Kata aborsi berasal
dari bahasa Latin yaitu abortus, yang
berarti gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa Arab aborsi disebut isqatu al-Hamli atau al-Ijhadh.[1] Penjelasan
istilah abortus bisa berbeda-beda.
Contohnya, menurut Sardikin Gina Putra aborsi ialah ‘Pengakhiran kehamilan atau
hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.[2]
Sedangkan Mardjono Reksodiputro mendefinisikan aborsi sebagai ‘pengeluaran
hasil konsepsi dari rahim sebelum hasil konsepsi itu dapat lahir secara alamiah
dengan adanya kehendak merusak hasil konsepsi tersebut.[3]
Lain lagi definisi menurut Nan Soendo, SH, ‘Aborsi adalah pengeluaran buah
kehamilan, pada waktu janin masih demikian kecilnya, sehingga tidak dapat
hidup.[4]
Dari
pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa aborsi adalah pengguguran
kandungan sebelum lahir secara alamiah, berapa pun umurnya dengan maksud
merusakkan kandungan tersebut.
B. Pendapat
Mazhab-mazhab tentang Aborsi
Perbedaan pendapat di
kalangan ulama tidak harus dimanfaatkan sebagai suatu izin bagi penggunaan
aborsi secara serampangan. Tiga tingkat waktu dimasukkan ke dalam pertimbangan
para ulama tentang aborsi adalah sebelum 40 hari, sebelum 120 hari, dan sesudah
120 hari.
Batas 120 hari itu didasarkan pada hadits “empat puluhan”, di
mana Nabi saw memberitahukan bahwa janin ditahan sebagai nuthfah selama 40 hari, sebagai ‘alaqah
selama empat puluh hari berikutnya, kemudian mudhgah untuk 40 hari lagi. Setelah itu (sekitar 120 hari),
penyawaan terjadi.
Ada suatu ijmak di
kalangan ulama bahwa aborsi setelah 120 hari sama sekali dilarang, kecuali
untuk menyelamatkan nyawa si ibu. Sebelum 120 hari terdapat perselisihan
pendapat, seperti digambarkan di bawah ini.
- Mazhab Hanafi
Aborsi pada umumnya
diizinkan sebelum 120 hari ketika janin telah mencapai tahap menjadi suatu
makhluk baru (yakni, mereka merujuk kepada penyawaan). Sebagian memandangnya
tidak disukai tanpa alasan yang sah, karena begitu dikandung, janin mempunyai
potensi untuk hidup. Salah satu indikasi yang paling jamak dikutip dalam mazhab
ini ialah bilamana si wanita hamil saat sedang menyusui anak dan susunya
berhenti, sementara si ayah tidak mempunyai sumber pendapatan untuk menyediakan
susu pengganti. Ini dibenarkan untuk memelihara kehidupan si anak yang sedang
menyusu.
- Mazhab Maliki
Tidak diizinkan
membuang produk kehamilan, walaupun sebelum 40 hari.
- Mazhab Syafi’i
Para penganut mazhab
Syafi’i terpecah dalam hal aborsi sebelum 120 hari. Sebagian, seperti Ibn
al-‘Imad dan al-Ghazali, melarangnya. Yang lain-lainnya, seperti Muhammad ibn
Abi Said, mengizinkannya, sebagai nuthfah
dan ‘alaqah (80 hari), dan yang
lainnya lagi mengizinkannya sebelum 120 hari.
- Mazhab Hanbali
Menggunakan obat untuk
mengeluarkan kandungan sebelum 40 hari diizinkan. Lebih dari itu dilarang.
C.
Macam-macam Aborsi
Aborsi ada dua macam,
aborsi spontan (Abortus Spontaneus)
dan aborsi yang sengaja (Abortus
Provocatus). Aborsi spontan ialah aborsi yang tidak disengaja, yang bisa
terjadi karena penyakit syphilis,
demam panas yang hebat, penyakit ginjal, TBC, kecelakaan dan sebagainya. Aborsi
spontan oleh Ulama disebut isqath
al-‘Afwu yang berarti aborsi yang dimaafkan karena pengguguran seperti ini
tidak menimbulkan akibat hukum. Abortus
Provocatus ada dua macam.[5]
Pertama, aborsi Artificialis Thearapicus adalah
aborsi yang dilakukan seorang dokter atas dasar indikasi medis, dengan tindakan
mengeluarkan janin dari rahim sebelum lahir secara alami untuk menyelamatkan
jiwa Ibu yang terancam bila kelangsungan kehamilan dipertahankan menurut
pemeriksaan medis. Aborsi ini di kalangan ulama disebut dengan istilah al-isqath al-dha-rury atau dengan al-isqath al-‘ilajiy yang berarti aborsi
darurat atau aborsi pengobatan. Ketentuan hukum dari aborsi macam ini nanti
dibahas pada uraian selanjutnya.[6]
Kedua, aborsi Provocatus Criminalis, yaitu
pengguguran yang dilakukan tanpa indikasi medis untuk meniadakan hasil hubungan
seks diluar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.
