BAB I
PENDAHULUAN
“Juallah duniamu
dengan akhiratmu maka engkau akan mendapat keduanya. Janganlah engkau jual
duniamu dengan akhiratmu, maka engkau akan kehilangan keduanya. Hati-hatilah
terhadap tipu daya dunia. dunia itu seperti ular, lembut kulitnya, akan tetapi
racunnya mematikan.”
Al-Hasan al-Basri
Ketika Rasulullah masih
hidup, sudah ada di antara para sahabat yang amat memperhatikan kehidupan
kerohanian dan berusaha menganalisis secara cermat berbagai aspeknya. Salah
seorang di antara mereka adalah Huzaifah ibn Yaman. Dalam memasuki era Khulafa-ur Rasyidin tampak misalnya
dalam kehidupan Uais al-Qarni dan Abdullah ibn Umar. Esoterisme yang kuat
memancar dari celah-celah kehidupan mereka dan memberikan daya tarik dalam
keteladanan dan kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hasan al-Basri dalam
menegakkan hidup kerohanian yang intensif tidak pernah lupa dengan kenyataan
yang ada di masyarakat. Ia tampil dengan hidup kerohanian sambil memperingatkan
kepada seluruh kaum muslimin agar jangan sampai terbuai dan terlena dengan
dunia dan keduniaan. Ia hidup dengan sederhana dan mengajarkan hidup kerohanian
dalam bentuk teori-teori yang berpusat kepada ketakutan (khauf) dan harapan
(raja).
Hasan Basri hidup pada
masa kekuasaan Khalifah Malik ibn Marwan (685-705 M)[1]
dan memandangnya sebagai khalifah yang memelopori kaum muslimin untuk hidup
cenderung kepada kehidupan materialistis. Pengaruh yang amat besar dari Hasan
Basri membuat penguasa menahan diri dan membiarkannya bebas di tengah-tengah
masyarakat. Kehidupan kerohanian mulai memasuki sikap-sikap protes dan tasawuf
mulai memasuki era baru terbentuknya ajaran-ajaran dasar.[2]
Masa-masa berikutnya,
keteladanan kaum sufi tampak dalam rumah dan pakaian mereka yang amat
sederhana. Rumah amat bersahaja dan pakaian seadanya terbuat dari bulu domba
kasar yang dikenal dengan shuf. Semuanya itu untuk menunjukkan hidup sederhana
dan mementingkan keakhiratan serta sikap protes bagi mereka yang banyak
memamerkan kemewahan dan hidup mubazir.[3]
Bukankah, Allah
mengirimkan para Malaikat, Kitab Suci, Rasul, dan Nabi-Nya untuk memberitahu,
mengingatkan, menyadarkan, dan menghubungkan kembali hubungan manusia dengan
Allah yang terputus. Terputusnya hubungan manusia dengan Allah bisa disebabkan
karena manusia terkurung di alam bendawi yang mengurungnya sejak kelahirannya
di dunia, karena rutinitas kehidupan praktisnya sehari-hari, atau mungkin juga
karena ketidaktahuannya tentang Allah.
Agar manusia bisa
menyadari, merasakan, dan mengalami hubungannya dengan Allah Swt., dakwah jalan tasawuf bisa menjadi cara terbaik, paling
efektif, dan efisien, karena melalui tasawuf, ajaran Islam itu bisa dirasakan
dan dialami, sehingga kita bisa mengenal Allah, merasakan kedekatan Allah (Qurbah), kebersamaan dengan Allah (Ma’iyah), menyaksikan Allah (Musyahadah), bertemu Allah (Liqa’ Allah), mencintai Allah (Mahabbah), dan menjadi kekasih Allah.
Dan itulah sebabnya, tasawuf bisa menjadi bahan terbaik dakwah, karena tasawuf
memang bisa dipahami sebagai cara untuk mengenalkan, mendekatkan, dan mempertemukan
manusia dengan Allah, agar manusia mencintai Allah dan bisa menjadi
kekasih-Nya.
HASAN AL-BASHRI (21-110 H/642-728 M)
A.
Biografi
Hasan al-Basri
Hasan ibn Yasar
al-Bashri lahir di Madinah pada tahun 21 H/642 M. Ayahnya bernama Yasar,
seorang hamba sahaya dari Zaid ibn Tsabit yang dimerdekakan dan diangkat
menjadi sekretarisnya.[4]
Sedangkan Ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah. Abu Sa’id al-Hasan ibn
Abi al-Hasan Yasar al-Basri, dikenal dengan sebutan al-Hasan al-Basri, lahir
dua tahun sebelum berakhirnya masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab.[5]
Pada mulanya keluarga
al-Hasan al-Bashri tinggal di Wadi al-Qura, sebuah daerah di wilayah Madinah.
