Sumber Gambar: |
Kata politik berasal dari kata politic (Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city (kota).[1]
Politic
kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: segala
urusan tindakan, kebijaksanaan, dan siasat- mengenai pemerintahan suatu negara
atau terhadap negara lain, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah
disiplin pengetahuan yaitu politik.[2]
Menurut
Deliar Noer, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan
kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau
mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[3]
Dalam al-Qur’an
surat al-Nisa ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya
termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Dalam hal ini
Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki
suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolok ukur kebenaran
dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan
rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan
dengan kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar
kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara
tersebut juga tidak dihiraukan oleh pimpinan tersebut, boleh saja untuk tidak
dipatuhi.[4]
Masalah politik
ini selanjutnya berhubungan dengan perdebatan hubungan agama dan negara, mengalami
pedebatan yang cukup panjang dikalangan ulama Islam hingga kini. Berkenaan
dengan hal tersebut maka pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan
negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma
integralistik, sekularistik, dan simbiotik.
1. Paradigma Integralistik
Paradigma
integralistik mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara
tidak dapat dipisahkan (integrated). Dalam konteks Islam, Islam adalah din
wa dawlah. Apa yang merupakan wilayah agama otomatis merupakan wilayah
politik atau negara. Model ini menyimpulakan bahwa negara merupakan lembaga
politik dan keagamaan sekaligus, yang antara keduanya merupakan totalitas utuh
dan tidak dapat dipisahkan.[5]
Pandangan ini
berkeyakinan bahwa Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat
(kafah). Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap
bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa
Islam mencakup cara hidup yang komprehensif, bahkan sebagian kalangan menekankan bahwa Islam merupakan totalitas
yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.[6]
Menurut pemikiran
tokoh-tokoh ikhwan muslimin, Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat
lengkap, yang meliputi tidak saja tuntutan moral dan peribadatan, tetapi juga
petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, temasuk
kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan
dan kemakmuran, ummat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan
lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mencontoh
pola hidup Rasul dan ummat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan
jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.[7]
2. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik[8]
(agama terpisah dari negara), beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan
negara, agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan.[9]
Pandangan ini
berangkat dari pemikiran bahwa al-Qur’an tidak memiliki sistem politik yang
baku dan Muhammad tidak dimaksudkan oleh Allah untuk menciptakan kekuasaan
politik. Tugas Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu tanpa memiliki
pretensi untuk mendirikan negara.[10]
Pemrakarsa paradigma ini adalah Mushtafa Kemal Attaturk (1881-1938), ‘Ali
Abd. Al-Raziq (1888-1966 M), seorang cendikiawan muslim dari Mesir. Tokoh lain
yang mengikuti pendapat ini adalah Taha Husein (1889-1973), Ahmad Lutfi Sayyid
(1872-1963), kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Said al-Asmawi (Mesir,
lahir 1932).
Menurut Ali Abd Raziq[11],
pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulan, melainkan tugas
terpisah dari dakwah Islam dan berada di luar tugas kerasulan.[12]
Alasanya, bahwa Nabi Muhammad Saw memang telah mendirikan negara di Madinah,
akan tetapi sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang
ditempuh oleh Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai
fungsi-fungsi pemerintahan lain, misalnya masalah keuangan, wawasan, dan
keamanan jiwa, dan harta.
3. Paradigma Simbiotik
Di antara dua
kutub di atas, pemikiran ketiga menyatakan bahwa Islam memang tidak menyediakan
sistem politik yang baku untuk diterapkan oleh umat Islam, akan tetapi Islam
juga tidak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam bernegara dan mengatur pemerintahan. Islam hanya memberikan
seperangkat nilai saja yang mesti dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan
tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahan yang mereka hadapi.
Karenanya, Islam tidak melarang umatnya mengadopsi pemikiran-pemikiran dari
luar, termasuk dari Barat, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Islam, umpamanya, tidak menolak pemikiran
tentang hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara atau tentang
prinsip-prinsip demokrasi.[13]
Oleh karena itu,
paham ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang
mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua
yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi
ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik
tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi
kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem
manapun yang terbaik.[14]
Paham ini
memahami bahwa agama dan negara adalah saling membutuhkan artinya memiliki
hubungan timbal balik, perbedaannya dengan aliran integralistik adalah bahwa
agama dan negara suatu etnisitas yang berbeda, namun saling membutuhkan, bukannya
menyatu seperti yang dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini di anut
kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah[15],
Jamaludin Al-Afghani[16],
Muhammad Abduh[17],
dan lain-lain.