Pengguguran macam ini dikalangan ulama tersebut al-Isqath al-Ikhtiyary yang berarti pengguguran yang disengaja
tanpa sebab membolehkan sebelum masa kelahiran tiba.[7]
Perempuan melakukan abortus provocatus criminalis karena
didorong oleh motivasi yang bisa berbeda-beda. Ada perempuan yang memilih
aborsi karena berbagai alasan ekonomi, khawatir terhadap kemiskinan dan karena
itu tidak ingin mempunyai keluarga besar, ingin mempertahankan status sebagai
perempuan karir dan sebagainya. Ada juga yang khawatir bahwa janin dalam
kandungan akan lahir dalam keadaan cacat, akibat radiasi, obat-obatan,
keracunan dan sebagainya dan oleh karena itu melakukan aborsi. Lain lagi
terdorong motivasi moral yang muncul apabila perempuan yang hamil tidak sanggup
menerima sanksi sosial dari masyarakat terhadap kehamilan yang disebabkan oleh
hubungan biologis yang tidak memperhatikan moral dan agama, seperti kumpul kebo
atau kehamilan di luar nikah.
Ada juga perempuan yang
terdorong oleh faktor lingkungan, misalnya sikap dari penolong (dokter, bidan,
dukun), pemakaian kontrasepsi, norma tentang aktifitas seksual dan hubungan
seksual di luar pernikahan, norma agama dan moral.
D. Tinjauan
Menurut Hukum Islam
Para fuqaha (Ahli Hukum
Islam) telah sepakat bahwa pengguguran kandungan (aborsi) sesudah ditiupkan ruh
adalah haram, tidak boleh dilakukan, karena perbuatan tersebut merupakan
kejahatan terhadap nyawa, dan oleh karena itu, diwajibkan kepada pelakunya
untuk membayar diyat jika janin
keluar dalam keadaan hidup dan membayar ghurah
jika ia keluar dalam keadaan mati. Ghurah adalah membayar seorang budak laki-laki
atau perempuan atau yang dapat menggantikannya. Kalau dalam kehidupan
kontemporer sekarang ini lebih tepat ghurrah itu diartikan dengan diyat, karena
praktek perbudakan sudah tidak dijumpai lagi dan hukuman yang dikenakan kepada
budak itu, biasanya separuh dari hukuman yang dikenakan kepada orang yang
merdeka. Oleh sebab itu, hukuman pelaku aborsi yang tadinya dikenakan membayar
ghurrah (budak), dapat diganti dengan pembayaran separuh dari diyat 100 ekor
unta atau seharga itu, yaitu 50 ekor unta atau seharga itu.[8]
Para fuqaha berbeda
pendapat tentang boleh tidaknya pengguguran kandungan (aborsi) sebelum
ditiupkan ruh pada janin (embrio) yaitu sebelum berumur 4 bulan. Ulama yang
membolehkan aborsi sebelum janin berumur 4 bulan, adalah Muhammad Ramli dalam
kitab al-Nihayah, dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada
pula ulama yang memandang hukumnya makruh, dengan alasan karena janin masih
sedang mengalami pertumbuhan. Ulama yang mengharamkan aborsi sebelum ditiupkan
ruh antara lain adalah Ibnu Hajar dalam kitab al-Tuhfah, al-Ghazali dalam kitab
Ihya’ Ulumiddin, Syekh Mahmud Syaltut dalam kita Fatawa. Mereka mengharamkan
pengguguran kandungan (aborsi) sebelum ditiupkan ruh, karena sesungguhnya janin
(embrio) pada saat itu sudah ada kehidupan (hayat) yang patut dihormati, yaitu
dalam hidup pertumbuhan dan persiapan. Pengguguran kandungan (aborsi) pada masa
perkembangan kandungan, merupakan jinayat (tindak pidana), makin lama
perkembangan kandungan, makin meningkatkan pula jinayatnya dan yang paling
besar jinayatnya adalah bila anak dibunuh sesudah lahir dalam keadaan hidup.[9]
Berdasarkan uraian di
atas dapat di ambil kesimpulan, bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum
dan sudah terjadi pembuahan, aborsi dipandang sebagai suatu kejahatan dan haram
hukumnya. Meskipun janin belum bernyawa, tetapi sebab sudah ada kehidupan