Akan tetapi, ketika terjadi perang Siffin (37 H), orang tuanya pindah ke
Basrah. Sedangkan al-Hasan al-Bashri sendiri tetap tinggal di Madinah. Baru
setahun kemudian dia menyusul ke Basrah.[6]
Hasan al-Bashri tergolong tabi’in, orang yang bertemu dengan
sahabat-sahabat Nabi. Dia adalah murid
sahabat Nabi, Hudzaifah ibn Yaman yang di dalam riwayat dikatakan sebagai orang
yang dapat berbicara tentang rahasia hati (asrar
al-qulub).
Basrah adalah salah
satu kota besar di Irak dan pusat peradaban Islam di masa kelasik, terletak di
dekat Syatt al-‘Arab, sebuah sungai
yang terbentuk dari pertemuan antara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat, sekitar
75 mil (120 km) dari Teluk Persia dan 280 mil (450 km) di tenggara Baghdad.
Orang-orang Arab menemukan Basrah di masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab (42
SH/581 M-23 H/644 M).[7]
Keluarga al-Hasan
al-Basri adalah keluarga yang berilmu dan menaruh perhatian terhadap ilmu,
terutama al-Qur’an dan hadits. Ibunya sendiri, yang sangat dekat dengan Ummu
Salamah, salah seorang istri Rasulullah SAW, tergolong orang berilmu. Ibunya
itu adalah seorang penghafal dan periwayat banyak hadits, yang menerima dan
meriwayatkan banyak hadits dari Ummu Salamah.
Pendidikan awal
al-Hasan al-Basri diperolehnya dari lingkungan keluarganya sendiri. Ibunya
adalah gurunya yang pertama. Kehidupan keluarganya di Madinah, yang berlangsung
selama lebih kurang 16 tahun sejak kelahiran al-Hasan al-Basri sampai dengan
perpindahan keluarganya ke Basrah,
memberi warna tersendiri bagi perkembangan pengetahuannya. Ibunya banyak
memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan al-Hasan al-Basri.
Berkat pendidikan dan pembinaan dari ibunya, maka pada usia 14 tahun Hasan
sudah menghafal al-Qur’an. Sejak usia dini seperti ini, ia juga telah banyak
mendengar riwayat (hadis) dari ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi
SAW membuat cakrawala pengetahuan agamanya, terutama hadis, bertambah luas.
Ahmad Ismail al-Basit,
seorang ulama Yordania, membagi masa kehidupan al-Hasan atas tiga periode,
yaitu; (1) periode tahun 21-42 H; (2) periode 43-53 H; dan (3) periode 53-110
H. Periode pertama merupakan periode kehidupan al-Hasan di Madinah. Pada masa
ini, ia banyak menimba ilmu, tidak hanya dari ibunya, melainkan juga dari
sebagian sahabat. Pada periode kedua ia mulai melibatkan diri dalam berbagai
peperangan dan penaklukan wilayah-wilayah baru. Pada saat yang bersamaan, ia
juga bertemu dengan banyak sahabat Nabi SAW dan menimba banyak ilmu dari
mereka. Dalam periode ini pula ia menjadi sekretaris Rabi’ ibn Ziyad al-Harisi
(w. 53 H), seorang amir Sijistan, Khurasan (Persia). Periode ketiga ia habiskan
waktunya di Basrah untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmunya.
Al-Hasan al-Basri
menerima banyak hadis dari para sahabat dan para tabiin. Ibnu Hajar al-Asqalani
menyebutkan bahwa al-Hasan masih sempat bertemu dengan Ali ibn Abi Thalib,
Talhah ibn Ubaidillah, dan Aisyah binti Abu Bakar. Ia menerima hadis riwayat
beberapa sahabat dan perawi hadis lainnya, seperti Ubay ibn Ka’ab (w. 19 H),
Sa’id ibn Ubadah, Umar ibn Khattab, Ammar ibn Yasir, Abu Hurairah, Usman ibn
Affan,[8]
Abdullah ibn Umar, Hamid at-Tawil, Yazid ibn Abi Maryam, dan Mu’awiyah ibn Abu
Sufyan.
