Sina telah mencurahkan segala kemampuannya, akan
tetapi memang tidak sia-sia sebab bisa menghasilkan defenisi yang diakui dan
diterima.
Meaning of Soul and the
Level of Soul
A. Concept
of Character in Human’s Life
B. Concept
of Happiness and Sadness
C. Concept
of Love and Relationship
D. Concept
of Soul Health
[1] Penggunaan kata
“ruh” di masa Jahiliah nyaris hanya
terbatas pada arti etimologis, yaitu angin atau batu. Ruh saat itu belum
berarti jiwa. Ruh diartikan jiwa, pertamakali, ditemukan dalam al-Qur’an dan
Hadits. Dalam al-Qur’an dan Hadis ruh diartikan dengan jiwa atau sebaliknya,
meskipun dalam al-Qur’an ruh juga diartikan dengan jin berdekatan atau
berjauhan. Karena itulah terjadi perdebatan antara para pemikir Muslim tentang
arti jiwa dan ruh, apakah ke duanya berbeda atau sama. Tetapi di sini secara
umum kami menggunakannya dengan arti yang sama. Macdonald telah menjelaskan
jiwa dan ruh yang berbeda-beda dalam penggunaannya dalam pembahasan yang
melimpah bahkan ia meringkasnya secara memadai dalam uraiannya dengan judul
“Al-Nafs” dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyyah. Lihat, Macdonald, The
Development of Idea of Spirit, dalam Orientalia, 1931, halaman 307, 351. Encyc.
De I’lslamica, Nafs.
Post a Comment