(hayat) pada janin (embrio) yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan
untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa, yang disebut manusia, maka janin
tersebut harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.[10]
Pendapat tentang janin
(embrio) yang sedang pada pertumbuhan sudah ada kehidupan (hayat) walaupun
belum ditiupkan ruh, sama dengan pendapat ahli kedokteran (embriologi) dan hal
ini sesuai dengan hasil MUNAS MUI tahun 1983, bahwa kehidupan dalam konsep
Islam, adalah suatu proses yang sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan. Oleh
sebab itu, pengguguran sejak adanya pembuahan adalah haram hukumnya; makin
besar kandungan, makin besar pula jinayatnya (tindak pidananya). Semakin besar
pula dosanya, apabila dilakukan aborsi setelah janin bernyawa, terlebih lagi
bila bayi dibunuh setelah lahir, meskipun bayi itu hasil hubungan gelap (di
luar perkawinan yang sah), karena setiap anak yang lahir, adalah dalam keadaan
suci (tidak berdosa). Sesuai dengan hadits Nabi saw, “Semua anak dilahirkan
adalah dalam keadaan fitrah sehingga jelas omongannya. Kemudian orang tuanyalah
yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Abu Ya’la
al-Thabrany dan al-Baihaqy dari Aswad ibn Sari).’
Yang dimaksud dengan
fitrah dalam hadits ini ada dua pengertian. Pertama, dasar pembawaan manusia
(human nature) bersifat religius dan monoteis, artinya bahwa manusia dari dasar
pembawaan adalah makhluk yang beragama dan percaya pada kekuasaan Allah secara
murni/pure monotheism atau tauhid khalish. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT;
172. dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(QS. al-A’raf [7]:
172)
Ayat tersebut
menunjukkan, bahwa manusia sebelum turun ke bumi, telah mengakui ketuhanan
Allah dan kekuasaan-Nya. Pengertian kedua dari fitrah adalah kesucian (purity).
Artinya, bahwa semua anak manusia dilahirkan dalam keadaan suci/bersih dari
segala macam dosa. Hal ini sesuai dengan firman Allah;
(yaitu)
bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
(QS. al-Najm [53]:
38)
Selanjutnya mengenai
aborsi yang dilakukan karena dalam keadaan benar-benar terpaksa, yaitu demi
menyelamatkan nyawa si ibu, maka Islam membolehkan, bahkan mewajibkannya,
karena Islam mempunyai prinsip: Artinya: ‘Menempuh salah satu tindakan yang
lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib.’
Jadi Islam membolehkan
untuk melakukan aborsi yaitu mengorbankan janin untuk menyelamatkan nyawa calon
ibu. Nyawa ibu diutamakan mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah
mempunyai kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk,
sedangkan si janin, sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, belum mempunyai hak,
seperti hak waris dan belum mempunyai kewajiban apapun.
[1] Ilyas, Qamus
Ilyas al-‘Ashri, (Beirut: Daru al-Qalam, 1989), hal. 2.
[2] Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagun, 1988), hal. 74.
[3] Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pengguguran Kandungan,
Kumpulan Naskah-naskah ilmiah dalam Simposium Abortus, (Yogyakarta:
Perpustakaan Depertemen Kesehatan RI, 1974), hal. 9.
[4] Nani Soendo, SH, Abortus, LPHN Majalah Lembaga Pembinaan
Nasional, XV 0603 Sekt. 467, hal. 3.
[5] Chuzaimah Tahido Yanggo, “Agama
dan Aborsi”, Seri Kesehatan Reproduksi , Kebudayaan, dan Masyarakat,
Agama dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999),
hal. 162-163.
[10] Ibid.
Post a Comment