Hasan al-Bashri dikenal sebagai seorang alim,
yang sangat mendalam ilmunya dalam fiqih dan kalam. Sebagaimana yang sudah
disebutkan diatas, ‘Amr ibn ‘Ubaid dan Washil ibn Atha, keduanya tokoh kalam
aliran Mu’tazilah, adalah muridnya. Hasan al-Bashri juga dikenal sebagai ahli
pidato yang sangat cemerlang. Dalam khutbah-khutbahnya ia menyeru manusia agar
berhati-hati terhadap tipu daya kehidupan dunia. Salah satu nasehatnya, “Juallah
duniamu dengan akhiratmu maka engkau akan mendapat keduanya. Janganlah engkau
jual duniamu dengan akhiratmu, maka engkau akan kehilangan keduanya.
Hati-hatilah terhadap tipu daya dunia. Dunia itu seperti ular, lembut kulitnya,
akan tetapi racunnya mematikan.” Dia dihormati sebagai seorang ‘alim dan wali
pada masa permulaan Islam. Hasan al-Bashri mendirikan majlis dzikir di Bashrah
di mana berkumpul murid-murid dan pengikut-pengikutnya.
Pada malam Jum’at, di
awal Rajab tahun 110H/728 M, Hasan Al-Basri memenuhi panggilan Robbnya. Ia wafat
dalam usia 80 tahun. Penduduk Basrah bersedih, hampir seluruhnya mengantarkan
jenazah Hasan Al-Basri ke pemakaman. Hari itu di Basrah tidak diselenggarakan
sholat Ashar berjamaah, karena kota itu kosong tak berpenghuni.
B. Karya-karya
Hasan al-Basri
Pendapat al-Hasan
al-Basri banyak ditemukan dalam berbagai kitab. Walaupun begitu, para ulama
berbeda pendapat tentang ada tidaknya karya tulis yang tinggalkan oleh al-Hasan
al-Basri. Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H), misalnya, berpendapat bahwa
al-Hasan al-Basri tidak pernah meninggalkan satu kitab pun dan kita tidak
pernah melihat adanya kitab yang ditulisnya, sedang pendapat-pendapatnya yang
kita lihat sekarang ini disampaikan melalui riwayat para muridnya.
Berbeda dengan Abu
Zahrah, Ibnu Nadim berpendapat bahwa al-Hasan al-Basri pernah menulis buku
tentang tafsir dan risalah tentang jumlah ayat yang berjudul al-‘Adad atau ‘Adad Ayi al-Qur’an al-Karim
(Jumlah Ayat-Ayat Al-Qur’an). Risalah-risalah yang pernah ditulisnya ialah; (1)
al-Ihklas (keikhlasan), (2). Risalah
mengenai jawabannya terhadap Khalifah Abdul Malik ibn Marwan; (3) Risalah Fada’il Makkah wa as-Sakan fih
(Keutamaan Mekah dan Ketenangan di Dalamnya), yang menurut Ahmad Ismail
al-Basit merupakan risalahnya satu-satunya (naskah aslinya telah diedit oleh
Dr. Sami Makki al-Ani, guru besar kebudayaan Islam di Universitas Kuwait, dan
telah diterbitkan pada 1980 oleh Maktabah al-Fallah, Kuwait); dan (4) risalah Faraid ad-Din (Kewajiban-kewajiban
terhadap Agama) yang naskahnya masih tersimpan di Maktabah al-Auqaf, Baghdad.
Selain itu, di Maktabah Taimur, Cairo, masih terdapat beberapa manuskrip
tersebut ialah Syurut al-Imamah
(Syarat-syarat bagi Pemimpin), Wasiyyah
an-Nabi li Abi Hurairah (Wasiat Nabi Muhammad SAW kepada Abu Hurairah), dan
al-Istigfarat al-Munqizat min an-Nar
(Berbeda Istigfar yang dapat menyelamatkan dari Neraka).
Untuk mengembangkan
ilmu yang pertama diterimanya, ia membuka Madrasah al-Hasan al-Basri, yaitu
sebuah forum khusus untuk berdiskusi dan inilah ia mengajarkan berbagai ilmu
keislaman. Di antara murid-muridnya ialah Wasil ibn Atha (tokoh Muktazilah, w.
131 H), Amr ibn Ubaid (tokoh Muktazilah, w. 145 H), Ma’bad al-Jahani (w. 80 H),
Gailan ad-Dimasyqi (w. 105 H), dan Qatadah ibn Di’amah as-Sadusi al-Basri (w.
