Pendekatan historis
adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan
melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat
dalam peristiwa tersebut. Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia
International, historis memiliki makna;
“History is the study of the human past. Historians study records of
past events and prepare new records based on their research. These records, as
well as the events themselves, are also commonly called history.[1]
Sedangkan
menurut Azyumardi Azra, sejarah dari kata Arab syajarah yang berarti
pohon. Pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan, bahwa
sejarah- setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini-
menyangkut tentang antara lain, syajarah al-nasâb,
pohon genealogis yang dalam masa sekarang agaknya bisa disebut sejarah keluarga
(family history). Atau boleh jadi juga karena kata kerja syajarah
juga punya arti to happen, to occur, dan to develop. Namun
selanjutnya, sejarah dipahami mempunyai makna yang sama dengan târikh
(Arab), istoria (Yunani), history atau geschichte
(Jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia
pada masa silam.[2]
Melalui
pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada di amal empiris dan historis.
Pendekatan
kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri
turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang
mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah.
Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada
dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama,
berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan.
Dalam bagian
pertama yang berisi konsep-konsep kita mendapati banyak sekali istilah
al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus,
doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada
umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin
diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu
al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang
dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religius yang ingin
diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke
dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan demikian lalu menjadi konsep-konsep otentik.
Dalam bagian
pertama ini kita mengenal sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun
konkret. Konsep tentang Allah, malaikat, akhirat, ma’ruf, munkar, dan
sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu, juga ditunjukkan
konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable),
misalnya konsep tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa
(orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), zhalimun (para
tiran), aghniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun
(koruptor-koruptor), dan sebagainya.
Selanjutnya,
jika pada bagian yang berisi konsep-konsep al-Qur’an bermaksud membentuk
pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua
yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya
perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui
kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan
hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini,
tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut
simbol-simbol. Misalnya, simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang
luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Allah SWT atau tentang keganasan
samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui
pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan
memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu
akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami
al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah
turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an
yang selanjutnya disebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang
sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya
ayat al-Qur’an. Dengan ilmu asbabun nuzul ini seseorang akan dapat
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum
tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.
Kritik atas Studi Orientalis Terhadap
Sejarah Teks al-Quran
Salah satu
kajian utama orientalis terhadap al-Quran adalah mengenai sejarahnya. Dan salah
satu tokoh orientalis yang melakukannya adalah Arthur Jeffery. Menurutnya tidak
ada yang istimewa dalam sejarah al-Quran karena sama saja dengan sejarah
kitab-kitab suci yang lain. Ia mengatakan, “it was the community which
decided this matter of what was and what was not scripture”. Komunitaslah
yang sangat berperan terhadap kesucian sebuah kitab suci. Dan fenomena semacam
ini terjadi dalam setiap agama termasuk Islam.
Pandangan
seperti ini jelas keliru karena al-Quran ternyata tidak hanya dianggap istimewa
oleh umat islam saja tapi juga oleh komunitas ilmuwan yang secara jujur
mengakui ketepatan konsep-konsep ilmiah dalam al-Quran yang baru terbukti 14
abad kemudian.
Kesalahan Pemahaman Orientalis
terhadap Proses Turunnya Wahyu
Nabi Muhammad
bukanlah satu-satunya nabi yang menerima wahyu, tapi semua nabi telah
menerimanya. Dan wahyu itu berasal dari satu sumber (Allah). Kebanyakan
orientalis tidak mau berusaha untuk meragukan atau mengkritik wahyu yang turun
kepada Nabi Isa (sebagaimana mereka melakukan terhadap Nabi Muhammad). Tetapi
mereka menjaganya dan berpendapat bahwa wahyu untuk Isa tidak mungkin
diperdebatkan lagi dengan metode ilmiah. Dalam waktu bersamaan mereka
mengkritik wahyu Muhammad secara rasio dan
ilmiah. Seharusnya teori kritik atas wahyu tersebut harus dilakukan terhadap semua wahyu yang
bersumber dari Tuhan.
Benar-benar sebuah sikap mendua yang tidak layak dilakukan oleh orang yang
mengaku ilmiah.
Kalau diteliti
dengan seksama, kesalahan pemahaman orientalis terhadap al-Quran diawali dengan
kekeliruannya dalam memahami proses turunnya wahyu. Menurut mereka, ketika Nabi
Muhammad menerima wahyu, terdapat tanda-tanda fisik yang sama dengan orang yang
menderita penyakit epilepsi dimana kesadaran telah hilang dan masuk ke alam
tidak sadar (ghaib). Diantara tanda-tanda fisik itu, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits, adalah keluarnya keringat dari sekujur tubuhnya, muka yang pucat,
dan suara gaung yang mengiringi proses penerimaan wahyu.
Kemudian setelah
Nabi sadar, ia menceritakan kepada para sahabatnya bahwa ia baru saja menerima
wahyu. Pemahaman seperti ini jelas salah karena orang yang terkena penyakit
seperti itu pasti tidak ingat sama sekali apa yang dialaminya. Ingatan dan fikirannya
tidak berfungsi sama sekali ketika mengalami hal itu. Kondisi seperti ini sama
sekali tidak terjadi kepada Rasulullah. Karena ketika menerima wahyu,
Rasulullah dengan penuh kesadaran mengetahuinya. Panca indranya berfungsi
dengan sempurna. Sehingga mampu menceritakan secara terperinci apa saja yang
baru dialami.
Dan wahyu itu
sendiri tidak selalu berkaitan dengan hal yang ghaib tapi juga sering turun
dalam keadaan nabi yang sepenuhnya sadar sebagaimana peristiwa-peristiwa
normal. Sementara itu, mereka juga berpendapat bahwa wahyu itu datang dari
dalam diri nabi sendiri. Mereka menyebutnya sebagai al-wahyu
annafsiy (intuisi). Pendapat ini jelas tidak ilmiah karena dalam waktu
bersamaan mereka juga menganggap wahyu sebagai sesuatu yang datang dari alam
ghaib yang menyebabkan Nabi tidak sadar ketika menerimanya seperti dijelaskan
di atas.
Tafsiran
orientalis terhadap wahyu seperti di atas tidak sesuai dengan hakekat wahyu itu
sendiri. Mereka mengistilahkan wahyu sebagai al-wahyu annafsiy (intuisi) yang berasal dari dalam manusia.
Hal ini jelas berbeda dengan wahyu Tuhan
(dalam konsep Islam). Contoh kasus: jika wahyu itu berupa perbuatan (fi’il)
pembeda, maka wahyu itu berasal dari dzat yang mengerjakan yang menginginkan
sesuatu. Dialah Allah. Dan bukan intuisi, karena intuisi kembali kepada tabiat
yang terjadi dalam sebuah realitas. Sehingga memerlukan pemikiran untuk
menyimpulkan yang akhirnya menimbulkan keraguan atau keyakinan. Sementara wahyu
tidak tunduk kepada realitas dan rasio. Ia bisa diyakini secara mutlak tanpa
ada ruang keraguan di dalamnya. Sumber ilham/intuisi adalah batin manusia yang
sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi sementara wahyu bersumber dari luar
yang tidak dipengaruhi oleh dirinya sendiri.
[2]Azyumardi
Azra, “Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran Awal tentang Pendekatan
Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,” Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:
Tinjauan antara Disiplin Ilmu, (Bandung: Pusjarlit, 1998), h. 119.
Post a Comment