Muslimin
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Raden Fatah Palembang
Bila
ditilik dari perspektif sejarah umat Islam memang sering dihadapkan pada
peperangan yang tak terelakkan. Maka tidak mengagetkan kalau terdapat tuduhan
dari kalangan non-Muslim, khususnya sebagian kaum pemikir orientalis- yang
menulis tentang jihad identik dengan peperangan. Tuduhan itu mengarah pada
klausul bahwa Islam disebarkan dengan peperangan. Seperti yang dikutip Muhammad
‘Imara, bahwa
orientalis yang bernama Mac Donal, D.B
(1863-1942), pernah mengatakan, “Penyebaran Islam dengan pedang adalah
kewajiban kolektif bagi semua Muslim.”
Tetapi
tuduhan itu tidak memiliki dasar nalar yang kuat. Sebab kebanyakan para scholar Islam menolak keras Islam
disebarkan dengan kekerasan. Menurut Azyumardi Azra, dalam bukunya, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Mawdudi mengutuk penggunaan
jihad untuk memaksa non-Muslim masuk Islam. Ibn Taymiyah (w. 728/1327) misalnya,
menafsirkan jihad sebagai perang adalah upaya kaum Muslim mempertahankan diri apabila
kaum non-Muslim mengancam dan melakukan penindasan terhadap eksistensi Islam.
Sedangkan
terhadap orang-orang non-Muslim yang tidak menggangu dar Islam (wilayah damai), menurut Ibn Taymiyah, tidak boleh dipaksa
untuk memeluk Islam dan hak-hak sipilnya harus dipenuhi. Sebagaimana yang
ditegaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah [2]: 256) “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam).”
Selain
itu, umat Islam juga tidak boleh membunuh seseorang tanpa ada alasan yang
jelas. Bukankah al-Qur’an mengingatkan, membunuh satu orang di muka bumi sama
dengan membunuh seluruh orang di muka bumi, (QS. al- Maidah [5]: 32).
Jihad
dalam konteks dakwah- juga berkaitan erat dengan pembangunan umat yang unggul (khairu ummah) sebagaimana diungkapkan
dalam firmah Allah Swt, dalam al-Qur’an Surat ali-Imran [3]: ayat ke-104, “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.”
Selain mengupayakan jihad terus-menerus dalam
bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar, penyampaian dakwah dalam kaitannya antara
materi dengan metode dalam berdakwah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Jika materi baik tetapi disajikan dengan metode yang kurang baik dan kurang
menarik, tentu hasilnya tidak akan optimal sebagaimana yang diharapkan.
Demikian pula sebaliknya.
Dalam
bahasa Yunan Yusuf, “Semangkok teh pahit dan sepotong ubi goreng yang disajikan
dengan cara sopan dan ramah, tanpa sikap yang dibuat-buat, akan lebh terasa
enak disantap ketimbang sporsi makanan lezat, mewah, dan mahal harganya, tetapi
disajikan dengan cara kurang ajar, tidak sopan, dan menyakitkan hati orang yang
menerimanya.”
Oleh
karena itu, perlu dilakukan jihad dalam bentuk upaya terus-menerus dalam
menyajikan materi dan metode yang moderat, sejalan dengan kebutuhan zaman dan
kemajuan teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Hal ini sejalan
dengan firman Allah Swt, dalam QS, an-Nahl [16]: 125; “Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Salah
satu makna hikmah (dari ayat tersebut) menurut sebagian ulama tafsir adalah
menyajikan materi dakwah dengan metode dan cara yang integral dan holistik
menyentuh seluruh aspek diri manusia, seperti fisik, pikiran, dan hati.
Sehingga diharapkan terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan
lebih bermakna dalam kehidupan sehari-hari.
Post a Comment