118 H). Murid-muridnya yang lain ialah Hamid at-Tawil (ulama dan penghafal
hadis, w. 143 H), Bakr ibn Abdullah al-Muzani (seorang faqih Basrah, w. 108 H),
Sa’ad ibn Iyas (seorang faqih Basrah, w. 144 H), Malik ibn Dinar (seorang ulama
dan zuhud, w. 127 H), dan Muhammad ibn Wasi’ al-Azadi al-Basri (ahli kiraat dan
ulama Basra, w. 123 H).
Para ahli kalam
memandangnya sebagai salah seorang pemuka
Muktazilah, karena ia berbicara tentang masalah al-qada wa al-qadar (ketentuan dan takdir Allah) yang didasarkan
pada pandangan bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Di samping itu ia
dikenal sebagai ahli fiqih dan tafsir. Keilmuannya dalam dua bidang yang
disebut terakhir diakui oleh banyak ulama, antara lain oleh Anas ibn Malik dan
Ja’far as-Sadiq (imam mazhab Ja’fari).[9]
Ia menyampaikan
pesan-pesan pendidikannya melalui dua cara.
Pertama, ia mengajak
murid-muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi masa salaf, seperti yang
terjadi pada masa para sahabat Nabi SAW, terutama pada masa Umar ibn Khattab,
yang selalu berpegang kepada Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW. Kedua, ia menyeru murid-muridnya untuk
bersikap zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia. Zuhud menurut pengertiannya
ialah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari soal dunia,
tetapi selalu merassa cukup dengan apa yang ada.
Hasan al-Bashri hidup
pada zaman dinasti Bani Umayyah. Sebagai reaksi terhadap kehidupan mewah dan
kezaliman penguasa pada zaman itu, Hasan al-Bashri menjauhkan diri dari
kehidupan politik. Dia tidak mencampuri
persoalan yang menyebabkan timbulnya perpecahan umat Islam dan tidak melakukan
perlawanan terhadap kezaliman penguasa dengan perbuatan kekerasan. Perlawanan
yang dilakukannya ialah dengan mengerjakan perbuatan kesalehan. Jalan hidup
yang dipilihnya ialah menjauhkan diri dari kehidupan duniawi untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan.
C. Dakwah
dan Pemikiran Hasan al-Basri
Dr. Abdul Mun’im
al-Hifni, seorang ahli tasawuf Cairo, memasukkan al-Hasan al-Basri dalam
kelompok sufi besar. Dengan mengutip pendapat Abu Hayyan at-Tauhidi (seorang
ahli tasawuf), ia mengatakan bahwa al-Hasan al-Basri adalah seorang zahid yang
wara’[10]
dan penasihat yang nasihatnya menyejukkan hati dan kalimatnya menyentuh akal.
Tentang tasawuf, al-Hasan al-Basri berkata, “Barangsiapa yang memakai tasawuf
karena tawaduk (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah cahaya dalam diri
dan hatinya, dan barangsiapa yang memakai tasawuf karena kesombongan kepada-Nya
akan dicampakkan-Nya ke dalam neraka.” [11]
Kedalaman pengetahuan
al-Hasan al-Basri mengenai tasawuf membuatnya cenderung untuk mengartikan
beberapa istilah dalam agama Islam menurut pendekatan tasawuf. Islam, misalnya,
diartikannya sebagai penyerahan hati dan jiwa hanya kepada Allah SWT dan
keselamatan seorang muslim dari gangguan muslim lain. Orang beriman, menurutnya,
adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang dikatakan oleh Allah SWT, itu
pulalah yang harus dia katakan. Orang mukmin ialah orang yang paling baik
amalannya dan paling takut kepada Allah SWT, dan sekalipun ia menafkahkan
hartanya setinggi gunung ia seakan-akan tidak dapat melihatnya (tidak
menceritakannya).[12]
Para sufi, menurut
pengertiannya, ialah orang yang hatinya selalu bertakwa kepada Allah SWT dan
memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut: berbicara benar, menepati
janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi yang lemah, tidak memuji diri, dan
mengerjakan yang baik-baik. Faqih, menurutnya, ialah orang yang zahid terhadap
dunia dan senang terhadap akhirat, melihat, dan memahami agamanya, senantiasa
beribadah kepada Tuhannya, bersikap warak, menjaga kehormatan kaum muslimin dan
harta mereka, dan menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya.
Sebagaimana sufi
lainnya, al-Hasan al-Basri sangat takut terhadap siksaan Allah SWT. Abdul
Mun’im al-Hifni menggambarkan bahwa al-Hasan al-Basri tampak seperti orang yang
selalu ketakutan. Dia selalu merasa takut karena membayangkan bahwa neraka itu
seakan-akan diciptakan oleh Allah SWT semata-mata untuk dirinya.