[1]Abd.
Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 34.
[3]Deliar
Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), h.
94-95.
[4]Dalam
hadits Rasulullah Saw, kita jumpai petunjuknya, bahwa mentaati pemimpin bagi
setiap muslim adalah merupakan kewajiban, tetapi apabila pemimpin tersebut
memerintahkan perbuatan dosa, maka boleh ditentang. (HR. Bukhari Muslim).
[5]
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum
Islam di Indonesia (Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara, 2001), h. 24.
[6]Sukayat,
Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural
Bandung Agamis, h. 45.
[8]
Kata sekular pada dasarnya mempunyai dua konotasi, yaitu waktu dan lokasi.
Waktu menunjukkan pada pengertian sekarang, dan lokasi mengandung arti dunia.
sedangkan, kata sekularisasi diartikan sebagai pembebasan manusia atas agama
atau metafisik. Lihat, M. Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung:
Pustaka, 1981), hal. 20. Menurut Fazlurrahman, istilah sekularisasi dalam dunia
pembaharuan mengandung dua makna praktis, yaitu “pembedaan” yang kultur dan
yang doktrinal dalam agama, sekaligus “pemisahan” antara keduanya. Sesuatu yang
bersifat kultur dengan menggunakan prinsip-prinsip sekuler-duniawi yang
terlepas dari doktrin agama. Lihat, Fazlur Rahman, Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 155.
[9] Negara
sekular adalah negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan publik dan
politik. Jadi, kalau milsahnya umat beragama, kelompok agama, ingin mendirikan
masjid, gereja, atau rumah ibadah lain, mereka tidak boleh dibantu oleh negara.
Itu adalah urusan masyarakat keagamaan sendiri, umat beragama sendiri. Dalam
sebuah sistem politik sekular, simbol-simbol agama tidak boleh masuk ke dalam
simbol-simbol kenegaraan dalam gedung-gedung milik publik atau milik
pemerintah. Lihat, Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi
Buih (Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000), h. 220.
[10]
Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. xiv.
[11]Ali
Abd al-Raziq lahir pada tahun 1888 dan
wafat tahun 1966 M. Dia penganut Abduh, meskipun mungkin tidak sempat belajar
banyak secara langsung darinya, oleh karena ketika Abduh wafat pada tahun 1905
Ali baru berusia kira-kira tujuh belas tahun. Dia mendapatkan pendidikan agama
di Universitas al-Azhar, kemudian pergi belajar ke Universitas Oxford, Inggris,
selama satu tahun. Dia seorang ilmuwan agama dan seorang hakim pada Mahkamah
Syari’ah Mesir. Lihat, Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan
pemikiranny, h. 139.
[12]Ali
Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cairo: tp, Cet. 3, 1925), h. 55. Lihat juga, Suyuthi
Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h. 305.
[14]Sukayat,
Internalisasi Nilai Agama Melalui Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung
Agami, h. 68.
[15]Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia
merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara,
maka agama tidak bisa tegak. Pendapat beliau meligitimasikan agama dan negara
merupakan dua etensitas yang berbeda, tetapi saling mebutuhkan. Oleh
karenannya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal
dari adanya social contect, tetapi bisa saja diwarnai dengan
hukum agama.
[16]Afghani
menghendaki reformasi dan pembaruan politik Islam dengan mengganti bentuk
khilafah menjadi republik. Pemikiran ini memang berbeda dengan pemikiran umat
Islam pada saat itu yang hanya mengenal bentuk khilafah yang mempunyai
kekuasaan absolut. Lihat, Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan
Antara Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 1, 1996), h.
108.
[17]Abduh
tidak memperdulikan bentuk pemerintahan, karena Islam tidak menetapkan bentuk
pemerintahan. Menurut dia, jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan
sebagai model pemerintahan, maka bentuk ini harus bersifat dinamis yakni
mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan
berpikir. Akibatnya, ia mampu mengantisipasi dinamika zaman. Pemikiran demikian
tampaknya sebagai implikasi dari konsep teologis tentang manusia yang
menganggap bahwa manusia memiliki kehendak bebas dalam memilih dan berbuat.
Lihat, Abd. Al-‘Athi Muhammad Ahmad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad
Abduh, (Mesir: al-Maiat al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab, 1978), hal.
69. Lihat juga, Azhar, Filsafat
Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, h. 108-109.
Post a Comment