Sumber Gambar: |
Psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche dan logos. Mengenai kata logos, kiranya sudah banyak orang tahu bahwa artinya adalah nalar, logika, atau ilmu. Karena itu psikologi berarti psyche. Tetapi apakah psyche itu? Nah, di sinilah terdapat perbedaan pendapat yang berlarut-larut itu. Kalau kita periksa Oxford Dictionary misalnya, kita akan melihat bahwa istilah psyche mempunyai banyak arti dalam bahasa Inggris yaitu soul, mind, dan spirit. Dalam bahasa Indonesia ketiga kata-kata bahasa Inggris itu dapat dicakup dalam satu kata yaitu “jiwa”. Karena itulah dalam bahasa Indonesia kebanyakan orang cenderung mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa. Tetapi kecendrungan ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia saja. Kalau kita periksa dalam bahasa Belanda misalnya, maka psikologi diartikan sebagai zielkunde, dalam bahasa Jerman seelenkunde, dalam bahasa Arab ilmun nafsi, yang semuanya itu tak lain artinya ilmu jiwa.[1]
Menurut Zakiah
Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi
oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan
salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban
untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat
dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan
Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang
dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama
tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran
agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin
seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang
saleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur, dan sebagainya. Semua itu
adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa
ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami
dan diamalkan seseorang- juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan
agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini
agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya
dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya
dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun
langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama.
itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan
gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Kritik Terhadap Pendekatan
Psikologi Barat
Para ilmuwan
Muslim terdahulu sesungguhnya memiliki andil yang sangat besar dalam
mengembangkan kajian tentang kejiwaan. Ironisnya, peranan mereka dalam
memajukan dan mengembangkan ilmu kejiwaan (psikologi) tersebut tidak
mendapatkan perhatian yang selayaknya dari para pakar sejarah psikologi modern
sepanjang sejarah. Umumnya, mereka yang berasal dari Barat memulai kajian psikologi
pada kaum pemikir Yunani, terutama Plato dan Aristoteles. Selanjutnya, mereka
langsung membahas pemikiran kejiwaan para pemikir Eropa Abad Pertengahan dan
masa Kebangkitan (Renaisans) Eropa Modern. Mereka benar-benar melupakan andil
para ilmuwan Muslim yang diantaranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dan banyak mempengaruhi pendapat para pemikir Eropa Abad Pertengahan hingga
awal masa Renaisans Eropa Modern sendiri.[2]
Yang lebih
menyedihkan lagi, sikap para sejarawan psikologi dari Barat tersebut justru
diikuti oleh para pakar psikologi Arab kontemporer. Mereka yang mempelajari
berbagai manuskrip sejarah psikologi di banyak universitas sama sekali tidak
melirik peranan para ilmuwan Muslim. Penghargaan terhadap andil mereka justru
datang para sejarawan filsafat Islam, baik yang berasal dari bangsa Arab
sendiri maupun non-Arab. Mereka menginformasikan kepada kita sejumlah ikhtisar
(re-sume) yang bermanfaat tentang pandangan para ilmuwan Muslim
terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati nilainya sangat penting, namun
ikhtisar tersebut tidak cukup menarik para psikolog Islam kontemporer untuk
mendalami pandangan kejiwaan ilmuwan Muslim terdahulu, yang memungkinkan mereka
memberikan penilaian ilmiah terhadap andil mereka dalam memajukan dan mengembangkan
psikologi sepanjang sejarah.[3] Salah satu
filosof Islam yang mempunyai perhatian yang luar biasa terhadap konsep-konsep
jiwa dan bagaimana mengatasi problem kejiwaan adalah Ibn Sina. Dengan ketajaman
pikiran dan ketelitian pengamatannya, dapat mencapai pengetahuan tentang hukum
proses conditioning sebelum hal itu ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang
psikolog berkebangsaan Rusia. Ibnu Sina juga dapat memberikan interpretasi
ilmiah tentang lupa, dengan mengembalikannya kepada intervensi berbagai
informasi yang belum pernah dicapai para psikologi modern, kecuali pada
perempat pertama abad ke-20. Selain itu, Ibnu Sina juga mendahului para ahli fisiologi dan psikolog modern dalam
mengukur emosi berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologi dan psikolog
modern dalam mengukur emosi berdasarkan pengukuran berbagai perubahan
fisiologis yang terjadi setelah terjadinya proses emosi.[4]
Berikutnya, pada
kasus penyembuhan orang sakit yang diakibatkan oleh rasa rindu, Ibnu Sina
berusaha mengetahui nama gadis yang dirindukan si klien, sehingga dia dapat
memberikan metode counseling yang tepat. Ibnu Sina menemukan sebuah
metode yang unik, yaitu dengan menyebutkan kepada si klien sejumlah nama
negeri, seseorang yang hidup dan gadis-gadis. Pada saat itu, dia mengukur
kecepatan detak jantung si klien untuk mengetahui kadar emosi yang ditumbulkan
oleh nama-nama itu. Dengan cara itu, Ibnu Sina dapat mengetahui nama gadis yang
dirindukan si klien dan tempat hidupnya.[5]
Metode yang
digunakan Ibnu Sina ini dianggap sebagai dasar awal bagi penemuan alat modern
yang terkenal dengan sebutan alat respon kulit galvanisasi atau juga yang
disebut alat pendeteksi kebohongan, lantaran banyak digunakan untuk
mengungkapkan berbagai tindak kejahatan. Yaitu, suatu alat yang mengukur
ketidakstabilan emosi berdasarkan pengaruhnya terhadap perubahan fisiologis
tubuh. Selain itu, sesungguhnya Ibnu Sina-dengan metode sederhana yang dia
gunakan untuk mengetahui sebab-sebab ketidakstabilan emosi melalui penyebutan
serangkaian kata-kata dan nama serta mengamati pengaruhnya terhadap emosi
individu- telah mengungguli sebagian ahli psikoanalisis dan prikiater modern
yang menggunakan cara yang sama, yaitu metode asosiasi untuk mengetahui
sebab-sebab ketidakstabilan emosi pada klien mereka.
Tidak hanya itu,
dalam mengkaji mimpi pun al-Farabi dan Ibnu Sina menemukan fakta ilmiah yang
membuat mereka unggul atas ilmuwan modern, terutama peran mimpi dalam memuaskan
dorongan dan hasrat sebagaimana pendapat Sigmund Freud pada masa modern.[6] Namun
demikian, bagaimana argumentasi dan dasar-dasar yang digunakan Ibnu Sina
berkaitan dengan konsep jiwa serta perbedaan mendasar konsep jiwa yang
dikemukakan Ibnu Sina dengan berbagai konsep jiwa yang pernah ada sebelumnya
serta letak keunggulan dan kelemahan konsep jiwa yang ditawarkan Ibnu Sina ini,
selanjutnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
Post a Comment