Dia dapat dikatakan
sebagai ulama pendiri zuhud[13]
aliran Basrah, seorang ahli fiqh, zuhud, dan alim dalam ilmu agama. Dia semasa
dengan Sahabat Besar, oleh karena itu logis bila dia banyak mendengarkan hadis
dari mereka, terutama Ibn ‘Abbas.
‘Abd al-Hakim Hasan
meriwayatkan bahwa al-Hasan al-Basri pernah mengatakan, “Aku pernah menjumpai
suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal daripada kamu dari barang yang haram.”[14]
Dari ucapannya ini dia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu; zuhud terhadap barang haram, ini adalah tingkatan
zuhud yang elementer, sedangkan yang lebih tinggi ialah, ialah zuhud terhadap
barang yang halal, suatu lantaran zuhud yang lebih tinggi daripada yang
sebelumnya. Dan dirinya telah mencapai tataran yang kedua ini, sebagaimana
diekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman,
bahkan dia pernah mengatakan, seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan
mencegah makan, pasti akan dilakukan, katanya, “Aku senang makan sekali dapat
kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air selama-lamanya.”[15]
Pandangan Hasan al-Basri
yang lain tentang dunia antara lain nasehat yang didengar oleh Abu Sa’id
al-Khuza’i, “Sesungguhnya dunia adalah rumah amal. Barangsiapa menggelutinya
atas dasar senang dan cinta kepadanya, akan celaka dengannya, dan Allah akan
menghanyutkan baginya, kemudian dunia menyerahkan kepada sesuatu yang tak mampu
bersabar dan menanggung siksa. Dengan demikian persoalannya menjadi kecil,
harta menjadi sedikit, kefanaannya adalah pasti. Allah SWT, akan menguasai
harta warisannya, sedangkan pemiliknya kembali ke tempat yang kekal, tidak
dimakan umur, kemudian hancur, dan tidak akan diusir karena lamanya bertempat
tinggal. Hanya ada dua alternatif kepastian Allah SWT., mendapat rahmat dan
pahala, atau mendapat murka dan siksa. Yang pertama adalah nikmat dan karamah,
yang kedua kerugian dan penyesalan. Tepatlah bagi seseorang yang bisa
menganggap remeh terhadap perkara yang sebenarnya kecil di sisi Allah SWT., dan
mengagungkan sesuatu yang memang agung di sisi-Nya.[16]
Pesan Hasan al-Basri
kepada sahabat-sahabatnya agar terhindar dari fitnah dunia, “Waspadalah
terhadap dunia ini. Dia seperti ular yang lembut sentuhannya dan mematikan
bisanya. Berpalinglah dari pesonanya. Sedikit terpesona, anda akan terjerat
olehnya. Waspadalah terhadap personanya. Pada saat yang lain dia mengharapkan
teman-temannya bisa meniru Nabi Dawud as, “Anda bisa menjadi Dawud as., orang
yang sehebat dia makan roti jelai di biliknya, dan memberi makan keluarganya
dengan makanan kasar, sedangkangkan rakyatnya
dengan jagung pilihan; dan bila malam ia kenakan kain kasar, ia ikat sebuah
tangannya pada lehernya dan menangis hingga fajar. Dia membenci apa yang
dibenci Allah dan kebajikanlah bagi yang senantiasa mengikuti jejaknya.[17]
Ajaran ini mengandung
nilai moral, agar seseorang ingin memikirkan lingkungannya, tidak egois
sebagaimana dilaksanakan oleh Dawud as. Dalam keadaan yang bagaimanapun tetap
berada dalam syariat agama, menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Ada benang merah antara
Hasan al-Basri dengan Nabi saw. dan sahabat-sahabatnya. Dia menempatkan mereka
sebagai tipe ideal, al-Masal al-A’la,
yang tidak tergiur dengan dunia, mau berkorban demi orang lain meskipun dirinya
sendiri mengalami kesulitan. Mereka sabar dan tahan lapar, tidak makan kecuali
sekedar mencukupi kebutuhan minimalnya. Karena itulah ia bisa berzuhud
terhadapnya. Berbeda dengan manusia pada umumnya yang tidak menemukan bau busuk
dunia karena setiap saat bergelimang dengan bau-bauannya itu.
