Sumber Gambar: |
Seorang da’i sekurang-kurangnya
harus mengamalkan apa yang ia serukan kepada orang lain. Perbuatan seorang da’i
tidak boleh melecehkan kata-katanya sendiri, apa yang ia demonstrasikan kepada
masyarakat haruslah apa yang memang menjadi keyakinannya. Sebab inkonsistensi
antara kedual hal tersebut akan membuat seruan dakwahnya tidak berbobot dan
tidak berwibawa di depan masyarakat. Seorang da’i yang baik tidak berani
mengajak orang atas apa yang ia sendiri tidak menjalankannya, dan secara moral
ia juga tidak berani melarang sesuatu yang ia sendiri tidak meninggalkannya.
Sebagaimana dalam al-Qur’an dijelaskan, “Apakah kalian menyuruh orang lain
berbuat kebajikan seraya melupakan dirimu sendiri (untuk melakukannya) padahal
kalian membawa al-Kitab, apakah kalian tidak mempunyai akal. (QS. Al-Baqarah
[2]: 44).
Jadi, orang yang memberi nasihat
kepada orang lain tetapi ia sendiri tidak menggunakan nasihat itu adalah
bagaikan orang yang mengetengahkan hal-hal yang dapat dipahami oleh akal sehat.
Seorang da’i terlebih dahulu harus mengambil nasihat itu, baru kemudian
menasihati orang lain, ia harus lebih dahulu mengetahui, baru memberi tahu, ia
harus mengambil petunjuk lebih dahulu, baru memberi petunjuk. Perumpamaan
seorang da’i yang tidak konsisten adalah seperti buku tulis, ia memberi
manfaat, tetapi ia sendiri tidak dapat mengambil manfaat atau seperti sebatang
lilin yang menyala, menerangi orang lain tetapi ia sendiri terbakat.
Idealnya, seorang da’i adalah
seperti matahari, ia membuat bulan bercahaya, tetapi sinat matahari tetap lebih
terang. Atau seperti api yang memanaskan besi, besinya menjadi panas, tetapi
panasnya api tetap lebih tinggi, atau seperti minyak wangi, membuat harum orang
lain, tetapi dirinya tetap lebih harum.
Untuk menjadikan pesan dakwah itu
sampai kepada mad’u tepat waktu dan tepat sasaran, seorang da’i harus memiliki
pengetahuan yang memadai tentang semua hal yang berhubungan dengan masyarakat
mad’u, bahasanya, tradisinya, dan temperamennya sehingga da’i tidak terjebak
dalam perbuatan bodoh yang sia-sia. Secara lebih rinci, ilmu bantu yang harus
dimiliki oleh seorang da’i adalah, sejarah, ilmu jiwa, geografi wilayah
dakwahnya, ilmu akhlak, perbandingan agama dan paham-paham madzhab, bahasa, dan
budaya setempat.
Sejalan dengan sifat kejuangan dan perumpamaan da’i
sebagai matahari, seorang da’i dengan senang hati akan menjajakan ilmunya,
kepada orang yang mau maupun yang tidak mau. Jika mad’u membuka pintu hatinya,
dengan semangat da’i akan meresponnya, jika mad’u masih menutup pintu hatinya
di lain waktu, begitulah seterusnya. Oleh karena itu, tidak ada kamusnya
seorang da’i menyembunyikan ilmunya dari mad’u. Ilmu itu sendiri, semakin
banyak diberikan justru menjadi semakin tajam dan bertambah.
Sebagai pribadi, pada dasarnya
seorang da’i dapat diibaratkan sebagai danau, menampung air hujan, menyimpannya
dan menyediakan diri bagi orang yang membutuhkannya. Dalam puncak kerjanya,
seorang da’i dapat diibaratkan sebagai ember yang membawa air dari danau untuk
disiramkan ke pohon-pohon yang kekeringan. Jadi, ilmu, yang dipelajari oleh
seorang da’i adalah diperuntukkan bagi kepentingan mad’u. Oleh karena itu, ia
tidak akan kikir terhadap ilmunya.
Post a Comment