Keluasan dan kedalaman
ilmunya membuat Hasan Al-Basri banyak didatangi orang yang ingin belajar
langsung kepadanya. Nasihat Hasan Al-Basri mampu menggugah hati seseorang,
bahkan membuat para pendengarnya mencucurkan air mata. Nama Hasan Al-Basri
makin harum dan terkenal, menyebar ke seluruh negeri dan sampai pula ke telinga
penguasa.
Ketika Al-Hajaj
ats-Tsaqofi memegang kekuasan gubernur Iraq, ia terkenal akan kediktatorannya.
Perlakuannya terhadap rakyat, terkadang sangat melampaui batas. Nyaris tak ada
seorang pun penduduk Basrah yang berani mengajukan kritik atasnya atau menentangnya.
Hasan Al-Basri adalah salah satu di antara sedikit penduduk Basrah yang berani
mengutarakan kritik pada Al-Hajaj. Bahkan di depan Al-Hajaj sendiri, Hasan
Al-Basri pernah mengutarakan kritiknya yang amat pedas.
Saat itu, tengah
diadakan peresmian istana Al-Hajaj di tepian kota Basrah. Istana itu dibangun
dari hasil keringat rakyat, dan kini rakyat diundang untuk menyaksikan
peresmiannya. Saat itu tampillah Hasan Al-Basri menyuarakan kritiknya terhadap
Al-Hajaj, “Kita telah melihat apa-apa yang telah dibangun oleh Al-Hajaj. Kita
juga telah mengetahui bahwa Fir’au membangun istana yang lebih indah dan lebih
megah dari istana ini. Tetapi Allah menghancurkan istana itu, karena kedurhakaan
dan kesombongannya.” Kritik itu berlangsung cukup lama. Beberapa orang mulai
cemas dan berbisik kepada Hasan Al-Basri, “Ya Abu Sa’id, cukupkanlah kritikmu,
cukuplah!” Namun beliau menjawab, “Sungguh Allah telah mengambil janji dari
orang-orang yang berilmu, supaya menerangkan kebenaran kepada manusia dan tidak
menyembunyikannya.”
Begitu mendengar kritik
tajam tersebut, Al-Hajaj menghardik para ajudannya, “Celakalah kalian! Mengapa
kalian biarkan budak dari Basrah itu mencaci maki dan bicara seenaknya? Dan tak
seorangpun dari kalian mencegahnya? Tangkap dia, hadapkan kepadaku!” .
Semua mata tertuju kepada
sang Imam dengan hati bergetar. Hasan Al-Basri berdiri tegak dan tenang
menghadapi Al-Hajaj bersama puluhan polisi dan algojonya. Sungguh luar biasa
ketenangan beliau. Dengan keagungan seorang mu’min, izzah seorang muslim dan
ketenangan seorang da’i, beliau hadapi sang tiran.
Melihat ketenangan
Hasan Al-Basri, seketika kecongkakan Al-Hajaj sirna. Kesombongan dan
kebengisannya hilang. Ia langsung menyambut Hasan Al-Basri dan berkata lembut,
“Kemarilah ya Abu Sa’id.” Al-Hasan mendekatinya dan duduk berdampingan. Semua
mata memandang dengan kagum.
Mulailah Al-Hajaj
menanyakan berbagai masalah agama kepada sang Imam, dan dijawab oleh Hasan
Al-Basri dengan bahasa yang lembut dan mempesona. Semua pertanyaannya dijawab
dengan tuntas. Hasan Al-Basri dipersilakan untuk pulang. Usai pertemuan itu,
seorang pengawal Al-Hajaj bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sungguh aku melihat anda
mengucapkan sesuatu ketika hendak berhadapan dengan Al-Hajaj. Apakah
sesungguhnya kalimat yang anda baca itu?” Hasan Al-Basri menjawab, “Saat itu
kubaca: Ya Wali dan PelindungKu dalam kesusahan. Jadikanlah hukuman Hajaj sejuk
dan keselamatan buatku, sebagaimana Engkau telah jadikan api sejuk dan
menyelamatkan Ibrahim.”
Perwujudan zuhud Hasan
ialah tidak mendekat kepada para penguasa yang zalim, terbukti ketika ia keluar
dari kantor Abu Hubairoh (Amir Irak), kebetulan berjumpa para Qurra’, maka dia berkata atau bertanya
kepada mereka, “Apa yang menyebabkan anda-anda duduk di sini? Engkau ingin
masuk bertemu mereka yang keji-keji? Demi Allah dudukmu dengan mereka dibanding
duduk dengan orang-orang yang baik, engkau akan dapat membedakannya. Bagaikan
Allah membedakan antara roh dan jasadmu. Demi Allah seandainya engkau sekalian
zuhud terhadap apa yang ada di tangan mereka, niscaya mereka akan mencintai
terhadap apa kau miliki. Tetapi engkau mencintai apa yang ada di sisi mereka,
maka mereka akan meninggalkan terhadap apa yang engkau miliki.
Nasihatnya yang
terkenal diucapkannya ketika beliau diundang oleh penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh,
yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu Hubairoh adalah seorang yang
jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah menghadapi perintah-perintah
Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia berkata, “Allah telah memberi
kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia
sekarang menugaskan saya untuk memerintah Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang
perintahnya bertentangan dengan kebenaran. Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu?
Nasihatilah aku …”
Berkata Hasan Al-Basri,
“Wahai Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan
jangan takut kepada Yazid¬ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah
membelamu dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai
Ibnu Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari
siksaan Yazid di dunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan
memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.”
Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Basri yang sangat
dalam itu.
Al-Basri pernah
berkirim sura kepada ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, “Hati-hatilah terhadap dunia yang
menipu dan menggiurkan ini. Dia akan membunuh pemiliknya dengan angan-angannya,
dan membunuh lawan bicaranya. Dia bagaikan pengantin wanita yang menjadi
perhatian semua pihak, semua pandangan tertuju kepadanya, dan semuanya ‘asyiq kepadanya, padahal hakikatnya
adalah pembunuh suaminya. Yang kekal dengan yang sirna tak boleh disamakan,
yang akhir tak boleh dipandang sama dengan yang awal. Berpalinglah daripada
dunia, dan tinggalkanlah dia, karena didalamnya sedikit yang menarik dan dapat
dijadikan teman.
Anas ibn Malik, Abu
Qatadah dan lain-lain yang sezaman memuji-muji Hasan Basri dan mengakui akan
keluasan ilmunya. Menurut Abu Na’im al-Asfahani, Hasan al-Basri adalah orang
yang selalu takut dan berduka sepanjang hari, hidup zuhud dan wara’ sepanjang
masa dan tidak tidur dalam keadaan senang karena mengingat Allah, menolak dunia
dan tidak meminta-minta.[18]
Menurut Hasan al-Basri,
bagaimana kita tidak takut kalau seluruh kehidupan ini akan kita
pertanggungjawabkan sedang kehidupan itu sendiri amat pendek dan dibatasi oleh
maut yang siap akan menjemput. Apakah bersama al-maut derita siksa akan
berkepanjangan? Bagi orang beriman, kehidupan dunia bukan untuk
bersenang-senang, tetapi persiapan-persiapan dan peningkatan amal saleh dalam
diri yang selalu takut (khauf) dan
dengan itu selalu berharap (raja’)
akan keampunan dan rahmat-Nya. Bagi Hasan Basri dunia ini adalah tempat duka
dan prihatin. Bagaimana tidak prihatin kalau manusia yang bergelimang dosa akan
menghadap kepada-Nya.
Menurut Hasan al-Basri,
banyak duka dan prihatin di dunia akan memperteguh semangat amal saleh
memperkuat zuhud dan wara’ dan menjauhkan diri dari kemurkaan Tuhan. Namun
semua itu akan benar-benar tertanam dalam diri manusia kalau ia memiliki iman
dan ilmu. Iman dan ilmu merupakan suatu kemestian sebagai bahan dasar bagi
orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana ditegaskan dalam
al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 58. Ibadah yang didasarkan kepada iman dan
ilmu membawa orang selalu takut dan prihatin sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an surat al-Fathir ayat 28 dan al-Hujurat ayat 13. Hasan Basri
menghadapi dunia dengan prihatin dan waspada, berlaku zuhud dan penuh kesucian,
menajamkan hati dengan takut dan harap kepada Allah setiap waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah
Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. I, 1995
Dewan
Editor, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1997
Dewan
Editor, Ensiklopedi Islam, Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994
Hasan,
Abd. Al-Hakim, al-Tasawwuf fi Syi’ri
al-‘Arabi, Anjalu al-Misriyyah, 1954,
Mansur,
Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet, I, 1996
Mu’thi,
Wahib, Tasawuf Dalam Islam, Jakarta:
Universitas Islam Asy-Syafi’yah Jakarta, 2009
Syukur,
Amin, Zuhud di Abad Modern,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1997
Republika, 22 April
2011.
[1] Abdul Malik bin
Marwan menjabat khalifah kelima Dinasti Umayyah pada usia 39 tahun. Ia menjadi
khalifah atas wasiat ayahnya, Marwan bin Hakam. Selama 21 tahun memerintah ia
dianggap khalifah perkasa, negarawan berwibawa yang mampu memulihkan kesatuan
kaum Muslimin. Setelah selesai pengangkatan baiat di Masjid Damaskus pada 65
Hijriyah, Khalifah Abdul Malik bin Marwan naik mimbar dan menyampaikan pidato
singkat namun tegas yang dicatat sejraah. Di antara isi pidato itu adalah, “Aku
bukan khalifah yang suka menyerah dan lemah, bukan juga seorang khalifah yang
suka berunding, bukan juga seorang khalifah yang berakhlak rendah. Siapa yang
nanti berkata begini dengan kepalanya, akan kujawab begini dengan pedangku.” Setelah
ia turun dari mimbar, sejak saat itu wibawanya dirasakan oleh segenap hadirin.
Mereka mendengarkan ucapannya dengan rasa hormat dan kepatuhan. Lihat ,
Republika, 22 April 2011.
[2]
Laily Mansur, Ajaran dan Teladan
Para Sufi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet, I, 1996), hal. xii
[4] Wahib Mu’thi, Tasawuf Dalam Islam, (Jakarta:
Universitas Islam Asy-Syafi’yah Jakarta, 2009), hal. 97
[5] Umar ibn al-Khattab (592-644 M)
adalah khalifah kedua. Umar boleh dikatakan sebagai pendiri sejati Imperium
Islam. Pada masa pemerintahannya terjadi perang Qadisiyyah yang sangat dahsyat
dan perang jalula. Dua peperangan itu telah memorak-porandakan pasukan bangsa
Persia dan membuka jalan bagi penguasaan seluruh wilayah Persia. Pada tahun 637
M, Syam ditaklukkan. Umar sendiri berjalan ke Bait al-Maqdis untuk mencanangkan
dasar pengaturan wilayah-wilayah yang ditaklukkan. Setelah itu dia menjadikan
Syam sebagai pangkalan perang kaum Muslim untuk menaklukkan Mesir dan Armenia,
pada gilirannya, Mesir pun menjadi pangkalan perang untuk penaklukan wilayah
Afrika Utara. Dengan cara seperti itu, Umar, selama sepuluh tahun, berhasil
menaklukan dua imperium terkuat di dunia saa itu; di samping menguasai imperium
lainnya yang sumber alamnya lebih bagus dan lebih kaya. Lihat, Husayn Ahmad
Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. I, 1995), hal. 14-15.
[6] Dewan Editor, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994), hal. 180
[7] Dewan Editor, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, 1997), hal. 203
[8] Hasan al-Basri dapat menyaksikan
peristiwa pemberontakan terhadap Usman ibn ‘Affan dan beberapa kejadian politis
sesudahnya yang terjadi di Madinah, yang memporak-porandakan umat Islam. Tanpa
diketahui secara pasti motifnya, dia sekeluarga pindah ke Basrah. Lihat, Amin
Syukur, Zuhud di Abad Modern,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1997), hal. 65
[9] Dewan Editor, op.
cit., hal. 204
[10] Wara’ artinya meninggalkan perkara syubhat. Rasulullah SAW bersabda,
“Temasuk perkara yang menyempurnakan keislaman seseorang ialah meninggalkan
perkara yang tidak berguna.” Lihat, Wahib Mu’thi, op. cit., hal. 41.
[11] Dewan Editor, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994), hal. 181
[12] Ibid. hal. 181
[13]Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in waratakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia
untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhhad atau zahiduun. Zuhud menurut Hasan al-Basri adalah barometer
kehidupan. Hal ini dapat disimpulkan dari ucapannya, “Seorang faqih (ahli
fiqih) ialah yang zuhud terhadap dunia, dan waspada terhadap agamanya, serta
langgeng dalam beribadah kepada Tuhan.” Menurut al-Nasysyar, jika benar teks
ini dari Hasan al-Basri, maka dia dapat dikatakan seorang yang pertama kali
menampilkan istilah zuhud dalam arti
ibadah.Tipe kezuhudan Hasan Basri ialah khauf
dan raja.Lihat, Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1997),
hal. 134.
[14] Abd. Al-Hakim Hasan, al-Tasawwuf fi Syi’ri al-‘Arabi, Anjalu
al-Misriyyah, 1954, hal. 38
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Amin Syukur,op.
cit., hal. 67-68
[18] Laily Mansur, op.
cit., hal. 20.
Post a Comment